Tugas Sejarah
Tugas Sejarah
mantan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari gerakan reformasi yang
dimotori oleh mahasiswa telah membuka cakrawala baru bagi penyelesaian persoalan Timor
Timur. Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang dirasakan oleh
rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis multidimensi di Indonesia. Dengan
momentum reformasi itu, persoalan status Timor Timur yang menarik perhatian PBB dan
masyarakat internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Penyelesaian masalah Timor Timur
ini dilanjutkan oleh B.J Habibie dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian status khusus
dengan otonomi luas dalam sebuah rapat kabinet pada tanggal 9 Juni 1998.
1. Tawaran ( Opsi) Penyelesaian Persoalan Timor Timur
Konsep Otonomi Luas telah lama menjadi pembicaraan banyak kalangan bagi penyelesaian
persoalan Timor Timur. Setelah insiden Santa Cruz, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah
berusaha menyerukan otonomi bagi Timor Timur sebagai alternatif terbaik yang dapat
dilakukan[1]. Seruan tersebut disampaikannya setelah surat usulan tentang referendum yang
pernah disampaikannya kepada Sekretaris Jendral PBB-Javier Perez de Cuellar mendapat reaksi
keras dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Uskup Belo mengungkapkan
pengalamannya selama bertugas untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan yang mengalami
ancaman sehingga ia meminta bantuan pengamanan dari internasional. Hal itu dilakukannya
dengan alasan di Timor Timur sudah tidak ada tempat untuk melakukan pengaduan karena ABRI
yang dianggap sebagai pelindung telah melakukan hal sebaliknya berupa tindakan ancaman dan
kekerasan[2]. Akan tetapi semua usulan mengenai pemberian otonomi luas di Timor Timur tidak
mendapat perhatian serius dari pemerintah Republik Indonesia pada saat itu karena posisi dan
sikap pemerintah sangat jelas yang menganggap bahwa integrasi Timor Timur merupakan hal yang
telah final dan tidak bisa ditawar[3].
Pemberian otonomi luas menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu bentuk
penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, dan dapat diterima secara internasional. Cara ini
menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu cara penyelesaian yang paling realistis, paling
mungkin terlaksana, dan dianggap paling berprospek damai, sekaligus merupakan suatu kompromi
yang adil antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan[4]. Tawaran dari pemerintah berupa
Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala
Daerahnya sendiri, menentukan kebijakan daerah sendiri, dan dapat mengurus daerahnya sendiri.
Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden
B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun tidak mendapat
pengakuan dari PBB.
Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan
otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini terlihat
pada saat Presiden mengutus Menteri Luar Negeri Ali Alatas untuk menyampaikan usulan Indonesia
tentang pemberian status khusus ini kepada Sekjen PBB di New York pada tanggal 18 Juli 1998.
Selain itu juga diperkuat dengan berlangsungnya kembali Perundingan“Senior Official Meeting”
(SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998.
Dari hasil dialog tersebut ketiga pihak sepakat untuk membahas dan menjabarkan lebih lanjut
usulan baru dari Pemerintah Republik Indonesia mengenai otonomi luas sebagai usaha
penyelesaian persoalan Timor Timur tanpa merugikan posisi masing-masing pihak. Pada saat yang
sama Sekretaris jendral PBB juga sedang berusaha untuk meningkatkan konsultasi dengan berbagai
tokoh masyarakat Timor Timur yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu dilakukan
dengan tujuan untuk menyampaikan perkembangan perundingan yang telah dilakukan kepada
mereka dan sekaligus untuk mendapatkan masukan-masukan dari mereka sebagai bahan
pertimbangan dalam mempersiapkan rancangan naskah persetujuan tentang rancangan otonomi
luas pada pertemuan dialog segitiga ( tripartite talks) tersebut.
Tanggapan positip mengenai rancangan otonomi luas juga diberikan oleh banyak tokoh dan
kalangan moderat Timor Timur. Hal ini antara lain terlihat dalam diskusi yang diprakarsai
oleh East Timor Study Group (ETSG)[5]. Mereka melihat konsep otonomi luas tersebut di dalam
kerangka suatu masa transisi yang cukup lama sebelum suatu penyelesaian menyeluruh melalui
referendum diadakan. Otonomi luas tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah
Republik Indonesia, bisa juga tidak diperlukan apabila masyarakat sudah puas dengan pilihan
tersebut.
Sebagaimana otonomi yang telah diterapkan di berbagai negara lain, wewenang
Pemerintah Daerah Timor Timur adalah mengatur berbagai aspek kehidupan kecuali aspek
pertahanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal. Wewenang pemberian otonomi luas terhadap
masyarakat Timor Timur ini jika dilihat dan ditinjau terdapat perbedaan dan jauh lebih luas
daripada kebebasan yang diberikan kepada propinsi-propinsi lain di Indonesia dalam mengatur
kehidupan masyarakatnya. Tindakan ini diambil oleh pemerintah mengingat Timor Timur memiliki
kekhususan sejarah dan sosial budaya sehingga diperlukan pengaturan yang lebih bersifat
khusus[6]. Akan tetapi semua perkembangan mengenai otonomi tersebut mengalami perubahan
karena pada saat Pemerintah Republik Indonesia dan Portugal sedang melanjutkan pembicaraan
berkaitan dengan tawaran otonomi luas bagi Timor Timur, Presiden B.J.Habibie mengajukan Opsi
II pada tanggal 27 Januari 1999. Opsi II menyebutkan bahwa jika rakyat Timor Timur menolak Opsi
I tentang pemberian otonomi luas maka Pemerintah Republik Indonesia akan memberikan
kewenangannya kepada MPR hasil pemilu bulan Juni 1999 untuk memutuskan kemungkinan
melepaskan wilayah tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara terhormat,
baik-baik, dan damai, serta secara konstitusional.
Usulan mengenai Opsi II disampaikan oleh Presiden B.J.Habibie pada saat berlangsung
Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri Bidang Politik dan Keamanan (Rakorpolkam) pada tanggal
25 Januari 1999. Rapat tersebut dilakukan untuk membahas surat yang dikirim oleh Perdana
Menteri Australia-John Howard kepada Presiden RI tanggal 19 Desember 1998 mengenai perubahan
sikap Pemerintah Australia terhadap Pemerintah Indonesia. Di dalam suratnya, PM John Howard
mendesak dilakukannya Jajak Pendapat (referendum) setelah penerapan status khusus dengan
otonomi luas di Timor Timur untuk jangka waktu tertentu. Perubahan sikap Australia itu
berpengaruh bagi Pemerintah Republik Indonesia karena Australia sebelumnya menjadi salah satu
dari beberapa negara yang mendukung integrasi dan mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur.
Usulan Presiden B.J.Habibie kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 27 Januari 1999 dan
disetujui oleh para anggota dalam Sidang Kabinet Paripurna terbatas Bidang Politik dan
Keamanan. Apapun hasil dari referendum menurut Presiden B.J.Habibie akan berdampak positip
bagi Pemerintah Republik Indonesia. Indonesia akan terbebas dari beban nasional untuk
membiayai pembangunan di Timor Timur, maupun tekanan-tekanan internasional dan kritik dari
negara lain.
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut diambil dengan
pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam negeri pada saat. Kebijakan
Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan suatu usaha untuk membangun citra baik
sebagai pemerintahan transisi yang reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk
membangun kembali perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang
sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari oleh sikap
Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia(HAM) dan memberikan kebebasan di
atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia[7].
Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang
didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau keadaan Timor
Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap netral. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri
Jaime Gama ( Portugal) dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh
perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan[16]. Kesepakatan ini diperoleh dalam
sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di New York (AS) yang menghasilkan
“Persetujuan New York”. Persetujuan ini menghasilkan tiga hal yang disepakati dan
ditandatangani, serta satu lampiran yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi
Timor Timur. Ketiga hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal
mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara Jajak Pendapat
melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta adil; (3) persetujuan tentang
pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan
Keamanan PBB No.1236 tahun 1999 dalam pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7
Mei 1999[17].
2. Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur yang
muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie. Sesuai dengan Perjanjian New York, Jajak
Pendapat diselenggarakan oleh PBB. Pelaksanaan Jajak Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu
(1) Tahap Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni 1999; (2) Tahap
Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999; (3) Tahap Persiapan dan Registrasi,
tanggal 13 Juni-17 Juli 1999; (4) Tahap Pengajuan keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat,
tanggal 18-23 Juli 1999; (5) Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus
1999; (6) Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999; (7) Tahap Pemungutan suara, tanggal
8 Agustus 1999. Dalam pelaksanaan ada beberapa tahapan yang dilakukan tidak sesuai dengan
rencana sehingga mempengaruhi seluruh proses Jajak Pendapat. Tahap-tahap yang mengalami
perubahan waktu pelaksanaan yaitu Tahap Persiapan dan Registrasi dilakukan tanggal 16 Juli 1999
karena ada kesulitan dalam penyelenggaraan peralatan, logistik, dan keterbatasan personil.
Registrasi dilakukan tanggal 6 Agustus 1999 untuk wilayah Timor Timur dan 8 Agustus 1999 untuk
wilayah diluar Timor Timur. Masa Kampanye juga mengalami kemunduran sehingga dimulai tanggal
11-27 Agustus 1999. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Kemunduran
penyelenggaraan Jajak Pendapat selain karena perubahan waktu pelaksanaan tahapan
sebelumnya, juga karena alasan keamanan dan logistik[18]. Perubahan waktu penyelenggaraan
Jajak Pendapat disahkan dengan resolusi PBB No.1262 tanggal 27 Agustus 1999[19].
Jajak Pendapat dilakukan secara serentak di lebih dari 700 Tempat
Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur pada tanggal 30 agustus 1999 dan
diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur yang berada di wilayah ini. Disamping
itu juga diikuti oleh sekitar 30.000 orang Timor Timur yang berada di daerah lain
(Denpasar, Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta) serta di Luar Negeri (AS,
Australia, Macau, Mozambik, Portugal) yang telah memenuhi syarat menjadi
pemilih[20]. Syarat bagi orang-orang yang berhak mengikuti jajak pendapat adalah (1)
telah berumur 17 tahun; (2) lahir di Timor Timur; (3) lahir diluar Timor Timur, tetapi
memiliki sedikitnya satu orang tua yang lahir di Timor Timur; (4) menikah dengan
seseorang yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Sementara itu hasil jajak pendapat
diumumkan oleh PBB tanggal 4 September 1999.
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580
orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas
yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran
tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia melalui MPR
hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti dengan mengambil langkah-
langkah konstitusional untuk melepaskan Timor Timur dari NKRI dan mengembalikan
status wilayah itu seperti sebelum berintegrasi . Hasil tersebut pada satu sisi sangat
menggembirakan kelompok pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain
mengecewakan kelompok pro-integrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah
berjuang mempertahankan integrasi Timor Timur[21].
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat, keadaan di Dili ( Ibu
kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan kecewa dengan hasil jajak
pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan intimidasi terhadap para pendukung
anti-integrasi. Pertikaian dan konflik antara kedua pihak semakin meningkat setelah
masing-masing pihak menyatakan siap untuk perang. Pada tanggal 4 September
terjadi pertikaian antara kedua kelompok di Pelabuhan Dili. Kelompok anti-integrasi
yang terdesak bersembunyi dirumah Uskup Belo sehingga menyebabkan massa dari
kelompok pro-integrasi marah dan membakar salah satu bangunan di Keuskupan.
Peristiwa kekerasan juga terjadi pada tanggal 5 September 1999 di Keuskupan Diosis
Dili dan mengakibatkan banyak orang meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor
CNRT di Mascaronhos, Dili Barat. Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran
terhadap kantor CNRT oleh massa kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa
tersebut menyebabkan keadaan di Timor Timur semakin tidak aman sehingga
mengakibatkan banyak orang mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari
mereka yang mencari perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat
(NTT) yang berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan Pemerintah Republik
Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan dari masyarakat
internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan amanat sesuai
Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia, Inggris, Jepang,
Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak Pemerintah Republik
Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman dan tertib di Timor
Timur[22]. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia
dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila
Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur. Selain itu
DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum kepada
Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila dalam waktu 48
jam aparat keamanan (TNI/POLRI) tidak berhasil mengembalikan keamanan dan
ketertiban Timor Timur maka Pemerintah Republik Indonesia harus siap untuk
menerima bantuan internasional[23].
Banyaknya tekanan dari masyarakat internasional menyebabkan Pemerintah
Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan darurat di Timor
Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959 tentang Keadaan Darurat maka
mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan
Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan keadaan Darurat Militer (PDM) memberi
landasan hukum dan wewenang bagi TNI/POLRI untuk bertindak lebih tegas dalam
menindak kerusuhan, kebrutalan, dan pelanggaran hukum di wilayah itu supaya
ketertiban dapat pulih[24]. Keputusan ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun
1999 dan Lembaran Negara No.152 serta mendapat persetujuan dari Portugal dan
Sekjen PBB. Oleh karena hasil yang dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan
maka pada tanggal 24 September kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini
menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan
multinasional penjaga perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan
perdamaian dan keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, maka
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999 yang
disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB[25]. Berdasar Bab VII Piagam PBB,
maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan multinasional(Multinational
Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force East Timor). Badan ini bertugas
untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur, melindungi dan
mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya, dan memfasilitasi operasi bantuan
keamanan PBB serta harus bersikap netral[26]. Badan ini secara resmi bertugas untuk
mengambil alih tanggung jawab keamanan di Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada
tanggal 20 September 1999 pasukan INTERFET yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter
Cosgrove tiba di Timor Timur untuk melakukan Operasi Pemulihan (Operation
Stabilise). Seperti halnya dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap tidak netral
dan berpihak pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di Timor Timur semakin
baik dan ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan
INTERFET ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.
2. Liputan6.com, Jakarta: Lelaki brewok dan berambut gondrong itu tampak bersemangat
mengibarkan bendera Merah Putih yang sesekali diciumnya. Ia pun tenggelam dalam kerumunan
wartawan dan sejumlah pendukung, sesaat sebelum meninggalkan Cipinang, penjara di bilangan
Jakarta Timur. Pria kekar berpostur sedang itu adalah Eurico Guterres, mantan wakil komandan
milisi pro-integrasi Timor Timur. Ketika itu, tepatnya Senin pekan kedua April tahun silam, Eurico
baru saja bebas. Selama dua tahun ia mendekam di penjara dalam kasus pelanggaran berat hak
asasi manusia saat kerusuhan di Timor Timur, pascajajak pendapat 30 Agustus 1999.
Eurico Barros Gomes Guterres, kelahiran Viqueque, Timor Timur, adalah pejuang integrasi Timor
Timur yang disebut-sebut direkrut oleh militer Indonesia. Ia dituduh terlibat dalam sejumlah
pembantaian di Timor Timur. Eurico dituding pula sebagai pemimpin milisi utama yang terlibat
pembantaian pascareferendum dan penghancuran Dili, ibu kota Timor Timur--nama Timor Leste
sebelum lepas dari Indonesia.
Eurico dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada November 2002. Putusan
ini kemudian dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Ia baru mulai dipenjarakan pada
tahun 2006, setelah gagal dalam upaya banding yang diajukan.
Dalam persidangan maraton di Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc,
Eurico didakwa sebagai provokator dalam penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalao, 17 April
1999, sehingga menewaskan 12 orang dan mencederai puluhan lainnya. Namun, pada April 2008,
Eurico yang mengajukan peninjauan kembali, dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan
Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan novum atau bukti baru.
Beberapa saat setelah menghirup udara kebebasan mantan Komandan Milisi Aitarak ini menggelar
jumpa pers. Eurico menyatakan: "Orang yang sudah diadili, orang yang sudah dihukum karena
kasus yang sama, tidak mungkin, tidak bisa diadili untuk kedua kalinya". Ia mengatakan telah
menjalani aturan hukum di Indonesia. Tapi, dirinya tak akan mematuhi hukum internasional yang
akan mengadilinya.
Dengan keluarnya Eurico Guterres dari penjara, berarti 18 terdakwa (dari militer dan kepolisian)
kasus pelanggaran HAM Timor Timur telah dibebaskan. Empat tahun sebelumnya, Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur periode 1992 hingga 2002. yang juga menjadi
terpidana kasus pelanggaran HAM di Timtim dibebaskan. Dia bisa menghirup udara bebas dari
Penjara Cipinang setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang
membatalkan vonis tiga tahun majelis hakim Peradilan Ad Hoc HAM, pertengahan Agustus 2002.
***
Jauh sebelumnya, tepatnya 22 September 1999, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) telah membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur. KPP HAM yang
diketuai Albert Hasibuan kemudian memusatkan perhatian pada kasus-kasus utama sejak Januari
sampai Oktober 1999. Kasus-kasus itu meliputi: pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, 6 April;
penculikan enam orang warga Kailako, Bobonaro 12 April; pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro;
penyerangan rumah Manuel Carrascalao, 17 April; penyerangan Diosis, Dili, 5 September;
penyerangan rumah Uskup Belo, 6 September; pembakaran rumah penduduk di Maliana, 4
September; penyerangan kompleks Gereja Suai, 6 September; pembunuhan di Polres Maliana, 8
September; pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes, 21 September; pembunuhan
rombongan rohaniwan dan wartawan di Lospalos, 25 September; dan kekerasan terhadap
perempuan.
Di tahun 1999, suhu politik dan keamanan di Timor Timur, memang kian panas Baca: <a
href="http://berita.liputan6.com/kilasbalik/200908/242430/Keluar.Juga.Kerikil.dalam.Sepatu.Itu">Kelu
ar Juga Kerikil dalam Sepatu Itu</a> kepada masyarakat Timor Timur. Namun, menurut Wiranto,
pasukan TNI tidak bisa menghentikannya. "Daerah Timor Timur memang rawan konflik. Kami sudah
mencegah, kalau nggak pasti sudah terjadi perang saudara," kata Wiranto.
***
Memang, saat itu, dalam waktu bersamaan muncul berbagai kebijakan politik dan keamanan
terhadap Timor Timur. Ini kemudian justru memperkuat kelompok-kelompok sipil bersenjata yang
dikenal sebagai milisi dan meningkatnya bentuk-bentuk kekerasan. Serta, munculnya reaksi dari
kelompok masyarakat pro-kemerdekaan. Bentrokan fisik maupun bersenjata pun kerap terjadi di
antara kedua kelompok.
Berdasarkan laporan Pangdam Udayana Mayor Jenderal TNI Adam R. Damiri kepada Feisal
Tanjung--Menteri Koordinator Politik Keamanan saat itu, dinyatakan bahwa kelompok pro-integrasi
dimotori oleh para pemuda yang mendirikan organisasi cinta merah putih. Laporan-laporan lainnya
menyebutkan para pemuda yang membentuk organisasi cinta merah putih tersebut sebelumnya
adalah anggota Gada Paksi atau Garda Muda Penegak Integrasi yang dihimpun, dilatih dan dibiayai
oleh Kopassus tahun 1994-1995.
Nah, Eurico Guterres yang tak lain pemimpin milisi Aitarak di Dili adalah tokoh dalam
Gada Paksi tersebut. Kelompok-kelompok milisi itu lalu bergabung ke dalam Pasukan Pejuang
Integrasi dengan panglimanya Joao Tavares dan wakilnya Eurico Guterres serta kepala stafnya,
Herminio da Costa da Silva. Kelompok-kelompok pro-integrasi ini menurut keterangan sejumlah
bupati dan Gubernur Timor Timur disebut Pam Swakarsa. Keberadaan milisi pro-integrasi pun diakui
oleh Jenderal TNI Wiranto.
Institusi kepolisian pun seakan tak berfungsi menerapkan tindakan hukum dalam kasus-kasus
kekerasan. Soal ini, mantan Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur semasa pelaksanaan jajak
pendapat, Timbul Silaen, menilai beberapa peristiwa penyerangan yang terjadi disebabkan oleh dua
hal. "Ada lubang-lubang yang tidak tuntas dalam pelaksanaan kesepakatan itu (kesepakatan
otonomi khusus Timor Timur)," ujar dia, dalam forum dengar pendapat yang digelar Komisi
Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste, awal Mei 2007.
Menurut Timbul, ketika kesepakatan itu ditandatangani, ada proses kantongisasi pelucutan senjata.
"Pelucutan senjatanya tidak beres. Katanya senjata harus dilucuti dan dikumpulkan, tapi ternyata
tidak," ujar dia. Akibatnya, penyerangan terus terjadi. Faktor percepatan pelaksanaan jajak
pendapat, menurut Timbul juga menjadi salah satu faktor.
***
Akhirnya, hasil jajak pendapat menunjukkan hanya 21,5 persen rakyat Timor Timur menerima
Otonomi Khusus dan tetap bergabung dengan NKRI, seperti yang ditawarkan Presiden B.J. Habibie.
Selebihnya, 78,5 persen menolak tawaran tersebut dan memilih lepas dari Indonesia. Setelah itu,
kelompok pro-integrasi menyambut hasil jajak pendapat dengan “membumihanguskan” Bumi Loro
Sae. Opsi yang ditawarkan Presiden Habibie dituding sebagai sumber malapetaka.
Ibarat jarum jam yang terus berputar ke depan, kala itu sejarah tidak bisa diulang di Timor Timur.
Seperti pada 1975, sewaktu beberapa kelompok politik di sana menyatakan bergabung dengan
Indonesia.
Setelah lepas, bekas provinsi ke-27 Indonesia itu berada dalam naungan pemerintahan sementara
PBB di Timtim atau UNTAET Baca: <a
A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai fenomena-fenomena yang terjadi pada kehidupan politik di
Indonesia semenjak kemerdekaan sampai era kontemporer sekarang ini memang tak ada
habisnya. Selalu saja ada hal yang patut untuk didiskusikan sebagai bahan ilmu pengetahuan
tentang Negara kita ini.
Inipun tak lepas dari pembicaraan mengenai partai-partai politik Islam di Indonesia
ditinjau dari beberapa ukuran, baik itu sejarah dan perannya. Semenjak awal kehidupan
perpolitikan di Indonesia lahir, partai poitik Islam langsung memegang peran besar di dalamnya.
Pada zaman kekuasaan Soekarno, sebenarnya telah banyak pelajaran politik yang dapat
kita ambil dalam ruang lingkup partai politik Islam. Ada fenomena unifikasi dan koalisi serta
juga ada fenomena fragmentasi dan oposisi.
Pun yang terjadi pada era Soeharto, tetapi bedanya parpol pada zaman ini ibarat sebuah
mobil yang sedang dikendarai oleh seorang sopir yaitu kekuatan Soeharto dan Orde Barunya
(Golkar dan Militer). Kendaraan itu akan melaju sesuai dengan kehendak sang sopir.
Pasca rezim Soharto runtuh dan hidup era Reformasi, kehidupan politik nasional menjadi
ceria kembali bak bunga di musim semi.
Seperti apakah keadaan dan fenomenanya ? Di sinilah kita akan membicarakannya
bersama-sama.
D. PEMILU 1999
Di tengah derasnya kritikan atas keberlangsungan dan legalitas pemerintahan Habibie,
ternyata ia masih dapat berpikir secara dingin dan bijaksana. Ia mengundang beberapa pakar dan
tokoh untuk menanyakan apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjawab aspirasi rakyat dan
mengimplementasikan reformasi. Pada akhirnya, disepakati bahwa sebaiknya segera
dilaksanakan pemilu yang demokratis sehingga mendapatkan pemimpin yang mempunyai
legitimasi dari rakyat dan dunia internasional.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7,
yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Lalu, diadakan
amandemen UU Partai Politik (UU No.2/1999), UU Pemilu (UU No.3/1999), UU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.4/1999).
Maka, segera dibentuklah Tim 11 sebagai tindak lanjutnya yang bertugas untuk
memverifikasi partai-partai politik calon peserta pemilu 1999. Setelah itu, membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil
dari pemerintah.
Pasca Orde Baru, banyak partai politik yang berdiri dengan berbagai ideologinya masing-
masing. Ada yang menggunakan ideologi suatu agama tertentu maupun nasionalis. Tercatat ada
sekitar 181 partai politik yang berdiri dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Namun,
hanya 141 partai saja yang dapat disahkan oleh Departemen Kehakiman dan tercatat dalam
lembaran Negara. Bahkan terlebih lagi, hanya 48 partai politik saja yang lolos verifikasi dan
berhak dalam pemilu 1999.
Maraknya pembentukan partai politik pasca rezim Soeharto bukan hal mengagetkan.
Sebab:[3]
1. Eksistensi hanya tiga partai (PPP, Golkar dan PDI) yang terwujud di era Orde Baru bukan
karena kemauan rakyat ataupun berjalan alamiah. Tapi lebih karena pemaksaan penguasa.
2. Fenomena ketidakpuasan tersebut telah kelihatan akarnya justru sebelum Orde Baru tumbang.
Seperti dihidupkannya Partai Masyumi Baru (Januari 1996), Partai Rakyat Demokrat (15 April
1996) dan Partai Uni Demokrasi Indonesia (29 Mei 1996). Namun, kala itu mereka menyebutnya
sebagai ormas untuk menghindari ancaman.
Melihat hasil ini, ternyata perolehan suara partai politik Islam masih memprihatinkan.
PPP dan PKB memperoleh suara yang cukup siginifikan belum tentu karena perjuangannya,
tetapi yang jelas lebih karena hubungan emosional kedua partai itu dengan
massanya.[4]Mengapa demikian ? Karena, di tubuh PPP unsur yang paling dominan adalah dari
NU. Sedangkan dari kubu PKB sudah amat jelas posisi NU, di mana PB NU merupakan pendiri
PKB serta pengaruh ketokohan Gus Dur.
Mengenai PBB, sesungguhnya mereka hanya memperoleh 2 kursi, namun karena sistem
penghitungan suara yang memberlakukan sisa suara, maka PBB mendapat rezeki tambahan yaitu
11 kursi menjadi total 13 kursi.
Mencermati suara Golkar yang masih terhitung tinggi, tak lepas dari dukungan kelompok
modernis Islam. Kelompok modernis lebih suka kelompok politik yang tidak mengatasnamakan
Islam tetapi memiliki komitmen yang jelas pada Islam, yaitu Golkar.[5]Selain itu, Golkar
terhitung sebagai partai senior dan cukup lama berkuasa dan member kesan bagi masyarakat.
I. KESIMPULAN
Perjalanan panjang yang ditempuh partai-partai politik Islam dari akhir rezim Soeharto,
menuju kepemimpinan Habibie sampai pada pemerintahan Gus Dur melewati banyak jalan terjal
dan menemui banyak kerikil tajam.
Dimulai dari hegemoni dan euphoria partai-partai politik di Pemilu 1999 yang
menciptakan kehidupan demokrasi di negeri ini bangkit dari kematiannya. Serta, memulai
catatan sejarah tentang artinya kebebasan berpolitik dan berorganisasi.
Meskipun, terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara harapan dengan kenyataan yang
dialami partai-partai politik Islam di Indonesia pada pemilu 1999, tetapi mereka bisa
menunjukkan kesolidannya dan melupakan sejenak fragmentasi yang terjadi dalam dunia
realitasnya.
Hitam-putih Poros Tengah juga memberi warna yang indah dalam menghiasi perjalanan
mereka. Namun, terlepas dari itu semua, inilah masa-masa yang banyak disebut para pemikir dan
pakar politik Indonesia sebagai era keemasan dan kecemerlangan kekuatan politik Islam di
Indonesia.
Satu lagi catatan yang ditinggalkan adalah, apakah pasca era ini akan terbentuk dan
tumbuh kembali unity of Islamic powers.
4. etelah lengsernya Soeharto dari kursi pemerintahannya, maka MPR mengadakan Sidang Umum MPR thn 1999
dimana B.J.Habiebie menjadi Presiden RI ke-3. namun kemudian pada tahun 1999 diadakan pemilu thn 1999.
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR berdasarkan hasil pemilihan
umum tahun 1999 serta berhasil menetapkan jumlah wakil-wakil utusan gololngan maupun utusan daerah, maka
MPR segera melaksanakan sidang.
Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1-21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien
Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna
MPR XII, pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355
suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie
tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia.
Kegagalan Habibie menjadi calon presiden Republik Indonesia sebagai akibat ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya, memunculkan tiga calon presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada
tahap pencalonan presiden di antaranya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuzril Ihza
Mahendra. Namun, detik-detik menjelang dilaksanakan pemungutan suara untuk memilih presiden tanggal 20
Oktober 1999, Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon presiden yang maju
dalam pemilihan itu, yaitu Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang
dilaksanakn secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21
Oktober 1999 dilak sanakan pemilihan wakil presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz.
Pemilihan wakil presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25
Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk
Kabinet Persatuan Nasional. ¹
Ada beberapa ketetapan dalam SU MPR 1999 yaitu sebagai berikut.²
1) Ketetapan MPR No. I Tahun 1999 tentang perubahan kelima atas Ketetapan MPR RI No I/MPR/1983 Tentang
peraturan tata tertib majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia.
2) Ketetapan MPR No. II Tahun 1999 tentang peraturan tata tertib MPR RI.
3) Ketetapan MPR No.III Tahun 1999 tentang pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing
Bacharudin Jusuf Habibie.
4) Ketetapan MPR No.IV Tahun 1999 tentang garis-garis besar haluan negara tahun 1999-2004.
5) Ketetapan MPR No.V Tahun 1999 tentang penentuan pendapat di Timur-Timur.
6) Ketetapan MPR No.VI Tahun 1999 tentang tata cara pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
7) Ketetapan MPR No.VII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
8) Ketetapan MPR No.VIII Tahun 1999 tentang pengangkatan Presiden Republik Indonesia.
9) Ketetapan MPR No.IX Tahun 1999 tentang penugasan badan pekerja MPR RI Untuk melanjutkan perubahan UUD
1945.
5. Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur adalah tokoh
Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia
yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J.
Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan
pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan
berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan
ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kiprah dan Kontroversi Presiden Gus Dur
1999 Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi
yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan
Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid
kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah
membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam
menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang
korup.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang,
Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia
mengunjungi Republik Rakyat Cina.
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan
pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran
dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan
korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.Beberapa menduga bahwa
pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas
pendekatan Gus Dur dengan Israel
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini
menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh
dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.
Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
2000
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss
untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam
perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan
luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Perancis, Belanda,
Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi
India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur
mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam
perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali
melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi
mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir
sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral
Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi
militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap
Wiranto.
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil
meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian
mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur
memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa
keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah
memberikan bukti yang kuat.[40] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan
Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani
nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan
akan melanggar persetujuan.
Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan
pada kelompok Muslim Indonesia.Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta
besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain
yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus
Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden
Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina
untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-
politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang
diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus
mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki
hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid
untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi
berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI
merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus
menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di
Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu
orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI
menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku
dan dipersenjatai oleh senjata TNI.
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate.
Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta
menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim
bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.
Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur
juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan
sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu
Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi
berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus
Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari
kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian
tugas.
Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut.
Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi
Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur
mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda.
Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman
kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak
terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di
sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung
oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri
keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar
di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan
asalkan berada di bawah bendera Indonesia.Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar
karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-
gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah
Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu.
Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus
Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,
sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir
November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus
Dur.[
2001 dan akhir kekuasaan Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa
Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional.Tindakan ini diikuti dengan
pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika
Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.Abdurrahman Wahid melakukan
kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia
mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu
mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.Pertemuan tersebut
menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan
nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR
dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk
out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di
Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di
Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur
membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.Namun,
demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur
sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden
pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra
dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi
dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak
dapat mengendalikan Partai Keadilan,yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi
menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga
jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR
mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1
Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan
Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1
Juli 2001.
Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan
dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga
menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan
kekuatan.
Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1)
pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan
mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai
Golkar[59] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di
Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi
ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
6. Kata "dekrit" berasal dari bahasa Latin yaitu "decretum", dalam bahasa Perancis "dêcret", dalam
bahasa Jerman "dekret", dalam bahasa Inggris "decree", dan dalam bahasa Belanda "decreet". Di zaman
Romawi perkataan "decretum" mengandung arti sebagai suatu keputusan yang diambil di luar
kebiasaan atau sebagai keputusan yang luar biasa dari kaisar atau para pejabat tinggi (praetor).
Menurut Modern American Encyclopedia perkataan "decretum" diartikan sebagai suatu ketetapan dari
penguasa mengenai suatu hal yang sedang jadi persoalan dan harus mendapat penyelesaian secara luar
biasa karena keadaan tertentu. Sesuai dengan arti dekrit seperti diterangkan di atas, Dekrit Presiden 5
Juli 1959 adalah juga merupakan suatu ketetapan penguasa di dalam keadaan luar biasa untuk
menyelamatkan kehidupan bangsa dari berbagai kemungkinan yang membahayakan.
Karena perbedaan antara dua golongan tampaknya tak dapat diatasi, Presiden Soekarno pada
tanggal 22 April 1959 mengusulkan dalam Sidang Konstituante untuk kembali ke UUD 1945, suatu ide
yang telah dikemukakan lebih dulu oleh Jenderal A.H. Nasution dalam sidang Front Nasional. Sesudah
melalui pembicaraan yang panjang, kedua belah pihak akhirnya dapat menerimanya.Tapi kelompok
partai-partai Islam menghendakinya berlakunya UUD 1945 dengan amandemen (perubahan) yaitu
supaya Pembukaan dan pasal 29 ayat (1) dari UUD 1945 disesuaikan dengan isi Piagam Jakarta. Tetapi
partai-partai lain tidak dapat menerima usul perubahan tersebut. Mereka melihat usul perubahan itu
sebagai satu usaha untuk mengubah dasar negara Pancasila serta secara tidak langsung akan mendirikan
negara yang berdasarkan syariah Islam, padahal rakyat Indonesia tidak seluruhnya beragama Islam.
1) Pembubaran Konstituante
Dari tiga ketetapan ini yang menjadi ketetapan pokok adalah ketetapan kedua, yaitu mengenai
penggantian UUDS 1950 dengan UUD 1945, sedangkan ketetapan ketiga dimaksudkan untuk mengisi
masa peralihan selama belum dapat dibentuk MPR dan DPA yang menurut UUD 1945 pembentukannya
masih harus diatur dengan undang-undang (pasal 2 dan pasal 16). Dengan demikian, berlakunya UUD
1945 atas dasar Dekrit Presiden 5 juli 1959 sebagai keputusan hukum penguasa yang diambil di dalam
keadaan darurat atau dalam keadaan terpaksa untuk menyelamatkan keadaan bangsa Indonesia.
Setelah empat puluh tahun Dekrit 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, secara tidak
terduga Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan dekrit pada tanggal 22 Juli 2001 pukul 01.10. Dekrit
tersebut antara lain berbunyi :
1) Membekukan DPR/MPR;
2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang
diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun;
3) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai
Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Selanjutnya presiden menyuruh TNI dan Polri untuk menindaklanjuti dekrit tersebut. Dekrit
tersebut jelas sangat menggemparkan peta politik Indonesia serta menimbulkan berbagai kontroversi
dan tanggapan beragam dari berbagai lapisan masyarakat termasuk dari DPR/MPR itu sendiri.
Akibatnya, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang memang telah direncanakan sebelumnya
untuk meminta pertanggung-jawaban presiden karena tidak mengindahkan Memorandum I dan II yang
dikeluarkan oleh DPR. Apalagi presiden sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya lebih rendah
daripada MPR dan diangkat oleh MPR, tidak berhak untuk membubarkan MPR. Terlebih lagi, dekrit
presiden tersebut tidak didukung oleh TNI sehingga dekrit tersebut tidak memiliki kekuatan secara de
fakto.
Hal ini berbeda dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memang direkomendasikan oleh TNI.
Dalam Sidang Istimewa MPR (23 Juli 2001) tersebut yang tidak dihadiri oleh presiden, anggota sidang
mencabut mandat Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI, serta selanjutnya melalui pemungutan suara
(voting) secara tertutup, Wapres Megawati Soekarno Puteri terpilih sebagai Presiden yang ke lima
Republik Indonesia. Sedangkan Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) terpilih sebagai wakil presiden.
Tindakan yang diambil oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan dekritnya, ternyata tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sistem pemerintahan yang dilaksanakan pada masa itu
mengarah kepada sistem "Demokrasi Terpimpin". Pengertian 'terpimpin' ditafsirkan secara mutlak oleh
diri pribadi presiden. Padahal menurut UUD 45, pengertian terpimpin harus sesuai dengan sila ke-4 dari
Pancasila yaitu; "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawatan/perwakilan".
Bentuk pelaksanaan dari sistem Demokrasi Terpimpin adalah mengenai Pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Pidato ini kemudian dikenal dengan
sebutan "Manifesto Politik Republik Indonesia" (Manipol). DPAS dalam sidangnya mengusulkan agar
Manipol dijadikan GBHN. Penetapan Manipol menjadi GBHN dikukuhkan oleh TAP MPRS Nomor 1 tahun
1960. Dalam kata Manipol kemudian ditambahkan kata USDEK , yaitu singkatan dari Undang-Undang
Dasar 45, Sosialisme a la Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia.
Selanjutnya presiden pun mengemukakan konsepnya yang ia pendam sejak lama, yaitu konsep
NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) sebagai ideologi negara. Konsep Nasakom ini bisa
dikatakan sebagai perwujudan aspirasi dari partai politik yang berbeda dan dominan pada waktu itu
yakni PNI (Nasionalis), NU dan Masyumi (Agama) dan PKI (Komunis). Konsep Nasakom tersebut
sebenarnya tidak disetujui oleh Mohammad Hatta jauh-jauh sebelumnya, ketika pada masa perjuangan
sebelum merdeka, dimana Ir. Soekarno sering melontarkan gagasannya tersebut. Menurut Moh. Hatta,
bahwa : “Nasionalisme dan Komunisme” bisa saja berpadu, “Nasionalisme dan Agama” bisa saja
berpadu, tetapi “Komunisme dan Agama” tidak mungkin berpadu.
Pada masa akhir demokrasi liberal, Moh. Hatta sudah mulai memperkirakan bahwa toh pada
akhirnya Presiden Soekarno akan menetapkan konsep Nasakomnya tersebut, maka untuk menghindari
perbedaan paham yang semakin lebar, pada 1 Desember 1956, Moh. Hatta mengundurkan diri dari
Wakil Presiden RI.
Presiden menunjuk anggota MPRS dan harus tunduk kepadanya, hal ini bertentangan dengan Pasal 6
ayat 2 UUD 45 yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak".
Selanjutnya , pada tanggal 24 Juni 1960, Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I dan membentuk
DPR-GR (Gotong-Royong) atau yang kemudian dikenal sebagai Kabinet Kaki Empat yang didominasi oleh
empat partai politik terbesar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI.
Dalam Sidang MPRS kedua yang dilaksanakan di Bandung, MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. hal jelas bertentangan dengan Pasal 7 UUD 45 yang berbunyi : "Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali".
Dalam bidang ini, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi setarap menteri, padahal
bidang ini harus terlepas dari pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan politik luar negeri banyak terpusat di tangan
presiden. Politik luar negeri yang bebas-aktif dibelokkan menjadi politik konfrontasi terhadap apa yang
disebut sebagai Old Established Forces (Oldefo) dengan New Emerging Forces(Nefo). Negara-negara
yang tergabung dalam Nefo adalah negara-negara yang "progresif-revolusioner", sebutan terhadap
negara-negara komunis. Sedangkan negara-negara yang tergabung dalam Oldefo adalah negara-negara
Blok Barat yang dianggap kaum komunis sebagai negara-negara "kapitalis-imperialis" atau neo
kolonialisme (Nekolim)
Hubungan dengan pihak Barat merenggang, karena mereka bersikap pasif terhadap perjuangan
pembebasan Irian Barat dan sangat sulit untuk diminta bantuannya dalam masalah bantuan kredit.
Kebencian Presiden Soekarno terhadap negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan Inggris
sering diwujudkan dalam ucapan-ucapan seperti “go hell with your aid” atau “Amerika kita seterika,
Inggris kita linggis”, dan lain-lain. Sebaliknya hubungan dengan blok Timur semakin erat, karena Uni
Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan militer sehingga Indonesia dapat
memperlengkapi Angkatan Perangnya secara modern. Bahkan Indonesia masuk dalam aliansi poros
“Jakarta-Moskow-Peking-Hanoi-Pyongyang”.
Pada masa ini juga, Pemerintahan Orde Lama menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal
ini disebabkan pemerintah RI menentang pembentukan negara Federasi Malaysia (Malaysia, Serawak,
Sabah, Singapura, dan Brunei) yang dianggap sebagai bonekanya negara-negara Nekolim dan
membahayakan posisi negara-negara Blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan Komando Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 3 Mei 1964 yang
berisi :
(2) Bantu perjuangan rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, Brunai, untuk membebaskan diri dari
pengaruh Nekolim (Neo-Kolonialisme).
Aspek lain dari pelaksanaan politik Nefo-Oldefo, dikenal dengan politik "mercu suar". Presiden
Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan "mercu suar" yang dapat menerangi jalan bagi Nefo
di seluruh dunia. Karena itu Indonesia harus menyelenggarakan proyek-proyek politis yang kolosal dan
spektakuler, yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan terkemuka di kalangan
Nefo. Misalnya dengan menyelenggarakanGames of the New Emerging Forces (Ganefo) yang dimulai
dengan proyek pembangunan kompleks olah raga Senayan dan meliputi pula biaya perjalanan pelbagai
delegasi asing. Hal ini jelas membutuhkan biaya yang sangat besar, padahal kondisi keuangan Indonesia
pada waktu itu sedang mengalami defisit.
Dalam bidang ekonomi, dipraktekan Sistem Ekonomi Terpimpin. Presiden secara langsung terjun
dan mengatur perekonomian. Pemusatan kegiatan perekonomian pada satu tangan berakibat
menurunnya kegiatan perekonomian. Inflasipun merajalela, bahkan sudah mencapai tingkatan
hiperinflasi.
Untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu "Deklarasi Ekonomi" atau
"Dekon", beserta 14 peraturan pokoknya. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia
yang menjadi bagian daripada strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan Dekon adalah "menciptakan
ekonomi yang bersifat nasional, untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin”. Dalam kenyataannya, konsepsi Dekon ini membawa stagnasi bagi ekonomi Indonesia.
Di dalam melaksanakan ekonomi terpimpin ini pemerintah lebih menonjolkan "terpimpin"-nya daripada
asas-asas ekonominya. Akibatnya ialah bahwa bidang kelembagaan ekonomi semakin terjerumus ke
dalam kebiasaan yang unsur terpimpinnya lebih dominan dari pada unsur ekonominya yang efisien.
� Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang
dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang
mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon
yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran
kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon
yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung
diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20
September 2004.
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu
legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini
bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan
anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik
yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan
pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran
pertama.
8. Berikut adalah 10 klaim-klaim keberhasilan SBY (Demokrat) dalam berbagai iklan kampanye, yang
mana di setiap klaim terdapat antitesanya baik berdasarkan UUD 1945, UU yang berlaku, janji-janji
kampanye SBY pada 2004 atau realitas force majoure.
Klaim 1 : Harga BBM diturunkan hingga 3 kali (2008-2009), pertama kali sepanjang sejarah.
Antitesa : 1#Dalam sejarah harga BBM, untuk pertama kali sepanjang sejarah Indonesia, pemerintah
menjual BBM dengan termahal yakni Rp 6000 per liter.
2#Pada Desember 2008, untuk pertama kalinya sepanjangg sejarah Indonesia, harga premium yang
ditetapkan pemerintah lebih tinggi daripada harga premium di Amerika Serikat. Pada
minggu I dan II, harga BBM Indonesia adalah Rp 5500 padahal di AS dibawah Rp 5335 per liter. Dan
pada minggu III dan IV, harga BBM Indonesia Rp 5000 padahal di AS dibawah Rp 4892 per liter.
Klaim 2 : Perekonomian terus tumbuh di atas 6% pertahun, tertinggi setelah orde baru.
Antitesa : 1#Pertumbuhan diatas 6% hanya terjadi pada tahun 2007 dan 2008, sedangkan pada tahun
2005 (5.6%), 2006 (5.5%), dan 2008 dibawah 5%. Jadi, pernyataan perekonomian terus tumbuh diatas
6% merupakan suatu pernyataan yang tidak benar.
2# Dalam kampanye pilpres 2004 agar rakyat memilihnya, SBY memiliki janji angin surga yang
dituangkan dalam RPJM bahwa pertumbuhan ekonomi dari tahun 2005-2009 adalah 5.5%, 6.1%, 6.7%,
7.2% dan 7.6%. Merujuk pada janji yang tersebut, maka fakta pertumbuhan yang rata-rata dibawah 6%
selama 5 tahun merupakan kegagalan melaksankan janji angin surga.
Klaim 3 : Cadangan devisa pada tahun 2008 US$ 51 miliar, tertinggi sepanjang sejarah.
Antitesa : Dengan landasan yang sama, maka jumlah utang negara tertinggi sepanjang sejarah yakni
1667 Triliun pada awal tahun 2009 atau 1700 triliun per 31 Maret 2009. Inilah pembengkakan utang
terbesar sepanjang sejarah.
Klaim 5 :Rasio hutang negara terhadap PDB terus turun dari 56% pada tahun 2004 menjadi 34% pada
tahun 2008
Antitesa : #1 Secara relatif jumlah utang negara turun, tapi secara absolut utang negara naik 33% dari
Rp 1275 T pada 2004 menjadi Rp 1700 triliun pada Maret 2009.
#2 Sampai hingga saat ini, pemerintah masih setia membayar utang najis serta pengelolaan penarikan
utang luar negeri yang bermasalah seperti dilaporkan BPK dan KPK.
# Jika bermain rasio semata, maka rasio utang terhadap PDB saat ini masih jauh lebih tinggi dibanding
tahun 1996 sebesar 24% atau turun 5% dari tahun 1995 (29% ). Sedangkan penurunan rasio utang
terbesar dilakukan periode pemerintah 1999-2004 yakni Gus Dur + Megawati dari rasio utang/PDB 103%
pada tahun 1999 menjadi 56% pada tahun 2004.
Klaim 8 :Anggaran pendidikan naik menjadi 20% dari APBN, pertama kali sepanjang sejarah.
Antitesa : Peningkatan anggaran pendidikan hingga 20% merupakan amanah yang harus dilaksanakan
secepat mungkin setelah amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4) yang diperjelas melalui UU 20
tahun 2003 disahkan pada Juli 2003. Namun, meski SBY telah memimpin selama 4 tahun, namun
tidak ada niatnya untuk menganggarkan pendidikan sebesar 20%. Tiap tahun sejak 2005, gugatan
demi gugatan dilakukan PGRI atas kebijakan pemerintah SBY yang melanggar amanat konstitusi UU
20/2003. Akhirnya pada pertengahan 2008, perjuangan dan semangat pantang menyerah para guru
dalam wadah PGRI berbuah hasil, dimana mereka berhasil mengugat UU APBN via Mahkamah
Konstitusi dengan Putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008 tanggal 13 Agustus 2008 yang mana
“memaksa” Pemerintah SBY mau tidak mau, suka tidak suka harus menganggarkan anggaran pendidikan
20% pada APBN 2009. Suara para guru menang atas kebijakan SBY bersama DPR yang tidak
merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan. Atas jerih payah dan gugatan para guru, tiba-tiba SBY
dan Demokrat mengklaim 20% adalah keberhasilannya. Suatu hal yang sangat bertolak belakang, dengan
fakta yang sesungguhnya. Justru keberhasilan anggaran pendidiakn 20% merupakan keberhasilan
perjuangan guru melawan ketidakpatuhan pemerintah atas amanah UU Sisdiknas.
Klaim 9 :Pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin. Anggaran kesehatan naik 3 kali lipat dari
sebelumnya, tertinggi sejak orde baru.
Antitesa : Biaya rata-rata kesehatan terus meningkat. Meningkatnya biaya kesehatan dan minimnya
ketersediaan layanan kesehatan gratis di berbagai rumah sakit telah menjadi isu yang hangat pada tahun
2007-2008. Bahkan, mahalnya biaya kesehatan menyebabkan masyarakat lebih percaya padadukun
cilik Ponari. Jika dikatakan anggaran kesehatan naik 3 kali, maka kita tanyakan kembali apakah
layanan kesehatan meningkat tiga kali? Ternyata tidak. RS Cipto Jakarta tetap menolak pasien untuk
rawat inap di RS dan meminta pasien tinggal di luar RS. Hal ini lebih terkait dengan inflasi. Sebagai
contoh. Pada tahun 1997, UMR rata-rata sekitar Rp 220 000. Tapi tahun 2009 sudah naik hampir 3.5 kali
yakni Rp 800.000 per bulan. Dengan pikiran sempit, maka kita akan merasa bahwa kenaikan UMR
sebesar 3x lipat ini merupakan prestasi tertinggi. Tapi, ingat pada beban masyarakat. Dengan gaji UMR
yang diperoleh oleh seorang pekerja (kepala keluarga atau KK), maka pada tahun 1997, KK tersebut dapat
membeli sekitar 300 kg beras (harga beras Rp 700 per kg). Namun pada 2009, ia hanya mampu
membeli sekitar Rp 160 kg beras (harga beras Rp 5000 per kg) meskipun UMR naik 3.5 kali. Artinya apa?
Kenaikkan pendapatan (3.5 kali) jauh dibawah kenaikan inflasi barang (beras naik 7 kali).
Klaim 10 :Korupsi diberantas tanpa pandang bulu. Lebih dari 500 pejabat publik diproses secara
hukum, tertinggi sejak merdeka.
Antitesa : #1 Sampai saat ini, kasus aliran korupsi dana non-budgeter DKP 2004 terhenti.
Berdasarkan pengakuan terpidana Rokhmin Dahuri dan pelaku Amien Rais bahwa pasangan capres-
cawapres 2004 memang menerima aliran dana non-budgeter DKP. Dan salah satu penerima dana
tersebut adalah SBY-JK sebesar Rp 225 juta. Namun kasus ini dihentikan setelah SBY berjabat tangan
dengan Amien Rais di Bandara Halim tahun 2007. Ini jelas merupakan cacat dalam pemberantasan
korupsi. Dan memang lumrah bahwa penguasa kita masih kebal akan hukum. Yang ironis adalah Rokmin
Dahuri menjadi tumbal para penikmat dana korupsi. Inikah pemberantasan korupsi tanpa bulu? Belum
lagi kita berbicara mengenai penanganan kasus royalti batubara, BLBI, suspensi saham BUMI dan
luapan lumpu Lapindo.
#2 Perlu diketahui bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi lebih diperankan oleh lembaga KPK. KPK
dapat eksis melalui UU 31 tahun 1999 di Pemerintahan BJ Habibie yang kemudian direvisi kembali dalam
UU 30 Tahun 2002 tentang Tipikor dibawah Pemerintah Megawati. Dan perlu dicatat, KPK adalah
lembaga independen yang dibentuk untuk memberantas korupsi dan melapor hasil kerjanya pada
DPR dan Presiden.
Klaim 11 :Pengangguran terus menurun. 9,9% pada tahun 2004 menjadi 8,5% pada tahun 2008.
Antitesa: Melalui klaim ini, justru sebenarnya menunjukkan pemerintahan SBY gagal dalam
merealisasi janji angin surga pada kampanye 2004 yang tertuang dalam RPJM. Dalam RPJM, SBY
berjanji akan mengurangi angka pengangguran dari 9.9% pada tahun 2004 menjadi 5.1% pada tahun
2009. Tapi, faktanya, meskipun anggaran naik 3 kali, jumlah penduduk yang menganggur tidak kunjung
berkurang sesuai dengan janjinya pada rakyat seperti kita. Dan data tahun 2008 mencatat angka
pengangguran adalah 8.4% jauh dibawah target janji kepada kita.
Klaim 12 :Kemiskinan terus turun 16,7% pada tahun 2004 menjadi 15,4% pada tahun 2008.
Antitesa: Jika tim iklan SBY-Demokrat mau jujur, fakta angka kemiskinan justru menunjukan
kegagalan janji SBY dalam pilpres 2004 yang dituangkan dalam RPJM 2005. Janji angka kemiskinan
dalam RPJM di tahun 2009 adalah 8.2%, tapi hingga tahun 2008, angka kemiskinan masih diatas 15.4%
tidak jauh bergeser dengan tahun 2004. Meskipun adanya program andalan seperti PNPM atau KUR,
jumlah penduduk miskin tidak mengalami pengurangan signifikan. Bayangkan meskipun anggaran naik
300%, angka kemiskinan pada 2004 berjumlah 36.1 juta jiwa hanya turun 35 juta jiwa pada Maret 2008
dan meningkat kembali menjadi 40 juta jiwa pada Desember 2008 (data survei UI).
***********
Semoga melalui tulisan ini, masyarakat harus melihat suatu iklan politik dengan objektif dengan selalu
bertanya “apakah benar data dan faktanya seperti itu?”. Sebaai rakyat kecil, kita bisa melihat, dengan
menggunakan persfektif data RPJM ataupun UU yang berlaku, maka sebenarnya klaim-klaim yang sering
digunakan SBY (Demokrat) dalam kampanye hanyalah “permainan” statistik kebenaran, yang bernilai
kebenaran relatif, bukan sepenuhnya kebenaran absolut. Semoga mereka yang biasanya bersikokoh
mengklaim prestasi ini dan itu, bisa sama-sama fair dalam menganalisa data dan kebenaran.
Pada tanggal 26 Juni, tulisan dari 13 Fakta dan antitesa saya revisi menjadi 12 Fakta dan Antitesa. Yang
mana setelah saya berdiskusi dengan Sdr. Yogi, karena kurangnya data back-up saya. Meskipun sumber
YLKI saya hapus, namun klaim 8 masih mungkin dapat dipertanyakan kedepan.
Klaim 8 :Mengadakan program-program pro-rakyat seperti: BLT, BOS, Beasiswa, JAMKESMAS, PNPM
Mandiri, dan KUR tanpa agunan tambahan..
Antitesa : Apakah BLT memiliki dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat? Dengan hanya
memberi uang kepada masyarakat tanpa adanya follow up untuk menggunakan slot anggaran untuk
peningkatan kualitas hidup, maka program ad hoc BLT merupakan program yang tidak memiliki dampak
positif jangka panjang bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Padahal pada awalnya BLT hanya
digunakan untuk mengkompensasi kenaikan BBM. Sehingga pemberian BLT di tahun 2009 (bukan
dalam agenda kenaikan BBM) menyedot penambahan utang negara. Alasan pemberian BLT menjadi
lemah tatkala pemerintah sulit menciptakan lapangan pekerjaan. Angka kemiskinan yang meningkat di
akhir tahun 2008 (Hasil Penelitan UI akhir 2008 menyebutkan angka kemiskinan di atas 40 juta jiwa).
Program BOS, beasiswa, Jamkesmas merupakan program implementasi yang diwajibkan/amanah
dari UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Sehingga tim iklan SBY harus dengan jujur mengatakan mana
kewajiban/amanah UU, mana pula hasil kreatifitas pemimpin (BLT).
Terima kasih Sdr Oto atas permintaannya data-data yang saya gunakan:
Saya menggunakan referensi data-data diatas, silahkan jika Anda ingin menyanggah data
tersebut klik link-link situs tersebut. Sedangkan link iklan kampanye tidak perlu saya beri link,
karena Anda sudah familiar dengan isi iklan tersebut di TV, Radio, internet ataupun Koran.
Silahkan memberi komentar dengan data-data dan fakta saudara, dan saya harap bukan
komentar dengan landasan “menurut apa yang saya dengar, yang penting ……”. Mari belajar
data dan fakta. Trims
Catatan : alasan dan saran dari tulisan saya dapat dilihat di klik sini. [ingat jadilah pendukung
yang berkualitas begitu juga jadi kritikus yang berdasar data dan fakta]
14 Perdana
2 Sjahrir I 12 Maret 1946 Sutan Syahrir 17 orang
November 1945 Menteri
Perdana
3 Sjahrir II 12 Maret 1946 2 Oktober 1946 Sutan Syahrir 25 orang
Menteri
Perdana
4 Sjahrir III 2 Oktober 1946 3 Juli 1947 Sutan Syahrir 32 orang
Menteri
Amir 11 Perdana
5 3 Juli 1947 Amir Sjarifuddin 34 orang
Sjarifuddin I November 1947 Menteri
Amir 11 Perdana
6 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin 37 orang
Sjarifuddin II November 1947 Menteri
Mohammad Perdana
7 Hatta I 29 Januari 1948 4 Agustus 1949 17 orang
Hatta Menteri
19 S.
* Darurat 13 Juli 1949 Ketua 12 orang
Desember 1948 Prawiranegara
20 Mohammad Perdana
8 Hatta II 4 Agustus 1949 19 orang
Desember 1949 Hatta Menteri
6 Perdana
10 Halim 21 Januari 1950 Abdul Halim 15 orang
September 1950 Menteri
6 Mohammad Perdana
11 Natsir 27 April 1951 18 orang
September 1950 Natsir Menteri
Perdana
13 Wilopo 3 April 1952 30 Juli 1953 Wilopo 18 orang
Menteri
Ali
Ali Perdana
16 Sastroamidjojo 24 Maret 1956 9 April 1957 25 orang
Sastroamidjojo Menteri
II
Perdana
17 Djuanda 9 April 1957 10 Juli 1959 Djuanda 24 orang
Menteri
13
20 Kerja III 6 Maret 1962 Ir. Soekarno Presiden 60 orang
November 1963
13
21 Kerja IV 27 Agustus 1964 Ir. Soekarno Presiden 66 orang
November 1963
22 Dwikora I 27 Agustus 1964 22 Februari 1966 Ir. Soekarno Presiden 110 orang
23 Dwikora II 24 Februari 1966 28 Maret 1966 Ir. Soekarno Presiden 132 orang
24 Dwikora III 28 Maret 1966 25 Juli 1966 Ir. Soekarno Presiden 79 orang
26 Ampera II 17 Oktober 1967 6 Juni 1968 Jend. Soeharto Pjs Presiden 24 orang
Pembangunan
33 14 Maret 1998 21 Mei 1998 Soeharto Presiden 38 orang
VII
Reformasi 26
34 21 Mei 1998 B.J. Habibie Presiden 37 orang
Pembangunan Oktober 1999
Persatuan 26
35 9 Agustus 2001 Abdurahman Wahid Presiden 36 orang
Nasional Oktober 1999
9 21 Megawati
36 Gotong Royong Presiden 33 orang
Agustus 2001 Oktober 2004 Soekarnoputri
38 Presiden 38 orang
Indonesia Bersatu 22 27 Susilo Bambang
II Oktober 2009 Oktober 2014 Yudhoyono
27
39 Kerja Petahana Joko Widodo Presiden 34 orang
Oktober 2014