Anda di halaman 1dari 11

TRANSISI KONSEP PENDIDIKAN DASAR DAN

WAJIB BELAJAR: ANALISIS TERHADAP UU SISTEM


PENDIDIKAN NASIONAL (1950--2003)

Murni Ramli

Nanzan University Japan Department of Asian Studies, 18 Yamazato-cho, Showa-ku, Nagoya 466-8673 JAPAN,
e-mail: moernier@gmail.com

Abstract: The Transition of Concepts on Basic Education and Educational Obligations: Analysis of
the Acts on National Educational System. The objective of this study is to examine the transition of
basic education and compulsory education‟s concept in Indonesia stipulated in the educational funda-
mental laws implemented during 1950-2003. Analysis has been developed based on R. Thomas Mur-
ray‟s method focusing on the definition, purpose, and scope of basic education in each law. The study found
that the purposes of basic education have shiffed from education based on student‟s development-
orientation to education based on labor work, and in the newest version, the orientation has been de-
fined as the preparation for secondary education. The concept of basic education is not clearly described
in the latest legislation. Transition also occurs in the concept of compulsory education, where the con-
cept of universal education has been changed to compulsory education with local government being re-
sponsible to create a 12-year compulsory education system.

Kata kunci: pendidikan profesi, pendidikan guru, standar kompetensi, pendidikan dasar, wajib belajar.

Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah mengem- dasar dan menengah berdasarkan bahasa pengantar,
bangkan sistem pendidikan yang mencerminkan yaitu bahasa daerah, bahasa Melayu, dan bahasa Be-
ciri kebangsaan dan kemajemukan. Semangat mem- landa, disertai dengan usulan untuk memperluas ka-
bebaskan diri dari pengaruh penjajahan terlihat da- jian ilmu dan pengetahuan dalam kurikulum pendi-
lam sistem pendidikan pada awal masa kemerdekaan. dikan rendah. Thomas (1966) menguraikan tentang
Konsep pendidikan diformulasikan agar relevan de- reformasi pendidikan pada zaman pendudukan Je-
ngan kondisi bangsa, dan perkembangan konsep baru pang yang lebih mengutamakan pendidikan yang
dalam ilmu dan teori pendidikan. nondiskriminatif sehingga beberapa kebijakan pen-
Selama ini terdapat empat macam perundangan didikan tersebut tetap dipertahankan hingga saat
yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu UU RI No. ini, misalnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai
4 Tahun 1950 (yang diberlakukan kembali dengan bahasa pengantar, sistem lembaga sekolah tunggal
UU No.12/1954), Penpres RI No.19 Tahun 1965, pada jenjang pendidikan dasar, dan penerapan sistem
UU RI No.2 Tahun 1989, dan UU RI No.20 Tahun persekolahan 6-3-3-4.
2003. Keempat undang-undang tersebut sangat re- Suparjono (1966) menguraikan sistem perse-
levan untuk dikaji lebih dulu. Terlepas dari derajat kolahan pada era 1965 berdasarkan kurikulum Pan-
hukumnya, Penpres RI No. 19/1965 perlu juga di- cawardana, yang dilandasi oleh aliran sosialisme.
kaji karena konsep yang diuraikan dalam produk Poerbakawatja (1974) berargumentasi bahwa seba-
hukum ini cukup menggambarkan pemikiran pen- gian besar rakyat Indonesia pada awal kemerdekaan
didikan di Indonesia pada era tersebut. sampai dengan tahun 60-an masih menganggap
Sejumlah ahli telah melakukan kajian terhadap pendidikan rendah sebagai pendidikan terakhir. Hal
sistem pendidikan di Indonesia, antara lain sebagai ini perlu dijadikan sebagai dasar pemikiran menyusun
berikut. Usulan model pendidikan dasar di Indonesia kebijakan pendidikan kejuruan bagi siswa-siswa se-
pascakemerdekaan telah disampaikan Court (1946) kolah rendah dan sekolah menengah pertama. Ni-
dengan mengajukan model peralihan pendidikan shimura (1985) menganalisis proses perubahan ke-

1
2 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 1-11

bijakan pendidikan yang berlangsung pada saat pe- No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar (selan-
rang kemerdekaan yang menggambarkan kuatnya jutnya disebut PP RI No. 47/2008).
keinginan untuk menyusun sistem pendidikan untuk Analisis dilakukan dengan menggunakan meto-
seluruh rakyat. Nasution (1995) menguraikan secara de yang dipergunakan Thomas (1990), yaitu kriteria
rinci tentang sistem persekolahan pada masa Belanda, kelengkapan (comprehensiveness), persamaan (eq-
dan Mestoko (1985) menguraikan pendidikan pada uity), kejelasan (clarity), keterkaitan (relevant dif-
masa pendudukan Jepang. ferentiation), keseimbangan pengawasan (balance
Analisis kematangan Undang-Undang Pendi- of control), dan fleksibilitas (flexibility) untuk mem-
dikan antara era kemerdekaan dan era pembangunan bandingkan pengonsepan pendidikan dasar dan wajib
di Indonesia dapat ditemukan dalam kajian Thomas belajar dalam setiap produk hukum. Fokus analisis
(1990). Thomas menilai UU RI No.2 Tahun 1989 le- meliputi definisi, tujuan, cakupan waktu, dan satuan
bih mature dalam penggunaan kata, relevansi, keleng- pendidikan dasar. Perubahan nomenklatur dianalisis
kapan isi, nilai-nilai persamaan, dan fleksibilitasnya dari aspek penggunaan bahasa dan perubahan sosial
dibandingkan dengan UU RI No. 4 Tahun 1950. politik yang mengikuti lahirnya undang-undang.
Pendidikan dasar dan wajib belajar dipilih seba-
gai objek analisis kajian ini karena merupakan pendi-
HASIL DAN PEMBAHASAN
dikan wajib minimal yang harus diberikan kepada
warga negara dan diakui sebagai tolok ukur peni- Analisis Transisi Pendidikan Dasar
laian kemajuan pendidikan suatu negara. Adanya pe-
rubahan yang mendasar dalam pengategorian pendi- Konsep pendidikan dasar dan pendidikan usia
dikan di Indonesia, yaitu perubahan istilah pendidikan dini dibedakan dengan jelas pada UU RI No. 4/1950,
rendah menjadi pendidikan dasar, dan adanya pe- sebagaimana tercantum pada dalam Bab V Pasal 7
rubahan kategori pendidikan dasar dan pendidikan yang berbunyi “(1) Pendidikan dan pengajaran taman
menengah pada tahun 1989 juga menjadi alasan ur- kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya roha-
gensi kajian ini. ni dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk seko-
Sejalan dengan hal tersebut, tujuan penelitian lah rendah, (2) Pendidikan dan pengajaran rendah
ini adalah (1) menganalisis transisi konsep, tujuan, bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani
cakupan, dan nomenklatur pendidikan dasar yang kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya
terdapat pada UU RI tahun 1950, Penpres RI No.19 guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-
Tahun 1965, UU RI No.2 Tahun 1989 dan UU RI masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuan-
No.20 Tahun 2003, (2) mempelajari latar belakang nya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun
1
sosial dan politik perubahan konsep, dan (3) menga- bathin.”
nalisis konsep wajib belajar di Indonesia. Dalam bagian penjelasan diuraikan sebagai
berikut. “Tujuan pendidikan dan pengajaran di seko-
lah rendah dapat dibagi atas dua bagian, yaitu per-
METODE
tama menyiapkan anak-anak untuk dapat menerima
Sebagai bahan analisis, penelitian ini meng- pendidikan dan pengajaran, kedua memberikan ke-
gunakan produk hukum berikut: Undang-undang Re- pada mereka dasar-dasar pengetahuan, kecakapan dan
publik Indonesia No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar- ketangkasan. Pendidikan ini merupakan suatu pendi-
dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (selan- dikan yang bulat, dan dapat dianggap sebagai suatu
jutnya disebut UU RI No.4/1950), Penetapan Pre- pendidikan yang perlu bagi tiap-tiap manusia seba-
siden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok gai anggota mayarakat, dan sebagai warga negara.”
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (selanjutnya Penpres RI No.19/1965 mendefinisikan pendi-
disebut Penpres RI No.19/1965), Undang-undang dikan dasar dari sisi cakupannya, seperti tercantum
Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sis- dalam Pasal 8, “Pendidikan Dasar diberikan di lem-
tem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU baga pendidikan sekolah dasar disingkat SD yang
RI No. 2/1989), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun masa belajarnya ditetapkan 9 (sembilan) tahun terhi-
1990 tentang Pendidikan Dasar (selanjutnya disebut tung mulai anak didik mencapai umur 6 (enam) tahun
PP RI No. 28/1990), Instruksi Presiden No. 1 Tahun pada awal pelajaran yang bersangkutan. Bagian
1994 tentang Wajib Belajar Pendidikan Dasar (se- penjelasan Penpres RI tersebut berbunyi: “Sekolah
lanjutnya disebut Inpres RI No.1/1994), Undang-
undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 1
Untuk memudahkan pembaca, dalam artikel ini keselu-
tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya ruhan penulisan isi pasal-pasal disesuaikan dengan ejaan
disebut UU RI No. 20/2003), Peraturan Pemerintah yang berlaku sekarang.
Ramli, Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional 3

Dasar ini merupakan fundamen pokok dari segala memberikan kesanggupan pada peserta didik bagi
jenis pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan pro- perkembangan kehidupannya, baik untuk pribadi
gram pelajaran 9-10 tahun, sebagai pengintegrasian maupun untuk masyarakat. Oleh karena itu, setiap
SD dan SLP sekarang. Pendidikan pada SD ini adalah warga negara harus diberi kesempatan yang seluas-
cukup masak dan kuat untuk menjamin dasar mi- luasnya untuk memperoleh pendidikan dasar. Pro-
nimum pendidikan ilmiah, rokhaniah, jasmaniah, ke- gram pendidikan dasar ini dapat disampaikan me-
terampilan, dan kemampuan bekerja dalam masyara- lalui pendidikan di sekolah termasuk yang meru-
kat sebagai warga yang berguna. Susunan SD sebagai pakan pendidikan luar biasa dan/atau pendidikan di
tersebut di atas mengingat pula adanya UU RI Pokok luar sekolah. Pendidikan dasar juga mempersiapkan
Perburuhan RI tahun 1948 yang melarang mengerja- peserta didik untuk dapat mengikuti pendidikan me-
kan anak-anak di bawah umur 16 tahun. Anak didik nengah; ayat (2) Cukup jelas.”
yang (a) tidak dapat menyelesaikan pelajarannya di Dalam penjelasan Pasal 14 UU RI No. 2/1989
tingkat SD ditampung di Sekolah Latihan Khusus, diuraikan sebagai berikut, “ayat (1) Cukup jelas;
sehingga terpenuhi masa wajib belajar: (1) Untuk ayat (2) Pendidikan yang setara dengan pendidikan
mempersiapkan tenaga kerja teknik/kejuruan yang dasar berkenaan dengan kemungkinan memperoleh
sangat diperlukan oleh berbagai proyek pembangunan pengetahuan dan keterampilan yang lingkup dan ta-
diadakan ‟Sekolah Dasar Teknik/Kejuruan‟ yang rafnya sepadan dengan pendidikan Sekolah Lanjut-
pendidikannya dimulai dari tingkat ke 8 SD. (2) Lama an Tingkat Pertama (SLTP) dan diselenggarakan
belajar 2 sampai 3 tahun, tergantung kepada keju- pada jalur pendidikan luar sekolah; ayat (3) Cukup
ruan dan jurusannya; (b) tidak mampu mengikuti, jelas.”
ditampung di Pendidikan Luar Biasa (PLB), dan (c) Peraturan Pemerintah yang menguraikan ke-
tidak menghendaki menyelesaikan pelajaran sampai tentuan pendidikan dasar adalah PP No. 28/1990.
9-10 tahun dapat memasuki Sekolah Latihan Khusus, Dalam Pasal 2 tentang definisi pendidikan dasar di-
hingga terpenuhi masa wajib belajar” (Suparjono, sebutkan, “Pendidikan dasar merupakan pendidikan
1966: 39-40). sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam
Konsep pendidikan dasar selanjutnya kembali tahun di Sekolah Dasar dan program pendidikan ti-
mengalami perubahan dalam UU RI No. 2/1989. ga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.”
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat 1, pen- Pada Pasal 3 disebutkan bahwa, “Pendidikan dasar
didikan dasar didefinisikan sebagai berikut. “Pendi- bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan da-
dikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehi-
sikap dan kemampuan serta memberikan pengeta- dupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga
huan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk Negara, dan anggota umat manusia serta memper-
hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan pe- siapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
serta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengi- menengah.”
kuti pendidikan menengah.” Dalam Pasal 14 disebut- Adapun bentuk satuan pendidikan dasar dise-
kan sebagai berikut: “ayat (1) Warga negara yang butkan dalam Pasal 4 PP RI No. 28/1990 yang ber-
berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendi- bunyi, “ayat (1) bentuk satuan pendidikan dasar yang
dikan dasar; ayat (2) Warga negara yang berumur 7 menyelenggarakan pendidikan program enam tahun
(tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan terdiri atas: 1. Sekolah Dasar, 2. Sekolah Dasar Luar
dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat; ayat Biasa; ayat (2) bentuk satuan pendidikan dasar yang
(3) Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Pe- menyelenggarakan pendidikan program tiga tahun
raturan Pemerintah.” Dalam bagian penjelasan Pasal sesudah program enam tahun terdiri atas: 1. Sekolah
13 UU RI No. 2/1989 disebutkan: “ayat (1) Pendi- Lanjutan Tingkat Pertama, 2. Sekolah Lanjutan Ting-
dikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 kat Pertama Luar Biasa; ayat (3) Sekolah Dasar dan
(sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang berciri khas
(enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) ta- agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen
hun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah,
atau satuan pendidikan yang sederajat. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah; ayat (4) pelaksanaan keten-
dasar diselenggarakan dengan memberikan pendidik- tuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
an yang meliputi antara lain penumbuhan keimanan (2), diatur oleh Menteri, sedangkan ayat (3) diatur
dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Men-
pembangunan watak dan kepribadian serta pembe- teri Agama.”
rian pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan Pada era Otonomi Daerah definisi pendidikan
dasar pada hakikatnya merupakan pendidikan yang dasar di Indonesia dalam UU RI No. 20/2003 di-
4 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 1-11

persingkat dengan hanya menyebutkan cakupan pen- man penjajahan Belanda atau Kokumin gakkou pada
didikan dasar, sebagaimana tercantum dalam Pasal zaman Jepang. Untuk selanjutnya istilah ini diper-
17, yaitu “(1) pendidikan dasar merupakan jenjang gunakan sebagai nomenklatur sekolah pada jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan pendidikan rendah sampai dengan tahun 1965.
menengah; (2) pendidikan dasar berbentuk sekolah Istilah Pendidikan Rendah selanjutnya tidak
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau ben- dipergunakan lagi dalam Penpres RI No.19/1965,
tuk lain yang sederajat serta sekolah menengah per- dan digantikan dengan Pendidikan Dasar. Istilah pen-
tama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau didikan dasar yang dimaksudkan dalam produk hu-
bentuk lain yang sederajat; dan (3) ketentuan menge- kum ini adalah pendidikan yang berlangsung di Seko-
nai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada lah Dasar (SD) selama 9 tahun. Dalam bagian penje-
ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan pera- lasan Penpres RI sebagaimana dikutip oleh Suparjono
turan pemerintah.” (1966), terlihat adanya persamaan istilah pendidikan
dasar dalam UU RI No. 2/1989 dengan Penpres RI
Latar Belakang Sosial dan Politik Perubahan No.19/1965, tetapi dengan kriteria lembaga sekolah
Konsep yang berbeda. Penpres RI No.19/1965 mengguna-
kan satu istilah lembaga sekolah untuk pendidikan
Dalam uraian pengertian dan tujuan pendidikan dasar yaitu SD, sedangkan UU RI No. 2/1989 seka-
dasar di atas, terdapat penggunaan istilah yang ber- lipun menggunakan istilah pendidikan dasar 9 tahun,
beda, yaitu pendidikan dan pengajaran, serta lembaga sekolah tetap dipisahkan menjadi dua jen-
penggunaan kata rendah dan kata dasar. UU RI jang, yaitu SD dan SLP. Penggunaan istilah yang
No. 4/ 1950 menggunakan istilah Pendidikan dan berbeda dalam UU RI No. 4/1950 dan Penpres RI
Pengajaran, yang dalam peraturan sesudahnya di- No. 19/1965 diduga terjadi karena beberapa hal se-
ganti dengan istilah Pendidikan. Kemudian kata bagai berikut.
rendah diganti dengan kata dasar. Pertama, perubahan karena aspek bahasa. Kata
Dalam konteks pendidikan dan pengajaran ren- rendah lebih cenderung bermakna negatif, misalnya
dah nomenklatur lembaga pendidikan yang diper- dipergunakan dalam pengelasan masyarakat dan
gunakan adalah sekolah rendah dan/atau sekolah status seseorang yang berada di bawah: masyarakat
rakyat. Aman (1980) menyebutkan keberadaan seko- kelas rendah atau orang rendah. Kata rendah lebih
lah rendah 3 tahun, sekolah rendah 5 tahun di sam- mengarah kepada makna perbedaan status. Oleh ka-
ping sekolah rakyat dalam sistem persekolahan pas- rena itu, dengan menggunakan kata ini dalam pena-
cakemerdekaan. Istilah ini serupa dengan istilah maan lembaga sekolah, akan memberikan konotasi
yang dipergunakan pada masa pendudukan Jepang sekolah untuk masyarakat kelas rendah. Sementara
yang mengacu pada sistem pendidikan di Jepang itu, penggunaan kata dasar lebih menjelaskan makna
pada saat itu. Istilah pendidikan yang dipergunakan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
di Jepang tidak mengalami perubahan sampai saat menjadi inti pembelajaran pada jenjang tersebut.
ini, yaitu pada jenjang pendidikan paling rendah di- Kedua, kata pendidikan dipergunakan karena
gunakan istilah syotoukyouiku, yang dalam bahasa maknanya lebih luas, dan meliputi makna yang di-
Indonesia diterjemahkan menjadi „pendidikan ren- kandung oleh kata pengajaran.
dah‟, chuutoukyouiku untuk „pendidikan menengah‟ Ketiga, era penjajahan Belanda, sistem perse-
dan koutoukyouiku untuk „pendidikan tinggi‟. Nama kolahan diselenggarakan berdasarkan status masya-
lembaga sekolah yang sesuai dengan jenjang pen- rakat, yaitu pendidikan untuk orang Eropa dan Belan-
didikan rendah adalah syougakkou, yang seharusnya da, pendidikan untuk orang elit Indonesia (orang
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Cina, Arab, dan golongan bangsawan Indonesia),
„sekolah kecil‟, chuugakkou untuk SMP, dan koutou- dan pendidikan untuk orang Indonesia kebanyakan.
gakkou untuk SMA. Sistem persekolahan yang diskriminatif ini dihapus-
Berdasarkan usulan sistem pendidikan yang di- kan pada masa pendudukan Jepang, tetapi dampak-
sampaikan oleh BP-KNIP pada tahun 1946 (Tilaar, nya masih tersisa sampai dengan pascakemerdekaan.
1995:72), ada tiga lembaga persekolahan di tingkat Oleh karena itu, penggunaan istilah sekolah dasar dan
pendidikan rendah, yaitu Kelas Masyarakat, Seko- bukan sekolah rendah atau sekolah rakyat dalam
lah Rakyat, dan Sekolah Pertama. Sementara itu produk hukum pasca-UU RI No.4/1950 sekaligus
Panitya Penyelidik Pengajaran dalam usulannya pada bermakna menghilangkan diskriminasi dalam sistem
tahun 1947 (Tilaar, 1995:73), mempergunakan istilah persekolahan nasional.
Sekolah Rakyat, yang diduga merupakan istilah yang Keempat, periode 1951-1961 sekitar 200 orang
dipakai untuk menerjemahkan Voolkschool pada za- guru dikirim ke beberapa universitas di Amerika,
Ramli, Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional 5

seperti Kentucky University dan New York Univer- (1990) menilai hal ini sebagai fleksibilitas UU RI
sity (Mooney, 1963). Hal ini diduga memengaruhi No.2/1989, sebagaimana tertuang dalam kutipan
pemikiran pendidikan di Indonesia, termasuk kebi- berikut. “Intentional flexibility can be illustrated in
jakan nomenklatur sekolah, yaitu penggunaan isti- a comparison of the 1950 and 1989 Indonesian edu-
lah Elementary School (sekolah dasar), Junior High cation act's requirement that each citizen complete
School (sekolah menengah pertama), dan Senior 'basic' education. In the 1950 version, basic educa-
High School (sekolah menengah atas). tion is specified as six years of elementary schooling.
Konsep pendidikan dasar pada UU RI No. 4/ In the 1989 version, the length of basic education is
1950 lebih eksplisit mengemukakan arah dan tujuan not specified, because in recent years educational
pendidikan dasar sebagai pendidikan untuk pengem- leaders have proposed that, as soon as it might be-
bangan jasmani, rohani, bakat, dan kesukaan anak come economically and administratively feasible,
didik, atau dapat dikatakan pendidikan yang berori- they would like to extend compulsory education
entasi pada pengembangan dan pengasahan kemam- beyond its present six-year requirement to eight or
puan anak sesuai dengan usianya. Penulis mengguna- nine years or, ultimately, even further. For this rea-
kan istilah pendidikan tiga dimensi untuk menyatakan son, the length of basic education was intentionally
pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan omitted from the 1989 act.”
raga, jiwa, dan otak. Akan tetapi Thomas tidak melihat secara utuh
Sementara itu pendidikan dasar dalam Penpres UU RI No. 2/1989, yaitu pada bagian penjelasan
RI No.19/1965 dapat dikatakan sebagai pendidikan Pasal 13 diuraikan lama pendidikan dasar yang di-
yang berorientasi kerja. Ini ditandai dengan diseleng- maksud, yaitu 9 tahun. Dengan demikian di dalam
garakannya sekolah dasar kejuruan, dan gerakan ma- ketiga produk hukum tersebut disebutkan secara eks-
syarakat tani dan buruh sebagai basis sosialis/komu- plisit tentang lama pendidikan dasar. Cakupan waktu
nis berdasarkan Manipol USDEK. justru tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UU
Angka melanjutkan siswa SD ke SMP pada ta- RI No. 20/2003.
hun 1965 hanya sekitar 1.052.007 siswa dan pada saat Penulis tidak sependapat dengan Thomas untuk
yang bersamaan jumlah siswa SD adalah 11.577.943 mengategorikan cakupan waktu pendidikan dasar
orang. Pada tahun 1968, siswa SMP berjumlah sebagai bentuk kefleksibelan UU RI No. 20/2003
1.150.000 orang yang berarti hanya bertambah se- dibandingkan UU RI sebelumnya. Dengan tidak
kitar 100.000 orang dalam waktu tiga tahun (Djo- mencantumkan lama pendidikan di dalam UU Sis-
yonegoro, 1995:421-422). Dengan demikian, dapat tem Pendidikan Nasional, di satu sisi tampaknya
disimpulkan bahwa pada era itu pendidikan mene- menunjukkan adanya fleksibilitas hukum, tetapi di
ngah masih merupakan pendidikan elit bagi rakyat sisi lain menunjukkan adanya ketidakjelasan (un-
(Poerbakawatja, 1974). clarity) produk hukum yang bersangkutan. Oleh
Dengan alasan di atas konsep pendidikan dasar karena itu, penulis justru beranggapan bahwa UU
pada tahun 1965 berusaha mengakomodasi pera- RI No.20/2003 mempunyai kelemahan dalam hal
turan hukum bekerja dan mempekerjakan anak, tidak menetapkan cakupan waktu pendidikan dasar.
sekaligus merefleksikan dasar-dasar ilmu yang ber- Dengan tidak menyebutkan cakupan waktu pendi-
hak diterima anak pada usia 6--15 tahun. Penpres dikan dasar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
RI No.19/1965 secara eksplisit dalam bagian penje- masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan da-
lasan menyatakan bahwa lulusan SD diarahkan un- sar lebih dari 9 tahun.
tuk mampu bekerja dan melanjutkan ke pendidikan Cakupan satuan pendidikan dasar di dalam ke-
menengah, dan dalam UU RI No.2/1989, arah pen- empat produk hukum yang dianalisis menunjukkan
didikan dasar bukan lagi pendidikan untuk bekerja, adanya perubahan secara signifikan. Dalam UU RI
tetapi dimensinya lebih asasi yaitu pendidikan untuk No. 4/1950 tidak disebutkan secara eksplisit nomen-
persiapan hidup sebagai pribadi, anggota masyara- klatur sekolah yang termasuk dalam pendidikan da-
kat, warga negara, dan anggota umat manusia, dan sar, baik dalam batang tubuh maupun penjelasan, se-
persiapan melanjutkan ke pendidikan menengah. dangkan dalam Penpres RI No.19/1965 disebutkan
Adapun cakupan waktu pendidikan dasar juga dengan jelas lembaga Sekolah Dasar (SD) sebagai
mengalami perubahan definisi, yaitu dalam UU RI institusi pendidikan dasar. Namun terdapat ketidak-
2
4/1950 disebutkan bahwa lama pendidikan rendah jelasan apakah jika peraturan ini diberlakukan , se-
adalah 6 tahun, dan dalam Penpres RI No.19/1965 mua Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), karena men-
lama pendidikan dasar adalah 9 tahun, tetapi dalam
batang tubuh UU RI No.2/1989 tidak terdapat uraian 2
Penpres RI No.19/1965 tidak diberlakukan karena adanya
eksplisit tentang lama pendidikan dasar. Thomas peristiwa G30S/PKI.
6 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 1-11

jadi bagian dari SD, nomenklaturnya berubah men- Alasan ditegaskannya kedudukan MI dan MTs
jadi SD atau tetap menggunakan istilah SLP. sebagai bagian dari pendidikan dasar dapat dianalisis
Cakupan satuan pendidikan dasar di dalam UU sebagai berikut. (1) Adanya upaya menyamakan ku-
RI No. 2/1989 juga disebutkan secara eksplisit dalam rikulum madrasah dengan sekolah-sekolah umum
bagian penjelasan Pasal 13. Satuan pendidikan da- pada jenjang pendidikan dasar. Sekalipun berada di
sar adalah sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan bawah koordinasi Menteri Agama, sebagai bagian
tingkat pertama (SLTP) atau yang sederajat. Seba- dari program wajib belajar, MI dan MTs seharusnya
gaimana UU RI sebelumnya, UU RI No. 2/1989 juga tidak mempunyai kekhususan dalam kurikulumnya.
tidak menyebutkan secara eksplisit tentang kebera- (2) Dengan pemberlakuan PP RI No.19/2005 tentang
daan madrasah ibtidaiyah (MI) dan madrasah tsana- Standar Nasional Pendidikan, standardisasi pendidik-
wiyah (MTs) sebagai bagian dari penyelenggara pen- an dasar penyelenggara wajib belajar diselenggarakan
didikan dasar. Keberadaan lembaga ini juga tidak da- tidak dengan standar ganda, sekalipun pengelolaan
pat dikatakan termaktub dalam kalimat “atau pendi- lembaga di bawah dua departemen. (3) Sebagai akibat
dikan yang sederajat” karena yang dimaksud dengan otomatis dengan pembagian tiga jenis pendidikan
pendidikan sederajat dalam Pasal 14, sebagaimana dalam UU RI No.20/2003, yaitu pendidikan formal,
diuraikan dalam bagian penjelasan adalah pendidikan nonformal, dan informal, maka ketentuan tentang
luar sekolah. Akan tetapi, ketidaksempurnaan UU lembaga pendidikan yang dimaksud dalam masing-
RI ini ditutupi dengan diterbitkannya PP RI No. 28/ masing jenis tersebut harus dijabarkan secara eksplisit.
1990 tentang pendidikan dasar. Di dalam PP terse- Hattori (2007: 3-34) berpendapat adanya sebuah
but Pasal 4 ayat (3), disebutkan tentang keberadaan ambiguity dalam pendidikan keislaman di Indonesia.
satuan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Menurutnya, kurikulum 2004 memberikan peluang
Agama, yaitu madrasah ibtidaiyah dan madrasah kepada madrasah untuk semakin banyak mengadopsi
tsanawiyah. kurikulum nasional, dan sebaliknya sekolah diberi
kewenangan untuk menambah jam pelajaran yang
Tidak dicantumkannya secara eksplisit MI dan
terkait dengan keislaman. Secara sepintas terlihat
MTs sebagai satuan pendidikan dasar dalam UU RI
adanya kecenderungan untuk menyeragamkan ku-
No. 2/1989 adalah sebuah kekeliruan mengingat
rikulum pendidikan sekolah dan madrasah. Namun
87% penduduk Indonesia adalah muslim, dan kon-
MI masih menerapkan kurikulum ganda, yaitu ku-
tribusi yang diberikan oleh lembaga pendidikan ter-
rikulum nasional dan kurikulum keislaman dengan
sebut terhadap penuntasan wajib belajar sudah besar.
mengalokasikan waktu 6 hingga 10 jam per minggu
Oleh karena itu, berdasarkan dimensi yang diper-
untuk pelajaran agama. Dengan demikian, sekalipun
gunakan Thomas (1990), yaitu comprehensiveness
pada level hukum ada upaya untuk menyeragamkan
(kelengkapan), UU RI 2/1989 dapat dikatakan tidak pendidikan dasar, pada tataran grass root keinginan
lengkap. Dan penulis menambahkan bahwa dimen- masyarakat untuk mempertahankan ciri khas keis-
si reflectivity (ketercerminan) harus dimasukkan laman di madrasah atau sekolah Islam masih kuat.
sebagai bagian dari penilaian maturity sebuah pro- Cakupan satuan pendidikan di dalam UU RI
duk hukum. Reflectivity yang penulis maksudkan No. 20/2003 dapat dianggap lebih komprehensif di-
adalah bahwa UU Sistem Pendidikan Nasional ha- bandingkan dengan UU RI No. 2/1989. Hal ini akibat
rus mampu mencerminkan realitas bangsa, kehete- penyebutan kalimat “atau bentuk lain yang sederajat”
rogenan bangsa, dan karakter dasar yang menyusun dalam definisi pendidikan dasar secara tegas dise-
bangsa. Bahwa Islam adalah mayoritas agama yang butkan dalam Pasal 17 UU RI 20/2003. Kalimat ini
dianut di Indonesia harus tercermin di dalam UU dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap bentuk
RI sebagaimana karakter kebhinekaan juga harus satuan pendidikan lain selain yang disebutkan dalam
tercermin di dalam UU Sistem Pendidikan. perundangan tersebut. Namun, dalam bagian penje-
Konsep cakupan satuan pendidikan dalam UU lasan Pasal 17 UU RI 20/2003 disebutkan bahwa
RI No. 20/2003 lebih memenuhi dimensi reflectivity yang dimaksud dengan bentuk yang sederajat sekolah
tersebut. Dengan penyebutan secara eksplisit madra- dasar adalah program seperti Paket A, dan yang sede-
sah (MI, MTs, MA) sebagai bagian dari setiap jen- rajat sekolah lanjutan pertama adalah program seperti
jang pendidikan formal dalam UU RI No. 20/2003, Paket B. Dengan demikian, terdapat pembatasan insti-
maka dengan jelas dapat dipahami karakter pen- tusi yang dapat diakui sebagai satuan pendidikan dasar.
didikan Indonesia yang menganut sistem dualisme Fenomena menarik yang sedang berkembang di
dalam pengelolaan, yaitu pendidikan yang dikelola masyarakat adalah munculnya model Sekolah Rumah
oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan pen- dan Sekolah Alam sebagai bentuk oposisi masyara-
didikan yang dikelola oleh Kementerian Agama. kat terhadap sistem pendidikan formal di sekolah.
Ramli, Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional 7

Pemerintah mengakui lembaga ini sebagai salah sa- mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap
tu bentuk partisipasi masyarakat dalam pengentasan telah memenuhi kewajiban belajar; (3) kewajiban
wajib belajar dan buta aksara. Oleh karena itu, kebe- belajar itu diatur dalam Undang-Undang Republik
radaannya diakui sebagai lembaga pendidikan in- Indonesia yang tersendiri.”
formal (Kompas, 10 Januari 2007; Permanasari, 2007; Pada bagian penjelasan dikemukan bahwa alasan
Indosiar, 28 Maret 2007). Sekolah Rumah berkem- menetapkan usia 8 tahun sebagai usia wajib berseko-
bang pesat di Amerika pada tahun 1990-an. Tercatat lah adalah sebagai berikut. “Sekolah ini sudah barang
pada era itu, sekitar 300.000 anak berusia setara SD tentu sekolah rendah, yang pendidikannya dapat di-
dan SMP dididik di rumah. Pemerintah setempat pada anggap sebagai pendidikan minimum yang perlu bagi
awalnya berusaha untuk menghambat perkembangan tiap-tiap warga negara. Menurut ilmu pendidikan,
ini melalui ketentuan hukum (Lerner, 1995). Akan saat anak-anak dapat mulai menerima pendidikan dan
tetapi, keikutsertaan siswa dalam program home- pengajaran rendah tidak sama, dan dapat bergeser
schooling tidak dapat dibendung, dan beberapa nega- antara umur 5 tahun sampai 7 & 8 tahun; maka dite-
ra bagian akhirnya mengakuinya sebagai salah satu tapkan bahwa yang sudah berumur 6 tahun sudah
bentuk pemenuhan compulsory education (Lines, berhak dan boleh diterima di sekolah rendah, sedang
1995). batas maksimum anak-anak diharuskan bersekolah
Pendidikan informal diuraikan dalam Pasal 27 ditetapkan 8 tahun. Dengan demikian, yang diwajib-
UU RI No.20/2003 yang berbunyi, “ayat (1) ke- kan memenuhi kewajiban belajar ialah anak-anak
giatan pendidikan informal yang dilakukan oleh ke- yang berumur 8 tahun sampai dengan 14 tahun.”
luarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar Terdapat ketidaksinkronan dalam ketentuan
secara mandiri; ayat (2) hasil pendidikan sebagai- tersebut, yaitu masa Wajar minimal 6 tahun (sama
mana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan dengan sekolah rendah/sekolah rakyat), dan usia pe-
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta serta Wajar ditetapkan 8-14 tahun. Dengan usia ter-
didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pen- sebut siswa akan mengikuti pendidikan selama 7 tahun,
didikan; ayat (3) ketentuan mengenai pengakuan hasil atau jika siswa mulai bersekolah pada usia 8 tahun,
pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada pendidikan yang akan ditempuhnya apabila berhasil
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan peme- dengan lancar adalah minimal SMP kelas 1. Dapat
rintah.” diduga ketentuan tersebut terkait dengan persyarat-
Dengan diperbolehkannya siswa mengikuti ujian an bekerja untuk anak-anak yang diratifikasi dalam
nasional, sekolah rumah dan sekolah alam adalah UU RI Perburuhan tahun 1948 sebagaimana telah
setara dengan pendidikan kesetaraan dan oleh kare- diuraikan di atas dalam penjelasan Penpres RI No.
na itu lebih tepat jika disejajarkan dengan Program 19/1965.
Paket atau pendidikan nonformal, bukan disejajar- Pada tanggal 31 Desember 1964 Presiden Su-
kan dengan pendidikan informal. karno mengumumkan Proklamasi Indonesia Bebas
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpul- Buta Huruf (Suparjono, 1966:106), dan pada tang-
kan dua hal. Pertama, terlihat adanya kecenderungan gal 1 Januari 1965, Komando Kewajiban Belajar
untuk tidak memasukkan tujuan pendidikan seba- diterbitkan yang menegaskan bahwa selambat-
gai sebuah poin penting yang harus diuraikan di da- lambatnya sampai dengan akhir tahun 1968, semua
lam batang tubuh UU sebagaimana UU RI No. warganegara Indonesia yang berumur 8–14 tahun
20/2003. Kedua, cakupan waktu dan satuan pen- sudah bersekolah. Konsep Wajar meliputi masa be-
didikan dasar cenderung untuk diuraikan secara eks- lajar di sekolah dasar dan sekolah lanjutan dengan
plisit dalam batang tubuh UU, dan bukan pada ba- pelaksanaan secara bertahap, dan diselenggarakan
gian penjelasan atau peraturan tambahan. pula wajib belajar bagi orang-orang dewasa yang
bekerja di pabrik, perusahaan, dan lain-lain (Supar-
Analisis KonsepWajib Belajar jono, 1966: 107).
Memasuki Repelita, program Wajar diwajibkan
Wajib belajar (Wajar) dalam UU RI No. 4/1950 kepada anak berusia 7 tahun selama masa sekolah
mempunyai definisi yang sederhana sebagai kewa- dasar. Untuk mendorong suksesnya Wajar SD, di-
jiban bersekolah untuk anak berusia 8 tahun seba- galakkan program SD Inpres pada tahun 1973, dan
gaimana dijelaskan di dalam Pasal 10, yang ber- diselenggarakan model SD Pamong, SD Kecil, SD
bunyi “(1) semua anak-anak yang sudah berumur 6 Terpadu, dan Program Kejar untuk melayani keper-
tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun di- luan belajar warga terpencil dan suku terbelakang.
wajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun la- Hingga tahun 1983, angka partisipasi SD telah men-
manya; (2) belajar di sekolah agama yang telah capai 97%, dan pada tanggal 2 Mei 1984 Presiden
8 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 1-11

Soeharto menetapkan Wajib Belajar Sekolah Dasar. kat dan Pemerintah dapat memberi bantuan sesuai
Sekalipun APK SD telah mencapai angka yang re- dengan ketentuan yang berlaku.”
latif tinggi, kesadaran penduduk di daerah terpencil Cukup banyak siswa yang mendaftar di sekolah
untuk menyekolahkan anaknya masih rendah seba- swasta dengan alasan di antaranya, daya tampung
gaimana diungkapkan oleh Cowell & Holsinger sekolah negeri tidak memadai, sekolah negeri sulit
(1985) dalam penelitiannya tentang SD Kecil. Faktor diakses, dan/atau alasan mutu. Dengan alasan terse-
lain yang menghambat peningkatan angka partisi- but, siswa yang bersekolah di swasta tetap memiliki
pasi sekolah adalah pendapatan ekonomi keluarga hak yang sama dengan siswa di sekolah negeri untuk
(Pearse,1985). Faktor agama diduga terkait dengan memperoleh pembiayaan dari negara dalam masa
rendahnya angka bersekolah perempuan, tetapi wajib belajarnya. Oleh karena itu, pembiayaan Wajar
Pearse mengungkapkan bahwa di daerah Jawa tidak di lembaga swasta seharusnya tidak sepenuhnya di-
ditemukan korelasi positif antara faktor sekolah agama bebankan kepada sekolah yang bersangkutan, yang
dengan rendahnya angka partisipasi perempuan. pada akhirnya akan membebani warga negara pe-
Konsep Wajar tidak diuraikan dalam pasal khu- serta Wajar. Perlu rasio yang adil antara beban pe-
sus pada UU RI No. 2/1989. Sebagaimana diuraikan merintah dan beban warga negara. Menurut laporan
di atas, ketentuan tentang Wajar dicantumkan dalam Sunaryanto (2007), peserta didik menanggung 1,5
Pasal 14 tentang pendidikan dasar, yang menyata- juta biaya langsung dan tak langsung. Laporan hasil
kan bahwa warga negara yang berumur 6 (enam) survey Balitbang Depdiknas (2003) menyatakan
tahun berhak mengikuti pendidikan dasar, dan warga bahwa tanggungan peserta didik sebesar 64--88%.
negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban Mengacu pendapat tersebut tolok ukur keberhasilan
mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang program Wajar jangan hanya ditentukan dengan para-
sederajat, sampai tamat. Di dalam PP RI No. 28/1990 meter APK, tetapi juga parameter besar biaya yang
tentang pendidikan dasar juga tidak ada pasal yang ditanggung masyarakat.
menyinggung tentang Wajar. Ketentuan Wajar secara khusus diuraikan dalam
Dengan keberhasilan APK SD mencapai angka UU RI No.20/2003 Pasal 34 yang berbunyi “ayat
97% mendorong pemerintah untuk memperpanjang (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
masa Wajar. Berdasarkan Keputusan Bersama Men- mengikuti program wajib belajar; ayat (2) Pemerintah
dikbud dan Mendagri pada tahun 1990 dibentuk Tim dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya
Koordinasi Wajib Belajar Sekolah Lanjutan Pertama. wajib belajar minimal, pada jenjang pendidikan dasar
Mengingat APK SD di beberapa daerah masih ren- tanpa memungut biaya; ayat (3) Wajib belajar meru-
dah, dalam Keputusan Menko Kesra No.1 Tahun pakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan
1991 ditetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah
Dasar 9 tahun, yaitu setingkat SD dan SMP (Tilaar, daerah, dan masyarakat; ayat (4) Ketentuan menge-
1995:274). Program ini ditetapkan sebagai gerakan nai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat
nasional dalam Inpres No. 1 Tahun 1994 Tentang (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Pada peraturan pemerintah.”
jenjang SMP juga dibentuk SMP Terbuka bagi Peraturan pemerintah terkait dengan pasal ter-
warga negara yang tinggal di daerah terpencil, dan sebut adalah PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib
dianggap cukup berhasil dalam mendorong angka Belajar, yang merupakan produk hukum yang paling
partisipasi SMP (Sadiman dan Rahardjo, 1997). rinci dan tegas dalam mengatur ketentuan pelaksa-
Inpres RI No.1/1994 merupakan satu-satunya naan Wajar di Indonesia selama ini. Argumentasi ten-
produk hukum yang menjelaskan ketentuan Wajar tang keunggulan PP ini sebagai berikut. Pertama,
secara lebih rinci pasca-UU RI No.2/1989. Salah tidak seperti perundangan sebelumnya, Wajar tidak
satu butir yang perlu dicermati dalam PP ini adalah didefinisikan sebagai pendidikan dalam jangka waktu
lampiran ayat (9b) dan (9c) tentang pembiayaan tertentu (6 tahun atau 9 tahun), tetapi diartikan se-
Wajar yang berbunyi “(b) Pembiayaan pelaksanaan bagai pendidikan minimal yang harus ditempuh rak-
wajib belajar pendidikan dasar pada satuan pen- yat. Artinya, ada kemungkinan Wajar lebih dari 9
didikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah me- tahun, sebagaimana ketentuan pasal 9 ayat 3, yaitu
rupakan tanggung jawab Pemerintah, sehingga pe- pemerintah akan menanggung biaya pendidikan
serta didik tidak dikenakan kewajiban untuk ikut warga yang berusia di atas 15 tahun dan belum me-
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. nyelesaikan pendidikan minimalnya.
(c) Pembiayaan pelaksanaan wajib belajar pendidikan Kedua, Wajar adalah kewajiban yang apabila
dasar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dilanggar akan mendapatkan sanksi (Pasal 5). Ke-
oleh masyarakat menjadi tanggung jawab masyara- tentuan ini menyebabkan wajib belajar bukan lagi
Ramli, Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional 9

Universal Basic Education, tetapi Compulsory Edu- belum ada ketentuan yang menjelaskan pasal ini,
cation. Berdasarkan perundangan sebelumnya, Wajar maka ada kemungkinan seorang peserta didik me-
di Indonesia tidak dapat disamakan dengan program nyelesaikan Wajar dalam waktu 10, 11 atau 12 tahun,
Wajar di negara lain, seperti Jepang yang menggra- apabila sistem pendidikan Indonesia tidak memiliki
tiskan biaya pendidikan untuk SD dan SMP, mem- aturan mengeluarkan siswa yang secara berulang
berlakukan sistem kenaikan kelas secara otomatis, tidak dapat naik kelas dan/ atau lulus.
dan memberikan sanksi kepada orang tua yang tidak Berdasarkan hal di atas, ada dua konsep Wajar
mengirimkan anaknya ke sekolah. yang dapat diajukan. Pertama, Wajar sebagai program
Ketiga, untuk memudahkan akses Wajar bebe- pendidikan dasar selama 9 tahun, terhitung dari kelas
rapa keluhan masyarakat tentang pungutan liar di 1 SD sampai dengan kelas 3 SMP tanpa memper-
lembaga penyelenggara wajib belajar, diskriminasi dulikan kelulusan. Kedua, Wajar sebagai kelulusan
terhadap pendaftar wajib belajar, dan persyaratan pendidikan dasar (memperoleh sertifikat belajar).
calistung bagi pendaftar atau keberpihakan kepada Dalam konsep pertama peserta didik tidak perlu
lulusan TK/TPA diantisipasi dalam ketentuan eks- mengulang masa belajarnya setahun apabila tidak
plisit Pasal 5 PP RI No. 47/2008. Besarnya biaya naik kelas dan/atau tidak lulus, tetapi cukup mengi-
masuk dan biaya sekolah adalah dampak dari pem- kuti bimbingan dan ujian sekali lagi (ujian tahap
berian otonomi kepada sekolah. Akan tetapi, alih- kedua). Dengan pengertian ini pemerintah akan ter-
alih mendorong semua warga negara untuk mengi- kurangi tanggungan pembiayaan Wajar, yaitu hanya
kuti program Wajar, otonomi sekolah dalam hal ini 9 tahun per peserta didik. Konsep kedua bermakna
justru menghambat rakyat untuk menyempurnakan seorang peserta didik dikatakan menyelesaikan pro-
kewajiban ini. Oleh karena itu, kasus ini seharusnya gram Wajar setelah dia berhasil lulus SMP. Apa-
menjadi salah satu poin yang perlu ditegaskan dengan bila dia tidak lulus, maka pemerintah berkewajiban
peraturan yang membatasi biaya masuk sekolah di membiayainya sampai dia lulus dalam ujian nasional
daerah (Saifullah, 1998). SMP.
Ketentuan sanksi yang ditetapkan dalam PP Kelima, wewenang juga diberikan kepada Pem-
RI No. 47/2008 Pasal 7 ayat (6), yaitu kewenangan da untuk menyelenggarakan Wajar di tingkat pen-
pemerintah daerah untuk memberikan sanksi admi- didikan menengah (Pasal 7 ayat 4 PP 47/2008). Ke-
nistratif kepada orang tua yang tidak menyekolah- tentuan ini untuk mendongkrak angka partisipasi
kan anaknya yang berusia 7–15 tahun, tidak dapat sekolah menengah yang masih rendah. Pada kenya-
dilaksanakan dengan tegas dengan adanya fakta pri- taannya banyak daerah yang secara finansial belum
vatisasi pendidikan dasar. Penerapan pasal ini juga dapat melaksanakan program ini, dan kebijakan ini
cukup sulit dengan kondisi masyarakat di bawah juga dalam beberapa kasus menjadi materi politisi
garis kemiskinan sebesar 18% (data tahun 2006). berkampanye.
Namun, sanksi tersebut ditujukan kepada warga ne- Mewajibkan pendidikan menengah adalah se-
gara yang bukan karena alasan ekonomi, dengan buah kebijakan yang tidak populer, karena alasan
sengaja tidak mengirimkan anaknya ke sekolah. Pe- berikut. (1) Pendidikan menengah meliputi pendi-
merintah berhak untuk memaksa warga negara untuk dikan menengah umum (SMA/MA) dan pendidikan
mengirimkan anaknya ke sekolah apabila program menengah kejuruan (SMK/MK). Mewajibkan pen-
ini telah dibuat dengan biaya yang dapat dijangkau didikan menengah artinya mengharuskan pemerin-
oleh masyarakat. tah untuk membiayai pendidikan di kedua jenis se-
Keempat, pemerintah juga menjamin bahwa kolah yang berbeda dari segi total biaya dan lebih
warga negara yang berusia di atas 15 tahun dan belum mahal daripada biaya pendidikan dasar. (2) Kuriku-
menyelesaikan program wajib belajarnya akan di- lum yang berbeda antara pendidikan menengah
biayai oleh pemerintah sampai lulus (Pasal 9 ayat 3). umum dan pendidikan menengah kejuruan tidak
Ketentuan ini tidak dipaparkan dalam perundangan dapat diwajibkan karena akan menyebabkan kewa-
sebelumnya. Adanya jaminan pembiayaan kepada jiban belajar menjadi diskriminatif. (3) Masa bela-
peserta didik yang belum menyelesaikan program jar SMA dan SMK yang berbeda, yaitu diberinya
Wajar, menunjukkan bahwa Wajar dapat didefini- peluang kepada SMK untuk memperpanjang pen-
sikan bukan lagi program 9 tahun, tetapi kemung- didikan menjadi lebih 3 tahun (UU RI No.29/1990,
kinan lebih dari 9 tahun. Sebagai contoh, siswa yang Pasal 5 bagian penjelasan). (4) Ketentuan UU RI
masuk SD pada usia 7 tahun dan kemudian lulus Perburuhan yang mengizinkan anak berusia 16 tahun
SD dan melanjutkan ke SMP, tetapi pada akhirnya untuk bekerja menegaskan tentang hak warga ne-
tidak lulus SMP, dan harus mengulang satu tahun, gara berusia 16 tahun untuk memilih bekerja dari-
berarti masa pendidikannya menjadi 10 tahun. Karena pada bersekolah. Oleh karena itu, secara azasi, pen-
10 Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 16, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 1-11

didikan menengah adalah pendidikan pilihan dan pendidikan persiapan untuk memasuki pendidikan
bukan pendidikan yang dapat diwajibkan karena menengah.
bertentangan dengan ketentuan hukum yang lain. Dari segi fleksibilitasnya dapat disimpulkan
Ide untuk mewajibkan pendidikan menengah, bahwa UU RI No. 4/1950 menguraikan secara ek-
terutama SMA juga pernah mencuat di Jepang pada splisit tujuan pendidikan dasar, sedangkan PP RI
era 80-an sebagaimana dikemukakan oleh Okuda & No.19/1965 dan UU RI No.2/1989 cenderung tidak
Hishimura (1983). Keduanya berargumen bahwa memasukkan tujuan dalam tubuh UU RI, tetapi me-
Wajar pendidikan menengah tidak logis dilaksana- masukkan uraian tentang cakupan pendidikan dasar.
kan karena pada usia tersebut, siswa harus diberi ke- Transisi nomenklatur terjadi karena adanya penye-
sempatan untuk memilih beragam ilmu dan keahlian suaian dengan sistem persekolahan Barat, dan karena
yang sesuai dengan minatnya. Sekalipun pada ta- adanya pertimbangan bahasa serta sistem pendidikan
hun 80-an Angka Partisipasi SMA di Jepang telah yang bersifat populer dan tidak diskriminatif.
mencapai 94%, namun masih banyak siswa yang Wajib belajar berkembang dari pengertian uni-
berkeinginan untuk memilih course yang ditawar- versal basic education menjadi compulsory educa-
kan sekolah kejuruan. Masih menjadi pertanyaan tion. Perkembangan ini dipengaruhi oleh kesuksesan
apakah para siswa akan senang jika dipaksa belajar pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar. Dengan
di SMA. Oleh karena itu, wacana tentang Wajar perubahan konsep tersebut, secara otomatis terjadi
tingkat pendidikan menengah tidak sekedar tentang perubahan dalam ketentuan pelaksanaan Wajar.
menggratiskan biaya pendidikan, tetapi harus mem- Perpanjangan Wajar hingga tingkat pendidikan mene-
perhatikan unsur demokrasi dan kebebasan indivi- ngah perlu dikaji ulang mengingat keragaman jenis
du dalam menentukan masa depannya. pendidikan menengah, dan beban biaya yang harus
ditanggung pemerintah.
Peraturan Pemerintah tentang pendidikan dasar
KESIMPULAN DAN SARAN
belum mengalami revisi semenjak PP RI No.28/1990,
Transisi konsep pendidikan dasar di Indonesia sementara konsep pendidikan dasar dan wajib belajar
dalam empat produk hukum Sistem Pendidikan telah mengalami perubahan cakupan, jenjang, jenis
Nasional terjadi karena adanya upaya untuk menye- dan tujuan dalam UU RI No.20/2003 dan PP RI No.
suaikan dengan perubahan sosial masyarakat dan 47/2008. Oleh karena itu, pembuatan produk hu-
perkembangan teori pendidikan. Kondisi ekonomi kum yang lebih komprehensif, actual, dan mampu
masyarakat dan situasi kebutuhan tenaga kerja untuk menangkap aspirasi masyarakat perlu dilakukan.
membangun negara turut mendukung transisi konsep Studi ini belum menganalisis dengan detil tran-
pendidikan dasar, dari pendidikan yang berorientasi sisi kurikulum pendidikan dasar, dan dengan diber-
pada pengembangan jiwa, raga, dan otak menjadi lakukannya standardisasi pendidikan dan sistem akre-
pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja, dan ditasi sekolah dan madrasah studi lanjutan dianggap
kemudian selanjutnya berkembang menjadi pen- perlu untuk dilakukan.
didikan untuk membentuk jiwa pribadi, anggota ma-
syarakat, warga negara dan warga dunia, dan sebagai

DAFTAR RUJUKAN

Aman, S. 1980. Perkembangan Organisasi Pengurusan Hattori, M. 2007. Aimaika suru kanka, madorasa no sei-
Sekolah di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa. doka to pusanntoren no tayouka. Dalam S. Ni-
Court, J.F. 1946. Some Proposals for Postwar Education shino & M. Hattori (Eds), Henbou Suru Indone-
in Indonesia. The Far Eastern Quarterly, (5) 2: sia/isuramu Kyouiku (hlm.3-34). Tokyo: Toyo
152-161, (Online), (http://links.jstor.org, diakses Daigaku Ajia Bunka Kenkyuu/Ajia Chiiki
20 Februari 2008). Kenkyuu Senta.
Cowell, R.N. & Holsinger, D.B. 1985. Indonesia's Small Indosiar News. 28 Maret, 2007. Homeschooling, Sekolah
Schools Project: A Fresh Look at a Persistent Rumah atau Rumah Sekolah, (Online), (http://
Problem. International Review of Education, 31 www.indosiar.com/news/anda-perlu-tahu/60082/
(2): 175-187, (Online), (http://links.jstor.org, di- homeschooling-sekolah-rumah-atau-rumah-seko-
akses 13 Maret 2008). lah, diakses 12 Desember 2008).
Djojonegoro, W. 1996. 50 Tahun Pendidikan Indonesia. Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1994 tentang Wajib
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Belajar Pendidikan Dasar. Jaringan Dokumentasi
Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud. dan Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan
Ramli, Transisi Konsep Pendidikan Dasar dan Wajib Belajar: Analisis Terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional 11

Republik Indonesia, (Online), (http://www.jdih. Republik Indonesia, (Online), (http://www.jdih.


bpk. go.id/index.php, diakses 25 September 2008). bpk.go.id/index.php, diakses 25 September 2008).
Kompas. 10 Januari, 2007. Sekolah-Rumah Perlu Peraturan Pemerintah RI No.47 Tahun 2008 tentang
Pengakuan Negara, (Online), (http://www2. Wajib Belajar. Jaringan Dokumentasi dan Infor-
kompas. com/kompas- masi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan Repu-
cetak/0701/10/humaniora/3225927. htm, diakses blik Indonesia, (Online), (http://www.jdih.bpk.
12 Desember 2008). go.id/index.php, diakses 25 September 2008).
Lerner, J.S. 1995. Protecting Home Schooling through Permanasari, I. 5 Mei, 2007. Sekolah Rumah, Pilihan untuk
the Casey Undue Burden Standard. The Univer- Kembangkan Potensi Anak. Kompas, (Online),
sity of Chicago Law Review, 62 (1): 363-392, (http://www2.kompas.com/kompas-cetak, diakses
(Online), (http://www.jstor.org, diakses 25 10 Desember 2008).
Desember 2008). Poerbakawatja, S. 1974. Suatu Pemikiran Mengenai
Lines, P.M. 1995. Home Schooling. ERIC Digest. ERIC Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
Identifier: ED381849, (Online), (http://www.eric- Sadiman, A.S. & Rahardjo, R. 1997. Contribution of
digests.org/1996-1/home.htm, diakses 18 Desem- SMP Terbuka toward Lifelong Learning in Indo-
ber 2008). nesia. Report on Lifelong Learning Policies, Prac-
Mestoko, S. 1985. Pendidikan Indonesia dari Jaman ke tices and Programs. Reproduced by EDRS.
Jaman. Jakarta: Balai Pustaka. Saifullah, A. 1998. Permasalahan Pendidikan Berkenaan
Mooney, F.E. 1962. Some Highlights of the Develop- dengan Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar.
ment of Secondary & Teacher Education in In- Jurnal Ilmu Pendidikan 5 (2): 67-81.
donesia: 1951-1961. Peabody Journal of Educa- Sunaryanto, A. 8 Maret, 2007. Wajib Belajar Tak
tion, 40 (3): 137-141, (Online), (http://links.jstor. Sekedar Angka Partisipasi. Tempo Interaktif,
org., diakses 26 Februari 2008). (Online),
Mooney, F.E. 1963. United States-Indonesian Co-opera- (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional
tion in Higher Education: 1950-1961. The Jour- /2007/03/08/ brk,20070308- 95047,id.html, diak-
nal of Higher Education 34 (2): 94-96, (Online), ses 20 Desember 2008)
(http://links.jstor.org, diakses 26 Februari 2008). Suparjono, E. 1966. Sistem Pendidikan Nasional Pantja-
Nasution, S. 1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: sila. Djakarta: Penerbit Bharata.
Bumi Aksara. Thomas, R.M. 1966. Educational Remnants of Military
Nishimura, S. 1985. Indonesia no dokuritsu sennsouki ni Occupation: The Japanese in Indonesia. Asian
okeru kyouikuseisaku no seiritsukatei. Hikaku Survey, 6 (11): 630-642, (Online), (http://www.
Kyouiku Bunka KenkyUU RIshisetsu Kiyou, 1985 jstor.org, diakses 23 April 2008).
(36): 63-77. Thomas, R.M. 1990. Education Law as a Mirror of Ma-
Okuda, S. & Hishimura, Y. 1983. The Development of turity: The Indonesian Case. International Re-
Secondary Education in Japan after World War view of Education, 36 (1): 7-19, (Online), (http://
II. Higher Education, Planning and Policy (12) www.jstor.org, diakses 23 April 2008).
5: 567-578, (Online), (http://www.jstor.org, diak- Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan
ses 13 April 2008). Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan.
Pearse, R. 1985. Factors Related to Inequality in Partici- Jakarta: Grasindo.
pation in Schooling in Java. International Educa- Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-
tional Development, l5 (1): 1l-26. dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah.
Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Dalam H.A.R. Tilaar. 1995. 50 Tahun Pembangun-
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pan- an Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Ana-
casila. Dalam E. Suparjono. 1966. Sistem Pendi- lisis Kebijakan (hlm.656-677). Jakarta: Grasindo.
dikan Nasional Pantjasila (hlm.22-33). Djakarta: Undang-Undang RI No.2 Tahun 1989 tentang Sistem
Penerbit Bharata. Pendidikan Nasional. Jaringan Dokumentasi dan
Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1990 tentang Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan
Pendidikan Dasar. Jaringan Dokumentasi dan In- Republik Indonesia, (Online), (http://www.jdih.
formasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan Re- bpk.go.id/index.php, diakses 25 September 2008).
publik Indonesia, (Online), (http://www.jdih.bpk. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
go.id/index.php, diakses 25 September 2008). Pendidikan Nasional. Jaringan Dokumentasi dan
Peraturan Pemerintah RI No. 29 Tahun 1990 tentang Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan
Pendidikan Menengah. Jaringan Dokumentasi dan Republik Indonesia, (Online), (http://www.jdih.
Informasi Hukum Badan Pemeriksa Keuangan bpk.go.id/index.php, diakses 25 September 2008).

Anda mungkin juga menyukai