Anda di halaman 1dari 15

Ketika membaca berita manapun yang memiliki sangkut paut dengan BPJS Kesehatan,

hampir pasti bahwa kita hanya 1-2 klik saja ke berita yang menyatakan bahwa BPJS
defisit. Sungguh disayangkan, bahwa badan yang mengatur dan meregulasikan jaminan
kesehatan nasional harus menghadapi situasi yang kurang menyenangkan ini. BPJS
Kesehatan nyatanya memang mengalami defisit selama tiga tahun terakhir. Ya, tiga tahun
terakhir dapat dikatakan sejak awal berdirinya pada 1 Januari 2014 atas tindak lanjut
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. Tidak hanya itu, defisit yang dialami juga
meningkat selama tiga tahun tersebut. Berikut merupakan grafik untuk
memvisualisasikannya.

Untuk mengatasi defisit ini, Pemerintah menganggarkan suntikan dana dari cadangan
dana APBN setiap tahunnya. Kenaikan defisit yang terjadi ini juga bukan karena tidak
ada alasan. Banyak faktor yang menyebabkan BPJS Kesehatan mengalami defisit bahkan
dengan kenaikan yang signifikan setiap tahunnya. Faktor-faktornya banyak berada di
sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sendiri.

Pertama, sistem JKN ‘memaksa’ BPJS Kesehatan untuk defisit. Jaminan Kesehatan
Nasional menganut prinsip gotong royong. Berbeda dengan prinsip asuransi komersial,
pada JKN tidak digunakan waktu tunggu jaminan.Peserta BPJS dapat langsung
mengklaim BPJS tepat setelah peserta itu membayar iuran yang diperlukan. Hal ini juga
didukung dengan tidak adanya prinsip ‘pre-existing condition’ yang memasukkan kondisi
peserta (sehat, sakit, atausakit parah) ke dalam pertimbangan berhak atau tidaknya
mendapat jaminan kesehatan. Karena tidak adanya screening untuk pengklaim, semua
peserta BPJS berhak langsung mendapat pelayanan kesehatan setelah mengajukan klaim
tanpa adanya pemeriksaan risiko terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan melambungnya
klaim BPJS yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Kedua, pelayanan kesehatan di indonesia terfokus pada aspek kuratif. Dari berbagai
penyakit yang menjangkit masyarakat Indonesia, lima penyakit yang paling banyak
memakan anggaran BPJS ialah penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, kanker, stroke, dan
thalasemia.Penyakit-penyakit ini bukan dapat dicegah sepenuhnya, namun bisa dikurangi
risiko terkenanya dengan pola hidup yang sehat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
pola hidup kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu sehat. Budaya merokok,
asupan gizi tidak seimbang, kurangnya olahraga, dan lain-lain menjadi faktor-faktor yang
meningkatkan risiko terkena penyakit.

Tenaga kesehatan, menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,


harus mengupayakan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan promotif berarti kegiatan pelayanan berfokus kepada
mempromosikan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan preventif berarti
pelayanan berfokus kepada pencegahan terkena suatu penyakit. Kedua aspek pelayanan
kesehatan ini berfokus pada saat masyarakat belum terjangkit suatu penyakit, dan aspek
ini yang belum dioptimalkan oleh pemerintah. Seperti yang sudah beratus kali didengar
sebelumnya: Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pemerintah (dalam hal ini
kementerian kesehatan) sudah seharusnya tidak memandang sebelah mata aspek
pelayanan kesehatan kuratif dan promotif. Hal ini karena aspek inilah yang (secara tidak
langsung) paling berpengaruh kepada kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan
seharusnya difokuskan ke permukiman dan lingkungan hidup, bukan rumah sakit.

Dengan mengedepankan aspek promotif dan kuratif, tidak hanya kesehatan masyarakat
bisa lebih terkontrol secara jangka panjang, anggaran kesehatan akan jauh mengecil.
Daripada menunggu masyarakat sakit dan mengobatinya yang membutuhkan biaya
mahal, lebih baik meminimalisasi kemungkinan masyarakat terjangkit suatu penyakit.
Memberi edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup sehat dan mengerahkan tenaga
kesehatan untuk mengawasi kesehatan setiap elemen masyarakat pada permukiman
merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dapat
dilakukan.

Ketiga, sistem rujukan masih belum berjalan dengan efektif. Dalam data yang dimuat
BPJS, masih banyak jumlah kunjungan peserta BPJS yang berada di fasilitas kesehatan
tingkat 2 (rumah sakit tipe B, C, dan D) dan tingkat 3 (rumah sakit tipe A). Hal ini
dianggap tidak efektif karena mayoritas klaim dari peserta BPJS bisa ditindaklanjuti pada
fase pelayanan primer. Hal ini juga menyebabkan penggelembungan pengeluaran
pengeluaran BPJS.

Salah satu solusi yang dilaksanakan pemerintah terkaitmasalah ini adalah dengan
dimulainya program dokter layanan primer yangmencakup pendidikan setara spesialis
yang khusus menangani layanan keseatanprimer (pelayanan kesehatan saat pasien
bertemu pertama kali dengan tenagakesehatan). Namun, solusi ini menimbulkan masalah
baru terkait pro kontramengenai program ini di kalangan mahasiswa kedokteran maupun
dokter.

Keempat, adanya ketimpangan signifikan antara pengeluarandan pendapatan. Hal ini


sebenarnya sangat jelas terlihat meningat BPJSKesehatan sendiri mengalami defisit.
Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahipada alasan ini terletak pada pengendalian
pengeluaran agar bisa mencegah atauminimalnya mengurangi defisit. Upaya
pengendalian pengeluaran padapenyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dapat
dilakukan denganmengantisipasi pengaruh inflasi pada kenaikan harga obat maupun alat
kesehatan.Dalam melakukan upaya ini perlu sejalan dengan kinerja pemerintah
dalammembangun ekonomi dan mengeluarkan kebijakan yang terkait.
Lalu solusinya bagaimana?
Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan masalahdefisit ini. Solusi
yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan berbagitanggung jawab BPJS antara
pemerintah pusat dan daerah. Dengan membagi tanggungjawab dalam menganggarkan
BPJS, beban anggaran tidak akan terfokus ke pusat. Akantetapi, solusi ini cenderung
mengarah kepada ‘menanggulangi’ dibandingkan dengan‘mengatasi’.

Selain itu, dapat pula dilakukan kenaikan biaya operasionalBPJS untuk setiap kelas.
Tentunya ini merupakan solusi yang paling tidakmemungkinkan karena tidak hanya
menimbulkan penolakan dari masyarakat, kenaikanbiaya juga tidak akan cukup untuk
menutupi defisit.

Maka dari itu, setelah dipikir-pikir, untuk mengatasi defisitpada BPJS Kesehatan ya
hanya satu: meningkatkan kesehatan masyarakat. Meningkatkan kesehatan masyarakat
terdengar begitu luas dan mudah, tetapi nyatanya belum ada yang berhasil sepenuhnya
dalam mewujudkan ini. Hal ini karena setiap orang atau pihak berupaya mewujudkan ini
bersama lembaga atau badan tempat ia berada, sedangkan pengupayaan kesehatan
memerlukan integrasi dari semua bidang. Kesehatan sendiri menurut WHO adalah
kondisi fisik, mental,dan sosial yang sehat dan tidak hanya ketiadaan suatu penyakit.
Berarti, meningkatkan kesehatan tidak hanya memperbaiki dan menyehatkan kondisi
fisik setiap orang, namun juga lingkungan hidup tempat masyarakat bersosialisasi.

Mungkin memang terdengar lucu bagaimana saya menghubungkan solusi defisit pada
BPJS dengan meningkatkan kesehatan masyarakat. Analoginya serupa dengan menjawab
bagaimana mengurangi risiko sakit dengan menjadi lebih sehat. Namun, memang ada
hubungan erat antaranya. Negara-negara di eropa barat contohnya bisa meminimalisasi
pengeluaran akibat jaminan kesehatan dengan menciptakan lingkungan yang sehat untuk
warganya. Lingkungan yang sehat akan secara signifikan mengurangi risiko masyarakat
terpapar penyakit sehingga ‘memotong’ proses pelayanan kuratif dengan tindakan
preventif.

Pada akhirnya, semua kembali ke alasan kedua di atas mengenai alasan defisitnya BPJS
Kesehatan. Suatu sistem jaminan kesehatan nasional di mana pun pasti tidak bertujuan
untuk menciptakan profit, karena mendapat jaminan sosial yang di dalamnya termasuk
jaminan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Maka dari itu, setiap negara
wajib mengupayakan jaminan kesehatan sebagai wujud kepedulian negara terhadap
HAM warganya,walaupun harus sampai mengalami kerugian. Namun demikian, dirasa
badan yang mengurus Jaminan Kesehatan Nasional juga tidak seperlunya mengalami
defisit yang begitu besar, apalagi proses registrasi JKN belum komplit (baru ~70% warga
Indonesia yang terdaftar BPJS) sampai 2019. Maka dari itu, integrasi setiap lembaga
negara dalam membuat kebijakan yang mendukung peningkatan kesehatan Warga
Negara Indonesia menjadi kunci dalam mengendalikan defisit pada BPJS Kesehatan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial (BPJS) Watch menyebutkan beberapa alternatif
mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Termasuk
menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu
Indonesia Sehat (JKN-KIS) sesuai hitungan aktuaria hingga
memaksimalkan perolehan pajak rokok dari daerah.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan,


ada beberapa opsi mengatasi defisit yang dialami lembaga yang
dulunya bernama Asuransi Kesehatan itu.

"Pertama adalah kenaikan iuran karena premi itu yang membiayai


pembiayaan kesehatan BPJS Kesehatan. Iuran harus tetap
diperbarui dan ditinjau karena inflasi yang terus meningkat
dan Indonesian Case Based Groups (INA CBGs)," katanya saat
dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/9).

Bahkan, dia melanjutkan, pemerintah sudah mengakui pembaruan


iuran JKN-KIS dengan adanya peraturan presiden (perpres) nomor
111 tahun 2013 pasal 16 i yang mengamanatkan peninjauan iuran
JKN-KIS semua kelas, baik penerima bantuan iuran (PBI), mandiri,
pegawai negeri sipil (PNS), hingga pekerja penerima upah
perusahaan swasta maksimal dua tahun sekali.
Jadi, ia menambahkan sudah ada dasar hukum yang
mengamanatkan iuran BPJS Kesehatan diperbarui dua tahun sekali
untuk mengikuti perkembangan INA CBGs. Ia menyebut
beradasarkan hitungan aktuaria, premi kelas III BPJS Kesehatan
harusnya Rp 36 ribu per jiwa setiap bulannya.

Opsi kedua, dia menambahkan, pajak rokok yang menjadi bauran


kebijakan pemerintah bisa menjadi pilihan. Ia meminta pemerintah
segera menyelesaikan dan menandatangani pengganti perpres no
19. Sebab, di draft aturan di pasal 98, 99, 100 itu telah dinyatakan
dari 50 persen dari pajak rokok yang masuk ke pemerintah daerah
(pemda), 75 persen di antaranya wajib dialokasikan ke BPJS
Kesehatan.

Di satu sisi, ia juga meminta pemerintah, Kementerian Kesehatan,


pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, hingga Badan Pengawas
Rumah Sakit (BPRS) memperhatikan pengawasan fasilitas
kesehatan (faskes) karena defisit membengkak akibat kecurangan
INA CBGs. Ia menyontohkan, pasien peserta JKN-KIS belum
waktunya pulang sudah diminta pulang ke rumahnya tetapi sepekan
kemudian disuruh masuk kembali ke faskes yang sama. Artinya,
kata dia, satu pasien bisa disembuhkan dua hingga tiga kali INA
CBGs.

"(Pengawasan) itu juga harus jadi fokus pemerintah, karena meski


iuran banyak tetapi INA CBGs membengkak ya tetap akan terjadi
defisit . Jangan lagi ada fraud (kecurangan)," ujarnya.
Selain itu, ia juga meminta BPJS Kesehatan mengurangi rujukan ke
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Ia menyebut kalau
dilihat data laporan menyebutkan rata-rata rujukan nasional 12,5
persen selama 2017 tetapi ketika awal tahun 2018 hingga
pertengahan Mei kemarin, tingkat rujukan sudah 15 persen. Artinya,
dia menambahkan, rujukan ke FKTL meningkat dan itu
menciptakan INA CBGs.

“Sudah iuran, sekarang diajak patungan. Orang sakit jadi makin sakit.”

Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) terhitung sebagai


program berhasil bila dilihat dari angka pesertanya saat ini. Per 2017, 183 juta
orang atau 76,25% penduduk Indonesia sudah menjadi pesertanya. Tapi, di saat
yang sama pengelola JKN-KIS, BPJS Kesehatan, justru pusing.

Akhir tahun ini lembaga tersebut mengumumkan bahwa mereka defisit hingga 9
triliun. Sebenarnya ini bukan hal baru karena juga terjadi pada 2014 (defisit 3,3
triliun), 2015 (5,7 T), dan 2016 (9,7 T).

Untuk menambal defisit itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian


memutuskan untuk memakai dana bagi hasil cukai dan pajak rokok di daerah
yang besarnya bisa mencapai 5 triliun. Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nila F.
Moeloek menyatakan, masyarakat diimbau tidak sakit agar tidak menjadi beban
BPJS Kesehatan.

Usaha mengatasi defisit rupanya tak sampai di situ saja. 23 November kemarin
Direktur BPJS Kesehatan Fahmi Idris melontarkan wacana tentang 8 penyakit
berat yang rencananya tidak akan ditanggung 100% lagi ongkos pengobatannya
oleh BPJS. Penyakit-penyakit tersebut meliputi kanker, gagal ginjal, stroke,
talasemia, sirosis, hepatitis, leukimia, dan hemofilia. Dalam istilah Fahmi, dalam
skema wacana ini biaya pengobatan akan ditanggung BPJS bersama pasien
alias cost sharing.

Nama 8 penyakit itu muncul karena kedelapannya adalah penyakit yang paling
banyak “menghabiskan” dana. Kedelapannya memakan 21,84% sendiri dari
keseluruhan pengeluaran BPJS tahun ini.

Berikut beberapa komentar netizen mengenai wacana 8 penyakit tidak dibiayai


BPJS tersebut.

***

Kardono Ano Setyorakhmadi: Jika Anda hidup sederhana (bukan tak mampu)
dan ada anggota keluarga Anda yang kena kanker, siap-siap saja mencari
pemakaman. Sarkas? Iya. Tapi ini fakta. Fakta menyedihkan dan nggatheli dari
pemerintah. Karena BPJS tak lagi menanggung semua. Total ada delapan
penyakit yang akan tak ditanggung lagi.

Ini menyesakkan, sebab keluarga menengah saja tak akan mampu membiayai
kanker. Untuk satu kali kemo saja berkisar Rp10 juta, dan penderita kanker tak
cukup lima kali kemo. Belum biopsi, belum perawatan yang lain. Lalu, dapat
biaya dari mana? Ini benar-benar membuat si keluarga itu tak punya pilihan lain.
Dilematis, ketidakmampuan membiayai pengobatan keluarganya dan
ketidakmampuan melihat penderitaan keluarganya.

Pernyataan BPJS di berita ini seolah mengisyaratkan lembaga ini adalah


lembaga profit. Lalu untuk apa BPJS dibentuk, dan kenapa harus diwajibkan dan
diatur dalam undang-undang? Karena BPJS adalah jaring pengaman bagi masy
untuk mendapatkan akses kesehatan. Bukan sekedar lembaga asuransi biasa.

Untuk itu, rencana BPJS yang satu ini harus ditolak!


Patrianef Patrianef: 1. Cost Sharing pada Penderita Penyakit Katastrofik

BPJS saja berat membiayai penderita penyakit katastrofik, apalagi peserta yang
sudah menjadi tidak produktif akibat penyakitnya, katakanlah gagal ginjal.
Penderita yang sudah tidak produktif tidak akan sanggup bertahan lama untuk
“cost sharing” akhirnya pasrah dan “dibiarkan” meninggal. Penderita kurang
miskin akan menjadi miskin. Penderita mampu akan menjadi tidak mampu.

Pada penderita katastrofiklah seharusnya negara hadir, melindungi dan


mengayomi rakyatnya. Misalnya membiayai hemodialisa yang 2 kali seminggu
yang harus mereka jalani seumur hidup. Janganlah tambah penderitaan mereka
dengan membebani mereka dengan beban berat disaat mereka sakit

Konyol kedengarannya orang yang menderita dan tidak produktif lagi karena
penyakitnya justru harus ikut membiayai.

Yang benar sajalah cara pikirnya, BPJS.

Kurang uang ya tambah uang, tambah iuran, tambah subsidi. Bukan manfaat
yang dikurangi.

Seharusnya BPJS menunjukkan simpati kepada masyarakat yang sudah


menderita karena sakitnya. BPJS juga bisa mendapatkan simpati dari rakyat
misalnya dengan cara ikut merasakan menggunakan BPJS yang mereka kelola
sebagai satu satunya asuransi yang mereka gunakan, bukannya menggunakan
asuransi lain. Atau ikut iur gaji mereka yang mungkin jumlahnya tak akan
banyak, tetapi akan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa BPJS memang
kurang uang.

Terakhir saya bertanya kepada yang selama ini membolak-balik pemahaman kita
antara JKN dan BPJS serta sering mengaduk-aduk pemahaman kita antara
peranan BPJS dan Kemkes. Sebetulnya yang kurang uang sekarang ini BPJS
atau JKN?
2. Pembiayaan APBN untuk Kesehatan

Tahukah Anda bahwa pembiayaan 5,7 % dari APBN Indonesia untuk sektor
kesehatan adalah salah satu pembiayaan terendah di dunia? Persentase
pembiayaan yang rendah itu hanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan Angola
5%, Azerbaijan 3,9%, Kamerun 4,3%, Eritrea 3,6%, Laos 3,4%, Libya 4,9%, dan
Myanmar 3,6%

Jangan dibandingkan dengan Jerman 19,6%, Australia 17,3%, China 10,4%,


apalagi Jepang 20,3 %.

Kalau kita malu membandingkan dengan Eropa cukup dengan Asia Tenggara.
Malaysia 6.4%, Singapura 14,1%, Thailand 13,3%, dan Vietnam 14,2%.

Kontradiktif dengan keinginan kita yang ingin membiayai semua pelayanan


kuratif di sektor kesehatan. Bagaimana pelayanan BPJS akan bagus jika
pembiayaan BPJS yang merupakan bagian dari pembiayaan sektor kesehatan
mendapatkan pembiayaan yang kecil.

Inilah yang harus dibenahi dahulu. Pembiayaan APBN sebagai hulu semua
pembiayaan pelayanan kesehatan.

Yang kasihan adalah pihak pihak yang selalu disalahkan. Dokter dikatakan fraud.
Faskes yang fraud. Dan sekarang ada lagi yang disalahkan: penyakit katastrofik.

3. Urun Biaya pada Penderita Penyakit Katastrofik Berpotensi Melanggar UU

UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Pasal 20 ayat 2 mengatur tentang


urun biaya pada peserta BPJS.

Bunyi lengkap pasal tersebut ayat 2, “Untuk jenis pelayanan yang dapat
menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.”
Disambung dengan ayat 3 berbunyi, “Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan
dan urun biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden.”

Penjelasan ayat 2 ialah “Jenis pelayanan dimaksud adalah pelayanan yang


membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku
peserta) misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan
tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.

“Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya


pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya
dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan
dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan
kesehatan.”

Jika melihat pada UU di atas, jelas penyakit katastrofik tidak termasuk kelompok
di atas. Sebagai contoh, cuci darah tidak dipengaruhi perilaku peserta. Cuci
darah jelas ada indikasi medis. Beda, misalnya, dengan seorang penderita
kecelakaan lalu lintas yang menurut dokter tak perlu CT Scan, tetapi penderita
menginginkan. Dalam hal ini menurut UU peserta dapat urun biaya.

Penyakit katastrofik adalah beban bagi penderita dan keluarga. Bukan hanya
penderita yang merasakan akibatnya. Keluarga juga menderita, apalagi jika
penderita merupakan tulang punggung keluarga.

Urun biaya pada penderita penyakit katastrofik selain berpotensi melanggar UU


juga berpotensi menambah angka kematian karena peserta putus berobat sebab
tidak mampu urun biaya dalam jangka lama dan untuk pindah menjadi peserta
PBI bukan hal yang mudah.

Kurang dana solusinya adalah tambah dana. Tanggung jawab BPJS sebagai
pelaksana JKN meyakinkan pemerintah bahwa tidak selayaknya program JKN
dijalankan dengan asumsi defisit dari awal, dan dari awal BPJS seolah-olah tidak
bermasalah, tetapi di akhir tahun terlihat gelagapan dan mencari jalan keluar
yang berpotensi melanggar UU.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit


anggaran hingga Rp 16,5 triliun. Disamping mencari dana talangan, pemerintah
juga diminta untuk memikirkan cara agar defisit BPJS Kesehatan tidak terulang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko
Listiyanto mengatakan, masyarakat harus lebih membiasakan diri menjalankan
swamedikasi. Yang dimaksud dengan swamedikasi adalah pengobatan sendiri
untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas atau
fasilitas kesehatan.
“Edukasi masyarakatnya apakah dia harus ditangani dengan BPJS Kesehatan atau
sebetulnya cukup dengan swamedikasi. Dengan obat-obat apotik terdekat, atau
warung obat dan sebetulnya itu bisa membantu,” ujar Eko kepada
Moneysmart.id.
Menurut Eko, sebelum adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
masyarakat sudah biasa menjalankan swamedikasi, akan tetapi setelah adanya
program JKN lewat BPJS Kesehatan kebiasaan itu mulai hilang.
“Swamedikasi harus ditingkatkan. Karena sebetulnya masyarakat terbiasa dengan
swamedikasi sebelum program ini berjalan,” ujarnya.
Artinya, jika masyarakat anggota JKN mengalami sakit yang masih bisa ditangani
sendiri sebaiknya tidak perlu menggunakan fasilitas kesehatan dari program BPJS
Kesehatan. Sebaliknya jika sudah perlu pertolongan medis maka sudah menjadi
keharusan menggunakan fasilitas kesehatan dari program JKN.
Evaluasi Menyeluruh

Ilustrasi BPJS Kesehatan (Tempo) Selain itu, guna mencegah defisit BPJS Kesehatan
terulang kembali, pemerintah disarankan melakukan evaluasi secara total
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

“Supaya tidak terulang lagi defisit yang berlipat ganda setiap tahun harus benar-
benar dilihat faktor penyebabnya defisitnya apa, apakah karena semakin
banyaknya jumlah masyarakat yang ikut program itu, atau sebenarnya ini ada
persoalan yang sifatnya nonteknis,” jelas Eko.
Adapun evaluasi tersebut dilakukan secara menyeluruh mulai dari hulu hingga
hilir.
“Misalnya cara pengelolaannya kurang profesional, atau misalkan proses
screeningnya di kelurahan puskesmasnya, kok sampai banyak yang harus rawat
inap dan kerumah sakit, semua lini harus dilihat,” kata Eko.
Sementara itu, pemerintah mengambil langkah dengan mengalokasikan cukai
rokok guna menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan.
Adapun keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan Pencairan dan
Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dari
regulasi ini pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp 4,9 triliun bagi
BPJS Kesehatan.
Selain itu, melalui Peraturan Presiden (Perpres) terkait pemanfaatan cukai rokok
sebagai penambal defisit BPJS Kesehatan yanh baru ditandatangani Presiden
Joko Widodo yang akan menyuntikkan dana sebesar Rp 5 triliun.

emerintah telah merencanakan sejumlah kebijakan yang akan ditempuh


untuk mengatasi defisit yang dialami program Jaminan Kesehatan
Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang dikelola BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan, misalnya, mendapatkan suntikan danaRp3,6 triliun.
Namun suntikan dana itu belum bisa sepenuhnya mengatasi defisit yang
dialami. Cara lain digulirkan dalam rapat tingkat menteri, yakni
memanfaatkan cukai rokok.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut opsi lain berupa menaikkan
iuran JKN-KIS. Kebijakan menaikkan iuran itu akan ditempuh jika semua
upaya telah dilakukan pemerintah namun masih membutuhkan peran serta
masyarakat. Tetapi menaikkan iuran itu bukan tanpa resiko, seperti
penolakan dari masyarakat. Itu sebabnya Pemerintah terkesan sangat
berhati-hati jika ingin menaikkan iuran.
“Kami selalu hati-hati, pemerintah tidak mau tujuan menyelesaikan satu
masalah malah menimbulkan masalah baru. Itu adalah titik keseimbangan
yang coba kami cari untuk menetapkan berapa jumlah iuran,” kata Sri usai
rapat tingkat Menteri di Jakarta, Senin (07/11) lalu.

(Baca juga: Pemerintah Buka Peluang Cukai Rokok untuk Atasi Defisit
JKN).
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyebut sedikitnya
ada 5 cara yang bisa dilakukan untuk menangani persoalan
tersebut. Pertama, mengevaluasi besaran iuran JKN-KIS. Selama ini iuran
peserta merupakan sumber pendapatan utama BPJS Kesehatan. Tapi
jumlah iuran yang terkumpul lebih sedikit daripada pengeluaran. Tercatat
per 30 Juni 2017 iuran yang masuk Rp35 triliun dan pengeluaran sampai
Rp41,5 triliun, ada defisit 6,5 triliun.
Iuran peserta penerima bantuan (PBI) Rp23 ribu per orang setiap bulan
yang dibayar pemerintah saat ini belum memenuhi perhitungan aktuaria
sebesar Rp36 ribu. Jika pemerintah membayar iuran PBI Rp36 ribu untuk
92,4 juta peserta selama 12 bulan, jumlah iuran yang dibayar mencapai
Rp39,9 triliun. Ditambah 13 juta peserta PBI yang dibayar pemerintah
daerah (pemda) melalui APBD sekitar Rp5,6 triliun. Untuk kategori peserta
PBI jumlah iuran yang terkumpul totalnya mencapai Rp45,5 triliun.
Iuran peserta kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) menurut
Timboel juga perlu dinaikkan, untuk kelas III Rp27.000 per orang setiap
bulan, kelas II Rp55 ribu dan kelas I untuk saat ini belum perlu dinaikkan.
Jika kenaikan iuran itu dilakukan, potensi iuran BPJS Kesehatan tahun
2018 bisa mencapai Rp90 triliun. “Dasar hukum kenaikan iuran ini
sebagaimana amanat Pasal 16l Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan,” katanya di Jakarta, Selasa (07/11).
(Baca juga: Kendalikan Defisit JKN, Pemerintah Perbaiki Regulasi).
Kedua, terkait iuran, Timboel melihat kinerja direksi BPJS Kesehatan
belum maksimal menagih piutang iuran per 30 Juni 2017 sebesar Rp3,9
triliun. Piutang itu berasal dari iuran peserta yang belum dibayar
seperti Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), dan Peserta Penerima
Upah (PPU).
Ketiga, Timboel mengusulkan agar pemerintah dan direksi BPJS
Kesehatan melakukan penegakan hukum. Dia mencatat jumlah peserta
PPU per 30 Juni 2017 masih rendah, hanya 10,54 juta jiwa. Padahal
regulasi yang ada sudah memberi dasar hukum yang kuat bagi BPJS
Kesehatan untuk melakukan penegakan hukum, apalagi ada PP No.86
Tahun 2013 yang memuat sanksi. Jumlah peserta PPU BPJS
Ketenagakerjaan sekarang mencapai 24 juta jiwa. Jika BPJS Kesehatan
mampu meningkatkan jumlah peserta PPU menjadi 20 juta jiwa, iuran yang
terkumpul dari peserta PPU selama setahun bisa mencapai Rp40 triliun.
Belum lagi kenaikan upah minimum setiap tahun yang otomatis menambah
presentase besaran iuran yang dibayar PPU.
Keempat, menaikkan batas atas iuran PPU dari Rp8 juta menjadi Rp12
juta. Jika batas atas iuran hanya Rp8 juta maka iuran yang dibayar per
orang maksimal sebesar Rp400 ribu. Ketika batas atas itu naik menjadi
Rp12 juta, iuran yang dibayar setiap peserta PPU maksimal Rp600 ribu.
(Baca juga: 5 Kelemahan Regulasi Iuran dan Denda BPJS Kesehatan).
Kelima, mengevaluasi pembiayaan kapitasi dan Indonesian Case Base
Groups (INA-CBGs). Timboel mencatat total dana kapitasi yang dibayar
BPJS Kesehatan dalam satu semester di tahun 2017 sebesar Rp6,6 triliun.
Jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sebanyak
72,8 juta. Ini berarti setiap kunjungan peserta ke FKTP membutuhkan
biaya Rp90.659. Jumlah itu relatif mahal dibandingkan rata-rata kunjungan
ke klinik swasta yang membutuhkan biaya Rp60 ribu per kunjungan.
Selain kapitasi, pembiayaan melalui INA-CBGS juga perlu dikaji. Data
semester pertama 2017 menunjukan jumlah kunjungan rawat jalan di
fasilitas rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) mencapai 29,2 juta dan rawat
inap 4,02 juta. Total kunjungan 33,22 juta itu menghabiskan dana Rp34
triliun. Mengacu data itu biaya paket INA-CBGs untuk satu kali kunjungan
ke FKRTL sebesar Rp1.023.479. Biaya itu tergolong besar dan patut jadi
perhatian pemerintah. Besarnya pembiayaan INA-CBGs itu menurut
Timboel harus diwaspadai karena berpotensi bersinggungan
dengan fraud atau tindak kecurangan.
Dengan menempuh beberapa kebijakan itu Timboel berharap program JKN
bisa mengatasi masalah defisit. Tercatat sejak 2014 sampai saat ini jumlah
defisit semakin besar, tahun 2014 (Rp3,3 trilun), 2015 (Rp5,7 triliun), 2016
(Rp9,7 triliun) dan semester 1 tahun 2017 sebesar Rp6,5 triliun. Akhir
Agustus 2017 jumlah defisit meningkat jadi Rp8,5 triliun. “Saya
memperkirakan defisit sampai akhir 2017 bisa mencapai Rp12 triliun,”
pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai