Kampung Perempuan
Kampung Perempuan
KAMPUNG PEREMPUAN
PARA PELAKON:
1. Perempuan Syair
2. Ibu
3. Tetangga
4. Anak tetangga
5. Orang Kota 1
6. Orang Kota 2
7. Ibu Lurah
Ahai...ahaii...ahaiii
KEMUDIAN BERDIALOG.
Perempuan syair: Inilah kampung perempuan, selalu sunyi dan sepi. Hidup disini bagai
mimpi. (melihat ke arah luar jendela) pada malam hari raya seperti ini, biasanya ada Ayah
yang sedang memasak ketupat di laman sana (menujuk keluar). Sedih hati dah mengoyak,
seumpama retak tinggal menunggu belah. Dan ini sebuah takdir tidak bisa nak dielakkan lagi.
Tapi mengapa begitu cepat ia pergi. Apakah tuhan menginginkan nasib keluarga saya seperti
ini, atau untuk harus berhati-hati tentang kematian.
Perempuan Syair: Iya bu, tapi mengapa begitu cepat ia pergi ke tempat Ilahi?
Ibu: Begitulah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi nak. (Mendekati)
Perempuan Syair: Besok hari raya, selesai sholat akan berdoa ke kuburan ayah. Ibu harus
ikut ya.
Ibu: Iya nak, masa lampau selalu teringat. Walaupun orangnya sudah tidak bersama kita.
Perempuan Syair: Saya merasa masih dekat di sekitar kita, bau Ayah ini bu. (Hening)
Ibu: (Bergerak ke arah kursi tamu) Apakah kamu mempunyai niat untuk meninggalkan
kampung Perempuan ini. Ketika setiap kali bermenung di jendela itu?
Perempuan Syair: Ada Bu, tapi rasanya niat ini sangat sulit untuk diungkapkan dan
dilaksanakan.
Ibu: Niat jangan begitu tabu. (Hening seketika) Soalnya usia ibu entah kapan akan menyusul
Ayahmu.
Perempuan Syair: (Mendekati ibunya) Kenapa Ibu berkata demikian, apakah Ibu ingin
meninggalkan saya. Atau Ibu tidak sayang lagi dengan saya?
Ibu: Ya, Ibu merasa engakau yang akan meningalkan Ibu dari rumah tua ini. Sebab takut
tidak tahan dalam suasana sunyi sepi di kampung.
Perempuan Syair: Niat hati itu ada, tapi berat untuk kaki melangkah. Hanya sekedar niat,
biarlah anak perempuan di rumah saja.
Ibu: Kalau anak perempuan di rumah itu wajar. Tapi apakah kata-kata itu keluar dari hati
paling kecil? (Membelai rambuta Perempuan Syair)
Ibu: Ya sudahlah, ibu mau keluar sebentar. (Baru saja mau keluar ada yang mengetuk pintu)
Tetangga: Iya sekarang musim flu, ini anak sayapun sudah tak enak badan.
Ibu: Ada hajat apa sebenarnya bertandang kemari berdua beranak nih?
Tetangga: Begini anak saya ingin mengajak anak awak, pergi bekerja ke kota, di kampung
ini tidak berkembang kata mereka.
Ibu: Berat rasa hati henda melepaskan anak perempuan. (Hening sejenak)
Tetangga: Kalau begitu biarlah anak-anak kita berbicara. Kita keluar, oh iya katanya kamu
mau keluar, ayo sekalian. (Mereka keluar)
Perempuan Syair: Sebentar, mau mencari teks syair yang ditulis kemaren hilang.
Anak Tetangga: Untuk apa? Mau berdendang di depan saya. (Sambil tersenyum)
Perempuan Syair: Iya, agar kita bisa menghilangkan hati yang meracau ini.
Anak Tentangga: Iya,kampung perempuan ini. Sunyi tak ada lelaki yang lahir.
Perempuan Syair: Iya, sudah mengerti hanya saja ingin mengalihkan pembicaraan saja.
Anak Tetangga: Kita bicara hal yang semula. Begini bagaimana kalau kita tinggalkan saja
kampung perempuan ini. Kemudian Ibu-ibu kita suruh satu rumah.
Perempuan Syair: Sungguh berat sekali. Ibu kitra hanya janda yang berkerja sendiri.
Anak Tetangga: Iya,cari pekerjaan. Supaya kita bisa meringankan beban orang tua kita
masing-masing.
Perempuan Syair: Yakin? Kalau kita pergi ke kota lansung dapat pekerjaan?
Perempuan Syair: Sampai Ibu-ibu kita mengizinkan kita untuk merantau ke kota.
Anak Tetangga: Mmmm. Terserah (agak kesal) kalau begitu saya pulang dulu, ingin
memeprsiapkan masakan untuk ibu. (keluar)
Perempuan Syair:
MASUK IBU.
Ibu: Amboi, merdunya suara. Ini pakiannya bagus (melihat perempuan syair) hendak
kemana?
Perempuan Syair: Hendak ke pelabuhan Bu, ada janjian sama anak tetangga kita tadi. Kalau
begitu ananda pergi ya? Bolehlah. (Ibu mengangguk dan Perempuan Syair bersalaman
lansung keluar)
Ibu Lurah: Memuji, tak mungkin menghina (keduanya tertawa). Banyak buat ketupat untuk
besok?
Ibu Lurah: Banyak, pasti ramai orang-orang kota lebaran di kampung perempuan.
Ibu: Semogalah, beberapa tahun belakang ni, kampun kita sunyi bu lurah.
Ibu Lurah: Iya, sudah banyak pindah ke kota, jadi kampung ini makin lama makin sunyilah.
Ibu Lurah: Suami sayapun enggan balek ke kampung ini, jadi saya yang ke kota.
Ibu Lurah: Begini, saya ingin membawa anak ibu ke kota. Untuk berekerja di sana. Sore
kemarin saya sudah bertemu dengan dia, Cuma katanya tunggu persetujuan Ibu aja lagi.
Ibu Lurah: Izinkan sajalah, tak mungkin dia bersemedi di kampung ni saja.
Ibu: Bukan begitu Bu Iurah, kalau dia pergi saya terasa sunyi dan tak ada gunanya saya
bertahan hidup.
Ibu: Lebih sudah lagi Bu lurah, sebab saya tak mau ninggalkan rumah ini.
Ibu Lurah: Jual saja rumah ini, lalu beli rumah di kota.
Ibu Lurah: Sampai kapan Ibu seperti ini, kalau masih dipikirkan kampung perempuan ini,
tidak akan berkembanglah hidup.
Orang Kota 2: Iya, waduh hujan lagi. Tantangan sampai kesini cukup mengerikan.
Orang Kota 1 : Ada juga yang sanggup tinggal di kampung terpencil ini.
Orang Kota 2 : Begitulah orang taat kepada asalnya. Jadi takut mau meningglakan.
Ibu: Wah ada orang rupanya di luar. Masuk, masuk di situ basah. (Mempersilakan Orang
Kota 1,dan 2 masuk ke dalam rumah. Merekapun masuk.) Silakan duduk, sebentar Ibu
ambilakan handuk. (Ibu pergi mengambil handuk di kamar)
Ibu Lurah: Saya Ibu Lurah di desa ini, ini salah satu kampung dalam kawasan kelurahan
kami. Kampung yang agak jauh dari kelurahan dan kecamatan.
Orang Kota 2: Oo, jadi Ibu ini, ibu lurah. Kebetulan sekali kami beretmu lansung sama ibu.
Orang Kota 1: Begini Bu, kami kesini jauh-jauh dari kota sampai ke sini. Ingin mencari
anak gadis yang belum ada pekerjaan. Untuk bekerja kota.
Ibu Lurah: Ooo, anak-anak kampung sini agak sudah untuk keluar, sebab mereka harus ada
persetujuan Ibu-ibu mereka. Saya pun datang ke sini ingin membawa anak Ibu di rumah ni.
Tapi beliau sangat berat untuk melepaskannya.
Orang Kota 2: Selain kampung perempuan ini. di mana kampungnya lagi Bu? Nampaknya
hujan sudah mulai reda.
Orang Kota 1: Iya, hujan mulai reda dan kami mengejar waktu Bu, untuk pulang jam 3
nanti. Mengejar kapal terakhir.
Ibu Lurah: Ada kampung melur namanya. Jalan depan ni lurus saja kemudian belok kanan
jalan terus sekita setengah jam, ada tulisan kampung melur di situlah.
Ibu Lurah: Mereka ingin mencari anak gadis untuk menawarkan pekerjaan di kota.
Ibu Lurah: Kalau begitu saya izin pulang dulu. Assalamualaikum (keluar)
Ibu: (Menoleh) iya lagu untuk mengayunkan kamu sewaktu kecil. Ayahmu juga suka lagu ini
lagu menyimpan mimpi dan harapan kami untuk kamu.
Perempuan Syair: Tadi saya bertemu dengan 2 orang dari kota. Kemudian mereka
menawarkankan saya untuk bekerja di hotel, menjadi penjaga kasir. Kerjanya tidak begitu
berat katanya bu.
Ibu: Lalu? (Agak cuek, sebab sudah menduga perempuan syair akan ke kota)
Perempuan Syair: Ingin rasanya ke kota, kalau sekiranya Ibu mengizinkan. (Duduk di kursi
dekat jendela)
Ibu: Terserah, mana baik kata hati lalu ikutkan. (Kesal) tapi ingat kalau ada sesuatu dengan
Ibu, tidak akan pernah Ibu memberi tahu.
Perempuan Syair: Ibu keberatan melepaskan saya, jadi sampai kapan saya menjdi gadis
rumahahan dan berdiam di kampung ini.
Perempuan Syair: Kenapa begitu terikat dengan perkataan mati? Ibu selalu begitu ketika
saya ingin ke kota. Apakah ibu tak pernah risau, melihat anak gadis yang belum menikah dan
tidak bekerja?
Ibu: Menikah adalah takdir Tuhan, walaupun di dalam rimba. Jika jodohnya sampai pasti di
pertemukan. Kemudian rezeki sudah diatur oleh pencipta.
Perempuan syair: Tapi harus disertai dengan usaha (meninggikan suara sedikit) jadi usaha
perempuan adalah hidup ditempat yang ada lelakinya. Tidak di kampung ini yang memang
mayoritas isinya perempuan.
Ibu: Sudah berapa lama kamu besar dengan ibu? Apakah kamu hidup tampa ibu bisa?
Apakah kamu tidak pernah memikirkan kesunyian yang ibu alami ketika ayahmu tiada? dan
kamu sudah siap tidak bertemu dengan nyawa ibu? (Melihat sejenak ke arah anaknya lalu
pergi kamar)
Ahai...ahaii...ahaiii...