Disusun Oleh :
Nama : Hiskia Sinaga
Nomor : 23
Kelas : X IPA 2
TAHUN AJARAN
2018 / 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
ISI : SAKRAMEN BAPTISAN............................................................................................... 4
1. PERISTILAHAN ....................................................................................................... 4
2. MAKNA BAPTISAN ................................................................................................ 5
3. PROBLEMATIKA ................................................................................................... 6
a. BAPTISAN BAYI .............................................................................................. 6
b. SEJARAH ........................................................................................................... 6
c. ARGUMENTASI ............................................................................................... 6
4. KHK TENTANG BAPTISAN .................................................................................. 8
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 9
PENUTUP................................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 10
2
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, terima kasih Saya ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah mempermudah dalam
pembuatan tugas ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu. Tanpa bantuan dari Tuhan, Saya
bukanlah siapa-siapa.
Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Baptisan yang Harus Dilakukan
Saat Bayi”. Dalam hal ini, Saya ingin membahas Mengapa Baptisan Harus Dilakukan Saat
Masih Bayi ? Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti
menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah.
Demikian Saya ucapkan terima kasih atas waktu yang diluangkan untuk membaca tugas ini.
Hiskia Sinaga
PENDAHULUAN
Saat mendengar kata “Sakramen”, dalam benak umat katolik, yang muncul adalah tujuh
sakramen, baik itu sebagai salah satu atau keseluruhan sakramen (baptisan, pengakuan dosa,
ekaristi, penguatan, perminyakan suci, perkawinan, dan tahbisan). Sementara itu, umat Kristiani
lainnya (Kristen Protestan) hanya terbayang dua sakramen saja. Di sini, dapat dilihat bahwa
sakramen dipandang dan dihayati secara berbeda oleh pengikut Kristus.
Baptisan, salah satu dari ketujuh sakramen, pun tidak luput dari problematika seperti
Apakah baptisan bayi tidak melanggar hak assasi manusia, walau itu adalah anak-anak kita
sendiri? Secara teologis, dipersoalkan dan dipertanyakan relasi iman dan baptisan bayi. Anak-
anak belum bisa beriman secara pribadi: lalu, bagaimana anak tersebut dibaptis, padahal belum
bisa beriman? Bukankah baptisan itu mengandaikan iman? Apakah tidak lebih baik bahwa
anak-anak dibiarkan tumbuh, dan setelah dewasa dipersilahkan memilih sendiri iman
kepercayaannya? Problematika-problematika inilah yang akan dibahas dalam tugas ini.
3
SAKRAMEN BAPTISAN
1. Peristilahan 'Sakramen Baptisan'
Kata 'baptisan' berasal dari kata baptizein, baptisma (Yunani). Artinya, membenamkan,
mencemplungkan, menenggelamkan ke dalam air, entah seluruhnya atau sebagian saja. Kata
ini biasanya digunakan dalam KSPB. Persoalannya adalah dari mana kebiasaan ini muncul?
Tradisi Israel sudah mengenal aneka upacara pentahiran dengan menggunakan air, entah
percikan atau mandi (menenggelamkan diri). Pentahiran atau pembersihan diri ini harus
dilakukan oleh seorang yang menyentuh mayat, orang yang berpenyakit kusta, atau lainnya.
Dalam proses ini, orang menenggelamkan diri dalam aliran air. Tradisi ini telah dilakukan
berabad-abad, turun-temurun.
Selanjutnya, tradisi ini digunakan oleh kelompok Eseni (seperti kelompok Qumran).
Dalam pembaptisan mereka memandang diri sebagai kelompok terpilih. Dalam ritusnya,
mereka menenggelamkan diri sendiri ke dalam air (yang mengalir). Hal ini dilakukan juga
bagi orang non-Yahudi yang mau menjadi warga Yahudi. Yang menarik di sini adalah bahwa
ritus "inisiasi" dengan menenggelamkan diri ini dilakukan oleh diri sendiri. Selain
penenggelaman diri, ritus inisiasi lain (yang jauh lebih penting) adalah sunat.
Yohanes Pembaptis melakukan hal yang sama sekaligus berbeda. Dalam melaksanakan
tugas profetisnya, Yohanes juga mengadakan penenggelaman (seperti adat dan tradisi). Inilah
kesamaannya. Tetapi dalam pembaptisan, Yohanes Pembaptislah yang menenggelamkan
orang ke dalam sungai Yordan, Artinya, orang lainlah yang melakukan proses inisiasi; bukan
diri sendiri. Inilah perbedaannya. Baptisan Yohanes dilakukan oleh orang lain (Yohanes
sendiri) dan sifat khasnya adalah pembaptisan pertobatan. Dalam hal inilah, Yesus pun
menjalani pembaptisan Yohanes.
Yesus memberikan diri dibaptis oleh Yohanes di awal karya Nya, Ada dua alasan
mengapa Yesus (mau) dipabtis. Pertama, Yesus juga menempatkan diri sebagai pribadi yang
ikut menantikan kedatangan Kerajaan Allah pada akhir zaman. Kedua, Yesus mau
menunjukkan solidaritas pada bangsa-Nya yang membutuhkan penyelamatan dari Allah.
Bagi Gereja, peristiwa pembaptisan Tuhan ini dijadikan dasar bagi pembaptisan anggota
Gereja (selain perintah Tuhan sendiri supaya semua orang dipatis dalam nama Bapa, Putra,
dan Roh Kudus). Dengan demikian, baptisan yang dilakukan oleh Gereja berakar pada seluruh
pengalaman iman Kristiani akan Tuhan Yesus Kristus. Baptisan Kristiani dapat
dilangsungkan dengan bertolak dari apa yang dibuat Yesus: membiarkan diri dibaptis.
4
2. Makna Baptisan
5
3. Problematika Baptisan Bayi
b. Sejarah
Gereja Perdana (KSPB) tidak memberi petunjuk baptisan bayi. Pada masa
selanjutnya, Tertulianus (220) dan Origenes (253) baru menunjukkan secara eksplisit
adanya praktik baptisan bayi. Pada masa mereka, baptisan bayi sudah lazim dan bahkan
diakui sebagai warisan tradisi apostolik.
Pada abad V, praktik baptisan bayi sudah umum dan tersebar di mana-mana. Hal
ini tidak terlepas dari pertikaian dengan kaum pelagianisme. Dalam pertikaian itu, St.
Agustinus membuktikan bahwa bayi dilahirkan dengan dosa Adam (dosa asal).
Selanjutnya, ditegaskan St. Agustinus, bahwa dengan baptisan, seorang bayi dilepaskan
dari dosa asal tersebut. St. Agustinus juga membedakan dosa asal (peccatum origenale)
dan dosa pribadi (peccatum morale).
Apa yang diajarkan St. Agustinus didukung oleh dau diteguhkan oleh Konsili
Karthago (418), Konsili Lateral IV (1215), dan Konsili Trente (1624- 1627). Dengan
demikian, secara eksplisit, Gereja telah menegaskan dan mendukung praktik dan makna
baptisan bayi. Dan, walaupun dari kaum reformator dan gereja Anabaptis sampai dengan
teolog besar Karl Bart menolaknya, praktik baptisan bayi masih dilaksanakan oleh Gereja
Katolik.
c. Argumentasi-Argumentasi
Gereja sudah tidak lagi mempersoalkan dan memperdebatkan soal apakah Gereja harus
membaptis bayi. Gereja justru sudah yakin bahwa Gereja harus membaptis semua orang,
termasuk bayi. Tetapi, menghadapi problem baptisan bayi, Gereja tetap harus memberi
jawab atau argumentasi tindakannya. Untuk itu perlu kita lihat argumentasi penclakan
dan artumentasi penerimaan Gereja soal baptisan bayi. '
6
1. Penolakan
Alasan penolakan baptisan bayi adalah sebagai berikut:
a. Iman adalah tindakan pengakuan terhadap wahyu Allah secara pribadi. Iman
adalah urusan pribadi dan bukan urusan orang lain. Bayi belum bisa melakukan
hal-hal tersebut secara pribadi dan personal. Maka, baptisan bayi ditolak.
b. Baptisan mengandaikan pewartaan dan pemahaman terlebih dahulu. Dalam
praktik baptisan bayi, pewartaan dan pengakuan iman tidak ada. Bayi langsung
dibaptis begitu saja. Jadi, Baptisan bayi tidak bisa dilaksanakan.
c. Iman adalah tindakan yang menuntut tanggung jawab dan mensyaratkan
kebebasan pribadi. Dalam perkembangan kepribadian moral Lawence Kohiberg,
seorang bayi belum bisa bertanggung jawab dan belum bisa menentukan
tindakannya sendiri. Dengan demikian, baptisan bayi tidak mungkin terjadi.
2. Pendukungan
Para pendukung atau penerima praktik baptisan bayi memberikan alasan atau dasar
penerimaannya sebagai berikut:
a. Iman tidak bisa disempitkan sebagai urusan pribadi semata. Struktur dasar
manusia adalah eksistensi-bersama. Hal ini memungkinkan warisan generasi
pendahulu ke generasi selanjutnya; misalnya: adat, pengetahuan, bahasa. Iman ada
dalam suatu komunitas manusia. Bukan urusan pribadi.
b. Model iman tidak bisa disempitkan sebagai hasil pewartaan semata. Iman adalah"
suatu proses yang tidak bisa “sekali jadi". Iman mengandaikan suatu pertumbuhan
dan perkembangan. Maka, bukan hanya iman yang membawa orang kepada
pembaptisan, melainkan juga baptisan mampu membawa orang kepada iman
dengan segala proses pertumbuhannya.
c. Iman adalah suatu rahmat. la bukan sekedar usaha manusia, sekedar hasil
keputusan bebas, mandiri, personal-pribadi dari seseorang. Sebah, tindakan
manusia tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Allah: termasuk di dalamnya
persoalan iman. Tentang iman, manusia hendaknya memohon rahmat itu supaya
Allah menambahkannya sendiri. Tepatnya, rahmat iman membutuhkan
komunikasi dan kesatuan relasi manusia dengan Allah, bukan hanya keputusan
manusia belaka.
d. Pertimbangan kondrat manusiawi. Manusia bisa bertumbuh atau minimal bertahan
hidup dan tidak mati dengan cara makan. Tanpa makan-minun, manusia mati.
Itulah kodrat manusia. Andaikan kita menggunakan prinsip kebebasan, mandiri,
keputusan dan sebagainya, maka apakah kita akan membiarkan dan tidak akan
memberi makan kepada bayi kita sampai ia sendiri memutuskan dan mengatakan
bahwa ia ingin makan? Bayi pun harus dibaptis seperti ia harus diberi makan
7
supaya hidup, baik secara jasmani ataupun rohani, baik ia meminta atau tidak
meminta.
Sangat terasa bahwa KHK menegaskan betapa pentingnya baptisan sedemikian rupa sehingga
sedapat mungkin bayi kritis pun dibaptis. Baptisan menyelamatkan jiwa. Dan penyelamatan
jiwa tidak bisa ditunda-tunda lagi.
8
KESIMPULAN
Dengan melihat paparan di atas, kita mengetahui bahwa baptisan bayi mempunyai dasar
historis dan teologis yang kuat. Untuk itu, para gembala umat hendaknya tetap melestarikan
Tradisi Suci Gereja, yaitu Baptisan Bayi. Dalam menghadapi berbagai pihak yang
mempertanyakan praktik ini, kita mempunyai dasar yang cukup kuat untuk tetap melaksanakan
baptisan bayi. KHK bahkan mendesak kita untuk membaptis 'bayi yang seperti apapun' demi
penyelamatan jiwa. Kepada umat, hendaknya bisa diberi penerangan dan dasar baptisan bayi
tersebut sehingga umat sendiri tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakan baptisan bayi.
Dengan pasti dan yakin, mantap dan berdasar, orang tua membaptis bayi mereka: dalam nama
Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
PENUTUP
Demikianlah tugas yang Saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan
pembaca. Tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan,
kurangnya referensi yang Saya peroleh. Saya mohon maaf juga apabila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena Saya
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Sekian penutup dari Saya semoga dapat
diterima di hati dan Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Martasudjita, EPD., 2003, Sakramen-sakromen Gereja, Yogyakarta, Kanisius.
2. O'Coilins SJ, Gerald & Farrugia SJ, Edward G, 1996, Kamus Teologi, Yogyakarta,
Kanisius.
4. Hadiwikarta Pr, J (Editor), 1991, Kitab Hukum Kanonik, Jakarta, Sekretariat KWI.
10