Anda di halaman 1dari 21

FARMAKOTERAPI TERAPAN

EPILEPSI

KELOMPOK IX

Fadila Ayu Lestari (O1B1 19 016)


Ica (O1B1 19 017)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami masih diberikan kesehatan
dan kekuataan untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “EPILEPSI” ini
dapat terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah “Farmakoterapi Terapan”. Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat
membantu meningkatkan pengetahuan kita tentang Penyakit Epilepsi serta dapat
memahami dan menyelesaikan permasalahan terkait penyakit yang dimaksud
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dibidang kesehatan serta
meningkatkan mutu individu itu sendiri.
Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang membangun dari dosen
pengajar maupun berbagai pihak sangat kami harapkan dalam rangka perbaikan
makalah ini ke depannya.

Kendari, September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di
dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012).
Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198
per100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi tiap tahun
dinegara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di
negaraberkembang mencapai 100/100.000 penduduk (WHO, 2001). Bila
jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah
penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan
prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2
per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada
kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI, 2011).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua
umur.Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba,
2008).Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon
(2006)terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada
anak-anakadalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama
pada kelompokusia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa
prevalensi epilepsipada anak-anak cenderung meningkat.
Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI
2011adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat
lepasmuatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak
secaraparoksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan
olehpenyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan

1
suatupenyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum
adalahadanya kejang.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Epilepsi?
2. Klasifikasi Epilepsi ?
3. Apa tanda dan gejalaEpilepsi?
4. Bagaimana Tatalaksana Terapinya?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah
a. Memahami definisi Epilepsi
b. Memahami Klasifikasi Epilepsi
c. Memahami Apa tanda dan gejala Epilepsi
d. Memahami Bagaimana Tatalaksana Terapinya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani “epilepsia” yang artinya adalah
gangguan neurologis umum kronis yang ditandai dengan kejang berulang tanpa
alasan, kejang sementara dan/atau gejala dari aktivitas neuronal yang
abnormal, berlebihan atau sinkron di otak Gangguan epilepsi dapat menyerang
berbagai kalangan di seluruh dunia, anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Rentang usia orang dengan epilepsi adalah 20-70
tahun per 100.000 orang, dengan prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000
(Maryanti, 2016).
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang
yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai
hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang
selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan
otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial (Kristanto, 2017).
B. Etiologi
Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat
mencederai sel – sel saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Apabila
faktor – faktor tersebut tidak diketahui, maka epilepsi yang ada disebut sebagai
epilepsi idiopatik. Sekitar 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui
faktor penyebabnya (Harsono, 2008). Pada epilepsi idiopatik yang disebut juga
epilepsi primer ini tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga
terdapat gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel – sel saraf pada
jaringan otak yang abnormal (Harsono, 2008). Sementara epilepsi yang faktor –
faktor penyebabnya diketahui disebut dengan epilepsi simtomatik (Harsono,
2008). Pada epilepsi simtomatik yang disebut juga dengan epilepsi sekunder

3
ini, gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari adanya kelainan pada
jaringan otak. Penyebab yang spesifik dari epilepsi diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat – obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami cedera dan
mendapat terapi radiasi.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia, kerusakan
karena tindakan (forsep), dan trauma lain pada otak bayi.
3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi, seperti meningitis atau radang otak.
7. Penyakit keturunan, seperti fenilketonuria, sklerosis tuberose, dan
neurofibromatosis.
8. Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Selain itu, terdapat
juga epilepsi yang dianggap simptomatik, tetapi penyebabnya belum
diketahui, yang disebut epilepsi kriptogenik. Yang termasuk epilepsi
kriptogenik adalah sindrom West, sindrom LenoxGastaut dan epilepsi
mioklonik (Perdossi, 2006).
C. Patofisiologi
Kejang disebabkan oleh eksitasi yang berlebihan, atau akibat
penghambatan gangguan pada sejumlah besar neuron kortikal. Ini tercermin
pada EEG sebagai gelombang atau lonjakan yang tajam. Awalnya, sejumlah
kecil neuron terbakar secara tidak normal. Konduktansi membran normal dan
penghambatan arus sinaptik rusak, rangsangan berlebih yang menyebar, baik
secara lokal untuk menghasilkan kejang fokus atau lebih luas untuk
menghasilkan kejang umum. Onset ini menyebar oleh jalur fisiologis untuk
melibatkan daerah yang berdekatan atau terpencil (Dipiro, dkk., 2011).
Ada beberapa mekanisme yang dapat berkontribusi dalam proses
terjadinya kejang termasuk perubahan dalam distribusi, jumlah, jenis, dan sifat
biofisik ion saluran di membran neuron, modifikasi biokimia reseptor,
modulasi sistem second massanger dan ekspresi gen, perubahan konsentrasi ion
ekstraseluler, perubahan dalam penyerapan neurotransmitter dan metabolism
dalam sel glial, modifikasi dalam rasio dan fungsi sirkuit penghambat. Selain
itu, ketidakseimbangan neurotransmitter local bisa menjadi mekanisme
potensial untuk epileptogenesis fokal. Ketidakseimbangan transisi antara
neurotransmiter utama, glutamate (rangsang) dan γ -aminobutyric-acid
(GABA) (penghambatan), dan neuromodulator (misalnya asetilkolin,
norepinefrin, dan serotonin) mungkin berperan dalam mempercepat kejang
pasien yang rentan (Dipiro, dkk., 2011).
D. Tanda dan Gejala
Dalam kebanyakan kasus tanda dan gejala kejang tergantung dari jenis-
jenis kejang yang diderita. Tes laboratorium dibutuhkan untuk
mengesampikan beberapa peyakit yang yang diobati misalnya hypokalemia,
perubahan konsentrasi elektrolit, infeksi dan lain-lain yang tidak mewakili
epilepsi. Tes diagnostik lainnya seperti EEG sangat berguna dalam diagnosis
berbagai gangguan kejang. EEG epileptiform ditemukan hanya sekitar 50%
dari pasien yang memiliki epilepsi. Kadar serum prolaktin diperoleh dalam 10
hingga 20 menit kejang tonik-klonik dapat berguna dalam membedakan
kejang dari aktivitas pseudoseizure tetapi tidak dari sinkop. Magnetic
resonance imaging (MRI) sangat bermanfaat terutama untuk pencitraan lobus
temporal, computed tomography (CT) biasanya tidak membantu kecuali
dalam evaluasi awal untuk tumor otak atau pendarahan otak (Dipiro, dkk.,
2011).
Epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu (Kristanto, 2017):
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24
jam.
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang
selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa
provokasi dalam 10 tahun mendatang.
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
E. Pemeriksaan Penunjang

5
1. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada
semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal apabila:
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku /
tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
2. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada
seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
kasus epilepsi refrakter.
3. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah
neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data
EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan
secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri (Harsono, 2007).
F. Klasifikasi
International League Against Epilepsy mengklasifikasikan bangkitan
Epilepsi sebagai berikut (Dipiro, dkk., 2011):
1. Kejang parsial (kejang dimulai secara lokal)
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan
kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area
lain, terdiri atas:
A. Parsial Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motoric
b. Dengan gejala sensorik atau somatosensori khusus
c. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Onset parsial sederhana diikuti oleh penurunan kesadaran dengan atau
tanpa automatisme.
b. Kesulitan kesadaran saat saat terjadi dengan atau tanpa otomatisme.
c. Generalized sekunder (onset parsial berkembang menjadi generik tonik-
klonik kejang)
2. Kejang umum (simetris bilateral dan tanpa onset lokal)
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial
simpleks atau kejang parsial kompleks.
a. Absence
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa
terjadi pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun
tidak perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada
respon, menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10
detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian,
tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki
kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas (Kristanto, 2017).
b. Myoclonic

7
Kejang jenis ini berlangsung singkat, biasanya sentakan otot
secara intens terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan
mengakibatkan menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski
kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan
mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode singkat.
Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik (Kristanto,
2017).
c. Clonic
Gejala kejang ini terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot
seluruh tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika
dalam posisi berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi
dapat bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur (Kristanto,
2017).
d. Tonik
Kejang ini terjadi dengan mendadak, kehilangan kekuatan otot,
menyebabkan penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda
kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera
(Kristanto, 2017).
e. Tonik-klonik
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan
terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik).
Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir dan
kulit terlihat keabuan/biru. Air liur dapat terakumu-lasi dalam mulut,
terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan
kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit
atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi
dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya
(Kristanto, 2017).
e. Atonic
g. Kejang infantil
3. Kejang tidak terklasifikasi
4. Status epilepticus
G. Tata Laksana Terapi
Tujuan pengobatan epilepsi yang ideal adalah eliminasi total kejang dan
tidak ada efek samping dan meningkatkan kualitas hidup yang optimal yang
terkait dengan kejang. Penggunaan AED yang lebih tua digunakan sebagai
monoterapi, kurang dari 50% pasien menjadi bebas kejang, karena terapi
dilanjutkan selama bertahun-tahun (seringkali seumur hidup), efek samping
kronis harus dipertimbangkan. AED yang lebih baru menawarkan alternatif
untuk menyeimbangkan frekuensi kejang dan efek samping obat (Dipiro, dkk.,
2011).

Gambar 1. Alogaritma Pengobatan Epilepsi (Dipiro, dkk., 2011)


Obat-obat lini pertama untuk epilepsi antara lain (Kristanto,
2017):
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak
efektif untuk kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok-
lonik. Dosis total 600-1200 mg dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.
2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik.
Dosis 100-200 mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat.

9
Dosis 200-400 mg bila digunakan bersama dengan fenitoin,
fenobarbital, atau karbamazepine.
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan
kejang absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.

Gambar 2. Mekanisme kerja obat anti epilepsy (Husna dan Shahdevi, 2018).
Obat anti epilepsi (AED) bekerja melawan bangkitan melalui berbagai
target seluler, sehingga mampu menghentikan aktivitas hipersinkroni pada
sirkuit otak. Mekanisme kerja AED dapat dikategorikan dalam empat
kelompok utama yaitu :
- Modulasi voltage-gated ion channels, termasuk natrium,kalsium, dan
kalium.
- Peningkatan inhibisi GABA melalui efek pada reseptor GABA-A,
transporter GAT-1 GABA, atau GABA transaminase.
- Modulasi langsung terhadap pelepasan sinaptik seperti SV2A dan α2δ
- Inhibisi sinap eksitasi melalui reseptor glutamat ionotropik termasuk
reseptor AMPA.
Efek utama adalah modifikasi mekanisme burst neuron dan mengurangi
sinkronisasi pada neuron. AED juga menghambat firing abnormal pada area
lain. Beberapa bangkitan, misalnya bangkitan absans tipikal disebabkan karena
sinkronisasi talamokortikal, sehingga AED yang bekerja menghambat
mekanisme tersebut efektif untuk mengobati bangkitan absans tipikal.
Kebanyakan target AED adalah pada kanal natrium, kalium, dan reseptor
GABA-A.
Terapi nonfarmakologis untuk epilepsi meliputi diet, operasi, dan
stimulasi saraf vagus (VNS). Stimulator saraf vagal adalah perangkat medis
implan yang disetujui FDA untuk digunakan sebagai tambahan terapi dalam
mengurangi frekuensi kejang pada orang dewasa dan remaja yang berusia lebih
dari 12 tahun dengan kejang onset parsial yang tahan api untuk AED. Itu juga
digunakan off-label dalam perawatan epilepsi umum refraktori primer.
Mekanisme tindakan anti-kejang VNS tidak diketahui. Studi klinis pada
manusia telah menunjukkan bahwa VNS mengubah konsentrasi cairan
serebrospinal (CSF) neurotransmiter penghambat dan stimulasi dan
mengaktifkan area spesifik otak yang menghasilkan atau mengatur kejang
kortikal aktivitas melalui peningkatan aliran darah.

11
BAB III
PEMBASAN KASUS
Seorang pasien laki-laki umur 54 tahun, pasien berobat rumah sakit kota kendari.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, tekanan darah pasien 130/90 mmHg.
Riwayat terjatuh pada tahun 2007 dan mengalami kejang. Pasien pernah
mengonsumsi obat tetapi berhenti, dan sejak 2018 oktober pasien berobat kembali
dan obat yang diberikan Vit. B6, Clobazam 10 mg dan Bamgetol 200 mg.

13
Problem medik Terapi DRP Plan
Epilepsi tipe tonik klonik  Vit B6 1 x 1  Clobazam tidak bisa diberikan  Interaksi obat yang
(karena pasien sering  Clobazam 10 bersmaan dengan terjadi dihindari dengan
terjatuh dan mengalami mg 1 x 1 carbamazepin (Bamgetol) penggunaan obatnya
kejang)  Bamgetol 200 karena dapat meningkatkan diberikan interval waktu
mg 2 x 1 metabolisme obat Clobazam dimana clobazam
diberikan pada malam
hari sedangkan
Bamgetol diberikan 2 x
sehari pada pagi dan
siang hari sehingga
kedua obat tersebut tidak
berinterkasi
 Monitoring kepatuhan
penggunaan obat
antiepilepsi (OAE)

ASSASMENT
1. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi farmakologi tidak hanya menghentikan atau mengurangi
frekuensi serangan, tapi juga mencegah timbulnya efek samping dan
mencegah komplikasi sehingga tercapai kualitas hidup yang optimal bagi
penderita.
 Pemberian clobazam dan bamgetol sebagai terapi OAE
 Vit. B6 sebagai suplemen dan juga membantu mengatasi kejang ataupun
rasa cemas/pusing yang dialami pasien

2. Terapi Nonfarmakologi
Terapi diet ketogenik sangat dianjurkan untuk penderita epilepsi. Diet
ketogenik merupakan diet rendah gula dan protein namun mengandung lemak
yang tinggi. Komposisi nutrisi yang terdapat dalam diet ketogenik
menyebabkan pembakaran lemak yang tinggi sehingga dapat meningkatkan
kadar keton dalam darah. Telah diketahui sebelumnya bahwa keton dapat
meminimalkan rangsangan pada sistem saraf pusat (Vera, dkk., 2014).
3. Evaluasi Terapi
 Bamgetol 200 mg (Carbamazepin) (Mims, 2016)
Indikasi : epilepsi, serangan umum primer, epilepsi campuran, neuralgia
campuran.
Dosis : dosis awal 100-200 mg 1-2 x/hari
Efek samping : hilangnya nafsu makan, mulut kering, mual-muntah, diare,
konstipasi, sakit kepala dan pusing.
Interaksi : konsentrasi plasma meningkat dengan eritromisin, INH,
verapamil, diltiazem.
 Clobazam 10 mg (Mims, 2016)
Indikasi : kondisi yang berhubungan dengan rasa cemas, tertekan,
gangguan tidur yang disebabkan oleh gangguan mental dan
emosi.
Dosis : Dewasa 20-30 mg/hari dalam dosis terbagi. Lansia 10-15
mg/hari.
KI : Hipersentiitas, miastenia gravis, riwayat ketergantungan obat
Atau alkohol.
Efek samping : Rasa lelah, mulut kering, konstipasi, kehilangan nafsu
makan, mual, pusing atau tremor halus pada jari tangan
Interaksi : peningkatan asam valporat dalam plasma. Metabolisme obat
meningkat jika diberikan bersama dengan carbamazepin dan
fenitoin.

KIE & MONITORING :

15
Edukasi diberikan pada pasien dengan kepatuhan minum obat yang buruk

dan takaran obat yang salah.

MONITORING :

 Efek samping penggunaan obat antiepilepsi (OAE)


 Kepatuahan pasien dalam mengonsumsi obatnya
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang
yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai
hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang
selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan
otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J., Robert., L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W., L., Michael P.,
2011, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Edisi 8, The
McGraw-Hill Companies.

Fikrawan, P.F.J., Diana, M.S., 2016, Pemilihan Terapi pada Laki-laki Usia 21
Tahun dengan Kejang Umum Tipe Tonik-Klonik E.C Epilep Idiopatik,
Jurnal Medula Unila, Vol. 6(1).

Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2

Husna, M., dan Shahdevi, N.K., 2018, Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi
Secara Biomolekuler, MNJ, Vol.4(1).

Kristanto, A., 2017, Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP


Sanglah Denpasar-Bali, Intisari Sains Medis, Vol. 8 (1): Hal.69-73

Kusumastuti, K., & Basuki, M. 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi 5.


Surabaya: Airlangga University Press.

Harsono. 2007. Epilepsi, edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Maryanti, N.C.W., 2016, Epilepsi dan Budaya, Buletin Psikologi, Vol. 24(1).
Hal:22 – 31 ISSN 2528-5858.

Penovich PE, Karen E. Eck, Vasiliki V. 2004. Recommendations for the care of
women with epilepsy. Cleveland Clinic Journal of Medicine, Vol 71.

Schmidt, D., Steven, C.S., 2014, Drug treatment of epilepsy in adults, State of The
Art Rewiew, BMJ.

Taufiqurrohman Agus, Damodoro Nuradyo, Harsono, Manajemen Epilepsi Pada


Kehamilan, Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia

Thomas SV. 2006. Managemen Epilepsy and Pregnancy, J Postgrad Med March.
Vol 52.

Vera, R., Mas A.R., Nursiah, 2014, Sindrom Epilepsi Pada Anak, MKS, Vol 46 (1).

Widyati, 2016, praktik farmasi klinik fokus pada pharmaceutical care, Brilian
internasional : Surabaya
19

Anda mungkin juga menyukai