Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

RETENSI URINE

Disusunoleh:
Desy Karuniawati
P27220019 196

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN
KESEHATANSURAKARTA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
RETENSI URINE

A. Definisi Retensi Urine


Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi
kandung kemih sepenuhnya selama proses pengeluaran urine, Brunner &
Suddarth (2010).
Retensi urin adalah suatu keadaan penumpukan urin di kandung
kemih dan tidak mempunyi kemampuan untuk mengosongkan secara
sempurna . retensi urin adalah kesulitan miksi karena karena kegagalan
urin dari fesika urinaria(kapita selekta kedokteran).
Retensi urin adalah tertahannya urine di dalam kandung
kemih,dapat terjadi secara akut maupun kronis (depkes RI Pusdiknakes
2009).
Klasifikasi retensi urin ada 2 yaitu :
1. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba
dan disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan
kronis, tidak ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun.
Kondisi yang terkait adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung
kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri, dan keadaan ini
termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak dapat berkemih sama
sekali segera dipasang kateter
2. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang
disebabkan oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Hal ini
dapat disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit-
sedikit kemudian klien tidak dapat kencing. Bisa kencing sedikit tetapi
bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan
lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah
masih dapat berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai berkemih,
tidak dapat mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak
lampias). Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat
menyebabkan permasalahan medis yang serius di kemudian hari.
Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak
daripada wanita dengan perbandingan 3/1000 : 3/100000. Berdasarkan
data juga dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya umur pada laki-
laki, kejadian retensi urin juga akan semakin meningkat.

B. Etiologi
Penyebab dari retensi urin antara lain diabetes, pembesaran
kelenjar prostat, kelainan uretra (tumor,infeksi,kalkulus), melahirkan atau
gangguan persyarafan (stroke, cidera tulang belakang, multiple sklerosis
dan parkinson). Beberapa pengobatan dapat menyebabkan retensi urin
baik dengan menghambat kontraksi kandung kemih atau peningkatan
resistensi kandung kemih (karch 2009).
Sedangkan menurut Mansyoer Arif,(2009) adapun penyebab dari
penyakit retensi urine adalah sebagai berikut :
1. Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis.
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun
seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan mesenterasi pelvis,
kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis, atau
spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
2. Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni
pada pasien DM atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
3. Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika,
striktur, batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.
4. Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan
patologi urethra (infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi
neurogenik kandung kemih.
C. Tanda dan gejalah
1. Diawali dengan urin mengalir lambat
2. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4. Terasa ada tekanan,kadang terasa nyeri dan merasa ingi BAK
5. Pada retensi berat bisa maencapai 200-300 cc.

D. Patofisiologi
Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi
menjadi 5 jenis yaitu : akibat :
1.obstruksi,
2.infeksi
3.farmakologi
4.neurologi
5. faktor trauma.
Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor
intrinsik, atau faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran
kemih dan bagian yang mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak,
tumor buli-buli, striktur uretra, phimosis, paraphimosis, dan lainnya.
Sedangkan faktor ekstrinsik, sumbatan berasal dari sistem organ lain,
contohnya jika terdapat massa di saluran cerna yang menekan leher buli-
buli, sehingga membuat retensi urine. Dari semua penyebab, yang
terbanyak adalah akibat pembesaran prostat jinak. Penyebab kedua akibat
infeksi yang menghasilkan peradangan, kemudian terjadilah edema yang
menutup lumen saluran uretra. Reaksi radang paling sering terjadi adalah
prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar prostat dan menimbulkan
pembengkakan pada kelenjar tersebut. Penyebab lainnya adalah uretritis,
infeksi herpes genitalia, vulvovaginitis, dan lain-lain. 3 Medikasi yang
menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik antidepresan, dapat
membuat retensi urine dengan cara menurunkan kontraksi otot detrusor
pada bulibuli.
Obat-obat simpatomimetik, seperti dekongestan oral, juga dapat
menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-adrenergik
pada prostat dan leher bulibuli. Dalam studi terbaru obat anti radang non
steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot detrusor lewat
inhibisi mediator prostaglandin. Banyak obat lain yang dapat
menyebabkan retensi urine.
Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya lesi pada
saraf perifer, otak, atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa
menyebabkan kelemahan otot detrusor dan inkoordinasi otot detrusor
dengan sfingter pada uretra.
Penyebab terakhir adalah akibat 5 trauma atau komplikasi pasca
bedah. Trauma langsung yang paling sering adalah straddle injury, yaitu
cedera dengan kaki mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik
sepeda dan kakinya terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh dengan uretra
pada bingkai sepeda.

E. Komplikasi
1. Urolitiasis atau nefrolitiasis
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal,
sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem
urinarius. Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus
urinarius. Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi
subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat
meningkat.
2. Pielonefritis
Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas.
Sebagian besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi
kandung kemih (sistitis). Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di
sekitar uretra, kemudian bergerak dari uretra ke kandung kemih.
Kadang-kadang, penyebaran bakteri berlanjut dari kandung kemih dan
uretra sampai ke ureter dan salah satu atau kedua ginjal. Infeksi ginjal
yang dihasilkan disebut pielonefritis.
3. Hydronefrosis
4. Pendarahan
5. Ekstravasasi urine

F. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada retensio
urine adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan specimen urine.
2. Pengambilan umum: pH , BJ, protein,glukosa,Hb,keton dan nitrit.
3. Sistoskopi (pemeriksaan kandung kemih).
4. IVP ( intravena pielogram)/rontgen dengan bahan kontras.

G. Penatalaksanaan medis
1. Kateterisasi urethra
2. Cystostomy suprapubrik
3. Drainase suprapubik
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
2. Keluhan utama
Biasanya klien merasakan, disuria, poliuria, nyeri, terdesak kencing
yang berwarna terjadi bersamaan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan penyebab terjadinya infeksi, bagaimana gambaran rasa
nyeri, daerah mana yang sakit, apakah menjalar atau tidak, ukur skala
nyeri, dan kapan keluhan dirasakan.
4. Riwayat penyakit dulu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit ISK sebelumnya
5. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah keluarga klien ada yang menderita penyaki yang
sama dengan klien
6. Data fisik Inpeksi : seluruh tubuh dan daerah genital.
a. Palpasi: pada daerah abdomen
b. Auskultasi: kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi
bruit
c. Tingkat kesadaran
d. TB, BB
e. TTV
7. Data psikologis
a. Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit
b. Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit
c. Persepsi pasien terhadap penyakit
8. Data social, budaya, spiritual
Umum : hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan
keaktifanya dalam kegiatan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat.
2. Nyeri akut b.d obstruksi urin, tindakan invasif
3. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
4. Resiko tinggi infeksi b.d iritasi kandung kemih, pemasangan kateter
C. Intervensi
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi
dengan adekuat.
 Kriteria evaluasi :
- Berkemih dengan jumlah yang cukup
- Tidak teraba distensi kandung kemih
Intervensi Rasional
1. Monitor intake dan output cairan 1. Meminimalkan retensi urin distensi
pasien berlebihan pada kandung kemih.
2. Monitor tanda dan gejala infeksi 2. Agar dapat mencegah terjadinya
saluran kemih infeksi pada pasien
3. Observasi aliran urin, perhatikan 3. Berguna untuk mengevaluasi
ukuran obsrtuksi dan adanya sumbatan
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah aliran
tiap berkemih.. 4. Retensi urin meningkatkan tekanan
5. Perkusi/palpasi area suprapubik dalam saluran perkemihan atas.
5. Distensi kandung kemih dapat
dirasakan diarea suprapubik.

2. Nyeri akut b.d obstruksi urin, tindakan invasif


Kriteria evaluasi :
- Menyatakan nyeri hilang/ terkontrol
-Menunjukkan rileks, istirahat dan peningkatan aktivitas dengan
tepat
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, 1. Memberikan informasi untuk
intensitas nyeri. membantu dalam menetukan
2. Plester selang drainase pada paha intervensi.
dan kateter pada abdomen. 2. Mencegah penarikan kandung kemih
3. Pertahankan tirah baring bila dan erosi pertemuan penis-skrotal.
diindikasikan. 3. Tirah baring mungkin diperlukan
4. Berikan tindakan kenyamanan pada awal selama fase retensi akut.
5. Kolaborasi dalam pemberian terapi 4. Meningktakan relaksasi dan
analgetik mekanisme koping.
5. Mengurangi nyeri

3. Ansietas b.d perubahan status kesehatan


 Kriteria evaluasi :
- Pasien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
- Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah
tampak rileks/istirahat.
- Vital sign dalam batas normal

Intervensi Rasional
1. Identifikasi persepsi pasien tentang 1. Mendefinisikan lingkup masalah
ancaman yang ada dari situasi. individu dan mempengaruhi pilihan
intervensi.
2. Observasi respon fisik,seperti 2. Berguna dalam evaluasi derajat
gelisah, tanda vital, gerakan masalah khususnya bila
berulang. dibandingkan dengan pernyataan
verbal.
3. Dorong pasien untuk 3. Memberikan kesempatan untuk
mengungkapkanrasa cemas & beri menerima masalah, menurunkan
tahu tentang tindakan yang ansietas.
diberikan kepada pasien

4. Berikan motivasi kepada pasien 4. Membantu mengurangi ansietas

4. Resiko tinggi infeksi b.d iritasi kandung kemih, pemasangan


kateter
Kriteria evaluasi:
- Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.

Intervensi Rasional
1. Pertahankan sistem kateter 1. mencegah pemasukan bakteri
steril, berikan perawatan kateter dan infeksi.
secara berkala 2. untuk mengetahui
2. Observasi tanda-tanda vital, hemodinamika pasien
perhatikan demam ringan, 3. 3. Menambah wawasan pasien
menggigil, nadi dan pernafasan dan keluarga agar pasien dapat
cepat, gelisah. mencegah terjadinya infeksi
3. Berikan edukasi pasien dan 4. Mempercepat kesembuhan
keluarga pasien tentang tanda- pasien
tanda infeksi
4. Kolaborasi pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI Pusdiknakes. 2009. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan


dan Penyakit Urogenital. Jakarta: Depkes RI.
2. Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien Edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Mansyoer Arif, dkk. 2009. Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ketiga.
Jakarta: Media Aesculapius.
4. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai