Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus Modul 3

LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT


“Discoid Lupus Eritematosus pada Wanita Usia 59 tahun”

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi


Kepaniteraan Klinik di Bagian Oral Medicine

Oleh :
Muhammad Fadhil 17100707360804135
Fitria Febri Yeni 04100707360804061

Pembimbing : drg. Fitria Mailiza,Sp.PM

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2019

MODUL 3
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
HALAMAN PENGESAHAN
LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT
“Discoid Lupus Eritematosus pada Wanita Usia 59 tahun”

guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 3.

Padang, Februari 2019


Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

Drg.Fitria Mailiza, Sp.PM


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus sistemik “Discoid Lupus Eritematosus
pada Wanita Usia 59 tahun”

untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul 3

(Lesi Jaringan Lunak Mulut) dapat diselesaikan.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses yang telah

dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Fitria Mailiza, Sp.PM selaku dosen pembimbing,

bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak lainnya. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna sebagaimana

mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena itu kritik dan saran

sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya kepada kita

semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat memberikan sumbangan

pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Padang, Februari 2019

Penulis
LAPORAN KASUS ORAL MEDICINE

Nama : Suhaiti

Umur : 59 tahun

Jeniskelamin : Perempuan

Alamat : Vila Bukit Gading Permai C no 10

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Tindakan yang
Hari / Tgl Kasus Operator
dilakukan

21 Maret 2018 Penyakit sistemik a. Anamnesa Muhammad Fadhil

b. Pemeriksaan Firia Feri Yeni


klinis

c. Pemberian obat
dan edukasi

Padang, Oktober 2018

Pembimbing

( drg. Fitria Mailiza, Sp.PM )


BAB I

Pendahuluan

Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-sistemik


yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai makula atau papul berukuran 1-2
cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang permukaannya menjadi
hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya berubah menjadi plakat eritem berbentuk
koin (diskoid) berbatas tegas yang ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel
rambut yang telah melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti
karpet yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku karpet.

LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus lainnya serta Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih berat hingga dapat mengancam jiwa
adalah bagian dari lupus eritematosus (LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan klinis
dan pola autoimunitas sel B poliklonal yang khas.

Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya diterangkan oleh
tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Gilliam yang
pertama kali dibuat pada tahun 1977. Lupus Eritematosus Diskoid merupakan bagian dari
Lupus Eritematosus Kutaneus Kronik (LEKK). Prognosis penderita LED umumnya baik.
Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan berkembang menjadi LES. Kasus kambuh
jarang, sekitar <10%. Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat
berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Kunjungan I (08 Juli 2018)

 Identifikasi Pasien
Nama : Suhaiti
Umur : 59 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Vila Bukt Gading Permai C no.10

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

 Pemeriksaan Subyektif
1. Keluhan Utama
Pasien datang ke RSGM dengan keluhan terdapat kropeng pada bibir bawah dan
puncak hidung sejak 6 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan eksraoral ditemukan kropeng
pada belakang telinga kanan dan kiri,terkadang pasien merasa gatal, sebelumnya pasien
sudah mengobati penyakitnya sendiri dengan salep dan pasien belum pernah ke dokter
untuk memeriksakan penyakitnya.

2. Riwayat penyakit saat ini


Tidak ada
3. Riwayat perawatan gigi dan mulut
Pernah memakai gigi palsu sudah 4 tahun yang lalu.

4. Riwayat Penyakit Sistemik


a. Golongan Darah :O
b. Tekanan Darah : 110/80 mmHg
c. Penyakit Jantung : Disangkal
d. Diabetes : Disangkal
e. Kelainan darah : Disangkal
f. Hepatitis : Disangkal
g. Penyakit Gastrointestinal : Disangkal
h. Penyakit lainnya : Ada, Tonsilitis
i. Alergi obat-obatan : Disangkal
j. Alergi makanan : Ada, Makanan Laut dan Kacang
k. Kehamilan/Menyusui : Tidak Ada
l. Kontrasepsi : Tidak Ada

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Pasien memiliki alergi makanan laut dengan keluhan rasa gatal dan ruam pada kaki,
tangan dan badan. Pasien memiliki alergi makanan mengandung kacang dengan
keluhan rasa gatal dan jerawat pada wajah.

5. Riwayat penyakit keluarga : -


6. Riwayat sosial pekerjaan :-

 Pemeriksaan Objektif
1. Keadaan umum
Kesadaran : Kompos mentis

2. Tanda-tanda vital
 Tensi : 110/80 mm Hg
 Nadi : 80 kali/menit
 Suhu : 370C
 Respirasi : 16 siklus/menit

3. Pemeriksaan Ekstra Oral


 Kelenjar getah bening submandibula
 Kanan : Teraba, Tidak Sakit
 Kiri : Teraba, Tidak Sakit
 Kelenjar getah bening submental
 Kanan : Teraba, Tidak Sakit
 Kiri : Teraba, Tidak Sakit
 Kelenjar getah bening servikal
 Kanan :Teraba, Tidak Sakit
 Kiri :Teraba, Tidak Sakit
 TMJ : Normal
 Wajah : Simetri, urtikaria di seluruh wajah
 Mata : Normal
 Bibir : Normal
Gambar 1. Foto wajah pasien pada kunjungan I tanggal 08 Juli 2018, adanya
keropeng di hidung dan tepi bibir.

Gambar 2. Foto di tempat lain tubh pasien pada kunjungan I tanggal 08 Juli 2018,
adanya keropeng di hidung dan tepi bibir.

Gambar 3. Foto wajah pasien pada pasca perawatan dan mulai sembuh tanggal 28
Agustus 2018, adanya keropeng di hidung dan tepi bibir.

4. Pemeriksaan intra oral


 Gingiva : Normal
 Lidah : Bentuk : ulkus dangkal dengan tepi eritema bulat
beraturan
Palatum : Torus palatina
 Frenulum : Normal
 Dasar mulut : Normal
 Mukosa bukal : Normal
 Mukosa Labial : Normal
 Tonsil : Berlobus-lobus (T2 , T1)
 Odontogram :

18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

Keterangan :

: Missing

5. Terapi :

Farmakologis

Memberikan informasi tentang terapi dan obat yang di berikan.


Gambar 2. Foto surat rujukan

Gambar 3. Foto surat rujukan

BAB III

Pembahasan

3.1 Tinjauan Pustaka


3.1.1 Definisi

Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-sistemik


yang paling sering ditemui. Lesi awal dapat nampak sebagai makula atau papul berukuran 1-2
cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang permukaannya menjadi
hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya berubah menjadi plakat eritem berbentuk
koin (diskoid) berbatas tegas yang ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel
rambut yang telah melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti
karpet yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku
karpet..

LED bersama-sama dengan varian Lupus Eritematosus Kutaneus lainnya serta Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) yang manifestasinya lebih berat hingga dapat mengancam jiwa
adalah bagian dari lupus eritematosus (LE) yang disatukan dan dihubungkan oleh temuan klinis
dan pola autoimunitas sel B poliklonal yang khas.

Hubungan LED dengan varian lupus eritematosus kutaneus lainnya diterangkan oleh
tabel klasifikasi Dusseldorf 2003 yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Gilliam yang
pertama kali dibuat pada tahun 1977. Lupus Eritematosus Diskoid merupakan bagian dari
Lupus Eritematosus Kutaneus Kronik (LEKK).

Prognosis penderita LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%. Tingkat mortalitas pada
penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit
yang terbentuk biasanya permanen.

3.1.2 Patogenesis

Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih belum


diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari pathogenesis LES.
Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan empat tahapan
teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan klinis dari penyakit ini.
Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah
terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis.
HLA dan
Lainnya
Pewarisan Gen/ Mutasi Somatik

Hilangnya toleransi terhadap Pembentukan Autoantibodi


Sinar UV dan Lainnya komponen tubuh

Ekspansi Sel T

Perluasan Proses Autoimun

Pembentukan kompleks imun

Jejas immunologis

Gambar 2: Patomekanisme Lupus Eritematosus

Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE.
Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan MHC
kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan dalam
pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor
(TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel
serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun.

Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan proses
autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah kehilangan
toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi autoreaktifitas tersebut
antatara lain:

1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel stem, jika
dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan menggantikan
sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel muda yang tidak toleran

2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen dapat


memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen yang bereaki
silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit autoreaktif untuk
menimbulkan efek pada tolerogen.

3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan


kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi klonal
sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh antigen.
Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat menghilangkan
anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE juga
dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas sebelumnya, antigen
LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit
yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorium telah
membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu,
faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan
antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X
hingga bahan kimia.

Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang memperbanyak dan

memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya
melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif. Pada tahap
ini, autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak,
autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target
utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP)
molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).

Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara klinis dan

menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini sebagian besar
diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang terbentuk yang
menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler,
opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul target.

3.1.3 Gejala Lupus Eritematosus

Lesi bentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling umum
ditemui. Lesi diskoid paling sering ditemukan di wajah, kulit kepala dan telinga, tetapi
persebarannya juga bisa lebih luas dan berlokalisasi simetrik. Walaupun begitu, lesi di bawah
leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi terdiri atas bercak-bercak
(makula merah atau bercak meninggi), berbatas jelas, dengan sumbatan keratin pada folikel-
folikel rambut (follicular plugs). Bila lesi-lesi diatas rambut dan pipi berkonfluensi, dapat
membentuk seperti kupu-kupu (butterfly erythema).

Penyakit dapat meninggalkan sikatriks atrofi, kadang-kadng hipertrofik, bahkan

distorsi telinga atau hidung. Hdung dapat berbentuk seperti paruh kakatua. Bagian badan
yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar matahari lebih cepat beresidif daripada
bagian-bagian lain. Lesi-lesi dapat terjadi di mukosa, yakni di mukosa oral dan vulva atau di
konjungtiva. Klinis nampak deskuamasi, kadang-kadang ulserasi dan sikatrisasi.
Varian klinis LED ialah :

1. Lupus eritematosus tumidus

Bercak-bercak eritematosa coklat yang meninggi, terlihat di muka, lutut, dan


tumit. Gambaran klinis dapat menyerupai erysipelas dan selulitis.

2. Lupus eritematosus profunda

Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan atas.
Kulit diatas nodus eritematosa, atrofik, atau berulserasi

3. Lupus hipotrofikus

Penyakit sering terlihat di bibir bawah dari mulut, teridir atas plak yang
berindurasi dengansentrum yang atrofik.

4. Lupus pernio (chilblain lupus, Hutchinson)

Penyakit terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di daerah-daerah


yang tidak tertutp pakaian, memburuk pada hawa dingin.

Lesi primer LED adalah makula atau papul eritem asimetris tanpa gejala subjektif
dengan sisik ringan hingga sedang. biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring dengan perjalanan
penyakit, sisik dapat menebal dan melengket, disertai hipopigmentasi di daerah inaktif
(tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. Jika mengenai daerah berambut seperti kulit
kepala dan janggut, skar dengan alopesia permanen dapat terjadi. Lesi LED seringkali
tersebar mengikuti pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak terpajan tetap dapat
terkena lesi.

Setelah beberapa lama, lesi LED akan berubah menjadi pakat eritem berbatas tegas

yang titutupi oleh sisik yang meluas hingga ke folikel rambut. Jika sisik yang melekat
dilepaskan, jarum-jarum keratotik yang mirip dengan paku karpet dapat terlihat di bagian
bawah sisik (tanda paku karpet). Lesi meluas dengan eritem dan hiperpigmentasi di pinggir
dengan skar atrofi, telangiektasis dan hipopigmentasi di tengah.

LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher serta
LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher. Lesi LED di bawah
leher.
Gambar 3: LED di wajah pasien

Gambar 4: Skar dengan alopesia akibatLED

Biasanya LED tidak menimbulkan gejala objektif pada pasien selain


ketidaknyamanan kosmetik akibat lesi dan skar. Kadang-kadang daerah yang terpengaruh
terasa gatal dan jika mengenai jari, terasa lembut dan nyeri tekan. LED juga tidak
mempengaruhi status kesehatan pasien secara umum.

3.1.4.2 Herpes Zoster

Herpes zoster adalah suatu infeksi kambuhan dari cacar air. Faktor-faktor tidak

diketahui mengakibatkan pengaktifan kembali virus varicella dominant dari ganglion sensoris

dan perpindahan virus di sepanjang saraf-saraf sensoris yang terkena. Sebelum timbul, terjadi

tanda-tanda pendahulu yaitu rasa gatal, kesemutan, rasa terbakar, nyeri dan parestesia. Lesi

ditandai oleh lepuh-lepuh vesikuler yang sangat sakit pada kulit dan mukosa yang menyebar

unilateral di sepanjang jalannya saraf dan berhenti tiba-tiba di garis tengah. Lesi-lesi intraoral

adalah vesikuler dan ulseratif dengan tepi meradang dan merah sekali. Bibir, lidah dan mukosa
pipi dapat terkena lesi ulseratif unilateral jika mengenai cabang mandibular dari saraf

trigeminus2.

Gambar 22. Foto intraoral pernderita hespes zoster dengan lesi unilateral2

3.1.5 Perawatan

Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh paparan sinar
ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid lupus harus mencakup
menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir surya. Pengobatan dimulai dengan
menghindari faktor pencetus misalnya panas, obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan
semua sumber yang menyebabkan paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan
untuk melindungi kulit adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain itu
pasien disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif seperti
Hidroclorothiazid, tetrasklin, griseofulvin, dan piroxicam. Pasien juga disarankan untuk
melakukan follow-up setelah perawatan untuk memastikan ada atau tidak komplikasi.[1]

B. PENGOBATAN TOPIKAL

1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap air
[SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan mikronized titanium
dioksida. [1]

2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini


seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal superpoten
kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason diproprionat memberikan
hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti
dengan 2 minggu periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [1]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti suspensi

triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi tinggi
dibolehkanpadakulityangkurangsensitif.
C. PENGOBATAN SISTEMIK

Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara


tunggal atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum Yang biasa digunakan
termasuk klorokuin, hidroklorokuin, dan mepacrine. Sebaiknya hidroklorokuin
dimulai dengan dosis 200 mg per hari untuk dewasa dan, jika tidak ada efek
samping gastrointestinal atau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi
tidak diberikan lebih dari 6,5 mg/ kg/ hari. Penting ditekankan kepada pasien
bahwa dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan klinis. Pada
beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin mungkin
lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi
hydroxychloroquine atau klorokuin sehingga dianjurkan penampahan mepacrine
ke dalam regimen pengobatan. [20]

Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang


refrakter terhadap

pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-


100%, dengan banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna.
Adapun efek sampingnya ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak
digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati sensorik dapat terjadi pada
sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.[1]

Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin,


mycochrysine] dan clofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap
kasus. [1]

Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan


lesi yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain
seperti azatioprin [imuran]

1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing pada


kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari
oral] maerupakan analog purin yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-
25mg/kg oral sekali seminggu] efektif untuk kasus berat yang refrakter. [1]

D. TERAPI BEDAH DAN KOSMETIK

LED dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi kulit, dan perubahan

pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan dermabrasi beresiko

karena LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari skar atropi dengan Erbium :

YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan bermanfaat. Injeksi lesi atropi

menggunakan kolagen atau sejenisnya sebaiknya dihindari..

3.2 Diskusi
KESIMPULAN

Penyebab dan mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan LE masih


belum diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari
pathogenesis LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan
yang menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum
adanya penampakan klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah
pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit,
induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis.

Pengobatan Topikal

Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum


luas-kedap air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan
mikronized titanium dioksida.

Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari


preparat ini seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat
topikal superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason
diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali
sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat
meminimalkan komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih efektif
daripada krim pada lesi hiperkeratosis.

Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti


suspensi triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan
konsentrasi tinggi dibolehkanpadakulityangkurangsensitif
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumawinata, Narlan. Seranai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-Indonesia.


EGC: Jakarta
2. Langlais, R dan Miller, C. 2012. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut
Yang Lazim. Hipokrates: Jakarta
3. Indrawati, Eni dan Harijanti, Kus. 2014. Management of Allergic due to
Daily Food Consumption (Penatalaksanaan Stomatitis Alergika akibat
Konsumsi Makanan Sehari-hari). Dentofacial, Vol. 13, No.2, Juni 2014;
129-134
4. Puspawidjaja, E.Y., Hadriyanto, W., dan Wahid, A.I. Restorasi Estetik Gigi
Anterior Maksila Malposisi Pasca Perawatan Saluran Akar dengan Mahkota
Porselen Fusi Metal Inti-Pasak Tuang dan Vinir Porselen. Jurnal
Kedokteran Gigi. 2009.1:35-42
5. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC: Jakarta
6. Hebbar P, Sheshaprasad R, Pai A. 2014. Stomatitis Venenata-A Diagnosis
Challange, Open Journal of Dentistry and Oral Nedicine 2(1): 14-16, 2014,
DOI:10.1389/ojdom.2014.020103
7. Safadi RA. Prevalence of reccurent aphthous ulceration in Jordanian dental
patients. Available from: http://www.biomedcentral.com/1472-6831/9/31.
Diakses tanggal 11 April 2018
8. Scully C, Porter S. Oral mucosal disease; Recurrent aphthous stomatitis. Br
J Oral Maxillofac Surg 2008; 46: 198-206
9. Plewa MC. Aphthous ulcers. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article909213.htm. Diakses tanggal 11
April 2018
10. Helmy M, Munasir Z. 2007. Pemakaian Cetirize dan Kortikosteroid pada
Penyakit Alergi Anak. Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi No.2,
Vol.20, April-Juni 2007 ISSN 0215-7551
11. Sudewi, Ni Putu, dkk. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan
Diagnosa Penyakit Alergi. Sari Pendiatri, Vol. II, No.3, Oktober 2009.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
12. Delf, M. H. 1996. Major Diagnostik Fisik. EGC: Jakarta
13. Sulaksmono, M. Keuntungan dan Kerugian Pacht test (Uji Tempel) dalam
Upaya Menegakkan Diagnosa Penyakit Kulit akibat Kerja (Occupational
Dermatosis). Bagian Kesehatan dan Keselematan Kerja Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga
14. Ardiansyah S, Pawirnu dan Edy, Machmud. Respon Jaringan Periodontal
terhadap Penggunaan Nikel Kromium sebagai Komponen Gigi Tiruan
Cekat. Dentofasial, Vol. 8, No.1, April 2009: 40-47
15. Goenharto S, Sjafei A. Breket titanium. Dent J [serial online] 2005; [cited
2007, December 10] 2:11 - 6. Available from:
http://www.journal.unair.ac.id/login/jurnal/filer/.
16. Ciszewski A, Baraniak M. Corrosion investigations of some dental alloys in
selected solutions. Magdalena Urbanek-Brychczynska1[serial online] 200
[cited 2006 March 29]. Available from: http://www.epadental.org/Epa.doc.
Collegium Stomatologicum of Poznan University of Medical Sciences
17. Trihapsoro I. Dermatitis kontak alergik pada pasien di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan Sumatera Utara. Available from:
http://library.usu.ac.id/ modules.php. FK USU. 2003.
18. Gottehrer NR. Biocompatibilty implications of full-coverage crown
restorations. Available
from:http://www.captek.com/library/publish/perspectives.pdf. 2005
19. Berenguer G, Forrest A, Horning M.G, Herbert J Towle, Karpinia
Katherine. Localized Periodontitis as a Long-Term Effect of Oral Piercing:
A Case Report. www.osap.org Compendium 2006 Department of
Periodontology College of Dentistry University of Florida Health Science
Center Gainesville, Florida.
20. Barnes PJ. Molecular Mechanisms and cellular effect of
glucocoticosteroids. Immuno Allergy Clin N Am 2005; 25:451-68
21. Lemanske RF, Bussse WW, Wis M. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003;
111:511-3
22. Mortimer KJ, Tatterfield AE. Benefit Versus Risk for Oral, Inhaled, and
Nasal Glucocorticosteroids. Immuno Allergy Clin N Am 2005; 25:523-3

Anda mungkin juga menyukai