Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)

DI R. CVCU RSUD. dr. SAIFUL ANWAR KOTA MALANG

Oleh:

FADIYATUN NAJA

190070300111005

Kelompok 3A

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
ACUTE LUNG OEDEME

1. Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru
non kardiogenik) (Harun dan Sally, 2009). Edema paru didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana terjadi perpindahan cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli
paru. Pada edema paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara
berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut dan luas
sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat (Mattu, 2005).
2. Etiologi dan Faktor Resiko
a. Ketidakseimbangan tekanan
1) Peningkatan tekanan kapiler paru
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
c. Insufisiensi Limfatik
d. Tak diketahui/tak jelas
(Harun & Sally, 2009)

Klasifikasi ALO:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
 Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
mampu memompa darah lagi seperti biasa.
 Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun
dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu
keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan
infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka
darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan
menumpuk di paru-paru (flooding).
 Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak
mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah
mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
 Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).

b. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi
paru itu sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan
protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru
nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih
permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan
edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada
epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan
cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi cedera
epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan
cairan alveolar (Lorraine et al, 2005). Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya
disebabkan oleh hal berikut:
a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menjurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10.000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.

FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus
adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu)
 Tekanan darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung koroner atau katup
 Kegemukan
 Cedera sistem saraf
 Infeksi
3. Patofisiologi

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata,
2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi
pada saat inpsirasi karena terbukanyasaluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur,demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital danvolume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right
to left intrapulmonary shunt. Penderitabiasanya menderita hipokapsia, tetapi pada
kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acuterespiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
S3 gallop/kardiomegali (+) meter)
Nadi kuat
(-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)
5. Pemeriksaan Diagnostik

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa


kemiripan.
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis.
Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler
paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi
pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam
(Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan
darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit
membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan
pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy
sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah
setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung
dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral
dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi
ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB,
troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat
digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi
gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection
fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml
akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure
(Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin
untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi
gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro
BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari
penyakit lainnya (AHA, 2009).
- Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley
A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5
(Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada
foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos
dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm
sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan
abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika
dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya
overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik
perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah
horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan
adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang
pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir
sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat
30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas
rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.

NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik


1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat
dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
- EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau
infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran
ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.
Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang
dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus
simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).

6. Penatalaksanaan

A. Terapi oksigen
Hipoksemia umum terjadi pada edema paru dan merupakan ancaman utama
bagi susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi
yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja
pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta
mengurangi overdistensi alveolar. Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan
dengan kanul hidung atau masker muka (face mask). Continuous positive airway
pressure (CPAP) sangat membantu pada pasien edema paru kardiogenik. Masip
et al. (2013) mendapatkan bahwa penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan
akan intubasi dan angka mortalitas.
Metode pemberian oksigen:
1. Sistem Aliran Rendah
Sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan, bekerja dengan memberikan oksigen pada frekuensi aliran
kurang dari volume inspirasi pasien, sisa volume ditarik dari udara ruangan.
Karena oksigen ini bercampur dengan udara ruangan, maka FiO2 aktual
yang diberikan pada pasien tidak diketahui, menghasilkan FiO2 yang
bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal
klien. Alat oksigen aliran rendah cocok untuk pasien stabil dengan pola
nafas, frekuensi dan volume ventilasi normal, misalnya klien dengan
Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.
Contoh sistem aliran rendah adalah :
a. Low flow low concentration :
1) Kateter nasal
2) Kanul nasal / kanul binasal / nasal prong.
b. Low flow high concentration
1) Simple mask
2) Rebreating mask
3) Non-Rebreathing mask
a. Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen secara
kontinyu dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%. Prosedur
pemasangan kateter ini meliputi insersi kateter oksigen ke dalam hidung sampai naso
faring. Persentase oksigen yang mencapai paru-paru beragam sesuai kedalaman dan
frekuensi pernafasan, terutama jika mukosa nasal membengkak.
b. Kanul Nasal/ Binasa/ Nasal Prong
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen kontinyu
dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal yaitu
24 % - 44 %. Persentase O2 pasti tergantung ventilasi per menit pasien. Pada pemberian
oksigen dengan nasal kanula jalan nafas harus paten, dapat digunakan pada pasien
dengan pernafasan mulut. FiO2 estimation :
Flows FiO2
1) 1 Liter /min : 24 %
2) 2 Liter /min : 28 %
3) 3 Liter /min : 32 %
4) 4 Liter /min : 36 %
5) 5 Liter /min : 40 %
6) 6 Liter /min : 44 %
Formula : ( Flows x 4 ) + 20 % / 21 %
c. Simple mask
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang. Merupakan alat
pemberian oksigen jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran 5 – 8 liter/mnt
dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%. Masker ini kontra indikasi pada pasien dengan
retensi karbondioksida karena akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang
dari 5 liter/menit untuk mendorong CO2 keluar dari maskerz
FiO2 estimation :
Flows FiO2
• 5-6 Liter/min : 40 %
• 6-7 Liter/min : 50 %
• 7-8 Liter/min : 60 %
d. Rebreathing Mask:
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 – 60%
dengan aliran 6 – 15 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2. Udara ekspirasi
sebagian tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan aliran O2, kantong akan terisi
saat ekspirasi dan hampir menguncup waktu inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi
O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup
minimal 2/3 bagian kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan
sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit. FiO2 estimation :
Flows ( lt/mt ) FiO2 ( % )
• 6 lpm: 35 %
• 8 lpm: 40 – 50 %
• 10 – 15 lpm : 60 %
e. Non Rebreathing Mask
Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang tinggi mencapai
90 % dengan aliran 6 – 15 liter/mnt. Pada prinsipnya udara inspirasi tidak bercampur
dengan udara ekspirasi, udara ekspirasi dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu
atau lebih katup, sehingga dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi. Sebelum
dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara kantong
dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir. Memasang kapas kering pada
daerah yang tertekan sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit. Kantong tidak
akan pernah kempes dengan total. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet
harus pada tempatnya dan tanpa tongkat. FiO2 estimation :
Flows ( lt/mt ) FiO2 ( % )
• 6 lpm : 55 – 60
• 8 lpm: 60 – 80
• 10 lpm: 80 – 90
• 12 – 15 lpm : 90
2. Sistem Aliran Tinggi
Memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk memberikan 2 atau 3
kali volume inspirasi pasien. Alat ini cocok untuk pasien dengan pola nafas pendek dan
pasien dengan PPOK yang mengalami hipoksia karena ventilator. Suatu teknik pemberian
oksigen dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga
dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan teratur.
Contoh sistem aliran tinggi :
a. Sungkup muka dengan venturi / Masker Venturi (High flow low concentration).
Merupakan metode yang paling akurat dan dapat diandalkan untuk konsentrasi
yang tepat melalui cara non invasif. Masker dibuat sedemikian rupa sehingga
memungkinkan aliran udara ruangan bercampur dengan aliran oksigen yang telah
ditetapkan. Masker venturi menerapkan prinsip entrainmen udara (menjebak udara seperti
vakum), yang memberikan aliran udara yang tinggi dengan pengayaan oksigen terkontrol.
Kelebihan gas keluar masker melalui cuff perforasi, membawa gas tersebut bersama
karbondioksida yang dihembuskan.
Metode ini memungkinkan konsentrasi oksigen yang konstan untuk dihirup yang tidak
tergantung pada kedalaman dan kecepatan pernafasan. Diberikan pada pasien
hyperkarbia kronik ( CO2 yang tinggi ) seperti PPOK yang terutama tergantung pada
kendali hipoksia untuk bernafas, dan pada pasien hypoksemia sedang sampai berat.
FiO2 estimation
Menurut Standar Keperawatan ICU Dep.Kes RI. tahun 2005, estimasi FiO2 venturi mask
merk Hudson
Warna dan flows ( liter/menit ) FiO2 ( % )
• Biru : 2 lpm: 24 %
• Putih : 4 lpm: 28 %
• Orange : 6 lpm: 31 %
• Kuning : 8 lpm: 35 %
• Merah : 10 lpm: 40 %
• Hijau : 15 lpm: 60 %
b. Bag and Mask / resuscitator manual
Digunakan pada pasien :
1) Cardiac arrest
2) Respiratory failure
3) Sebelum, selama dan sesudah suction Gas flows 12 – 15 liter, selama resusitasi
buatan, hiperinflasi / bagging, kantong resusitasi dengan reservoir harus digunakan
untuk memberikan konsentrasi oksigen 74 % - 100 %. Dianjurkan selang yang
bengkok tidak digunakan sebagai reservoir untuk kantong ventilasi. Kantong 2.5
liter dengan kecepatan 15 liter/menit telah ditunjukkan untuk pemberian oksigen
yang konsisten dengan konsentrasi 95 % - 100 %. Penggunaan kantong reservoar
2.5 liter juga memberikan jaminan visual bahwa aliran oksigen utuh dan kantong
menerima oksigen tambahan. Pengetahuan tentang kantong dan keterampilan
penggunaan adalah vital :
• Kekuatan pemijatan menentukan volume tidal ( VT ).
• Jumlah pijatan permenit menentukan frekuens
• Kekuatan dan frekuensi menentukan aliran puncak.
Hal – hal yang harus diperhatikan :
• Observasi dada pasien untuk menentukan kantong bekerja dengan baik dan
apakah terjadi distensi abdomen.
• Kemudahan / tahanan saat pemompaan mengindikasikan komplain paru.
• Risiko terjadinya peningkatan sekresi, pneumothorak, hemothorak, atau spasme
bronkus yang memburuk
Syarat – syarat Resusitator manual :
• Kemampuan kantong untuk memberikan oksigen 100 % pada kondisi akut.
• Masker bila dibutuhkan harus transparan untuk memudahkan observasi terhadap
muntah / darah yang dapat mengakibatkan aspirasi.
• Sistem katup yang berfungsi tanpa gangguan pada kondisi akut
• Pembersihan dan pendauran ketahanan kantong. Large Volume Aerosol Sistem
B. Terapi farmakologi
- Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif,
cepat, dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena
diawali dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara
bertahap (dosis maksimal 200µg/menit).1,13 Loop diuretics (furosemide)
dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu: diuresis dan
venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari pada
keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang
berat. Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3
mg secara intra vena dan dapat diberikan berulang.
- Obat-obatan yang menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors)
menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual
(captopril 25 mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta
analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors akan menurunkan angka
mortalitas.
Obat-obatan golongan inotropik Obat-obatan golongan inotropik diberikan
pada edema paru kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin
2-20 µg/kg/menit atau dopamin 3-20 µg/kg/menit.
C. Penatalaksanaan medis lainnya:
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier

Nanda International. 2012. Nursing Diagnosis: Definition & Classifications 2012-2014.


Jakarta: EGC

Hudak&Gallo. 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper
Saddler River

Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1651-1653

Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96

Anda mungkin juga menyukai