Anda di halaman 1dari 5

Kelompok 3 – MKP Fitomedisin

Dhonna Dwi S.
Gine Intan P.
Larashintya Rulita
Rafidah Saraswati
Rezta Fadhilah
Savira Ayusandra (Kelompok 6)

1. Mekanisme apa yang Anda ketahui dari metabolit sekunder tumbuhan yang dapat
mengatasi gangguan Fatty Liver?
a. Curcumin: Berikatan dengan logam seperti Zn dengan perbandingan 1:1. Ikatan
tersebut menyebabkan curcumin dapat mencegah ethanol-induced liver injury.
Contoh tanaman : Curcuma Longa
b. Silybin: Silymarin memiliki aktivitas hepatoprotektif melalui aksi antiviral,
antiinflamasi, antioksidan, dan imunomodulator pada liver dan sel imun. Aksi ini
dimediasi oleh penghambatan kultur sel HCV, TNF-alfa dan TCR induced NFkB-
dependent transcription, dan supresi produksi sitokin proliferasi TCR-mediated dan
sitokin inflamasi dari sel-T. Contoh tanaman : Silybum marianum
c. 6-shogaol: 6-shogaol memliki aktivitas anti-inflamasi dengan menginhibisi produksi
kemokin dari synoviocytes, chondrocytes, dan leukocytes dan juga melalui supresi
produksi TNF-alfa dan PGE-2 dan mengaktivasi penghambatan NFk-B dan proses
IkB-alfa. Contoh tanaman : Zingiber officinale

Referensi:
Dasgupta, A. (2019). Antiinflammatory Herbal Supplements. Translational Inflammation,
69–91. doi:10.1016/b978-0-12-813832-8.00004-2

2. Seseorang yang mengidap fatty liver mendapatkan saran untuk meminum jamu secara
rutin supaya dapat mengatasi penyakitnya. Akhirnya dia memesan jamu gendong. Dia
meminum secara rutin jamu tersebut setiap hari 1 gelas (200 mL) dengan campuran
ramuan kunyit, jahe dan sambiloto. Tukang jamu menuang ketiga campuran tersebut tanpa
takaran hingga gelas penuh. Menurut Anda apakah ramuan jamu gendong tersebut dapat
membantu mengatasi kondisi penyakitnya? berikan alasan Anda disertai dengan bukti
ilimiah yang Anda ketahui
Menurut penelitian ilmiah, kandungan masing-masing tanaman diketahui dapat
membantu mengatasi fatty liver karena senyawa aktif yang terkandung didalamnya.
Kunyit mengandung kurkuminoid yaitu kurkumin yang menghambat aktifitas HSC
dengan meningkatkan regulasi,ekspresi, dan stimulasi signaling gen PPAR-γ,
menurunkan aktivitas enzim SGPT dan SGOT dan ALP pada tikus. Efek hepatoprotektif
kunyit mungkin disebabkan karena efek antioksidan langsung dan mekanisme radikal
bebas, serta kemampuan untuk secara tidak langsung meningkatkan tingkat glutathione,
sehingga membantu dalam detoksifikasi hati
Jahe mengandung 6-shagaol. Reseptor teraktivasi proliferator peroxisome α (PPARα)
dan γ (PPARγ) dapat mempengaruhi akumulasi trigliserida hati dan patogenesis NAFLD
(Non-Alcoholic Fatty Liver Disease). Dilaporkan bahwa PPARγ dapat mengurangi fluks
asam lemak ke dalam hati. Oleh karena itu, agonis PPARγ digunakan sebagai terapi
penting di NAFLD. Telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya bahwa 6-shogaol
merupakan agonis signifikan dari PPARγ pada adiposit (Sahebkar, 2011).
Sambiloto mengandung senyawa andrographolide yang berfungsi sebagai
hepatoprotektor dengan memberikan kesempatan kepada sel-sel hepar untuk melakukan
regenerasi dengan mengganti sel-sel yang mengalami degenerasi lemak menjadi sel yang
baru.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ramuan tersebut dapat membantu mengatasi kondisi
penyakit tersebut. Akan tetapi, karena campuran tersebut tidak terdapat takaran yang pasti
maka memungkinkan terjadinya efek samping jika dosis yang dikomsumsi berlebih.
Dimana jahe dapat menyebabkan mulas, dan dalam dosis lebih tinggi dari 6 g dapat
menyebabkan iritasi lambung (Ali, Blunden, Tanira, & Nemmar, 2008).
Ekstrak etanol rimpang Curcuma Longa menunjukkan efek hepatoprotektif signifikan
ketika secara oral diadministrasikan dalam dosis 250 mg/kg dan 500 mg/kg. Dalam satu
laporan, seseorang yang mengonsumsi kunyit dalam jumlah sangat tinggi, lebih dari 1500
mg dua kali sehari, mengalami irama jantung abnormal yang berbahaya.

3. Apa yang Anda ketahui tentang Saintifikasi jamu? berikan contoh outcome/output dari
program Saintifikasi jamu yang Anda ketahui!
Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis
pelayanan. Tujuan Saintifikasi Jamu adalah
1. Memberikan landasan bukti ilmiah (evidence base) penggunaan jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan.
2. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman dan berkhasiat teruji secara ilmiah, baik
untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1334 Tahun 2010 dibentuklah
Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Secara singkat prinsip tugas Komnas SJ adalah
menjadi “dirigen” pada penelitian dan pengembangan jamu, khususnya menyangkut
evaluasi manfaat dan keamanan jamu. Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan
uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering
(untuk dijadikan jamu dalam “godhogan”), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk
tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya, yang tujuan
akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu,
baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif, paliatif, maupun rehabilitatif. Saintifikasi
Jamu mengusulkan tahapan pembuktian manfaat dan keamanan jamu baik untuk formula
turun temurun maupun formula baru. Tahapan tersebut dijelaskan dalam gambar
dibawah.
Studi etnologi dilakukan pada kelompok etnis masyarakat tertentu.
Diharapkan dapat diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan,
ramuan tradisional yang dipakai serta indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan,
baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Kemudian,
data dasar hasil studi dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk dilakukan
skrinning guna ditetapkan jenis tanaman dan ramuan yang potensial untuk dilakukan
uji keamanan dan manfaat.
Untuk formula turun temurun dan terbukti aman dapat langsung pada tahap
uji klinik fase II. Apabila pada uji klinik fase II membuktikan efikasi awal yang baik,
maka dilanjutkan ke uji klinik fase III, untuk melihat efektivitas dan keamanannya
pada sampel yang lebih besar, pada target populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik
fase III sebaiknya menggunakan RCT. Sebagai pembanding menggunakan obat
standar bila jamu sebagai terapi alternative, atau jamu on-top (sebagai terapi
tambahan) pada obat standar, bila jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil
akhir uji klinik saintifikasi jamu adalah jamu saintifikasi, yang menunjukkan bahwa
jamu uji mempunyai nilai manfaat dan terbukti aman. Jika jamu saintifik ingin
dikembangkan menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban
untuk mengikuti tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai peraturan yang berlaku.
Untuk formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka tahapan uji klinik
sebagaimana obat modern tetap harus diberlakukan, yakni uji pre-klinik, uji klinik
fase 1, fase 2, dan fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat profil farmakokinetik
(absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu dilakukan, baik pada uji
pre-klinik maupun uji klinik fase 1. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak
zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan
coba maupun tubuh manusia

Referensi:
)Dan, M., & Jamu, K. (2013). Saintifikasi Jamu Sebagai Upaya Terobosan Untuk
Mendapatkan Bukti Ilmiah Tentang Manfaat Dan Keamanan Jamu. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 15(2 Apr), 203–211. https://doi.org/10.22435/bpsk.v15i2Apr.2994

Anda mungkin juga menyukai