Anda di halaman 1dari 44

Berakhirnya rezim pemerintahan otoritarian Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri

mantan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari gerakan reformasi yang
dimotori oleh mahasiswa telah membuka cakrawala baru bagi penyelesaian persoalan Timor
Timur. Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh
rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan
momentum reformasi itu, persoalan status Timor Timur yang menarik perhatian PBB dan
masyarakat internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Penyelesaian masalah Timor Timur
ini dilanjutkan oleh B.J Habibie dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian status khusus
dengan otonomi luas dalam sebuah rapat kabinet pada tanggal 9 Juni 1998.
1. Tawaran ( Opsi) Penyelesaian Persoalan Timor Timur
Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi pembicaraan banyak kalangan bagi penyelesaian
persoalan Timor Timur. Setelah insiden Santa Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah
berusaha menyerukan otonomi bagi Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat
dilakukan[1]. Seruan tersebut disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang
pernah disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat reaksi
keras dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Uskup Belo mengungkapkan
pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan yang mengalami
ancaman sehingga ia meminta bantuan pengamanan dari internasional. Hal itu dilakukannya
dengan alasan di Timor Timur sudah tidak ada tempat untuk melakukan pengaduan karena ABRI
yang dianggap sebagai pelindung telah melakukan hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan
kekerasan[2]. Akan tetapi semua usulan mengenai pemberian otonomi luas di Timor Timur tidak
mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia pada saat itu karena posisi dan
sikap pemerintah sangat jelas yang menganggap bahwa integrasi Timor Timur merupakan hal yang
telah final dan tidak bisa ditawar[3].
Pemberian otonomi luas menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu bentuk
penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, dan dapat diterima secara internasional. Cara ini
menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu cara penyelesaian yang paling realistis, paling
mungkin terlaksana, dan dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu kompromi
yang adil antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan[4]. Tawaran dari pemerintah berupa
Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala
Daerahnya sendiri, menentukan kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya sendiri.
Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden
B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun tidak mendapat
pengakuan dari PBB.
Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan
otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terlihat
pada saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menyampaikan usulan Indonesia
tentang pemberian status khusus ini kepada Sekjen PBB di New York pada tanggal 18 Juli 1998.
Selain itu juga diperkuat dengan berlangsungnya kembali Perundingan“Senior Official Meeting”
(SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998.
Dari hasil dialog tersebut ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan lebih lanjut
usulan baru dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi luas sebagai usaha
penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi masing-masing pihak. Pada saat yang
sama Sekretaris jendral PBB juga sedang berusaha untuk meningkatkan konsultasi dengan berbagai
tokoh masyarakat Timor Timur yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan
dengan tujuan untuk menyampaikan perkembangan perundingan yang telah dilakukan kepada
mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka sebagai bahan
pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah persetujuan tentang rancangan otonomi
luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks) tersebut.
Tanggapan positip mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh banyak tokoh dan
kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain terlihat dalam diskusi yang diprakarsai
oleh East Timor Study Group (ETSG)[5]. Mereka melihat konsep otonomi luas tersebut di dalam
kerangka suatu masa transisi yang cukup lama sebelum suatu penyelesaian menyeluruh melalui
referendum diadakan. Otonomi luas tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah
Republik Indonesia, bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan
tersebut.
Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain, wewenang
Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan kecuali aspek
pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang pemberian otonomi luas terhadap
masyarakat Timor Timur ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas
daripada kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur
kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur memiliki
kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih bersifat
khusus[6]. Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami perubahan
karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan pembicaraan
berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie mengajukan Opsi
II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor Timur menolak Opsi
I tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan
kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan kemungkinan
melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat,
baik-baik, dan damai, serta secara konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden B.J.Habibie pada saat berlangsung
Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri Bidang Politik dan Keamanan (Rakorpolkam) pada tanggal
25 Januari 1999. Rapat tersebut dilakukan untuk membahas surat yang dikirim oleh Perdana
Menteri Australia-John Howard kepada Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai perubahan
sikap Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam suratnya, PM John Howard
mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum) setelah penerapan status khusus dengan
otonomi luas di Timor Timur untuk jangka waktu tertentu. Perubahan sikap Australia itu
berpengaruh bagi Pemerintah Republik Indonesia karena Australia sebelumnya menjadi salah satu
dari beberapa negara yang mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur.
Usulan Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27 Januari 1999 dan
disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna terbatas Bidang Politik dan
Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut Presiden B.J.Habibie akan berdampak positip
bagi Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia akan terbebas dari beban nasional untuk
membiayai pembangunan di Timor Timur, maupun tekanan-tekanan internasional dan kritik dari
negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut diambil dengan
pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam negeri pada saat. Kebijakan
Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik
sebagai pemerintahan transisi yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk
membangun kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang
sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari oleh sikap
Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia(HAM) dan memberikan kebebasan di
atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia[7].

Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur menurut beberapa


pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu
dilandasi alasan bahwa keadaan situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa
sulit terbukti dengan: pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara Indonesia
sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga menimbulkan krisis
multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Berakhirnya
kekuasaan pemimpin Orde Baru atas desakan para mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui
gerakan reformasi secara berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam
negeri terhadap pemerintah sehingga menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap pemerintah”.
Keadaan pemerintah yang sedang mengalami banyak persoalan dimanfaatkan oleh pihak-pihak
sparatis Timor Timur yang menuntut diadakannya referendum sebagai sarana penentuan nasib
rakyat Timor Timur.
Tuntutan tersebut mendapat banyak simpati dari kelompok-kelompok masyarakat lain di
tanah air dan dunia internasional. Dari dalam negeri dukungan diberikan oleh kelompok pembela
HAM dan demokrasi, seperti LSM dan Komnas HAM. Sedangkan dari internasional adalah Amerika
dan Australia yang selalu mengontrol dan melakukan provokasi kepada Pemerintah Indonesia
untuk segera menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua negara itu bersama-sama dengan PBB
selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan sikap kedua negara ini
dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9 Juni 1998 pada
saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk
memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”. Pemberian status ini dianggap sebagai formula
dan usaha untuk mencapai penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada
tanggal 27 Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang
Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang berhubungan
dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh
mayoritas masyarakat Timor Timur maka jalan yang akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah
Republik Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru terpilih
agar Timor Timur dapat berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik-baik,
damai, terhormat, tertib, dan konstitusional[8].
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan tidak diterima secara menyeluruh di
Indonesia. Salah satu pihak yang sangat menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI).
Mereka mengkhawatirkan bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan
bagi persatuan dan keamanan di wilayah itu[9]. Ancaman terhadap instabilitas keamanan di Timor
Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi
disana. Meningkatnya intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua
kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan intimidasi. Kelompok
pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan pemberian Opsi II semakin
menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok pro-integrasi dan Pemerintah Republik
Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat
pendatang, baik para pedagang maupun aparat pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di
wilayah itu. Selain itu kemunculan berbagai kelompok milisi pro integrasi yang tidak dapat dicegah
menjadi faktor pendukung bagi meningkatnya intensitas konflik di wilayah yang pernah menjadi
propinsi ke-27 Indonesia[10].
Keadaan di Timor Timur, khususnya Dili semakin kacau setelah pemimpin Gerakan
Perlawanan Rakyat Timor Timur (CNRT/Concelho Nacional Resistencia Timorense)- Xanana
Gusmao pada tanggal 5 April 1999 mengumumkan perang terhadap Pemerintah RI dan TNI.
Pertikaian dan konflik, serta tindak kekerasan yang sering terjadi antara kelompok pro-integrasi
dan pro-kemerdekaan menyebabkan Pemerintah RI khususnya TNI/POLRI melakukan usaha-usaha
rekonsiliasi untuk mendamaikan kedua pihak tersebut. Usaha tersebut juga dilakukan untuk
menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Timor Timur. Usaha yang telah dilakukan oleh
TNI/POLRI antara lain adalah dengan memfasilitasi suatu perjanjian damai yang diselenggarakan
di Diosis Keuskupan Dili pada tanggal 21 April 1999. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh
Menhankam/Panglima TNI Jendral Wiranto, Komnas HAM, dan Gereja Katholik di Timor Timur dan
menghasilkan kesepakatan tentang penghentian permusuhan dan penciptaan perdamaian[11].
Menindaklanjuti perjanjian damai tersebut maka TNI/POLRI dan Komnas HAM kemudian
membentuk Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS). Unsur-unsur keanggotaan KPS terdiri dari
perwakilan Fretilin, kelompok pro-integrasi, TNI/POLRI, Komnas HAM, dan perwakilan Pemerintah
RI serta wakil dari UNAMET[12]. Tugas dari KPS antaralain adalah (1) memonitor terjadinya
pelanggaran-pelanggaran serta dampak perjanjian damai; (2) melakukan koordinasi dengan semua
pihak untuk menghentikan segala bentuk permusuhan, intimidasi, dan kekerasan; (3) menerima
pengaduan masyarakat tentang pelanggaran yang terjadi di Timor Timur, baik yang dilakukan oleh
aparat maupun pihak-pihak yang bertikai; (4) KPS bersama UNAMET akan menyusun suatu aturan
main (code of conduct) untuk mengatur perilaku pada masa sebelum, selama, dan setelah
konsultasi yang harus ditaati oleh semua pihak[13]. Pada tanggal 18 Juni 1999 TNI/POLRI berhasil
memfasilitasi kesepakatan antaraConcelho Nacional Resistencia Timorense (CNRT) dan Falintil
dengan pihak pro-integrasi untuk menyambut Jajak Pendapat di Timor Timur. TNI/POLRI juga
berhasil menjadi fasilitator penyelenggaraan Pertemuan Dare II di Jakarta pada tanggal 25-30 Juni
1999[14] yang membahas empat masalah pokok, yaitu rekonsiliasi, Jajak Pendapat, keamanan,
dan masalah politik.
Hasil dari usaha-usaha tersebut tidak sesuai dengan harapan karena kedua pihak yang
bertikai sering melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama. Hal itu disebabkan oleh
kuatnya rasa dendam diantara mereka. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kekacauan di
Timor Timur. Ketegangan diantara kedua pihak semakin meningkat setelah dilakukan Jajak
Pendapat yang diselenggarakan oleh UNAMET. Hasil jajak Pendapat yang diumumkan oleh PBB
pada tanggal 4 September 1999 menunjukkan bahwa sebesar 78,5% atau sekitar 344.580 orang
menolak tawaran status khusus dengan otonomi luas, sedangkan sebanyak 21,5% atau sekitar
94.388 orang menerima Opsi I. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur memilih
untuk merdeka berpisah dari NKRI[15].

Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang
didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau keadaan Timor
Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap netral. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri
Jaime Gama ( Portugal) dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh
perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan[16]. Kesepakatan ini diperoleh dalam

sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di New York (AS) yang menghasilkan
“Persetujuan New York”. Persetujuan ini menghasilkan tiga hal yang disepakati dan
ditandatangani, serta satu lampiran yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi
Timor Timur. Ketiga hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal
mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara Jajak Pendapat
melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta adil; (3) persetujuan tentang
pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan
Keamanan PBB No.1236 tahun 1999 dalam pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7
Mei 1999[17].
2. Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur yang
muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie. Sesuai dengan Perjanjian New York, Jajak
Pendapat diselenggarakan oleh PBB. Pelaksanaan Jajak Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu
(1) Tahap Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni 1999; (2) Tahap
Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999; (3) Tahap Persiapan dan Registrasi,
tanggal 13 Juni-17 Juli 1999; (4) Tahap Pengajuan keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat,
tanggal 18-23 Juli 1999; (5) Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus
1999; (6) Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999; (7) Tahap Pemungutan suara, tanggal
8 Agustus 1999. Dalam pelaksanaan ada beberapa tahapan yang dilakukan tidak sesuai dengan
rencana sehingga mempengaruhi seluruh proses Jajak Pendapat. Tahap-tahap yang mengalami
perubahan waktu pelaksanaan yaitu Tahap Persiapan dan Registrasi dilakukan tanggal 16 Juli 1999
karena ada kesulitan dalam penyelenggaraan peralatan, logistik, dan keterbatasan personil.
Registrasi dilakukan tanggal 6 Agustus 1999 untuk wilayah Timor Timur dan 8 Agustus 1999 untuk
wilayah diluar Timor Timur. Masa Kampanye juga mengalami kemunduran sehingga dimulai tanggal
11-27 Agustus 1999. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Kemunduran
penyelenggaraan Jajak Pendapat selain karena perubahan waktu pelaksanaan tahapan
sebelumnya, juga karena alasan keamanan dan logistik[18]. Perubahan waktu penyelenggaraan
Jajak Pendapat disahkan dengan resolusi PBB No.1262 tanggal 27 Agustus 1999[19].
Jajak Pendapat dilakukan secara serentak di lebih dari 700 Tempat
Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur pada tanggal 30 agustus 1999 dan
diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur yang berada di wilayah ini. Disamping
itu juga diikuti oleh sekitar 30.000 orang Timor Timur yang berada di daerah lain
(Denpasar, Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta) serta di Luar Negeri (AS,
Australia, Macau, Mozambik, Portugal) yang telah memenuhi syarat menjadi
pemilih[20]. Syarat bagi orang-orang yang berhak mengikuti jajak pendapat adalah (1)
telah berumur 17 tahun; (2) lahir di Timor Timur; (3) lahir diluar Timor Timur, tetapi
memiliki sedikitnya satu orang tua yang lahir di Timor Timur; (4) menikah dengan
seseorang yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Sementara itu hasil jajak pendapat
diumumkan oleh PBB tanggal 4 September 1999.
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580
orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas
yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran
tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia melalui MPR
hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti dengan mengambil langkah-
langkah konstitusional untuk melepaskan Timor Timur dari NKRI dan mengembalikan
status wilayah itu seperti sebelum berintegrasi . Hasil tersebut pada satu sisi sangat
menggembirakan kelompok pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain
mengecewakan kelompok pro-integrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah
berjuang mempertahankan integrasi Timor Timur[21].
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat, keadaan di Dili ( Ibu
kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan kecewa dengan hasil jajak
pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan intimidasi terhadap para pendukung
anti-integrasi. Pertikaian dan konflik antara kedua pihak semakin meningkat setelah
masing-masing pihak menyatakan siap untuk perang. Pada tanggal 4 September
terjadi pertikaian antara kedua kelompok di Pelabuhan Dili. Kelompok anti-integrasi
yang terdesak bersembunyi dirumah Uskup Belo sehingga menyebabkan massa dari
kelompok pro-integrasi marah dan membakar salah satu bangunan di Keuskupan.
Peristiwa kekerasan juga terjadi pada tanggal 5 September 1999 di Keuskupan Diosis
Dili dan mengakibatkan banyak orang meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor
CNRT di Mascaronhos, Dili Barat. Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran
terhadap kantor CNRT oleh massa kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa
tersebut menyebabkan keadaan di Timor Timur semakin tidak aman sehingga
mengakibatkan banyak orang mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari
mereka yang mencari perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat
(NTT) yang berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan Pemerintah Republik
Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan dari masyarakat
internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan amanat sesuai
Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia, Inggris, Jepang,
Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak Pemerintah Republik
Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman dan tertib di Timor
Timur[22]. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia
dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila
Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur. Selain itu
DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum kepada
Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila dalam waktu 48
jam aparat keamanan (TNI/POLRI) tidak berhasil mengembalikan keamanan dan
ketertiban Timor Timur maka Pemerintah Republik Indonesia harus siap untuk
menerima bantuan internasional[23].
Banyaknya tekanan dari masyarakat internasional menyebabkan Pemerintah
Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan darurat di Timor
Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959 tentang Keadaan Darurat maka
mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan
Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan keadaan Darurat Militer (PDM) memberi
landasan hukum dan wewenang bagi TNI/POLRI untuk bertindak lebih tegas dalam
menindak kerusuhan, kebrutalan, dan pelanggaran hukum di wilayah itu supaya
ketertiban dapat pulih[24]. Keputusan ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun
1999 dan Lembaran Negara No.152 serta mendapat persetujuan dari Portugal dan
Sekjen PBB. Oleh karena hasil yang dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan
maka pada tanggal 24 September kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini
menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan
multinasional penjaga perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan
perdamaian dan keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, maka
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999 yang
disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB[25]. Berdasar Bab VII Piagam PBB,
maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan multinasional(Multinational
Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force East Timor). Badan ini bertugas
untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur, melindungi dan
mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya, dan memfasilitasi operasi bantuan
keamanan PBB serta harus bersikap netral[26]. Badan ini secara resmi bertugas untuk
mengambil alih tanggung jawab keamanan di Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada
tanggal 20 September 1999 pasukan INTERFET yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter
Cosgrove tiba di Timor Timur untuk melakukan Operasi Pemulihan (Operation
Stabilise). Seperti halnya dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap tidak netral
dan berpihak pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di Timor Timur semakin
baik dan ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan
INTERFET ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.

2. Liputan6.com, Jakarta: Lelaki brewok dan berambut gondrong itu tampak bersemangat
mengibarkan bendera Merah Putih yang sesekali diciumnya. Ia pun tenggelam dalam kerumunan
wartawan dan sejumlah pendukung, sesaat sebelum meninggalkan Cipinang, penjara di bilangan
Jakarta Timur. Pria kekar berpostur sedang itu adalah Eurico Guterres, mantan wakil komandan
milisi pro-integrasi Timor Timur. Ketika itu, tepatnya Senin pekan kedua April tahun silam, Eurico
baru saja bebas. Selama dua tahun ia mendekam di penjara dalam kasus pelanggaran berat hak
asasi manusia saat kerusuhan di Timor Timur, pascajajak pendapat 30 Agustus 1999.

Eurico Barros Gomes Guterres, kelahiran Viqueque, Timor Timur, adalah pejuang integrasi Timor
Timur yang disebut-sebut direkrut oleh militer Indonesia. Ia dituduh terlibat dalam sejumlah
pembantaian di Timor Timur. Eurico dituding pula sebagai pemimpin milisi utama yang terlibat
pembantaian pascareferendum dan penghancuran Dili, ibu kota Timor Timur--nama Timor Leste
sebelum lepas dari Indonesia.

Eurico dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada November 2002. Putusan
ini kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Ia baru mulai dipenjarakan pada
tahun 2006, setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan.
Dalam persidangan maraton di Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc,
Eurico didakwa sebagai provokator dalam penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalao, 17 April
1999, sehingga menewaskan 12 orang dan mencederai puluhan lainnya. Namun, pada April 2008,
Eurico yang mengajukan peninjauan kembali, dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan
Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan novum atau bukti baru.

Beberapa saat setelah menghirup udara kebebasan mantan Komandan Milisi Aitarak ini menggelar
jumpa pers. Eurico menyatakan: "Orang yang sudah diadili, orang yang sudah dihukum karena
kasus yang sama, tidak mungkin, tidak bisa diadili untuk kedua kalinya". Ia mengatakan telah
menjalani aturan hukum di Indonesia. Tapi, dirinya tak akan mematuhi hukum internasional yang
akan mengadilinya.

Dengan keluarnya Eurico Guterres dari penjara, berarti 18 terdakwa (dari militer dan kepolisian)
kasus pelanggaran HAM Timor Timur telah dibebaskan. Empat tahun sebelumnya, Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur periode 1992 hingga 2002. yang juga menjadi
terpidana kasus pelanggaran HAM di Timtim dibebaskan. Dia bisa menghirup udara bebas dari
Penjara Cipinang setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang
membatalkan vonis tiga tahun majelis hakim Peradilan Ad Hoc HAM, pertengahan Agustus 2002.

***

Jauh sebelumnya, tepatnya 22 September 1999, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur. KPP HAM yang
diketuai Albert Hasibuan kemudian memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak Januari
sampai Oktober 1999. Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April;
penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro;
penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; penyerangan Diosis, Dili, 5 September;
penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4
September; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8
September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan
rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos, 25 September; dan kekerasan terhadap
perempuan.

Di tahun 1999, suhu politik dan keamanan di Timor Timur, memang kian panas Baca: <a
href="http://berita.liputan6.com/kilasbalik/200908/242430/Keluar.Juga.Kerikil.dalam.Sepatu.Itu">Kelu
ar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu</a> kepada masyarakat Timor Timur. Namun, menurut Wiranto,
pasukan TNI tidak bisa menghentikannya. "Daerah Timor Timur memang rawan konflik. Kami sudah
mencegah, kalau nggak pasti sudah terjadi perang saudara," kata Wiranto.

***

Memang, saat itu, dalam waktu bersamaan muncul berbagai kebijakan politik dan keamanan
terhadap Timor Timur. Ini kemudian justru memperkuat kelompok-kelompok sipil bersenjata yang
dikenal sebagai milisi dan meningkatnya bentuk-bentuk kekerasan. Serta, munculnya reaksi dari
kelompok masyarakat pro-kemerdekaan. Bentrokan fisik maupun bersenjata pun kerap terjadi di
antara kedua kelompok.

Berdasarkan laporan Pangdam Udayana Mayor Jenderal TNI Adam R. Damiri kepada Feisal
Tanjung--Menteri Koordinator Politik Keamanan saat itu, dinyatakan bahwa kelompok pro-integrasi
dimotori oleh para pemuda yang mendirikan organisasi cinta merah putih. Laporan-laporan lainnya
menyebutkan para pemuda yang membentuk organisasi cinta merah putih tersebut sebelumnya
adalah anggota Gada Paksi atau Garda Muda Penegak Integrasi yang dihimpun, dilatih dan dibiayai
oleh Kopassus tahun 1994-1995.

Nah, Eurico Guterres yang tak lain pemimpin milisi Aitarak di Dili adalah tokoh dalam
Gada Paksi tersebut. Kelompok-kelompok milisi itu lalu bergabung ke dalam Pasukan Pejuang
Integrasi dengan panglimanya Joao Tavares dan wakilnya Eurico Guterres serta kepala stafnya,
Herminio da Costa da Silva. Kelompok-kelompok pro-integrasi ini menurut keterangan sejumlah
bupati dan Gubernur Timor Timur disebut Pam Swakarsa. Keberadaan milisi pro-integrasi pun diakui
oleh Jenderal TNI Wiranto.

Institusi kepolisian pun seakan tak berfungsi menerapkan tindakan hukum dalam kasus-kasus
kekerasan. Soal ini, mantan Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur semasa pelaksanaan jajak
pendapat, Timbul Silaen, menilai beberapa peristiwa penyerangan yang terjadi disebabkan oleh dua
hal. "Ada lubang-lubang yang tidak tuntas dalam pelaksanaan kesepakatan itu (kesepakatan
otonomi khusus Timor Timur)," ujar dia, dalam forum dengar pendapat yang digelar Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste, awal Mei 2007.

Menurut Timbul, ketika kesepakatan itu ditandatangani, ada proses kantongisasi pelucutan senjata.
"Pelucutan senjatanya tidak beres. Katanya senjata harus dilucuti dan dikumpulkan, tapi ternyata
tidak," ujar dia. Akibatnya, penyerangan terus terjadi. Faktor percepatan pelaksanaan jajak
pendapat, menurut Timbul juga menjadi salah satu faktor.

***

Akhirnya, hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 21,5 persen rakyat Timor Timur menerima
Otonomi Khusus dan tetap bergabung dengan NKRI, seperti yang ditawarkan Presiden B.J. Habibie.
Selebihnya, 78,5 persen menolak tawaran tersebut dan memilih lepas dari Indonesia. Setelah itu,
kelompok pro-integrasi menyambut hasil jajak pendapat dengan “membumihanguskan” Bumi Loro
Sae. Opsi yang ditawarkan Presiden Habibie dituding sebagai sumber malapetaka.

Ibarat jarum jam yang terus berputar ke depan, kala itu sejarah tidak bisa diulang di Timor Timur.
Seperti pada 1975, sewaktu beberapa kelompok politik di sana menyatakan bergabung dengan
Indonesia.

Setelah lepas, bekas provinsi ke-27 Indonesia itu berada dalam naungan pemerintahan sementara
PBB di Timtim atau UNTAET Baca: <a
A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai fenomena-fenomena yang terjadi pada kehidupan politik di
Indonesia semenjak kemerdekaan sampai era kontemporer sekarang ini memang tak ada
habisnya. Selalu saja ada hal yang patut untuk didiskusikan sebagai bahan ilmu pengetahuan
tentang Negara kita ini.
Inipun tak lepas dari pembicaraan mengenai partai-partai politik Islam di Indonesia
ditinjau dari beberapa ukuran, baik itu sejarah dan perannya. Semenjak awal kehidupan
perpolitikan di Indonesia lahir, partai poitik Islam langsung memegang peran besar di dalamnya.
Pada zaman kekuasaan Soekarno, sebenarnya telah banyak pelajaran politik yang dapat
kita ambil dalam ruang lingkup partai politik Islam. Ada fenomena unifikasi dan koalisi serta
juga ada fenomena fragmentasi dan oposisi.
Pun yang terjadi pada era Soeharto, tetapi bedanya parpol pada zaman ini ibarat sebuah
mobil yang sedang dikendarai oleh seorang sopir yaitu kekuatan Soeharto dan Orde Barunya
(Golkar dan Militer). Kendaraan itu akan melaju sesuai dengan kehendak sang sopir.
Pasca rezim Soharto runtuh dan hidup era Reformasi, kehidupan politik nasional menjadi
ceria kembali bak bunga di musim semi.
Seperti apakah keadaan dan fenomenanya ? Di sinilah kita akan membicarakannya
bersama-sama.

B. SEKILAS “THE END OF” ORDE BARU


Runtuhnya rezim orde baru dan pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32
tahun membawa atmosfer baru bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia. Meskipun, dalam
prosesnya memakan banyak tumbal. Kerusuhan terjadi hampir di seluruh wilayah, ada yang
berbentuk tindakan pengerusakan fasiltas umum dan penjarahan massal, bahkan sampai ke
perbuatan yang asusila dan jatuhnya korban jiwa. Namun, memang seperti itulah konsekuensi
terburuk yang mau tidak mau akan terjadi apabila menghendaki adanya suatu gerakan perubahan
yang ingin menjatuhkan sebuah kekuasaan.
Gerakan perubahan ini tak serta-merta dilakukan tanpa alasan yang jelas. Tentu saja, ada
satu bahkan beberapa faktor penyebabnya yang kemudian terakumulasi dan mendorong reaksi
dari mayoritas rakyat Indonesia. Terbatasnya ruang gerak publik dan pers, kondisi perekonomian
yang merosot tajam, tingkat inflasi yang amat tinggi, kelangkaan kebutuhan pokok, serta
pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara massive menjadi beberapa pemicu dari
sebuah ledakan kemarahan rakyat Indonesia yang diwujudkan dalam sebuah gagasan dan
tuntutan pembaharuan yang dikomandoi oleh mahasiswa dan kaum intelektual bernama
“reformasi”.
Singkat cerita, begitu banyaknya tekanan yang menghujam Presiden Soeharto untuk
mundur baik itu dari masyarakat sipil, kalangan mahasiswa, kaum intelektual/akademisi, tokoh
masyarakat, tokoh agama, para wakil rakyat maupun dari kalangan pejabat Negara itu sendiri,
tak pelak lagi membuat Soeharto harus rela melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI.
Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 di Istana Negara, Soeharto membacakan
“Pernyataan Berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia”. Dan dimulailah kembali sebuah
lembaran baru bagi perjalanan panjang Negara ini di dalam suatu masa yang disebut “era
reformasi.

C. SEKILAS ERA REFORMASI


Era reformasi adalah masa yang amat digadang-gadangkan akan membawa bangsa kita
yang tercinta ini ke dalam suatu keadaan yang jauh lebih baik dari segi sosial, ekonomi, politik,
hukum dan hak asasi manusia (HAM). Namun, fakta dan implementasinya masih perlu
dipertanyakan kembali.
Salah satu tokoh vital dalam perjalanan orde ini adalah Prof. Dr. Bacharuddin Jusuf
Habibie yang menjadi Presiden RI ke-3 setelah Soeharto lengser. Basic-nya beliau adalah
seorang akademisi yang amat handal dan tidak diragukan lagi kredibilitasnya di dalam
bidang aircraft technology. Masa baktinya kepada kepada NKRI memang hanya seumur jagung,
praktis hanya sekitar 1 tahun 5 bulan. Namun, banyak hal yang dapat kita cermati pada masa
pemerintahnnya baik itu positif maupun negatif.
Mengenai pengangkatannya sebagai presiden, cukup banyak menimbulkan perdebatan.
Mengapa ? Pertama, Habibie sebagai presiden terkesan tidak mencerminkan dan merefleksikan
seorang figur pilihan rakyat serta inkonstitusional, karena pengangkatannya dilakukan tanpa
melalui pemilu melainkan diberi mandat oleh MPR untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden
sementara sampai pemilu tahun 2003 dilaksanakan nanti.Kedua, sangat mungkin bahwa naiknya
Habibie adalah trick Soeharto pula untuk tetap melanggengkan kekuasannya dan Orde
Baru.[1] Pasalnya, Habibie adalah seorang tokoh dari Golkar dan pernah bersanding dengan
Soeharto di dalam pemerintahan.
Ada beberapa terobosan positif yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie yang singkat
itu. Pertama, membuka kembali ruang gerak publik dan pers. Kedua, menghapuskan dwifungsi
ABRI. Ketiga, membebaskan para tahanan politik. Keempat, memulihkan kembali kondisi
perekonomian Indonesia, terbukti pada Orde Baru nilai tukar rupiah mencapai 16.000/US$ dan
pada pemerintahan Habibie sempat mencapai 6.500/US$. Kelima, perubahan UU Pemilu dan UU
Otonomi Daerah.
Selain itu, ada pula kebijakannya yang cenderung negatif dan berbau kontroversial yaitu
lepasnya provinsi Timor Timur dari wilayah NKRI. Ketika itu Habibie mengadakan referendum
dan menyerahkan hak sepenuhnya kepada warga Timor Timur untuk memilih bertahan atau
merdeka menjadi suatu Negara yang terpisah dari NKRI. Akhirnya, pada tanggal 30 Agustus
1999 Timor Timur memutuskan untuk menjadi Negara sendiri yang berdaulat. Lepasnya Timor
Timur di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi disisi lain
membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor
Timur.[2]

D. PEMILU 1999
Di tengah derasnya kritikan atas keberlangsungan dan legalitas pemerintahan Habibie,
ternyata ia masih dapat berpikir secara dingin dan bijaksana. Ia mengundang beberapa pakar dan
tokoh untuk menanyakan apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjawab aspirasi rakyat dan
mengimplementasikan reformasi. Pada akhirnya, disepakati bahwa sebaiknya segera
dilaksanakan pemilu yang demokratis sehingga mendapatkan pemimpin yang mempunyai
legitimasi dari rakyat dan dunia internasional.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7,
yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Lalu, diadakan
amandemen UU Partai Politik (UU No.2/1999), UU Pemilu (UU No.3/1999), UU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.4/1999).
Maka, segera dibentuklah Tim 11 sebagai tindak lanjutnya yang bertugas untuk
memverifikasi partai-partai politik calon peserta pemilu 1999. Setelah itu, membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil
dari pemerintah.
Pasca Orde Baru, banyak partai politik yang berdiri dengan berbagai ideologinya masing-
masing. Ada yang menggunakan ideologi suatu agama tertentu maupun nasionalis. Tercatat ada
sekitar 181 partai politik yang berdiri dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Namun,
hanya 141 partai saja yang dapat disahkan oleh Departemen Kehakiman dan tercatat dalam
lembaran Negara. Bahkan terlebih lagi, hanya 48 partai politik saja yang lolos verifikasi dan
berhak dalam pemilu 1999.
Maraknya pembentukan partai politik pasca rezim Soeharto bukan hal mengagetkan.
Sebab:[3]
1. Eksistensi hanya tiga partai (PPP, Golkar dan PDI) yang terwujud di era Orde Baru bukan
karena kemauan rakyat ataupun berjalan alamiah. Tapi lebih karena pemaksaan penguasa.
2. Fenomena ketidakpuasan tersebut telah kelihatan akarnya justru sebelum Orde Baru tumbang.
Seperti dihidupkannya Partai Masyumi Baru (Januari 1996), Partai Rakyat Demokrat (15 April
1996) dan Partai Uni Demokrasi Indonesia (29 Mei 1996). Namun, kala itu mereka menyebutnya
sebagai ormas untuk menghindari ancaman.

PESERTA DAN HASIL PEMILU 1999


Jumlah Jumlah
No. Partai Persentase
Suara Kursi
1. Partai Indonesia Baru 192.712 0,18% 0
2. Partai Kristen Nasional Indonesia 369.719 0,35% 0
3. Partai Nasional Indonesia 377.137 0,36% 0
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia 85.838 0,08% 0
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 289.489 0,27% 0
6. Partai Ummat Islam 269.309 0,25% 0
7. Partai Kebangkitan Ummat 300.064 0,28% 1
8. Partai Masyumi Baru 152.589 0,14% 0
9. Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 10,71% 58
10. Partai Syarikat Islam Indonesia 375.920 0,36% 1
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.073 33,74% 153
12. Partai Abul Yatama 213.979 0,20% 0
13. Partai Kebangsaan Merdeka 104.385 0,10% 0
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa 550.846 0,52% 5
15. Partai Amanat Nasional 7.528.956 7,12% 34
16. Partai Rakyat Demokratik 78.730 0,07% 0
17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 152.820 0,14% 0
18. Partai Katolik Demokrat 216.675 0,20% 1
19. Partai Pilihan Rakyat 40.517 0,04% 0

20. Partai Rakyat Indonesia 54.790 0,05% 0


21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi 456.718 0,43% 1
22. Partai Bulan Bintang 2.049.708 1,94% 13
23. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia 61.105 0,06% 0
24. Partai Keadilan 1.436.565 1,36% 7
25. Partai Nahdlatul Ummat 679.179 0,64% 5
26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis 365.176 0,35% 1
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
27. 328.654 0,31% 1
Indonesia
28. Partai Republik 328.564 0,31% 0
29. Partai Islam Demokrat 62.901 0,06% 0
30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen 345.629 0,33% 1
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 62.006 0,06% 0
32. Partai Demokrasi Indonesia 345.720 0,33% 2
33. Partai Golongan Karya 23.741.749 22,44% 120
34. Partai Persatuan 655.052 0,62% 1
35. Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 12,61% 51
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia 140.980 0,13% 0
37. Partai Buruh Nasional 140.980 0,13% 0
Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong
38. 204.204 0,19% 0
Royong
39. Partai Daulat Rakyat 427.854 0,40% 1
40. Partai Cinta Damai 168.087 0,16% 0
41. Partai Keadilan dan Persatuan 1.065.686 1,01% 4
42. Partai Solidaritas Pekerja 49.807 0,05% 0
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia 149.136 0,14% 0
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia 364.291 0,34% 1
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia 180.167 0,17% 0
46. Partai Nasional Demokrat 96.984 0,09% 0
47. Partai Umat Muslimin Indonesia 49.839 0,05% 0
48. Partai Pekerja Indonesia 63.934 0,06% 0
Jumlah 105.786.661 100,00% 462

Melihat hasil ini, ternyata perolehan suara partai politik Islam masih memprihatinkan.
PPP dan PKB memperoleh suara yang cukup siginifikan belum tentu karena perjuangannya,
tetapi yang jelas lebih karena hubungan emosional kedua partai itu dengan
massanya.[4]Mengapa demikian ? Karena, di tubuh PPP unsur yang paling dominan adalah dari
NU. Sedangkan dari kubu PKB sudah amat jelas posisi NU, di mana PB NU merupakan pendiri
PKB serta pengaruh ketokohan Gus Dur.
Mengenai PBB, sesungguhnya mereka hanya memperoleh 2 kursi, namun karena sistem
penghitungan suara yang memberlakukan sisa suara, maka PBB mendapat rezeki tambahan yaitu
11 kursi menjadi total 13 kursi.
Mencermati suara Golkar yang masih terhitung tinggi, tak lepas dari dukungan kelompok
modernis Islam. Kelompok modernis lebih suka kelompok politik yang tidak mengatasnamakan
Islam tetapi memiliki komitmen yang jelas pada Islam, yaitu Golkar.[5]Selain itu, Golkar
terhitung sebagai partai senior dan cukup lama berkuasa dan member kesan bagi masyarakat.

E. PARTAI ISLAM DAN PERANNYA DI ERA REFORMASI


Seperti yang telah kita semua ketahui, pada rezim Orde Baru jelas sekali adanya upaya
pengkerdilan kekuatan partai politik Islam dengan diterapkannya suatu peraturan yaitu asas
tunggal, di mana semua ideologi disamaratakan menjadi berasaskan Pancasila sehingga membuat
jati diri parpol Islam menjadi hilang dan bahkan lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
pun sampai harus diubah dari lambang ka’bah menjadi lambang bintang. Ditambah lagi,
sebelumnya telah dilaksanakan suatu skenario politik yang licik yaitu dengan adanya fusi partai
politik. Dalam fusi ini, partai-partai Islam seolah-olah dipaksakan untuk bergabung dan
bertransformasi menjadi satu parpol saja. Parpol-parpol tersebut ialah Parmusi, NU, PSII dan
Perti yang berfusi menjadi PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Selain itu ada pula PNI, Murba,
IPKI, Partai Katolik dan Parkindo yang bertransformasi menjadi PDI.
Memang bila kita mau positive thinking, kebijakan fusi parpol ini merupakan suatu
langkah yang baik dalam rangka mencegah dan meminimalisir fragmentasi kekuatan Islam di
bidang politik dan mempererat ukhuwah islamiyah. Tetapi faktanya berbicara lain, karena fusi ini
telah direkayasa sedemikian rupa sehingga terjadi konflik internal di tubuh PPP yang membuat
kekuatan parpol Islam ini semakin melemah. Dan ini cukup berhasil untuk memarjinalkan
kekuatan Islam setidaknya sampai pemilu 1997.
Setelah berjalannya waktu dan dimulainya era reformasi, tumbuhlah partai politik bak
jamur di musim hujan. Para tokoh dan intelektual berlomba-lomba mengumpulkan kekuatan dan
mencari dukungan untuk bertaruh di arena pemilu atas nama pribadi, ideologi, golongan, rakyat
dan bangsa. Tercatat ada 19 partai politik yang dapat digolongkan ke dalam partai politik Islam
pada era ini. Penilaiannya didasarkan pada nama, lambang, asas, dan juga basis massa
pendukungnya. Berikut partai-partainya :
1. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
2. Partai Syarikat Islam Indonesia
3. Partai Persatuan Pembangunan
4. Partai Masyumi Baru
5. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
6. Partai Umat Islam
7. Partai Bulan Bintang
8. Partai Keadilan
9. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
10. Partai Persatuan
11. Partai Islam Demokrat
12. Partai Umat Muslimin Indonesia
13. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
14. Partai Nahdlatul Ummah
15. Partai Cinta Damai
16. Partai Kebangkitan Umat
17. Partai Abul Yatama
18. Partai Indonesia Baru
19. Partai Kebangkitan Bangsa
Di sinilah timbul suatu kontradiksi. Di satu sisi, ini merupakan suatu fenomena positif
yang mencerminkan tumbuhnya kembali demokrasi di negeri ini. Namun di sisi lain, hal ini
cukup aneh dan memprihatinkan karena menggambarkan terjadinya fragmentasi kekuatan Islam
padahal dari segi ideologi, tujuan, dan basis massanya dapat dikatakan tak jauh berbeda. Seperti
PKB, PNU dan PKU yang amat jelas background NU-nya. But that’s all politics.
Berbicara mengenai bagaimana peran partai politik Islam pada era reformasi sangat jelas
bahwa perannya adalah sebagai mediator bahkan mungkin bisa menjadi perwujudan aspirasi
umat Islam di seluruh penjuru tanah air. Dengan menampilkan figur sentral dari masing-masing
partainya, mereka mencoba peruntungan dan diharapkan benar-benar bisa mewakili suara umat
Islam.
Tak lupa pula, satu lagi peran partai politik Islam pada era reformasi yang sempat
menjadi sebuah catatan sejarah yang manis yaitu dalam membentuk suatu koalisi yang disebut
”Poros Tengah” untuk memuluskan jalan bagi terpilihnya Gus Dur menjadi Presiden RI yang
keempat.
F. PEMILIHAN KETUA MPR DAN POROS TENGAH “AMIEN RAIS”
Pasca di umumkannya hasil pemilu 1999 dan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing
partai yang lolos ke Parlemen timbullah benih-benih “Poros Tengah” yang sedianya akan
dilokomotifi oleh PPP.
Hasil buruk yang diperoleh partai-partai Islam pada pemilu 1999 membuat tumbuhnya
kesadaran dari mayoritas kekuatan Islam untuk tak mengulangi kesalahannya untuk yang kedua
kali. Lalu, muncullah ide “fraksi Islam” yang menyatukan beberapa partai Islam di Parlemen
(kecuali PKB). Mengenai pemilihan nama fraksi Islam sempat menimbulkan pro-kontra karena
dinilai terlalu eksklusif dan berseberangan dengan sosok Amien Rais yang dituntut sebagai
lokomotif reformasi yang inklusif. Akhirnya, disepakatilah nama fraksi Reformasi, dan bersama-
sama kelompok Islam membangun apa yang disebut Poros Tengah.[6]
Pada tanggal 4 Oktober diadakan pemilihan Ketua MPR. Dua hari sebelum pemilihan,
deras terdengar nama para nominasinya yakni, Gus Dur yang berasal dari Utusan Golongan,
Matori Abdul Djalil dari Utusan dari PKB yang didukung pula oleh PDIP, serta Ginandjar
Kartasasmita dari Utusan Daerah yang di back up Golkar. Tetapi, perubahan peta politik berjalan
dengan cepat. Ini menyangkut pencalonan Gus Dur sebagai ketua MPR yang terganjal dengan
kenyataan bahwa Gus Dur yang pada saat itu masih memegang jabatan sebagai anggota MPR
dari Utusan Golongan, sementara fraksi Utusan Golongan sudah mempunyai calon sendiri.
Akhirnya, fraksi Reformasi dan Golkar bersepakat untuk mendorong Amien Rais
menjadi kandidat ketua MPR. Tentu saja ini adalah sebuah kesempatan yang tidak bisa
dilewatkan oleh Amien begitu saja. Lalu, Amien segera mengambil langkah dalam upaya
memenangkan dirinya dalam pemilihan Ketua MPR nanti dengan mengunjungi Gus Dur di Hotel
Sahid Jaya dan meminta izin serta do’a restunya.
Lalu tibalah saat-saat yang mendebarkan untuk Amien Rais. Pada saat Sidang Paripurna
IV, diadakan pemungutan suara Ketua MPR. Pada akhirnya, dalam voting tersebut Amien Rais
terpilih menjadi Ketua MPR periode 1999-2004 dengan perolehan 305 suara (fraksi Reformasi)
dan dibayangi ketat oleh Matori Abdul Djalil dengan 279 suara (fraksi Kebangkitan Bangsa)
serta Hari Sabarno dengan 41 suara (fraksi TNI/Polri) dari total keseluruhan 650 suara.
Banyak pengamat malah secara gamblang mengatakan bahwa kemenangan Amien Rais
justru memperkuat posisi Gus Dur menjadi Presiden, dan mungkin juga Golkar pada saatnya
nanti, apabila ternyata pertanggungjawaban Habibie ditolak Majelis.[7]
Selain karena dukungan dari mitra koalisi yang memadai. Secara kualitas dan
kemampuan, Amien Rais memang patut untuk memegang jabatan ketua MPR. Beliau adalah
mantan Ketua PP Muhammadiyah, yang mempunyai koneksi kuat dengan kalangan
Muhammadiyah di berbagai parpol. Beliau juga seorang akademisi dan politisi yang handal. Dan
yang paling penting, beliau adalah motor penggerak utama dari Poros Tengah yang amat genius
dalam hal berkompromi.

G. POROS TENGAH “GUS DUR”


Poros tengah seringkali pula disebut poros Islam. Ini tak mengherankan, karena memang
poros tengah ialah suatu langkah koalisi yang beranggotakan parpol-parpol Islam yang lolos ke
Parlemen untuk mengusung K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia ke-
4. Walaupun, pada awalnya timbul keraguan mengenai keseriusan Amien Rais menggandeng
Gus Dur karena keduanya berasal dari sub kultur yang berbeda.
Namun, esensinya bukan hanya menyatukan partai politik Islam melainkan menghimpun
kekuatan Islam yang tak lain berasal dari NU dan Muhammadiyah serta organisasi Islam lain
yang para kader-kadernya bersebaran di partai-partai tersebut. Anggotanya antara lain Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK) dan ditambah partai Golongan Karya
(Golkar).
Menilik dari hasil pemilu 1999, PDIP memenangkan pemilu 1999 dengan persentase
sekitar 33% dari seluruh jumlah suara, diikuti Golkar dengan perolehan 22% dan PKB dengan
12% suara. Di atas kertas, dengan perolehan suara dan selisih yang cukup tinggi bila
dibandingkan dengan pesaing terdekatnya, maka PDIP boleh membanggakan diri dan
diramalkan dapat menggenggam kursi RI 1. Namun, kenyataan berbicara lain, ternyata prediksi
tersebut meleset. Mengapa demikian ? Karena adanya Poros Tengah.
Secara konstitusi, pengangkatan presiden pada saat itu bukan dilaksanakan melalui
pemilu langsung tetapi melalui fase pemungutan suara dan menetapkan calon presiden terpilh
adalah yang mendapat dukungan suara terbanyak dalam parlemen. Lalu, nantinya MPR akan
melantiknya sebagai mandataris MPR.
Inilah start point kesalahan PDIP yang tak memperhitungkan segala the worst
probability yang akan terjadi. Mereka merasa tinggi hati dengan modal kursi/suara di parlemen
yang berjumlah 153 yang berasal dari fraksinya tanpa adanya pembicaraan maupunbargaining
politic dengan parpol-parpol atau fraksi-fraksi lain di parlemen.
Akhirnya, timbul ide Poros Tengah yang dicetuskan oleh Bambang Soedibyo yang tak
lain adalah sahabat karib dari Amien Rais. Ia mengusulkan kepada Amien untuk menghimpun
kekuatan Islam di Parlemen dan mengadakan suatu koalisi serta mengusung satu figure
pemimpin untuk menandingi keuatan PDIP dan Golkar yang cukup besar. Lalu, ide ini direspon
oleh Amien, karena ia menganggap sebenarnya apabila kekuatan NU dan Muhammadiyah
disatukan. Niscaya, bukan tidak mungkin kekuatan PDIP dan Golkar dapat dikalahkan.
Lalu, dimulailah langkah menyukseskan ide Poros Tengah ini. Menjelang suksesi
kepemimpinan nasional (sebelum Sidang Umum MPR 1999), Amien Rais mulai memperbanyak
silaturahmi kepada kiai-kiai NU, memohon do’a dan ridho Allah SWT untuk memperjuangkan
amanah Poros Tengah mendukung Gus Dur sebagai Presiden.[8] Langkah ini juga diambil oleh
para penggagas dan pendukung Poros Tengah lain seperti Fuad Bawazier dan A.M. Fatwa.
Pada tanggal 7 Oktober 1999, Poros Tengah resmi mendukung Gus Dur sebagai capres.
Mengenai pengangkatan Gus Dur menjadi capres yang diusung Poros Tengah sempat
menimbulkan perselisihan. Pasalnya, Gus Dur pada awalnya tak mau menjadi capres, bahkan
dukungan PKB yang diketuai Matori Abdul Djalil lebih condong ke PDIP. Tetapi, setelah melaui
pembicaraan yang cukup serius akhirnya hati Gus Dur luluh juga. Serta PKB menarik
dukungannya yang selama ini untuk PDIP dan berganti mendukung Gus Dur.
Selain itu, marak pula isu yang terdengar mengenai alasan dibentuknya Poros Tengah
adalah untuk menjegal Megawati menjadi presiden karena jelas ideologi partai Islam menolak
seorang perempuan menjadi seorang pemimpin. Ini dikuatkan dengan adanya hasil kesepakatan
Kongres Umat Islam Indonesia yang dilaksanakan sebelum pemilihan presiden yang pada intinya
bahwa Islam tidak mentolerir tampilnya seorang wanita menjadi pemimpin Negara atau
pemerintahan. Ada pula alasan lain yaitu untuk menggagalkan Habibie karena ia merupakan
produk binaan Orde Baru. Tetapi di balik isu negative tersebut, sebenarnya ada pula hal yang
mendasari terbentuknya Poros Tengah. Di samping karena kekecewaan mereka (komunitas
partai-partai Islam) yang kurang puas terhadap hasil pemilu 1999, juga pengalaman selama ini
terutama ketika Orde Baru berkuasa, partai-partai Islam selalu tidak produktif bekerja demi
kepntingan masyarakat atau massa Islam yang diwakilinya, dan mereka juga selalu dirundung
perpecahan di antara partai-partai Islam.[9]
Sedianya, terdapat tiga calon presiden yang diusulkan dengan basis dukungan tersendiri
di parlemen. Diproyeksikan Megawati didukung oleh PDIP, PKP, PBTI, PDKB, PNI-M, dan
PNI-FM yang jumlahnya 168 suara. Sedangkan, Gus Dur diramalkan akan mendapat dukungan
dari PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKU, PSII dan PNU dengan total 169 suara. Sementara itu
Habibie, diprediksi mendapatkan dukungan dari Golkar, TNI, PDI, IPKI, PDR, PP dengan
akumulasi 163 suara. Di sini terlihat peta dukungan dan kekuatan yang cukup berimbang di
antara ketiganya. Maka dari itu, dukungan dari Utusan Golongan juga sebenarnya sangat mereka
harapkan untuk mendongkrak posisi strategis mereka.
Namun, pasca ditolaknya pidato pertanggungjawaban Habibie pada tanggal 19 Oktober
1999, maka berubahlah kembali perhitungan dukungan kekuatan suara.
Keberhasilan PDI-P mengganjal pencalonan Habibie melalui penolakan
pertanggungjawaban pemerintahan yang dipimpinnya, ternyata menguntungkan posisi Gus Dur.
Sebab, suara pendukung Habibie beralih mendukung Gus Dur, karena:[10]
1. Kala itu muncul pemikiran pada kubu Golkar: jika Habibie tidak, Megawati juga tidak.
2. Klik HMI pada dalam kubu Golkar tidak rela menyerahkan kekuasaan pada kekuatan (PDIP)
yang kala itu dinilai “membahayakan” Islam.
3. Loby PDIP sangat lemah, bahkan terkesan angkuh dengan bersifat menunggu.
Maka, pada tanggal 20 Oktober 1999 jadilah K.H. Abdurrahman Wahid terpilh menjadi
Presiden RI dengan perolehan 373 suara meninggalkan saingannya Megawati yang mendapatkan
313 suara. Setelah itu, sempat terjadi demo dan kerusuhan dari para pendukung Megawati. Pada
tanggal 21 Oktober akhirnya Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden setelah mengalahkan
Hamzah Haz dari PPP karena ia mendapatkan dukungan dari PKB dan Poros Tengah sebagai
“obat pelipur lara”. Sebelumnya, Megawati menolak jabatan tersebut.
Kemenangan Poros Tengah disini dapat dikatakan kemenangan untuk semua karena
posisi yang diperoleh dapat dikatakan merata yakni Gus Dur sebagai Presiden, Amien Rais
sebagai ketua MPR, dan Akbar Tandjung sebagai ketua DPR.
Banyak pakar yang mengatakan bahwa Poros Tengah merupakan suatu fenomena yang
cemerlang. Meskipun, pada akhirnya poros tengah ini pecah karena kesalahannya sendiri.

H. UP AND DOWN GUS DUR


Mengapa harus Gus Dur ? Apakah negeri ini tidak punya pilihan lain selain dia ?
Mungkin akan muncul pertanyaan seperti itu. Memang, apabila kita menggunakan penalaran
panca indera secara normal, ini merupakan suatu hal yang cukup aneh. Seorang manusia yang
mempunyai keterbatasan fisik dapat menjadi seorang pemimpin Negara sebesar Indonesia, yang
bahkan belum tentu sanggup seorang yang mempunyai kesempurnaan fisik dan kecerdasan untuk
mengurus Negara ini.
Menurut UUD 1945, seorang Presiden adalah seorang yang sehat dari segi fisik dan
mental. Tetapi mengapa pada akhirnya seorang seperti Gus Dur yang terpilih dan apakah itu tak
melanggar UUD 1945.Maka disinilah patut kita kaji alasannya.
Posisi Gus Dur saat itu sebenarnya tidak terlalu kuat, karena dihimpit oleh dua kekuatan
besar yakni Megawati dan Habibie. Figur Megawati adalah seorang reformis yang berasal dari
kubu nasionalis. Sedangkan Habibie mempunyai pendukung fanatik dari kaum modernis dan
Golkar serta mempunyai banyak kader di berbagai daerah. Pada saat itu, muncul pula sindiran-
sindiran yakni, ABM (Asal Bukan Megawati) ataupun ABH (Asal Bukan Habibie).
Hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya suatu gesekan antara pendukung Megawati dan
Habibie yang akan menyebabkan konflik horizontal. Pasalnya, pendukung Megawati pernah
berucap akan menolak dan menggagalkan kepemimpinan Habibie bahkan bila perlu dengan
revolusi.
Di sinilah letak keunggulan Gus Dur, seorang kiai yang secara personal dapat diterima
semua golongan masyarakat. Di samping massa pendukungnya dari NU yang amat menaruh
hormat kepadanya. Selain itu, Poros Tengah mendukungnya dengan alasanpertama, mereka
(Poros Tengah) tak punya seorang figure pemimpin yang cukup mumpuni untuk ditampilkan.
Figur seperti Amien Rais, Hamzah Haz, atau Yusril Ihza Mahendra belum dapat meyakinkan
kelompok ini. Kedua, Poros Tengah tak menyukai ideology Nasionalisme dan Marheinisme.
Pada awalnya, banyak orang yang optimis dengan bersatunya kekuatan politik Islam
dapat membangun pemerintahan yang lebih baik dan fokus terhadap penuntasan tuntutan
reformasi. Namun, pengangkatan Gus Dur justru menjadi boomerang bagi partai-partai yang
mengusungnya dan banyak menimbulkan kekecewaan. Kekecewaan terhadap Gus Dur, selain
karena tidak ada kemajuan dalam pemulihan krisis kehidupan bangsa, malah kehidupan bangsa
semakin memburuk, terutama di bidang ekonomi dan keamanan, sebagaimana telah sering
dikemukakan berbagai pihak, juga Gus Dur dianggap tidak peduli terhadap aspirasi umat
Islam.[11]
Pasalnya, beberapa kebijakan yang diambil Gus Dur cukup kontroversial, menimbulkan
pro-kontra dan menyebabkan perselisihan antara mitra koalisi. Pada tanggal 24 April 2000 Gus
Dur memberhentikan Laksamana Sukardi (PDIP) sebagai Menteri BUMN dan Jusuf Kalla
(Golkar) sebagai Menteri Perdagangan. Ditambah lagi pada tanggal 24 Agustus 2000, Gus Dur
melakukan reshuffle kabinet dengan menyingkirkan orang Golkar dan PDIP dari posisi strategis
kementrian.
Kestabilan kehidupan sosial era Gus Dur juga tercoreng dengan adanya konflik Poso dan
Ambon.
Dahulu, Gus Dur sempat berucap ingin membubarkan DPR karena dinilai menghambur-
hamburkan uang rakyat, belum lagi ia berniat membuka hubungan bilateral dengan Israel.
Selain itu, ia mengapuskan Departemen dan Kementrian Penerangan dan mentapkan hari
raya keagamaan sebagai Hari Libur Nasional. Satu lagi yang tak kalah penting ialah Gus Dur
diduga besar terlibat kasus korupsi Buloggate, Bruneigate dan isu perselingkuhan Aryanti. Kasus
inilah yang menjadi batu sandungan Gus Dur untuk mempertahankan tampuk kepemimpinannya.
Beberapa kali Gus Dur didesak oleh rakyat untuk mundur dan MPR juga sempat memberikannya
memorandum. Namun, itu semua tak membuatnya gentar dan malah membuat sekitar 50.000
pendukung Gus Dur mengamuk di Jawa Timur. Lalu, banyak sarana milik PBB, PPP, ataupun
Muhammadiyah yang ditengarai sebagai pendukung PAN dirusak massa PKB dan
NU.[12] Mengapa massa pendukung Gus Dur berbuat demikian ? Karena Presiden Wahid
diyakini sebagai “wali” yang di dalam dadadnya bersemayam para malaikat.[13]
Gus Dur juga sempat mengeluarkan Dekrit pada tanggal 22 Juli 2001 sebagai upaya
penghentian Sidang Istimewa yang akan dilakukan MPR. Isi Dekrit tersebut antara lain,
pembekuan Parlemen (MPR-DPR), percepatan pemilu selambatnya dalam 1 tahun dan
pembubaran Partai Golkar.
Tetapi, cerita berlanjut sampai akhirnya MPR melakukan impeachment kepada Gus Dur,
dan melalui sidang istimewa MPR yang tidak dihadiri Gus Dur dilantiklah Megawati Soekarno
Putri menjadi Presiden RI kelima dan pertama karena ia seorang wanita pada tanggal 23 Juli
2001. Dalam hal ini, berarti patah sudah “fatwa” politik yang dibangun oleh Poros Tengah dalam
Kongres Umat Islam Indonesia yang menyebutkan bahwa “haram hukumnya apabila presiden
adalah seorang wanita”. Ibarat peribahasa bak menelan ludah sendiri, komoditas politik yang
dibawa Poros Tengah dan Amien Rais dinilai plin-plan.

I. KESIMPULAN
Perjalanan panjang yang ditempuh partai-partai politik Islam dari akhir rezim Soeharto,
menuju kepemimpinan Habibie sampai pada pemerintahan Gus Dur melewati banyak jalan terjal
dan menemui banyak kerikil tajam.
Dimulai dari hegemoni dan euphoria partai-partai politik di Pemilu 1999 yang
menciptakan kehidupan demokrasi di negeri ini bangkit dari kematiannya. Serta, memulai
catatan sejarah tentang artinya kebebasan berpolitik dan berorganisasi.
Meskipun, terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara harapan dengan kenyataan yang
dialami partai-partai politik Islam di Indonesia pada pemilu 1999, tetapi mereka bisa
menunjukkan kesolidannya dan melupakan sejenak fragmentasi yang terjadi dalam dunia
realitasnya.
Hitam-putih Poros Tengah juga memberi warna yang indah dalam menghiasi perjalanan
mereka. Namun, terlepas dari itu semua, inilah masa-masa yang banyak disebut para pemikir dan
pakar politik Indonesia sebagai era keemasan dan kecemerlangan kekuatan politik Islam di
Indonesia.
Satu lagi catatan yang ditinggalkan adalah, apakah pasca era ini akan terbentuk dan
tumbuh kembali unity of Islamic powers.

4. etelah lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahannya, maka MPR mengadakan Sidang Umum MPR thn 1999
dimana B.J.Habiebie menjadi Presiden RI ke-3. namun kemudian pada tahun 1999 diadakan pemilu thn 1999.

Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR berdasarkan hasil pemilihan
umum tahun 1999 serta berhasil menetapkan jumlah wakil-wakil utusan gololngan maupun utusan daerah, maka
MPR segera melaksanakan sidang.
Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1-21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien
Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna
MPR XII, pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355
suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie
tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia.
Kegagalan Habibie menjadi calon presiden Republik Indonesia sebagai akibat ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya, memunculkan tiga calon presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada
tahap pencalonan presiden di antaranya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuzril Ihza
Mahendra. Namun, detik-detik menjelang dilaksanakan pemungutan suara untuk memilih presiden tanggal 20
Oktober 1999, Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon presiden yang maju
dalam pemilihan itu, yaitu Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang
dilaksanakn secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21
Oktober 1999 dilak sanakan pemilihan wakil presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz.
Pemilihan wakil presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25
Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk
Kabinet Persatuan Nasional. ¹
Ada beberapa ketetapan dalam SU MPR 1999 yaitu sebagai berikut.²
1) Ketetapan MPR No. I Tahun 1999 tentang perubahan kelima atas Ketetapan MPR RI No I/MPR/1983 Tentang
peraturan tata tertib majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia.
2) Ketetapan MPR No. II Tahun 1999 tentang peraturan tata tertib MPR RI.
3) Ketetapan MPR No.III Tahun 1999 tentang pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing
Bacharudin Jusuf Habibie.
4) Ketetapan MPR No.IV Tahun 1999 tentang garis-garis besar haluan negara tahun 1999-2004.
5) Ketetapan MPR No.V Tahun 1999 tentang penentuan pendapat di Timur-Timur.
6) Ketetapan MPR No.VI Tahun 1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
7) Ketetapan MPR No.VII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
8) Ketetapan MPR No.VIII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
9) Ketetapan MPR No.IX Tahun 1999 tentang penugasan badan pekerja MPR RI Untuk melanjutkan perubahan UUD
1945.

5. Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur adalah tokoh
Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia
yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J.
Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan
pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan
berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan
ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kiprah dan Kontroversi Presiden Gus Dur
 1999 Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan
Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid
kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah
membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam
menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang
korup.
 Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang,
Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia
mengunjungi Republik Rakyat Cina.
 Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan
pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran
dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan
korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.Beberapa menduga bahwa
pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas
pendekatan Gus Dur dengan Israel
 Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh
dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.
Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
 2000
 Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss
untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam
perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan
luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda,
Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi
India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur
mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam
perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali
melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi
mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir
sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
 Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral
Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi
militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap
Wiranto.
 Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil
meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian
mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur
memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa
keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah
memberikan bukti yang kuat.[40] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan
Golkar dan PDI-P.
 Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani
nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan
akan melanggar persetujuan.
 Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut.
 Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan
pada kelompok Muslim Indonesia.Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta
besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain
yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus
Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden
Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina
untuk Indonesia, diganti.
 Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-
politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus
mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki
hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid
untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi
berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI
merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus
menurut pada tekanan.
 Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di
Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu
orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI
menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku
dan dipersenjatai oleh senjata TNI.
 Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate.
Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta
menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim
bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.
 Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur
juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan
sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
 Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu
Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi
berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus
Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari
kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian
tugas.
 Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut.
Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur
mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda.
Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman
kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak
terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
 Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di
sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung
oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri
keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar
di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan
asalkan berada di bawah bendera Indonesia.Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar
karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-
gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
 Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah
Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu.
Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus
Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus
Dur.[
 2001 dan akhir kekuasaan Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa
Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional.Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika
Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.Abdurrahman Wahid melakukan
kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
 Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu
mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.Pertemuan tersebut
menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan
nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR
dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk
out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di
Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di
Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur
membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.Namun,
demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur
sebagai presiden hingga mati.
 Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden
pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra
dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.
 Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi
dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak
dapat mengendalikan Partai Keadilan,yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi
menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga
jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR
mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1
Agustus.
 Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan
Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1
Juli 2001.
 Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan
dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga
menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan
kekuatan.
 Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1)
pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan
mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar[59] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
 Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di
Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi
ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.

6. Kata "dekrit" berasal dari bahasa Latin yaitu "decretum", dalam bahasa Perancis "dêcret", dalam
bahasa Jerman "dekret", dalam bahasa Inggris "decree", dan dalam bahasa Belanda "decreet". Di zaman
Romawi perkataan "decretum" mengandung arti sebagai suatu keputusan yang diambil di luar
kebiasaan atau sebagai keputusan yang luar biasa dari kaisar atau para pejabat tinggi (praetor).
Menurut Modern American Encyclopedia perkataan "decretum" diartikan sebagai suatu ketetapan dari
penguasa mengenai suatu hal yang sedang jadi persoalan dan harus mendapat penyelesaian secara luar
biasa karena keadaan tertentu. Sesuai dengan arti dekrit seperti diterangkan di atas, Dekrit Presiden 5
Juli 1959 adalah juga merupakan suatu ketetapan penguasa di dalam keadaan luar biasa untuk
menyelamatkan kehidupan bangsa dari berbagai kemungkinan yang membahayakan.

b. Latar-Belakang Lahirnya Dekrit 5 Juli 1959


Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di
antaranya adalah untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru. Namun
dalam kenyataannya sampai tahun 1959, Konstituante belum juga berhasil melaksanakan tugasnya.
Kemacetan kerja Konstituante ini disebabkan adanya dua aliran besar di dalam tubuh Konstituante
mengenai paham kenegaraan yang hendak diletakkan di dalam konstitusi antara golongan agama (Islam)
dan golongan nasionalis. Masing-masing aliran tersebut mendapat dukungan lebih dari sepertiga jumlah
anggota tetapi kurang dari dua pertiga jumlah anggota, sehingga tidak memenuhi syarat (quorum)
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 137 UUDS 1950. Antara ke dua paham kenegaraan tersebut tidak
dapat dipertemukan atau disintesiskan satu sama lain, terbukti dari sikap pendukungnya masing-masing
paham itu ketika menghadapi usul Pemerintah kepada Konstituante untuk menetapkan UUD 1945
sebagai pengganti UUDS 1950.

Karena perbedaan antara dua golongan tampaknya tak dapat diatasi, Presiden Soekarno pada
tanggal 22 April 1959 mengusulkan dalam Sidang Konstituante untuk kembali ke UUD 1945, suatu ide
yang telah dikemukakan lebih dulu oleh Jenderal A.H. Nasution dalam sidang Front Nasional. Sesudah
melalui pembicaraan yang panjang, kedua belah pihak akhirnya dapat menerimanya.Tapi kelompok
partai-partai Islam menghendakinya berlakunya UUD 1945 dengan amandemen (perubahan) yaitu
supaya Pembukaan dan pasal 29 ayat (1) dari UUD 1945 disesuaikan dengan isi Piagam Jakarta. Tetapi
partai-partai lain tidak dapat menerima usul perubahan tersebut. Mereka melihat usul perubahan itu
sebagai satu usaha untuk mengubah dasar negara Pancasila serta secara tidak langsung akan mendirikan
negara yang berdasarkan syariah Islam, padahal rakyat Indonesia tidak seluruhnya beragama Islam.

Untuk menyelamatkan negara serta tetap utuhnya negara


kesatuan RI, Presiden Soekarno pada akhirnya mengeluarkan
dekritnya tanggal 5 Juli 1959 yang berisi tiga ketetapan yaitu:

1) Pembubaran Konstituante

2) Berlaku kembalinya UUD 45 sebagai pengganti UUDS 50

3) Perlu dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-


singkatnya.

Dari tiga ketetapan ini yang menjadi ketetapan pokok adalah ketetapan kedua, yaitu mengenai
penggantian UUDS 1950 dengan UUD 1945, sedangkan ketetapan ketiga dimaksudkan untuk mengisi
masa peralihan selama belum dapat dibentuk MPR dan DPA yang menurut UUD 1945 pembentukannya
masih harus diatur dengan undang-undang (pasal 2 dan pasal 16). Dengan demikian, berlakunya UUD
1945 atas dasar Dekrit Presiden 5 juli 1959 sebagai keputusan hukum penguasa yang diambil di dalam
keadaan darurat atau dalam keadaan terpaksa untuk menyelamatkan keadaan bangsa Indonesia.

Setelah empat puluh tahun Dekrit 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, secara tidak
terduga Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan dekrit pada tanggal 22 Juli 2001 pukul 01.10. Dekrit
tersebut antara lain berbunyi :

1) Membekukan DPR/MPR;

2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang
diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun;

3) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai
Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Selanjutnya presiden menyuruh TNI dan Polri untuk menindaklanjuti dekrit tersebut. Dekrit
tersebut jelas sangat menggemparkan peta politik Indonesia serta menimbulkan berbagai kontroversi
dan tanggapan beragam dari berbagai lapisan masyarakat termasuk dari DPR/MPR itu sendiri.
Akibatnya, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang memang telah direncanakan sebelumnya
untuk meminta pertanggung-jawaban presiden karena tidak mengindahkan Memorandum I dan II yang
dikeluarkan oleh DPR. Apalagi presiden sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya lebih rendah
daripada MPR dan diangkat oleh MPR, tidak berhak untuk membubarkan MPR. Terlebih lagi, dekrit
presiden tersebut tidak didukung oleh TNI sehingga dekrit tersebut tidak memiliki kekuatan secara de
fakto.

Hal ini berbeda dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memang direkomendasikan oleh TNI.
Dalam Sidang Istimewa MPR (23 Juli 2001) tersebut yang tidak dihadiri oleh presiden, anggota sidang
mencabut mandat Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI, serta selanjutnya melalui pemungutan suara
(voting) secara tertutup, Wapres Megawati Soekarno Puteri terpilih sebagai Presiden yang ke lima
Republik Indonesia. Sedangkan Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) terpilih sebagai wakil presiden.

c. Pelaksanaan Sistem Demokrasi Terpimpin


1) Latar-Belakang

Tindakan yang diambil oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan dekritnya, ternyata tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sistem pemerintahan yang dilaksanakan pada masa itu
mengarah kepada sistem "Demokrasi Terpimpin". Pengertian 'terpimpin' ditafsirkan secara mutlak oleh
diri pribadi presiden. Padahal menurut UUD 45, pengertian terpimpin harus sesuai dengan sila ke-4 dari
Pancasila yaitu; "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawatan/perwakilan".

Istilah "Demokrasi Terpimpin" sebenarnya untuk


pertama kalinya dipakai secara resmi dalam Pidato Presiden
Soekarno pada tanggal 10 November 1956, ketika akan
membuka Sidang Konstituante. Inti dari pidato tersebut
adalah mengoreksi segala kelemahan atau keburukan-
keburukan paham liberal yang sedang dijalankan oleh
Indonesia pada waktu itu, yang sangat merugikan rakyat
yang ekonominya lemah. Untuk itu diperlukan suatu sistem
demokrasi yang cocok bagi rakyat Indonesia, yaitu Demokrasi
Terpimpin.

Pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya


merupakan wujud dari obsesi Presiden Soekarno yang
dituangkan dalam Konsepsi-nya pada tanggal 21 Februari
1957, yang isinya mengenai penggantian sistem Demokrasi
Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, pembentukan Kabinet
Gotong Royong, dan pembentukan Dewan Nasional.

2) Bentuk Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

a) Politik Dalam Negeri

Bentuk pelaksanaan dari sistem Demokrasi Terpimpin adalah mengenai Pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Pidato ini kemudian dikenal dengan
sebutan "Manifesto Politik Republik Indonesia" (Manipol). DPAS dalam sidangnya mengusulkan agar
Manipol dijadikan GBHN. Penetapan Manipol menjadi GBHN dikukuhkan oleh TAP MPRS Nomor 1 tahun
1960. Dalam kata Manipol kemudian ditambahkan kata USDEK , yaitu singkatan dari Undang-Undang
Dasar 45, Sosialisme a la Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia.
Selanjutnya presiden pun mengemukakan konsepnya yang ia pendam sejak lama, yaitu konsep
NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) sebagai ideologi negara. Konsep Nasakom ini bisa
dikatakan sebagai perwujudan aspirasi dari partai politik yang berbeda dan dominan pada waktu itu
yakni PNI (Nasionalis), NU dan Masyumi (Agama) dan PKI (Komunis). Konsep Nasakom tersebut
sebenarnya tidak disetujui oleh Mohammad Hatta jauh-jauh sebelumnya, ketika pada masa perjuangan
sebelum merdeka, dimana Ir. Soekarno sering melontarkan gagasannya tersebut. Menurut Moh. Hatta,
bahwa : “Nasionalisme dan Komunisme” bisa saja berpadu, “Nasionalisme dan Agama” bisa saja
berpadu, tetapi “Komunisme dan Agama” tidak mungkin berpadu.

Pada masa akhir demokrasi liberal, Moh. Hatta sudah mulai memperkirakan bahwa toh pada
akhirnya Presiden Soekarno akan menetapkan konsep Nasakomnya tersebut, maka untuk menghindari
perbedaan paham yang semakin lebar, pada 1 Desember 1956, Moh. Hatta mengundurkan diri dari
Wakil Presiden RI.

Bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif, dalam


hal ini adalah presiden, di antaranya :

(1) Di bidang Legislatif

Presiden menunjuk anggota MPRS dan harus tunduk kepadanya, hal ini bertentangan dengan Pasal 6
ayat 2 UUD 45 yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak".
Selanjutnya , pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I dan membentuk
DPR-GR (Gotong-Royong) atau yang kemudian dikenal sebagai Kabinet Kaki Empat yang didominasi oleh
empat partai politik terbesar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI.

(2) Di bidang Eksekutif

Dalam Sidang MPRS kedua yang dilaksanakan di Bandung, MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. hal jelas bertentangan dengan Pasal 7 UUD 45 yang berbunyi : "Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali".

(3) Di bidang Yudikatif

Dalam bidang ini, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi setarap menteri, padahal
bidang ini harus terlepas dari pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif.

b) Politik Luar Negeri

Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan politik luar negeri banyak terpusat di tangan
presiden. Politik luar negeri yang bebas-aktif dibelokkan menjadi politik konfrontasi terhadap apa yang
disebut sebagai Old Established Forces (Oldefo) dengan New Emerging Forces(Nefo). Negara-negara
yang tergabung dalam Nefo adalah negara-negara yang "progresif-revolusioner", sebutan terhadap
negara-negara komunis. Sedangkan negara-negara yang tergabung dalam Oldefo adalah negara-negara
Blok Barat yang dianggap kaum komunis sebagai negara-negara "kapitalis-imperialis" atau neo
kolonialisme (Nekolim)

Hubungan dengan pihak Barat merenggang, karena mereka bersikap pasif terhadap perjuangan
pembebasan Irian Barat dan sangat sulit untuk diminta bantuannya dalam masalah bantuan kredit.
Kebencian Presiden Soekarno terhadap negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan Inggris
sering diwujudkan dalam ucapan-ucapan seperti “go hell with your aid” atau “Amerika kita seterika,
Inggris kita linggis”, dan lain-lain. Sebaliknya hubungan dengan blok Timur semakin erat, karena Uni
Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan militer sehingga Indonesia dapat
memperlengkapi Angkatan Perangnya secara modern. Bahkan Indonesia masuk dalam aliansi poros
“Jakarta-Moskow-Peking-Hanoi-Pyongyang”.

Pada masa ini juga, Pemerintahan Orde Lama menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal
ini disebabkan pemerintah RI menentang pembentukan negara Federasi Malaysia (Malaysia, Serawak,
Sabah, Singapura, dan Brunei) yang dianggap sebagai bonekanya negara-negara Nekolim dan
membahayakan posisi negara-negara Blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan Komando Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 3 Mei 1964 yang
berisi :

(1) Perhebat ketahanan revolusi

(2) Bantu perjuangan rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, Brunai, untuk membebaskan diri dari
pengaruh Nekolim (Neo-Kolonialisme).

Aspek lain dari pelaksanaan politik Nefo-Oldefo, dikenal dengan politik "mercu suar". Presiden
Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan "mercu suar" yang dapat menerangi jalan bagi Nefo
di seluruh dunia. Karena itu Indonesia harus menyelenggarakan proyek-proyek politis yang kolosal dan
spektakuler, yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan terkemuka di kalangan
Nefo. Misalnya dengan menyelenggarakanGames of the New Emerging Forces (Ganefo) yang dimulai
dengan proyek pembangunan kompleks olah raga Senayan dan meliputi pula biaya perjalanan pelbagai
delegasi asing. Hal ini jelas membutuhkan biaya yang sangat besar, padahal kondisi keuangan Indonesia
pada waktu itu sedang mengalami defisit.

c) Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin

Dalam bidang ekonomi, dipraktekan Sistem Ekonomi Terpimpin. Presiden secara langsung terjun
dan mengatur perekonomian. Pemusatan kegiatan perekonomian pada satu tangan berakibat
menurunnya kegiatan perekonomian. Inflasipun merajalela, bahkan sudah mencapai tingkatan
hiperinflasi.

Untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu "Deklarasi Ekonomi" atau
"Dekon", beserta 14 peraturan pokoknya. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
yang menjadi bagian daripada strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan Dekon adalah "menciptakan
ekonomi yang bersifat nasional, untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin”. Dalam kenyataannya, konsepsi Dekon ini membawa stagnasi bagi ekonomi Indonesia.
Di dalam melaksanakan ekonomi terpimpin ini pemerintah lebih menonjolkan "terpimpin"-nya daripada
asas-asas ekonominya. Akibatnya ialah bahwa bidang kelembagaan ekonomi semakin terjerumus ke
dalam kebiasaan yang unsur terpimpinnya lebih dominan dari pada unsur ekonominya yang efisien.

7. Sejarah Pemilu 2004


Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat
untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari
Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil
presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-
anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan
wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini,
yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan
calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.

Pentahapan Pemilu 2004


Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
� Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik
(untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota
DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
� Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan
calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5
Juli 2004.

� Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang
dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang
mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon
yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran
kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon
yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung
diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20
September 2004.

Pemilu Legislatif 2004

Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu
legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini
bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan
anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik
yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan
pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran
pertama.
8. Berikut adalah 10 klaim-klaim keberhasilan SBY (Demokrat) dalam berbagai iklan kampanye, yang
mana di setiap klaim terdapat antitesanya baik berdasarkan UUD 1945, UU yang berlaku, janji-janji
kampanye SBY pada 2004 atau realitas force majoure.

Klaim 1 : Harga BBM diturunkan hingga 3 kali (2008-2009), pertama kali sepanjang sejarah.
Antitesa : 1#Dalam sejarah harga BBM, untuk pertama kali sepanjang sejarah Indonesia, pemerintah
menjual BBM dengan termahal yakni Rp 6000 per liter.
2#Pada Desember 2008, untuk pertama kalinya sepanjangg sejarah Indonesia, harga premium yang
ditetapkan pemerintah lebih tinggi daripada harga premium di Amerika Serikat. Pada
minggu I dan II, harga BBM Indonesia adalah Rp 5500 padahal di AS dibawah Rp 5335 per liter. Dan
pada minggu III dan IV, harga BBM Indonesia Rp 5000 padahal di AS dibawah Rp 4892 per liter.

Klaim 2 : Perekonomian terus tumbuh di atas 6% pertahun, tertinggi setelah orde baru.
Antitesa : 1#Pertumbuhan diatas 6% hanya terjadi pada tahun 2007 dan 2008, sedangkan pada tahun
2005 (5.6%), 2006 (5.5%), dan 2008 dibawah 5%. Jadi, pernyataan perekonomian terus tumbuh diatas
6% merupakan suatu pernyataan yang tidak benar.
2# Dalam kampanye pilpres 2004 agar rakyat memilihnya, SBY memiliki janji angin surga yang
dituangkan dalam RPJM bahwa pertumbuhan ekonomi dari tahun 2005-2009 adalah 5.5%, 6.1%, 6.7%,
7.2% dan 7.6%. Merujuk pada janji yang tersebut, maka fakta pertumbuhan yang rata-rata dibawah 6%
selama 5 tahun merupakan kegagalan melaksankan janji angin surga.

Klaim 3 : Cadangan devisa pada tahun 2008 US$ 51 miliar, tertinggi sepanjang sejarah.
Antitesa : Dengan landasan yang sama, maka jumlah utang negara tertinggi sepanjang sejarah yakni
1667 Triliun pada awal tahun 2009 atau 1700 triliun per 31 Maret 2009. Inilah pembengkakan utang
terbesar sepanjang sejarah.

Klaim 4 : Pemerintah Baik/Bersih atau Good/Clean Governance


Antitesa : Hal ini bertolakbelakang dimana terdapat anggota-anggota kabinet yang memiliki conflict
interest terutama kepentingan partai. Para menteri, dan pejabat teras SBY-JK digaji oleh uang
rakyat. Tapi, Andi Mallaranggeng, Rizal Mallarangeng, JK, Surya Dharma Ali, MS Kaban, Hatta Radjasa,
Fahmi Idris, Bambang S, Jero Wajik dan sejumlah menteri memiliki hati mendua antara urusan negara
dengan urusan partai/tim sukses. Bahkan iklan puluhan miliar berdurasi panjang tentang Lanjutkan
Sejarah Koperasi oleh Surya Dharma Ali (PPP) dan iklan sekolah gratis oleh Bambang S (PAN) sarat
dengan kepentingan politik pemenangan SBY-Boediono. Begitu juga fasilitas negara seperti
situs http://www.presidenri.go.id digunakan untuk kampanye politik. Tampak sekali lingkaran
dalam SBY selalu “lempar batu sembunyi tangan“. Tidak hanya itu saja, ketika SBY menyatakan slogan
pemerintah yang baik dan bersih, namun fakta tersembunyi adalah merekrut pejabat BUMN dalam Tim
Kampanye Nasionalnya, sebut saja Ketua Dewan Pengawas Peruri Achdari, Komisaris (Kom.) Utama
PPA Raden Pardede, Kom. Independen Indosat Soeprapto, Kom. Hutama Karya Max Tamaela, Kom.
Wijaya Karya Dadi Prajipto, Kom. Kimia Farma Effendi Rangkuti, Kom. KAI Yahya Ombara, Kom.
Pertamina Umar Said, Ketua Dewan Pengawa Bulog Sulatin Umar hingga Kom. Utama Pertamina Jend
Pol (purn) Sutanto dalam GPS. Sebenarnya ini adalah paradoks antara klaim pemerintah bersih,
tapi disisi lain sarat dengan pelanggaran UU dan penyelewangan fasilitas negara. Bersih hanya menjadi
“fakta angin surga” selama penyelewangan fasilitas negara dan pelanggaran UU menjadi suatu yang
lumrah bagi penguasa selama tidak diketahui publik umum.

Klaim 5 :Rasio hutang negara terhadap PDB terus turun dari 56% pada tahun 2004 menjadi 34% pada
tahun 2008
Antitesa : #1 Secara relatif jumlah utang negara turun, tapi secara absolut utang negara naik 33% dari
Rp 1275 T pada 2004 menjadi Rp 1700 triliun pada Maret 2009.
#2 Sampai hingga saat ini, pemerintah masih setia membayar utang najis serta pengelolaan penarikan
utang luar negeri yang bermasalah seperti dilaporkan BPK dan KPK.
# Jika bermain rasio semata, maka rasio utang terhadap PDB saat ini masih jauh lebih tinggi dibanding
tahun 1996 sebesar 24% atau turun 5% dari tahun 1995 (29% ). Sedangkan penurunan rasio utang
terbesar dilakukan periode pemerintah 1999-2004 yakni Gus Dur + Megawati dari rasio utang/PDB 103%
pada tahun 1999 menjadi 56% pada tahun 2004.

Klaim 6 :Utang IMF lunas


Antitesa : Utang IMF 9 miliar USD bersifat nonlikuid. Keputusan menghentikan kontrak dengan IMF
telah dilakukan pada 2004. Ketika utang IMF lunas, utang luar negeri kepada ADB meningkat dan disisi
lain utang dalam negeri naik 50% selama 4 tahun dan tertinggi sepanjang sejarah.

Klaim 7 :CGI dibubarkan.


Antitesa : IGGI/CGI merupakan grup lembaga keuangan dan negara asing yang menjadi kreditor utang
Indonesia. Negara-negara anggota CGI adalah ADB, IMF, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Inggris
Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat.
Jadi, meksipun CGI dibubarkan, negara-negara kreditor seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan
lembaga keuangan ADB atau Bank Dunia masih menjadi negara kreditor Indonesia. Pencitraan
pembubaran CGI hanyalah kedok pencitraan atas sebuah lembaga institusi, padahal anggotanya CGI
masih eksis, tumbuh dan bahkan berkembang.

Klaim 8 :Anggaran pendidikan naik menjadi 20% dari APBN, pertama kali sepanjang sejarah.
Antitesa : Peningkatan anggaran pendidikan hingga 20% merupakan amanah yang harus dilaksanakan
secepat mungkin setelah amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4) yang diperjelas melalui UU 20
tahun 2003 disahkan pada Juli 2003. Namun, meski SBY telah memimpin selama 4 tahun, namun
tidak ada niatnya untuk menganggarkan pendidikan sebesar 20%. Tiap tahun sejak 2005, gugatan
demi gugatan dilakukan PGRI atas kebijakan pemerintah SBY yang melanggar amanat konstitusi UU
20/2003. Akhirnya pada pertengahan 2008, perjuangan dan semangat pantang menyerah para guru
dalam wadah PGRI berbuah hasil, dimana mereka berhasil mengugat UU APBN via Mahkamah
Konstitusi dengan Putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008 tanggal 13 Agustus 2008 yang mana
“memaksa” Pemerintah SBY mau tidak mau, suka tidak suka harus menganggarkan anggaran pendidikan
20% pada APBN 2009. Suara para guru menang atas kebijakan SBY bersama DPR yang tidak
merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan. Atas jerih payah dan gugatan para guru, tiba-tiba SBY
dan Demokrat mengklaim 20% adalah keberhasilannya. Suatu hal yang sangat bertolak belakang, dengan
fakta yang sesungguhnya. Justru keberhasilan anggaran pendidiakn 20% merupakan keberhasilan
perjuangan guru melawan ketidakpatuhan pemerintah atas amanah UU Sisdiknas.

Klaim 9 :Pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin. Anggaran kesehatan naik 3 kali lipat dari
sebelumnya, tertinggi sejak orde baru.
Antitesa : Biaya rata-rata kesehatan terus meningkat. Meningkatnya biaya kesehatan dan minimnya
ketersediaan layanan kesehatan gratis di berbagai rumah sakit telah menjadi isu yang hangat pada tahun
2007-2008. Bahkan, mahalnya biaya kesehatan menyebabkan masyarakat lebih percaya padadukun
cilik Ponari. Jika dikatakan anggaran kesehatan naik 3 kali, maka kita tanyakan kembali apakah
layanan kesehatan meningkat tiga kali? Ternyata tidak. RS Cipto Jakarta tetap menolak pasien untuk
rawat inap di RS dan meminta pasien tinggal di luar RS. Hal ini lebih terkait dengan inflasi. Sebagai
contoh. Pada tahun 1997, UMR rata-rata sekitar Rp 220 000. Tapi tahun 2009 sudah naik hampir 3.5 kali
yakni Rp 800.000 per bulan. Dengan pikiran sempit, maka kita akan merasa bahwa kenaikan UMR
sebesar 3x lipat ini merupakan prestasi tertinggi. Tapi, ingat pada beban masyarakat. Dengan gaji UMR
yang diperoleh oleh seorang pekerja (kepala keluarga atau KK), maka pada tahun 1997, KK tersebut dapat
membeli sekitar 300 kg beras (harga beras Rp 700 per kg). Namun pada 2009, ia hanya mampu
membeli sekitar Rp 160 kg beras (harga beras Rp 5000 per kg) meskipun UMR naik 3.5 kali. Artinya apa?
Kenaikkan pendapatan (3.5 kali) jauh dibawah kenaikan inflasi barang (beras naik 7 kali).

Klaim 10 :Korupsi diberantas tanpa pandang bulu. Lebih dari 500 pejabat publik diproses secara
hukum, tertinggi sejak merdeka.
Antitesa : #1 Sampai saat ini, kasus aliran korupsi dana non-budgeter DKP 2004 terhenti.
Berdasarkan pengakuan terpidana Rokhmin Dahuri dan pelaku Amien Rais bahwa pasangan capres-
cawapres 2004 memang menerima aliran dana non-budgeter DKP. Dan salah satu penerima dana
tersebut adalah SBY-JK sebesar Rp 225 juta. Namun kasus ini dihentikan setelah SBY berjabat tangan
dengan Amien Rais di Bandara Halim tahun 2007. Ini jelas merupakan cacat dalam pemberantasan
korupsi. Dan memang lumrah bahwa penguasa kita masih kebal akan hukum. Yang ironis adalah Rokmin
Dahuri menjadi tumbal para penikmat dana korupsi. Inikah pemberantasan korupsi tanpa bulu? Belum
lagi kita berbicara mengenai penanganan kasus royalti batubara, BLBI, suspensi saham BUMI dan
luapan lumpu Lapindo.
#2 Perlu diketahui bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi lebih diperankan oleh lembaga KPK. KPK
dapat eksis melalui UU 31 tahun 1999 di Pemerintahan BJ Habibie yang kemudian direvisi kembali dalam
UU 30 Tahun 2002 tentang Tipikor dibawah Pemerintah Megawati. Dan perlu dicatat, KPK adalah
lembaga independen yang dibentuk untuk memberantas korupsi dan melapor hasil kerjanya pada
DPR dan Presiden.

Klaim 11 :Pengangguran terus menurun. 9,9% pada tahun 2004 menjadi 8,5% pada tahun 2008.
Antitesa: Melalui klaim ini, justru sebenarnya menunjukkan pemerintahan SBY gagal dalam
merealisasi janji angin surga pada kampanye 2004 yang tertuang dalam RPJM. Dalam RPJM, SBY
berjanji akan mengurangi angka pengangguran dari 9.9% pada tahun 2004 menjadi 5.1% pada tahun
2009. Tapi, faktanya, meskipun anggaran naik 3 kali, jumlah penduduk yang menganggur tidak kunjung
berkurang sesuai dengan janjinya pada rakyat seperti kita. Dan data tahun 2008 mencatat angka
pengangguran adalah 8.4% jauh dibawah target janji kepada kita.

Klaim 12 :Kemiskinan terus turun 16,7% pada tahun 2004 menjadi 15,4% pada tahun 2008.
Antitesa: Jika tim iklan SBY-Demokrat mau jujur, fakta angka kemiskinan justru menunjukan
kegagalan janji SBY dalam pilpres 2004 yang dituangkan dalam RPJM 2005. Janji angka kemiskinan
dalam RPJM di tahun 2009 adalah 8.2%, tapi hingga tahun 2008, angka kemiskinan masih diatas 15.4%
tidak jauh bergeser dengan tahun 2004. Meskipun adanya program andalan seperti PNPM atau KUR,
jumlah penduduk miskin tidak mengalami pengurangan signifikan. Bayangkan meskipun anggaran naik
300%, angka kemiskinan pada 2004 berjumlah 36.1 juta jiwa hanya turun 35 juta jiwa pada Maret 2008
dan meningkat kembali menjadi 40 juta jiwa pada Desember 2008 (data survei UI).

***********
Semoga melalui tulisan ini, masyarakat harus melihat suatu iklan politik dengan objektif dengan selalu
bertanya “apakah benar data dan faktanya seperti itu?”. Sebaai rakyat kecil, kita bisa melihat, dengan
menggunakan persfektif data RPJM ataupun UU yang berlaku, maka sebenarnya klaim-klaim yang sering
digunakan SBY (Demokrat) dalam kampanye hanyalah “permainan” statistik kebenaran, yang bernilai
kebenaran relatif, bukan sepenuhnya kebenaran absolut. Semoga mereka yang biasanya bersikokoh
mengklaim prestasi ini dan itu, bisa sama-sama fair dalam menganalisa data dan kebenaran.

Salam Nusantaraku, 19 Juni 2009


ech-wan

Revisi 26 Juni 2009

Pada tanggal 26 Juni, tulisan dari 13 Fakta dan antitesa saya revisi menjadi 12 Fakta dan Antitesa. Yang
mana setelah saya berdiskusi dengan Sdr. Yogi, karena kurangnya data back-up saya. Meskipun sumber
YLKI saya hapus, namun klaim 8 masih mungkin dapat dipertanyakan kedepan.

Klaim 8 :Mengadakan program-program pro-rakyat seperti: BLT, BOS, Beasiswa, JAMKESMAS, PNPM
Mandiri, dan KUR tanpa agunan tambahan..
Antitesa : Apakah BLT memiliki dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat? Dengan hanya
memberi uang kepada masyarakat tanpa adanya follow up untuk menggunakan slot anggaran untuk
peningkatan kualitas hidup, maka program ad hoc BLT merupakan program yang tidak memiliki dampak
positif jangka panjang bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Padahal pada awalnya BLT hanya
digunakan untuk mengkompensasi kenaikan BBM. Sehingga pemberian BLT di tahun 2009 (bukan
dalam agenda kenaikan BBM) menyedot penambahan utang negara. Alasan pemberian BLT menjadi
lemah tatkala pemerintah sulit menciptakan lapangan pekerjaan. Angka kemiskinan yang meningkat di
akhir tahun 2008 (Hasil Penelitan UI akhir 2008 menyebutkan angka kemiskinan di atas 40 juta jiwa).
Program BOS, beasiswa, Jamkesmas merupakan program implementasi yang diwajibkan/amanah
dari UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Sehingga tim iklan SBY harus dengan jujur mengatakan mana
kewajiban/amanah UU, mana pula hasil kreatifitas pemimpin (BLT).

Update: (+ revisi bahas per 21 Juni)

Terima kasih Sdr Oto atas permintaannya data-data yang saya gunakan:

Saya menggunakan data: (silahkan klik sekitar 35 sumber data saya)


Data BPS : GDP—- Kemiskinan [pdf]—– Pengangguran
Janji SBY-JK 2004 dalam RPJM : PP 7 Tahun 2005
Data Bank Indonesia : Laporan BI 2008 [inflasi, GDP, cadangan devisa, APBN] —- Laporan BI
2004 —- Laporan BI 1998-1999
UU APBN : 2004-2008
Laporan BPK : Pemeriksaan 2007 —— Pemeriksaaan 2007 dan 2006 —- Laporan
Pemeriksaan LKPP RI 2008
Kurs Dollar : Depkeu
Korupsi : UU 30/2002 -— UU 31/1999 — Sumber 1 —Sumber 2 —Sumber 3 —Sumber 4—
Sumber 5 —Sumber 6-
Indikasi Korupsi Utang Luar Negeri : Sumber 1 —-Sumber 2—-Sumber 3 —-Sumber 4-
Jumlah Utang : Dirjen Pengelolaan Utang per 31 Maret 2009
Lainnya : UU Sisdiknas —- Agenda Privatisasi-——-Tim Bayangan Kampanye —--Antara
Menteri dan Parpol—-Utang Najis – Pelajaran Utang Najis— 4X Perampokan Indonesia—
Lapindo — Gugatan PGRI ke Pemerintah via MK —- BLT dan Rokok — Detikfinance

Saya menggunakan referensi data-data diatas, silahkan jika Anda ingin menyanggah data
tersebut klik link-link situs tersebut. Sedangkan link iklan kampanye tidak perlu saya beri link,
karena Anda sudah familiar dengan isi iklan tersebut di TV, Radio, internet ataupun Koran.
Silahkan memberi komentar dengan data-data dan fakta saudara, dan saya harap bukan
komentar dengan landasan “menurut apa yang saya dengar, yang penting ……”. Mari belajar
data dan fakta. Trims
Catatan : alasan dan saran dari tulisan saya dapat dilihat di klik sini. [ingat jadilah pendukung
yang berkualitas begitu juga jadi kritikus yang berdasar data dan fakta]

9. Era perjuangan kemerdekaan[sunting | sunting sumber]


Akhir masa Pimpinan Jumlah
No Nama Kabinet Awal masa kerja Jabatan
kerja Kabinet personel
2 14
1 Presidensial Ir. Soekarno Presiden 21 orang
September 1945 November 1945

14 Perdana
2 Sjahrir I 12 Maret 1946 Sutan Syahrir 17 orang
November 1945 Menteri

Perdana
3 Sjahrir II 12 Maret 1946 2 Oktober 1946 Sutan Syahrir 25 orang
Menteri

Perdana
4 Sjahrir III 2 Oktober 1946 3 Juli 1947 Sutan Syahrir 32 orang
Menteri

Amir 11 Perdana
5 3 Juli 1947 Amir Sjarifuddin 34 orang
Sjarifuddin I November 1947 Menteri

Amir 11 Perdana
6 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin 37 orang
Sjarifuddin II November 1947 Menteri

Mohammad Perdana
7 Hatta I 29 Januari 1948 4 Agustus 1949 17 orang
Hatta Menteri

19 S.
* Darurat 13 Juli 1949 Ketua 12 orang
Desember 1948 Prawiranegara

20 Mohammad Perdana
8 Hatta II 4 Agustus 1949 19 orang
Desember 1949 Hatta Menteri

Era demokrasi parlementer[sunting | sunting sumber]


Awal masa Akhir masa Pimpinan Jumlah
No Nama Kabinet Jabatan
kerja kerja Kabinet personel
20 6 Mohammad Perdana
* RIS 17 orang
Desember 1949 September 1950 Hatta Menteri

20 Susanto Pjs Perdana


9 Susanto 21 Januari 1950 10 orang
Desember 1949 Tirtoprodjo Menteri

6 Perdana
10 Halim 21 Januari 1950 Abdul Halim 15 orang
September 1950 Menteri

6 Mohammad Perdana
11 Natsir 27 April 1951 18 orang
September 1950 Natsir Menteri

Sukiman- Sukiman Perdana


12 27 April 1951 3 April 1952 20 orang
Suwirjo Wirjosandjojo Menteri

Perdana
13 Wilopo 3 April 1952 30 Juli 1953 Wilopo 18 orang
Menteri

Ali Ali Perdana


14 30 Juli 1953 12 Agustus 1955 20 orang
Sastroamidjojo I Sastroamidjojo Menteri

Burhanuddin Burhanuddin Perdana


15 12 Agustus 1955 24 Maret 1956 23 orang
Harahap Harahap Menteri

Ali
Ali Perdana
16 Sastroamidjojo 24 Maret 1956 9 April 1957 25 orang
Sastroamidjojo Menteri
II

Perdana
17 Djuanda 9 April 1957 10 Juli 1959 Djuanda 24 orang
Menteri

Era Demokrasi Terpimpin[sunting | sunting sumber]


Nama Pimpinan Jumlah
No Awal masa kerja Akhir masa kerja Jabatan
Kabinet Kabinet personel

18 Kerja I 10 Juli 1959 18 Februari 1960 Ir. Soekarno Presiden 33 orang

19 Kerja II 18 Februari 1960 6 Maret 1962 Ir. Soekarno Presiden 40 orang

13
20 Kerja III 6 Maret 1962 Ir. Soekarno Presiden 60 orang
November 1963

13
21 Kerja IV 27 Agustus 1964 Ir. Soekarno Presiden 66 orang
November 1963

22 Dwikora I 27 Agustus 1964 22 Februari 1966 Ir. Soekarno Presiden 110 orang

23 Dwikora II 24 Februari 1966 28 Maret 1966 Ir. Soekarno Presiden 132 orang

24 Dwikora III 28 Maret 1966 25 Juli 1966 Ir. Soekarno Presiden 79 orang

25 Ampera I 25 Juli 1966 17 Oktober 1967 Ir. Soekarno Presiden 31 orang

26 Ampera II 17 Oktober 1967 6 Juni 1968 Jend. Soeharto Pjs Presiden 24 orang

Era Orde Baru[sunting | sunting sumber]


Awal masa Akhir masa Pimpinan Jumlah
No Nama Kabinet Jabatan
kerja kerja Kabinet personel

27 Pembangunan I 6 Juni 1968 28 Maret 1973 Jend. Soeharto Presiden 24 orang


28 Pembangunan II 28 Maret 1973 29 Maret 1978 Jend. Soeharto Presiden 24 orang

29 Pembangunan III 29 Maret 1978 19 Maret 1983 Soeharto Presiden 32 orang

30 Pembangunan IV 19 Maret 1983 23 Maret 1988 Soeharto Presiden 42 orang

31 Pembangunan V 23 Maret 1988 17 Maret 1993 Soeharto Presiden 44 orang

32 Pembangunan VI 17 Maret 1993 14 Maret 1998 Soeharto Presiden 43 orang

Pembangunan
33 14 Maret 1998 21 Mei 1998 Soeharto Presiden 38 orang
VII

Era reformasi[sunting | sunting sumber]


Awal masa Akhir masa Jumlah
No Nama Kabinet Pimpinan Kabinet Jabatan
kerja kerja personel

Reformasi 26
34 21 Mei 1998 B.J. Habibie Presiden 37 orang
Pembangunan Oktober 1999

Persatuan 26
35 9 Agustus 2001 Abdurahman Wahid Presiden 36 orang
Nasional Oktober 1999

9 21 Megawati
36 Gotong Royong Presiden 33 orang
Agustus 2001 Oktober 2004 Soekarnoputri

Indonesia Bersatu 21 22 Susilo Bambang


37 Presiden 37 orang
I Oktober 2004 Oktober 2009 Yudhoyono

38 Presiden 38 orang
Indonesia Bersatu 22 27 Susilo Bambang
II Oktober 2009 Oktober 2014 Yudhoyono

27
39 Kerja Petahana Joko Widodo Presiden 34 orang
Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai

  • Pengertian Sediaan Steril
    Pengertian Sediaan Steril
    Dokumen6 halaman
    Pengertian Sediaan Steril
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Tabel Obat Reren
    Tabel Obat Reren
    Dokumen17 halaman
    Tabel Obat Reren
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Tapeee
    Tapeee
    Dokumen23 halaman
    Tapeee
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Ijin Cuti
    Ijin Cuti
    Dokumen1 halaman
    Ijin Cuti
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Fix
    Fix
    Dokumen67 halaman
    Fix
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Farter ETIOLOGI & PATOFISIOLOGI EPILEPSI (Reren)
    Farter ETIOLOGI & PATOFISIOLOGI EPILEPSI (Reren)
    Dokumen2 halaman
    Farter ETIOLOGI & PATOFISIOLOGI EPILEPSI (Reren)
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Pemeliharaan
    Pemeliharaan
    Dokumen3 halaman
    Pemeliharaan
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Black Cohosh
    Black Cohosh
    Dokumen2 halaman
    Black Cohosh
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat
  • Antibiotik
    Antibiotik
    Dokumen10 halaman
    Antibiotik
    Reny Diastri Noviriana
    Belum ada peringkat