Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Setiap orang
atau organisasi pasti akan mengalami dan terpengaruh oleh perubahan.
Dinamika perubahan lingkungan yang begitu cepat yang ditandai dengan
kemajuan ilmu dan teknologi menuntut sumber daya manusia yang smart
people dan selalu belajar.
Masalah baru yang muncul tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan struktur dan pola pikir yang sama atau pengetahuan yang telah
dikerjakan oleh organisasi di masa lampau. Sebagaimana diungkapkan Albert
Einstein bahwa problem can be solved from the same consciousness that
created it; we must learn to see the world anew. Organisasi yang tidak mau
berubah atau beradaptasi dapat diibaratkan seperti dinosaurus yang akhirnya
mengalami kepunahan. Untuk dapat beradaptasi maka organisasi harus
melakukan learning.
Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas bagaimana pelaksanaan
inovasi pendidikan dan kaitannya dengan inovasi dalam organisasi, maka
pada makalah ini, berturut-turut dijelaskan tentang pengertian inovasi dalam
organisasi dan kepekaan organisasi terhadap inovasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian inovasi dalam organisasi?
2. Bagaimanakah sistem sintrelasisasi dan desentralisasi dalam difusi inovasi?
3. Bagaimanakah Keputusan Inovasi dalam organisasi?
4. Bagaimanakah langkah-langkah proses inovasi dalam organisasi?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian inovasi dalam organisasi.
2. Mengetahui sistem sintrelasisasi dan desentralisasi dalam difusi inovasi.
3. Mengetahui Keputusan Inovasi dalam organisasi.
4. Mengetahui langkah-langkah proses inovasi dalam organisasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Inovasi dalam Organisasi


Sebelum kita membahas pengertian inovasi dalam organisasi,
sebelumnya kita akan menjelaskan pengertian organisasi itu sendiri.
Organisasi menurut pendapat Rogers adalah suatu sistem yang stabil, yang
merupakan perwujudan kerjasama antara individu-individu, untuk mencapai
tujuan bersama, dengan mengadakan jenjang dan pembagian tugas tertentu.
(Ibrahim, 1988 : 129). Orang membuat organisasi agar dapat mengerjakan
tugas rutin dalam keadaan stabil (mantap). Adapun syarat-syarat organisasi
adalah sebagai berikut :
a) Memiliki tujuan yang dirumuskan dengan jelas. Dengan rumusan tujuan
yang jelas, akan mempermudah untuk menentukan struktur dan fungsi
organisasi tersebut.
b) Memiliki pembagian tugas yang jelas. Suatu organisasi pasti terdiri dari
beberapa posisi yang semuanya mempunyai tanggungjawab dan tugas
yang jelas. Meski memungkinkan adanya pergantian orang dalam suatu
organisasi, namun tugas dan fungsi masing-masing posisi itu tidak
berubah dan tetap pada tujuan organisasi.
c) Memiliki kejelasan struktur otoritas (kewenangan). Tidak semua posisi
dalam organisasi memiliki kewenangan yang sama. Dan dalam
pengaturan kewenangannya diperjelas tentang pertanggungjawaban setiap
posisi.
d) Memiliki aturan dasar/umum (tujuan, syarat susunan pengurus dll) dan
aturan khusus (perincian kegiatan, cara pembentukan pengurus dll) atau
biasa disebut dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
e) Pola hubungan informal. Organisasi yang sangat ketat, penuh dengan
birokrasi kaku dan sangat formal akan menghilangkan unsur manusiawi
dalam kinerja antar anggotanya. Maka suatu organisasi haruslah
menggunakan pola informal dalam hubungan antar anggotanya untuk
menghilangkan ketegangan dan bisa lebih akrab namun tetap bertanggung
jawab satu sama lain.

2
Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita,
karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian,
melainkan sebagai manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Organisasi yang selama ini kita
kenal merupakan sesuatu yang tidak berwujud atau abstrak yang sulit dilihat
tetapi bisa kita rasakan manfaatnya. Keberadaan organisasi dalam kehidupan
bermasyarakat dapat kita rasakan, walaupun organisasinya sendiri tidak bisa
kita lihat maupun kita raba. Untuk menjadi kongkret maka organisasi tersebut
memiliki nama jenis tertentu seperti Universitas Sriwijaya. Organisasi
Universitas Sriwijaya tidak bisa kita lihat atau raba, tetapi kita bisa merasakan
adanya bermacam-macam peraturan seperti keharusan memiliki Kartu Tanda
Mahasiswa (KTM) bagi mahasiswa yang menempuh pendidikan di
Universitas Sriwijaya, adanya peraturan akademik yang mengatur sistem
pembelajaran, dan menunjukkan adanya organisasi yang melingkupi dan
mengatur kehidupan akademik civitas akademika.
Sedangkan pengertian inovasi itu sendiri adalah suatu ide, barang,
kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru
bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil
invention maupun diskoveri (Udin Syaefudin, 2010 : 3). Dengan melihat
secara singkat apa pengertian organisasi dan pengertian inovasi, maka kita
dapat memperoleh gambaran bahwa di dalam sebuah organisasi juga
memungkinkan terjadinya sebuah inovasi. Oleh karena itu dapat kita
simpulkan bahwa inovasi dalam organisasi adalah sesuatu hal yang baru yang
berupa apapun yang terjadi di dalam sebuah organisasi baik formal maupun
organisasi informal. Inovasi yang terjadi dalam sebuah organisasi merupakan
proses kemajuan organisasi tersebut, namun berbagai hambatan dan rintangan
akan terjadi saat inovasi itu mulai memasuki organisasi. Dengan memahami
proses inovasi dalam organisasi setidaknya akan dapat mengurangi
kegoncangan organisasi dalam melaksanakan difusi inovasi.

3
B. Sistem Sentralisasi Dan Desentralisasi Dalam Difusi Inovasi

Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu


sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu
yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh
pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan
tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam
prakteknya tidak berlaku secara ekstrem, tetapi dalam bentuk kontinum; dengan
pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(lokal). Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia,
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan
nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan
kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi). Hal
tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan
mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem
sentralisasi dan desentralisasi.
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai sentralisasi dan desentralisasi:
1. Konsep sentralisasi pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.
Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi
manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah
struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum
otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah
kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang
berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal
menjadi lebih lama.
Sistem pengaturan yang sentralstik ditujukkan untuk menjamin integritas,
kesatuan, dan persatuan bangsa. Tilaar (1991: 22) mengemukakan bahwa
pendekatan sentralistik mempunyai posisi yang sangat strategis dalam
mengembangkan kehidupan serta kohesi nasional karena peserta didiknya

4
adalah kelompok umur yang secara pedaogik sangat peka terhadap
pembentukan kepribadian. Dalam jenjang pendidikan inilah dapat diletakkan
dasar-dasar yang kokoh bagi ketahanan nasional, apresiasi kebudayaan
nasional, dan daerah, serta nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air sebagai
negara kesatuan. Dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah,
pendekatan sentralistik masih diperlukan, terutama untuk menentukan
kurikulum pendidikan nasional dan menetapkan anggaran agar dapat dicapai
kesamaan dan pemerataan standar pendidikan diseluruh wilayah tanah air.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial


budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan
pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang
seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan
lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai
objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan
minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi
pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti:

a. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan


b. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan,
evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
c. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
d. Melemahnya kebudayaan daerah
e. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.

Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka


upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang
memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri,
bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati,
memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat
menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.

5
2. Konsep Desentralisasi
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun
1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada
PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.
Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi
dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
a. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
b. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
c. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat
meningkatkan efisiensi.
d. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
e. Mengakomodasi kepentingan politik.
f. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan


terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :
a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah
pusat, secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,
termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b. Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari
pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota
sebagai sentra desentralisasi.

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat


keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada
sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan
sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan

6
wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya
diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Pendidikan termasuk bidang
yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi
pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu,
pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat terpecahkan. Cukupkah
desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah kota/kabupaten?
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan
tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Desentralisasi pendidikan
untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai pada
tingkat sekolah secara individual.

C. Keputusan Inovasi Dalam Organisasi


1. Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi
Pengambilan keputusan sangat berpengaruh terhadap organisasi.
Menurut Ibrahim (1988:134) pengambilan keputusan yang tepat dapat
memajukan organisasi atau sebaliknya karena kesalahan dalam mengambil
keputusan dalam organisasi akan dapat merugikan organisasi itu sendiri.
Pengambilan keputusan inovasi berbeda dengan pengambilan keputusan
bukan inovasi.
Pada umumnya, pengambilan keputusan bukan inovasi memerlukan
empat langkah, yaitu :
1) tersedianya berbagai alternatif tantangan kegiatan yang harus dilakukan
atau berbagai tindakan yang harus diambil.
2) tersedia rangkaian konsekuensi dari setiap alternatif kegiatan atau tindakan
yang harus diambil atau dipilih.
3) menyusun urutan atau ranking konsekuensi dari setiap
alternatif,berdasarkan kemanfaatannya bagi organisasi,
4) memilih salah satu alternatif yang paling menguntungkan dan paling
mudah dilaksanakan. Dalam proses keputusan tersebut, para pembuat
keputusan sudah memahami berbagai alternatif dengan segala
konsekuensinya, tinggal pertimbangannya mana yang paling tepat untuk
dipilih dengan dasar dapat dilaksanakannya dan menguntungkan bagi
organisasi.
Sedangkan keputusan inovasi berbeda dengan pola tersebut, karena
pada saat akan mengambil keputusan, para pengambil keputusan dihadapkan
pada berbagai kemungkinan. Mungkin mereka telah mengetahui dengan pasti
tentang inovasi yang dihadapi serta telah mengetahui segala informasi. Tapi

7
hal ini jarang terjadi, karena yang dikatakan inovasi adalah sesuatu yang
dirasakan atau diamati baru bagi seseorang. Artinya, mereka telah mengetahui
dengan jelas segala kemungkinan yang akan terjadi dengan berbagai
alternatif, tetapi belum mencoba, sehingga harus berani mengambil resiko.
Kemungkinan terakhir dan banyak terjadi adalah mereka dalam kondisi serba
belum pasti terhadap inovasi. Untuk menghilangkan kondisi yang serba tak
tentu, maka mereka harus mencari informasi tentang apa, mengapa,
bagaiamana inovasi yang dihadapi. Sehingga, letak perbedaan antara
keputusan inovasi dan keputusan bukan inovasi adalah dimulai dengan
adanya serba tak tentu (uncertainty) (Ibrahim, 1988:134).
Tipe-Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi dalam Organisasi
Menurut Roger The innovation process consists of a usual sequence of
five stages, each characterized by a particular range of events, actions, and
decisions made at that point.Tipe-tipe pengambilan keputusan inovasi dalam
organisasi terdiri dari tipe kuputusan otoritas dan tipe keputusan kolektif.
Perbedaan langkah-langkah proses keputusan inovasi menurut Rogers dalam
Ibrahim (1988:137) yaitu:
Keputusan Inovasi Otoritas Keputusan Inovasi Kolektif
1. Pengetahuan 1. Simulasi
2. Persuasi 2. Inisiasi
3. Keputusan 3. Legitimasi
4. Komunikasi 4. Keputusan
5. Aktivitas (implementasi) 5. Aktivitas (implementasi)

Keputusan Otoritas
Keputusan otoritas merupakan keputusan untuk menerima atau menolak
inovasi yang kemudian dipaksakan kepada anggota organisasi oleh seseorang
yang berada pada posisi di atas (mempunyai kekuasaan). Dua macam tipe
keputusan otoritas yang sering dipakai dalam organisasi formal :
a) Keputusan otoritas dengan partisipasi anggota organisasi (pendekatan
partisipatif). b) Keputusan otoritas tanpa partisipasi anggota organisasi
(pendekatan otoritatif) (Ibrahim, 1988:137).
Contoh keputusan otoritas dengan pendekatan otoritatif, misalnya kepala
sekolah memerintahkan kepada para guru mulai tanggal 7 Mei 2014 untuk
menyerahkan seluruh hasil belajar siswa. Jika kepala sekolah itu
menggunakan pendekatan partisipastif, maka ia mengadakan rapat dengan
para guru untuk membicarakan bagaimana sebaiknya terhadap hasil belajar
siswa. Dengan menggunakan pendekatan partisipatif, berarti memperluas
sumbangan kekuatan penerapan inovasi, sehingga mengurangi terjadinya
penolakan inovasi. Dengan kata lain, para guru tidak merasa seolah-olah

8
dipaksa. Keputusan otoritas biasanya dipandang lebih efisien karena urutan
pertahapan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dalam waktu yang
lebih singkat.

Keputusan Kolektif
Pada tipe keputusan kolektif para anggota organisasi dengan cara
pemungunatan susra atau musyawarah yang menetapkan untuk menrima atau
menolak inovasi. Keputusan kolektif biasanya digunakan oleh organisasi
yang dibentuk secara suka rela. Rogers dan Soemaker (1971) mendefinisikan
keputusan kolektif sebagai suatu cara yang digunakan para anggota sistem
sosial untuk menerima atau menolak inovasi dengan kesepakatan bersama
dan semua anggota harus menerima keputusan yang telah dibuat bersama
tersebut. Keputusan kolektif biasanya digunakan oleh organisasi yang
dibentuk secara suka rela.

D. Proses Inovasi dalam Organisasi


Proses inovasi adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh
individu atau organisasi, mulai sadar atau tahu adanya inovasi sampai
menerapkan (implementasi) inovasi. Kata proses mengandung arti bahwa
aktivitas itu dilakukan dengan memakan waktu dan setiap saat tentu terjadi
perubahan. Berapa lama waktu yang dipergunakan selama proses itu
berlangsung akan berbeda antara orang satu atau organisasi satu dengan yang
lain tergantung kepada kepekan orang atau organisasi terhadap inovasi.
Demikian pula selama proses inovasi itu berlangsung akan selalu terjadi
perubahan yang berkesinambungan sampai proses itu dinyatakan berakhir.
Dalam mempelajari proses inovasi para ahli mencoba mengidentifikasi
kegiatan apa saja yang dilakukan individu selama proses itu berlangsung serta
perubahan apa saja yang terjadi dalam inovasi, maka hasilnya diketemukan
pentahapan proses inovasi. Untuk memperluas wawasan tentang pentahapan
proses inovasi, berikut akan kami tunjukan berbagi model pentahapan dalam
proses inovasi baik yang berorientasi pada individu maupun yang berorientasi
pada organisasi.

9
Dari berbagai model proses inovasi tersebut, yang akan kami bicarakan
lebih terperinci adalah model (Zaltman, Duncan, Holbek, 1973) dan model
(Rogers 1983)
Beberapa model proses inovasi yang berorientasi pada individu:

1. Lavidge & Steiner (1961)


Menyadari – mengetahui – menyukai – memilih – mempercayai –
membeli.
2. Rogers (1962)
Menyadari – menaruh perhatian – menilai – mencoba menerima
(Adoption).
3. Colley (1961)
Belum menyadari – manyadari – memahami – mempercayai –
menagmbil tindakan.
4. Robertson (1971)
Presepsi tentang masalah – manyadari – memahami – menyikapi –
mengesahkan – mencoba – menerima (Adoption) – disonansi.
5. Rogers & Shoemaker (1971)

Pengetahuan
Persuasi (sikap)
Keputusan

Menerima Menolak

Konfirmasi
Beberapa model proses inovasi yang berorientasi pada organisasi:
1. Milo (1971)
a. Konseptualisasi
b. Tentatif Adopsi
c. Penerimaan Sumber

10
d. Implementasi
e. Institualisasi
2. Shepard (1967)
a. Penemu ide
b. Adopsi
c. Implementasi
3. Hage & Aiken (1970)
a. Evaluasi
b. Inisiasi
c. Implementasi
d. Routinisasi
4. Wilson (1966)
a. Konsepsi perubahan
b. Pengusulan perubahan
c. Adopsi dan Implementasi
5. Zaltman, Duncan & Holbek (1973)
I. Tahap permulaan (inisiasi)
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
c. Langkah keputusan
II. Tahap implemantasi
a. Langkah awal implementasi
b. Langkah kelanjutan pembinaan

Berikut ini diberikan uraian secara singkat proses inovasi dalam


organisasi menurut Zaltman, Duncan dan Holbek (1973). Zaltman dan
kawan-kawan, membagi proses inovasi dalam organisasi menjadi dua tahap
yaitu tahap permulaan dan implemntasi. Tiap tahap dibagi dalam beberapa
langkah:
I. Tahap Permulaan (initation stage)
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran

11
Jika inovasi dipandang sebagai suatu ide, kegiatan, atau material, yang
diamati baru oleh unit adopsi (penerima inovasi), maka tahu adanya inovasi
menjadi masalah pokok. Sebelum inovasi dapat diterima oleh calon penerima
harus sudah menyadari bahwa ada inovasi, dan dengan demikian ada
kesempatan untuk menggunakan inovasi dalam organisasi. Sebagaimana telah
kita bicarakan pada waktu membicarakan proses keputusan inovasi, maka
timbul masalah yang dulu tahu dan sadar ada inovasi atau merasa butuh
inovasi.
Jika kita lihat kaitanya dengan organisasi maka adanya kesenjangan
penampilan (performance gaps) mendorong untuk mencari cara-cara baru
atau inovasi. Tetapi juga dapat terjadi sebaliknya karena sadar akan adanya
inovasi, maka pimpinan organisasi merasa bahwa dalam organisasinya ada
sesuatu yang ketinggalan, kemudian merubah hasil yang diharapkan, maka
terjadi kesenjangan penampilan.
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
Dalam tahap ini anggota organisasi membentuk sikap terhadap inovsai.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sikap terhadap inovasi memegang
peranan yang penting untuk menimbulkan inovasi untuk ingin berubah atau
menerima inovasi. Paling tidak ada dua hal dari dimensi sikap yang dapat
ditunjukan anggota organisasi terhadap adanya inovasi yaitu :
1) Sikap terbuka terhadap inovasi, yaitu ditandai dengan adanya:
 Kemauan anggota organisasi untuk mempertimbangkan inovasi.
 Mempertanyakan inovasi (skeptic)
 Merasa bahwa inovasi akan dapat meningkatkan kemampaun organisasi
dalam menjalankan fungsinya.
2) Memiliki persepsi tentang potensi inovasi yang ditandai dengan adanya
pengamatan yang menunjukan:
 Bahwa ada kemampuan bagi organisasi untuk menggunakan inovasi
 Organisasi telah pernah mengalami keberhasilan pada masa
lalu dengan menggunakan inovasi

12
 Adanya komitmen atau kemauan untuk bekerja dengan menggunakan
inovasi serta siap untuk menghadapi kemungkinan timbulnya masalah
dalam penerapan inovasi.

Dalam mempertimbangkan pengaruh dari sikap anggota organisasi


terhadap proses inovasi, maka perlu dipertimbangkan juga perubahan tingkah
laku yang diharapkan oleh organisasi formal. Akan terjadi disonansi apabila
terjadi perbedaan antara sikap individu dengan perubahan tingkah laku.
Penerima disonansi terjadi apabila anggota tidak menyukai inovasi, tetapi
organisasi mengharapkan menerima organisasi. Sedangkan penolak disonan
apabila anggot amenyukai tetapi organisasi menolak inovasi. Menurut Rogers
disonansi dapat berkurang dengan dua cara:
1) Anggota organisasi merubah sikapnya menyesuaikan dengan kemauan
organisasi.
2) Tidak melanjutkan menerima inovasi, menyalah gunakan inovasi,
disesuaikan dengan kemauan anggota organisasi.
Untuk melancarkan proses inovasi , perlu mempertimbangkan berbagai
variabel yang dapat meningkatkan motivasi sert atersedianya sumber bahan
pelaksana.
c. Langkah pengambilan keputusan
Pada langkah ini segala informasi mengenai potensi inovasi dievaluasi.
Jika menganggap inovasi itu dapat diterima dan ia senang menerimanya maka
inovasi akan diterima dan diterapkan dalam organisasi. Demikian pula
sebalioknya, jika unit tidak menyukai dan menganggap inofasi tidak
bermanfaat maka ia akan menolak.

II. Tahap Implementasi (implementation stage)


Pada langkah ini kegiatan yang dilakukan oleh anggota organisasi
ialah menerapka inovasi, ada dua langkah yang dilakukan yaitu:
a. Langkah awal (permulaan) implementasi

13
Organisasi mencoba menerapkan sebagian inovasi. Misalnya setelah
dekan memutuskan bahwa dosen harus membuat persiapan mengajar denagn
model Satuan Acara Perkuliahaan, maka pada awal penerapannya setiap
dosen diwajibkan membuat untuk satu mata kuliah dulu, sebelum nantiny
akan berlaku untuk semua mata kuliah.
b. Langkah kelanjuta pembinaan penerapan inovasi.
Jika pada penerapan awal telah berhasil, para anggota telah memahami
serta memperoleh pengalaman dalam menerapkannya, maka tinggal
melanjutkan dan manjaga kelangsunganya.

Model Proses Inovasi Rogers (1983)


TAHAP-TAHAP PROSES INOVASI DALAM ORGANISASI
I. Tahap Inisiasi (Permulaan)
Kegiatan pengumpulan infromasi, konseptualisasi, dan perencanaan untuk
menerima inovasi, semuanya diarahkan untuk membuat keputusan menerima
inovasi.
1. Agenda Seting
Semua permasalahan umum organisasi dirumuskan guna menentukan
kebutuhan inovasi, dan diadakan studi lingkungan untuk menetukan
nilai potensial inovasi bagi organisasi.
2. Penyesuaian (matching)
Diadakan penyesuaian antara masalah organisasi dengan inovasi yang
akan digunakan, kemudian direncanakan dan dibuat disain penerapan
inovasi yang sudah sesuai dengan masalah yang dihadapi.
II. Tahap Implementasi
1. Re-definisi/ Re-Strukturusasi
Inovasi dimodifikasi dan re-invensi disesuaikan situasi dan masalah
organisasi. Struktur organisasi disesuaikan dengan inovasi yang telah
dimodifikasi agar dapat menunjang inovasi.

14
2. Klarifikasi
Hubungan antara inovasi dan organisasi dirumuskan dengan sejelas-
jelasnya sehingga inovasi benar-benar dapat diterapkan sesuai yang
diharapkan.

3. Rutinisasi
Inovasi kemungkinan telah kehilangan sebagian identitasnya, dan menjadi
bagian dari kegiatan rutin organisasi. (sudah hilang ke baruannya).

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Inovasi merupakan perubahan yang direncanakan oleh organisasi dengan


kegiatan yang berorientasi pada pengembangan dan penerapan gagasan-
gagasan baru agar menjadi kenyataan yang bermanfaat dan menguntungkan.
Proses inovasi dapat dianalogikan sebagai proses pemecahan masalah yang di
dalamnya terkandung unsur kreativitas. Dalam hal inovasi pendidikan sebagai
usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus melibatkan
semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara
inovasi seperti kepala sekolah, guru, dan siswa. Keberhasilan inovasi
pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu faktor tertentu saja, tetapi juga oleh
masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang berupa top-
down model tidak selamanya berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh
banyak hal, antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang
tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun
pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model
dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti,
karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari
perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu, mereka masing-
masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka
ciptakan.
Tantangan di era globalisasi dan informasi perlu dimanfaatkan sebagai
peluang untuk meningkatkan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan
komunikasi. Harus diakui bahwa keunggulan proses belajar mengajar dapat
dikembangkan melalui proses inovasi pendidikan dengan paradigma baru,
yaitu pendidikan dengan mendayagunakan SDM, teknologi informasi dan
komunikasi. Untuk itu diperlukan suatu penyebarluasan (difusi) agar semua
pihak, baik insan pendidikan maupun masyarakat umum dapat terlibat secara
langsung melakukan gerakan pembaruan (inovasi) pendidikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud Dirjen Pendidikan


Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Sa’ud, Udin Syaefudin. 2010. Inovasi Pendidikan. Bandung : Penerbit
Alfabeta.
Robby Maulana Putra, http://robymaulana.blogspot.com/2011/02/inovasi-
dalam-organisasi.html diakses tanggal 10 Mei 2013.
http://lalangiran.wordpress.com/2012/02/25/implementasi-teknologi-kinerja-
dalam-organisasi-part-3/ Diakses tanggal 10 Mei 2013.
kinanth.googlecode.com/.../INOVASI%20DALAM%2... Diakses 10
Mei 2013
smartlima.wordpress.com/.../inovasi-dalam-organisasi-...Diakses 10
Mei 2013

17

Anda mungkin juga menyukai