Dosen Pengampu
Disusun oleh:
Jl.A. Nasution No 105. (022) 7800525, Fax (022) 7802844 Bandung 40614
2019-2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
KESIMPULAN 10
DAFTAR PUSTAKA 11
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang mana
atas berkat dan rahmat-Nya akhirnya kami mampu menyelesaikan makalah “ Abu
Bakar : Pembentukan Khalifah” ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam
Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang bersandar kepada ajaran Islam
Terimakasih kami ucapkan kepada bapak Prof. Dr. Idzam Pautanu, M.Ag. selaku
dosen pengampu mata kuliah teori-teori politik, yang mana atas tugas yang
Terimakasih penulis ucapkan kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan
dukungannya baik berupa moril maupun materil, demi kelancaran study dan
kesuksesan penulis .
Besar harapan makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, dan
Penulis sadar betul bahwa dalam penulisan makalah ini belumlah sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritikan dan sarannya yang membangun dari
Tim Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah al quran dan sunnah nabi. Adapun
sumber lainnya, yaitu ijtima, qiyash istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, hukum bagi
umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak
menggunakannya.
Al quran adalah sumber fiqih yang pertama dan paling utama. Agar tidak terjadi tumpang
tindih dengan pengntar ilmu tafsir, maka dalam membahas al quran ini tidak disajikan hal hal
semacam ayat makkiyah dan madaniyah serta cirri cirinya, kemukzizatan al quran, ayat
pertama dan terakhir, pengumpulan al quran dan lain sebagainya. Hal hal yang disajikan disini
adalah sejauh yang menyangkut hukum dalam alquran.
ين
ٍ ان ع ََر ِبي ٍ ُم ِب
ٍ س َ )193( ُح ْاْل َ ِمين
َ ) ِب ِل194( َعلَى قَ ْل ِبكَ ِلتَكُونَ ِمنَ ا ْل ُم ْنذ ِِرين ُّ ) نَ َز َل ِب ِه192( َب ا ْل َعالَ ِمين
ُ الرو ِ َو ِإنَّهُ لَت َ ْن ِزي ُل َر
(195)
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. (192)
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) (193) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (194) dengan bahasa
Arab yang jelas (195)” (QS. Asy Syu’araa : 192 – 195)
2 .Al-Sunnah
Seperti telah di jelaskan ayat-ayat Al-Qur’an al-Karim pada umumnya bersifat kulli.
Penjelasan-penjelasan lebih lanjut dari ayat-ayat tersebut dapat di temukan dalam As-
sunnah.
Yang di maksud As-sunnah di sini adalah berupa perbuatan,perkataan atau diamnya
Nabi SAW. Yang bisa jadi dasar hokum. Oleh karena itu, ada sunnah fi’liyah,sunnah
qawliyah, dan sunnah Taqririyah.
Allah berfirman:
ع ْنهُ فَانتَ ُهو
َ سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َّ َو َما آتَا ُك ُم
ُ الر
“Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya
atasmu, tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7 )
memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah Pengertian As-Sunnah
Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh
serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat
Islam.[1]
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan
dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna
asal bahasa dan muradif (sinonim) dengan hadits.
As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j
selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi
dalil bagi hukum syar’i.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya
sunnah.[2]
3. Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid atau ulama umat nabi Muhammad saw dalam suatu
masa setelah wafat beliau atas suatu hukum tertentu. Selanjutnya jika mereka telah mensepakati
masalah hukum tersebut, maka hukum itu menjadi aturan agama yang wajib diikuti dan tidak
mungkin menghindarinya. Contohnya Ijma’ para shahabat Nabi saw dimasa sayyidina Umar
ra dalam menegakkan sholat tarawih.
Adapun al-Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara
ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada
satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan
tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan
jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa
semua ulama telah bersepakat.
Berdasarkan definisi di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa disahkan
dan berlaku:
1. Terjadinya kesepakatan
2. Kesepakatan seluruh ulama islam
3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah, meskipun hanya sebentar saja
kesepakatan terjadi
4. Yang disepakati adalah perkara agama
Bila seluruh perkara di atas terpenuhi maka ia menjadi ijma’ yang tak boleh diselisihi
setelahnya, dan menjadi landasan hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia
menyimpang, meskipun berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.
Allah berfirman:
”Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” an-Nisa’ 115
Rasulallah saw bersabda: “Tidak bersepakat umatku atas kesesatan” (Abu Daud)
4. Al-ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah menggerahkan segala kemampuan dan usaha untuk
mencapai suatu yang di harapkan. Sedangkan Ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan
hukum adalah: “mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hokum
yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai
syari’ah”.
Pada dasarnya Ijtihad memiliki fungsi untuk membantu manusia dalam menemukan solusi
hukum atas suatu masalah yang belum ada dalilnya di dalam Al-quran dan hadits. Sedangkan
tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dalam beribadah kepada Allah
pada waktu dan tempat tertentu.
Dalam hal ini, Ijtihad dianggap telah memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam. Namun,
Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang telah memenuhi syarat.
Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui hukumnya.
Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan keadaan, waktu, dan
perkembangan zaman.
Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang tidak
berhubungan dengan halal-haram.
Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada hukumnya
dalam Islam.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, hanya orang-orang tertentu dan telah memenuhi syarat
saja yang bisa melakukan Ijtihad. Adapun syarat-syarat menjadi Ijtihad adalah sebagai berikut:
Di tinjau dari subjek yang melakukan ijtihad , ijtihad itu ada dua macam :
5.Al-‘Urf )Al-‘Adah(
1. Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf kepada tiga macam :
Dari segi objeknya
Al-urf al-lafzhi ( kebiasaan yang menyangkut ungkapan )
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang di pahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat.
Al-urf al-‘amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan )
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan yang di maksud perbuatan biasa
adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain
Dari segi cakupannya :
Al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum )
Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan seluruh daerah
Al-urf al-khash ( kebiasaan yang bersifat khusus )
Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu
2. Kedudukan urf sebagai sumber hukum
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA