Anda di halaman 1dari 3

NOTULENSI

Kelompok 1 (FILSAFAT POLITIK IBNU KHALDUN TENTANG ASHABIYYAH)


Anggota :
1. Muhammad Ikramul Haq 1193030062
2. Muhammad Yusril Fadillah 1193030070
3. Putri Nurhalifah 1193030080
4. Vita Intania 1193030098

Kesimpulan
1. Nama lengkapnya Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat gelar Waliyuddin, ia lahir
di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H. (1332 M) Dan meninggal di Kairo Mesir pada tanggal 25
Ramadhan 808 H. (1406 M). Ibnu Khaldun merupakan tokoh terkemuka, bahkan di zamannya ia
dikenal sebagai ilmuwan pioner yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan
alasan-alasan untuk mendukung fakta-fakta yang terjadi. Ibnu khaldun juga terkenal sebagai
ilmuwan sosiologi, ekonomi, politik, serta pernah juga terjun dalam Kancah politik praktis.
2. Secara etimologis ‘ashabiyah berasal dari kata ‘ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional
‘ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan
kelompok sosial. Selain itu, ‘ashabiyah juga dapat dipahamai sebagai solidaritas sosial, dengan
menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Seperti dikatakan Ibnu Khaldun
dalam bukunya Muqaddimah, bahwa ‘ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan
keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ‘ashabiyah,
maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya,
negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan kehancuran.
3. Gagasan Ibnu Khaldun tentang negara yang dikaji melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan
dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan diri,
dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain (zon politicon). Sehingga
dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia,
kemudian terbentuklah ‘ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak mulai dari
kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang paling besar. Ashabiyah
adalah kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu Negara atau dinasti.
Bilamana Negara atau dinasti tersebut telah mapan, ia akan berupaya menghancurkan ashabiyah.
Ashabiyah mempunyai peran besar dalam perluasan Negara setelah sebelumnya merupakan
landasan tegaknya Negara tersebut. Bila ashabiyah itu kuat, maka Negara yang muncul relatif
terbatas.

PERTANYAAN
1. Apakah pemikiran politik ibnu Khaldun bisa diimplementasi terhadap Indonesia? (Umar
Sajjaad 1193030097)
2. Seperti yang sudah dijelaskan pada point C "Ashabiyah adalah kekuatan penggerak
Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu Negara atau Bilamana negara atau
dinasti tersebut telah mapan, ia atau seseorang akan berupaya menghancurkan
Ashabiyah." Maksudnya menghancurkan gimna? (Mayong Wily Yandro 1193030052)
3. Ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat atau dengan kata lain
merupakan suatu solidaritas sosial. Nah namun disisi lain, dalam buku muqodimah ibn
kholdun, disitu ibn kholdun mengatakan bahwa tujuan ashabiyah ini adalah untuk
kekuasaan. Nah ini bertolak belakang dengan pengertian ashabiyah itu sendiri yaitu
solidaritas namun kalo tujuannya kekuasaan itu kan lebih ke kepentingan orang tertentu?
(Rangga Maulana NurFaizy 1193030083)
JAWABAN
1. Pemikiran Khaldun masih relevan untuk Indonesia, salah satunya soal tuntutan pemimpin
yang berintegritas. Terkait kepemimpinan, ada lima syarat sebagai yang perlu dimiliki
menurut Ibnu Khaldun, yakni memiliki pengetahuan, memiliki sifat adil, mempunyai
kemampuan, serta sehat panca indera dan badannya. Oleh karenanya ini menjadikan
bukti bahwa adanya pemikiran daripada doktrin politik Ibnu Khaldun yang dapat
diimplementasikan di Indonesia.
Teori Ibnu Khaldul bisa saja diterapkan di Indonesia hanya saja berperan sebagai
serapan, bukan secara gamblang dicetuskan terang terangan. Betul adanya indonesia
mayoritas islam, tapi tidak semua memiliki keislaman dan tidak semua setuju dengan
ajaran islam (walaupun dia ber-KTP Islam). Dan salah satu problem lainnya dimana
Indonesia memasuki Islam Phobia yang secara halus penyebarannya. Maka akan lebih
baik jikalau penerapan teori ibnu kholdun ini hanya sebagai serapan atau referensi.
Mahasiswa juga bisa menerapkan terori ini, asalkan jangan sampai fanatik buta dan bisa
dijadikan sebagai referensi pemikiran.
2. Contoh Ketika suatu negara sudah mapan akan perekonomian, maka seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kekhawatiran Ibnu Khaldun akan banyaknya godaan
dalam menjalan pemerintah yang ditunggangi ashabiyah, yaitu orientasi manusia yang
terlibat dalam pengurusan lembaga negara untuk mendapatkan kesenangan, kemewahan,
dan kepentingan pribadi (self-interest), sehingga akan berdampak negatif bagi
kelangsungan aspek mapan Negara tersebut, yang kemudian dijelaskan pada kalimat
sebelumnya yaitu dengan diwakili kata distorsi yang memiliki arti jika dikaitkan dengan
pendekatan ekonomi, ialah suatu keadaan ketidak sempurnaan pasar ekonomi,
kekacaukan serta penyimpangan ekonomi dan membuat kondisi ekonomi menjadi tidak
efisiensi sehingga mengganggu memaksimalkan kesejahteraan sosial dan hanya ingin
memaksimalkan dalam rangka kesejahteraan perkonomian mereka sendiri, yang mana ini
merupakan salah satu upaya manusia dalam menghancurkan ashabiyah.
Contoh lain dalam ikatan persatuan atau solidaritas yang sudah mapan, seperti yang
dikhawatirkan Ibnu Khaldun dalam penjelasan sebelumnya bahwasannya manusia
ditakutkan akan memunculkan anomali dalam politik dan sifat Kebinatangannya, yang
mana diantaranya 1). Rakus 2). Keras Kepala 3). Tidak Selekif 4). Tidak memiliki rasa
malu. Yangmana ini bisa merupakan sebagai salah satu dari upaya manusia dalam
menghancurkan ashabiyah yang disebut dari sisi keutuhan negara, yang kembali lagi
bahwa mamusia hanya ingin memaksimalkan dalam rangka kesejahteraan kesenangan
mereka sendiri.
3. Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah
tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah
atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau
aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab
menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil
mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak
mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi
pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak
memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama
yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan
(Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup
sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat
memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap
ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal di luar Agama
(Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti
yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai
beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai
kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk
membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan
hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti
yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun
menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling
dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta
melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan
dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia
berasal dari kelompok yang dominan.

Anda mungkin juga menyukai