B
B
0
1
KATA PENGANTAR
Pada tahun 2011 terjadi reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Pendidikan Nasional
yang berdampak pada pemecahan ranah satuan pendidikan yang dibina oleh Direktorat
Pembinaan Pendidikan Khusus - Layanan Khusus Pendidikan Menengah (PK-LK
Dikmen) Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sekolah Menengah Atas (SMA) Penyelenggara Pendidikan Khusus
Peserta Didik Cerdas Istimewa akan menjadi ranah binaan Direktorat Pembinaan PK-
LK Dikmen. Oleh karena itu sangat diperlukan pedoman penataan kelembagaan SMA
Penyelenggara Pendidikan Khusus Peserta Didik Cerdas Istimewa sehingga
implementasi pengelolaan sekolah di lapangan bisa lebih efektif.
Berkenaan dengan hal tersebut naskah pedoman penataan ini, disusun memuat tentang
rasional, landasan, tujuan, kelembagaan, persyaratan pendirian, mekanisme pendirian,
kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana
dan prasarana, pembiayaan, kerjasama, monitoring dan evaluasi.
Pedoman ini diharapkan menjadi salah satu acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah dan sekolah penyelenggara satuan pendidikan dalam menata dan merencanakan
pengembangan lembaga SMA Penyelenggara Pendidikan Khusus Peserta Didik Cerdas
Istimewa.
Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan masukan dalam
penyusunan naskah pedoman ini kami sampaikan terima kasih. Apabila dikemudian
hari ditemukan dalam naskah ini ada kekurangan atau kekeliruan, maka akan diperbaiki
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Landasan Filosofis..................................................................................... 2
C. Landasan Yuridis........................................................................................ 5
D. Tujuan ....................................................................................................... 6
4
BAB V PENUTUP ...................................................................................................... 43
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
6
secara reguler sehingga tidak sesuai dengan karakternya yang dapat memicu
munculnya PDCI yang gagal belajar (underachievement). Penyelenggaraan
pendidikan bagi PDCI secara reguler yang menyebabkan terjadinya
underachievement sudah saatnya diperbaiki sebagaimana seharusnya. Penganutan
secara taat atas konsep dan pandangan Renzulli mulai seleksi, proses pembelajaran,
kurikulum, asesmen maupun output harus diikuti secara konsekuen dan sadar
walaupun di dunia ini banyak konsep tentang CI dari berbagai pakar.
Sekolah penyelenggara kelas PDCI yang menyediakan layanan pendidikan
yang berdiferensiasi bagi PDCI berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional harus mengembangkan sebuah sistem
penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI yang ideal dan menjamin
pengembangan potensi kecerdasan PDCI sebagaimana diatur dalam pedoman 2014
ini. Terwujudnya penyelenggaraan layanan pendidikan khusus PDCI yang ideal dan
menjamin output berupa siswa produktif, inovatif dan kreatif akan lebih dipercepat
dan berlangsung lancar sesuai dengan kebijakan Direktorat PK-LK Dikmen, maka
munculnya pedoman penyelenggaraan layanan pendidikan PDCI menjadi
keniscayaan untuk diterapkan segera di sekolah.
Optimalisasi pengembangan potensi kecerdasan PDCI tidak mungkin dicapai
hanya sebatas memfasilitasi dengan sebatas seleksi dan menyediakan kelas khusus
saja seperti selama ini ada, namun harus disertai dengan pemberian kurikulum
khusus, proses pembelajaran berdiferensiasi serta asesmen yang cocok dengan
didukung oleh ketersediaan bahan ajar yang menantang agar tidak muncul
underachievement.
Penyusunan layanan pembelajaran di kelas PDCI seharusnya didasarkan pada
karakter dan keunggulan akademik PDCI sehingga layanan pembelajaran yang
disediakan akan sesuai dan berdiferensiasi. Diferensiasi dalam penyelenggaraan
layanan pendidikan bagi PDCI mempunyai pengertian bahwa penyelenggaraan
layanan pendidikan PDCI tidak sama dengan layanan pendidikan kelas reguler
dalam aspek seleksi siswa, kurikulum, proses pembelajaran, bahan ajar, asesmen
maupun tujuan akhir belajar yang berupa pengembangan kecerdasan kreatif
produktif.
B. LANDASAN FILOSOFIS
7
Peluang penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI sangat terbatas dan
sangat khusus. Hal ini karena populasi peserta didik yang memiliki karakter dan
dapat dikategorikan sebagai PDCI jumlahnya hanya 2.13 % sehingga tidak
memungkinkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat menyelenggarakan kelas
PDCI secara rutin setiap tahun dan massal.
Sistem penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI yang dibedakan
dengan kelas reguler disebabkan untuk menyediakan wahana belajar yang sesuai
dengan karakter dan keunggulan serta menyediakan pembelajaran yang normal bagi
PDCI. Penyelenggaraan pendidikan bagi PDCI yang berbeda tersebut bertujuan
untuk mendorong terwujudnya hasil belajar yang kreatif, produktif dan inovatif
sehingga PDCI menjadi tumpuan lahirnya pilar-pilar pembangunan, penyangga
utama kehidupan bangsa bukan menghasilkan lulusan biasa. Atas dasar kesadaran
demikian maka layanan bagi PDCI tidak mungkin disamakan dengan layanan
peserta didik reguler yang arahnya untuk pengembangan akademik semata. Oleh
karena itu pedoman penyelenggaraan layanan pendidikan PDCI 2014 menegaskan
bahwa sejak awal seleksi penentuan PDCI, mekanismenya berbeda dengan seleksi
peserta didik reguler. Konsekuensi dari pemahaman ini mengharuskan cara seleksi,
pembelajaran, penentuan kurikulum dan evaluasi berbeda yang kemudian populer
dinamakan dengan diferensiasi.
PDCI adalah peserta didik yang menunjukan IQ di atas rerata, memiliki
kreativitas tingkat tinggi serta mempunyai komitmen tinggi terhadap tugas
yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Sedangkan model pembelajarannya
berbeda dibandingkan dengan yang diselenggarakan pada kelas reguler, demikian
juga kurikulumnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI seharusnya
tidak serta merta semua PDCI dikelompokkan ke dalam kelas percepatan,
seharusnya terlebih dahulu diidentifikasi sehingga bagi peserta didik yang
diidentifikasi sebagai PDCI yang bertipe/berkecenderungan cepat (accelerated)
maka ditempatkan di kelas percepatan. PDCI yang diidentifikasi bertipe pengayaan
maka dikelompokkan di kelas pengayaan. Munculnya kelas percepatan atau kelas
pengayaan setelah ada identifikasi peserta didik, sehingga bukan disediakan kelas
percepatan terlebih dahulu kemudian dicarikan peserta didiknya tetapi ada PDCI
dahulu kemudian diidentifikasi, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan
8
peminatan dan tipe layanan peserta didik. Inilah sebenarnya sistem
penyelenggaraan layanan bagi PDCI yang benar.
PDCI yang terjaring melalui seleksi tiga ring, hanya sesuai dikelompokkan
pada kelas CI percepatan apabila mereka diidentifikasi mempunyai dua karakter
yaitu jika peserta didik cara belajarnya cepat dan jika mereka kurang optimal
dengan pola tiga tahun. Selebihnya dikelompokkan dalam kelas pengayaan
(Tomlinson, 2003). Jadi tidak benar jika semua PDCI apapun tipenya dimasukan
ke dalam kelas percepatan sebab kelas CI tidak selalu identik dengan kelas
percepatan. Kelas percepatan merupakan salah satu dari model layanan pendidikan
PDCI. Sistem penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI di sekolah
seharusnya tidak hanya menyediakan kelas pengayaan, dan/atau kelas percepatan
yang dapat dirujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan, tetapi menyediakan banyak alternatif lain seperti loncat
kelas, percepatan satu mata pelajaran dan sebagainya.
Dalam pandangan Carol Tomlinson (2003) sebuah sistem penyelenggaraan
layanan pendidikan bagi PDCI dianggap memadai jika sistem penyelenggaraannya
mempunyai lima manfaat yaitu: 1) affirmasi (membantu PDCI mengembangkan
potensi kecerdasannya bukan sistem yang menghambat), 2) kontribusi
(memberikan sumbangan besar terhadap terjadi pengalaman dan aktivitas
pembelajaran yang kaya dan luas bagi PDCI bukan mengkungkungnya dalam
situasi kelas reguler), 3) menguatkan (sistem yang memberikan kekuatan energi
baru bagi PDCI sehingga tidak menyebabkan underachievement) 4) bertujuan
(sistem harus menjamin menghantarkan siswa pada tujuan pendidikan yaitu
menghasilkan PDCI yang produktif, kreatif, inovatif bukan mahir dalam akademik
semata) 5) menantang (sistem penyelenggaraan harus memberikan dan
menciptakan iklim, situasi yang menantang peserta didik sehingga PDCI selalu
termotivasi dan tumbuh suasana belajar yang inquiri).
9
a. Memberi acuan kepada sekolah dalam merencanakan, melaksanakan,
mengembangkan, dan mengevaluasi pelaksanaan layanan pendidikan bagi
PDCI.
b. Memberikan panduan yang benar bagi sekolah yang akan membuka rintisan
penyelenggaraan layanan pendidikan bagi PDCI.
c. Memberikan rambu-rambu kepada Kantor Dinas Pendidikan Propinsi untuk
mengeluarkan izin operasional bagi satuan pendidikan yang mengajukan
layanan pendidikan bagi PDCI.
d. Memberikan wawasan kepada pendidik dan orang tua PDCI serta pihak terkait
lainnya agar tercapai langkah koordinatif sehingga lebih meningkat
partisipasinya untuk memajukan layanan pendidikan bagi PDCI.
C. LANDASAN YURIDIS
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010 tentang Penyempurnaan PP
Nomor 17 Tahun 2010.
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Dasar / Madrasah
Ibtidaiyah (SD / MI), Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah
(SMP / MTs), Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah (SMA / MA)
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2007 tentang Standar Pengelolaan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa.
9. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta
didik berkelainan dan peserta didik cerdas istimewa dan Bakat Istimewa.
10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
10
11. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
12. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54
Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah
13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
14. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nornor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah.
15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Standar Penilaian
16. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Buku Teks Pelajaran dan Buku Panduan Guru
Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
17. Peraturan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81
A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum.
D. Tujuan
11
BAB II
KONSEP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
PESERTA DIDIK CERDAS ISTIMEWA
12
seleksi yaitu konsep tiga ring yang dijadikan penentu bagi siswa yang
dikategorikan sebagai PDCI yang akan diberikan layanan khusus serta sebagai
penegas tuntutan yang harus tersedia dalam penyediaaan layanan pendidikan.
Konsep pendidikan Renzulli lebih mementingkan terbentuknya individu
yang kreatif produktif, artinya fungsi penyelenggaraan layanan pendidikan harus
mengarah pada berkembangnya potensi produktif secara individual. Oleh karena
itu tujuan penyelenggaraan pendidikan PDCI bukan semata untuk pencapaian
nilai UN. Itulah sebabnya seleksi PDCI memasukkan unsur kreativitas dan
komitmen sebagai unsur penentunya. Alasan utama yang dijadikan argumen
adalah interaksi tiga unsur tersebut merupakan persyaratan bagi kemunculan
dan tercapainya siswa menjadi kreatif dan produktif.
Pendidikan bagi PDCI menurut Renzulli tidak berhenti pada munculnya
kelas CI tetapi harus ada perluasan layanan yang menggunakan model
pengayaan juga, apabila ternyata PDCI diidentifikasi mempunyai potensi lebih
berupa keunggulan bidang akademik tertentu misalnya dalam mata pelajaran
matematika atau mata pelajaran lainnya. Dalam konteks ini guru harus
mempunyai kemampuan untuk melakukan pengukuran potensi PDCI yang akan
dikembangkan pada siswa. Karena itu kelengkapan berupa pemberian layanan
pendidikan lanjutan berupa layanan pendidikan untuk mengembangkan
keunggulan akademik harus diadakan.
Tuntutan baru dalam pengembangan keunggulan akademik PDCI yang
diwujudkan dalam mata pelajaran harus ditindaklanjuti dalam pemberian
layanan pendidikan tingkat lanjut sebagai wahana pengembangan potensi yang
tidak terbatas dalam target tuntutan kelas.
Model layanan pengembangan keunggulan akademik (prestasi mata
pelajaran dan keilmuan lain) PDCI harus ditetapkan dengan hati-hati agar tidak
terjadi kekacauan dengan model pengembangan bakat istimewa yang telah
menjadi berkembang sebagai kelas BI (Bakat Istimewa). Oleh karena itu
sebelum menetapkan program layanan pengembangan keunggulan PDCI,
penting untuk dicatat bahwa model pengembangan yang diterapkan harus
mencerminkan tingkat kesesuaian yang tinggi dan menjangkau semua karakter
peserta didik serta tujuan dari penyelenggaraan pendidikan pengembangan
keunggulan PDCI SMA.
13
Menurut Renzulli, peserta didik dapat dikategorikan sebagai PDCI apabila
mempunyai kecerdasan intelektual (IQ) di atas rerata, mempunyai kreativitas
tingkat tinggi, dan komitmen tinggi terhadap tugas yang muncul dalam bentuk
perilaku. Lebih dipertegas lagi bahwa PDCI harus disediakan sistem pembelajaran
di atas kelas reguler. Dalam kaitan ini kebijakan di Indonesia telah sedikit
dipengaruhi oleh pandangan Marland (praktik di Amerika) yang mengharuskan
pengukuran kecerdasan PDCI oleh tenaga profesional, sehingga di Indonesia harus
ditetapkan melalui tes yang dilakukan oleh psikolog.
Menurut Jill Hearne (2008) PDCI mensyaratkan adanya perubahan dalam
sistem penyajian, kurikulum yang dieskalasikan, pengayaan dan program
pendidikan yang diperluas serta dukungan aspek sosial, emosional dalam seting
sekolah. Strategi mengajar menggunakan strategi yang melibatkan critical thinking,
kurikulum yang lebih advance, diberikan pembelajaran kelanjutan dalam bentuk
pengayaan bagi PDCI yang memiliki keunggulan akademik dengan didukung guru
yang berkualifikasi.
Renzulli memandang bahwa belum ada cara signifikan untuk mengukur
kecerdasan dalam konteks PDCI sebab cerdas istimewa merupakan konstruksi
sosial dan multi faktor. Karena itu harus dipertimbangkan bahwa jangan hanya
dengan mengetahui skor peserta didik kemudian disimpulkan bahwa peserta didik
tersebut serta merta dikategorikan PDCI. Semua hasil riset terbaru meyakinkan
bahwa kecerdasan bukan merupakan entitas yang tunggal bukan hanya tersusun
dari satu aspek kecerdasan saja tetapi kombinasi dari berbagai aspek kecerdasan
lainnya. Oleh karena itu, sekolah harus menghindari cara penetapan PDCI hanya
dengan tes IQ, nilai UN, nilai raport, dan tes seleksi semata sebab keempat aspek
tersebut serumpun, seharusnya dilengkapi dengan kreatifitas dan komitmen.
14
Renzulli tersebut, maka mulai seleksi, proses pembelajaran, penentuan materi ajar,
evaluasi, dan guru pengajarnya diberikan secara khusus yang berbeda dengan kelas
reguler dan hanya menggunakan pola penyelenggarakan dari Renzulli.
Tujuan akhir dari pembelajaran PDCI dalam penyelenggaraan layanan
pendidikan bagi PDCI SMA bukan hanya sekedar mendapatkan nilai tinggi
misalnya UN atau peserta didik dapat masuk perguruan tinggi terkenal, tetapi
mengembangkan kemampuan PDCI menjadi peserta didik produktif menghasilkan
karya tertentu. Dalam kaitan ini Indonesia sudah menyiapkan layanan pembelajaran
yang berbeda pada PDCI dibandingkan dengan peserta didik reguler melalui
layanan penyelenggaraan yang berdiferensiasi serta layanan lanjutan berupa
pembelajaran pengayaan keunggulan akademik. Walaupun kelas CI SMA
menggabung pada sekolah SMA reguler namun tidak berarti kelas CI disamakan
penyelenggaraannya dengan kelas reguler tetapi harus diferensiasi dalam semua
komponennya.
Keharusan pemberian sistem penyelenggaraan layanan pendidikan khusus
bagi PDCI, diperkuat juga dengan realita bahwa pembinaan bagi PDCI SMA bukan
ditempatkan pada pembinaan Sekolah Menengah Atas (Direktorat PSMA) tetapi
dikelola oleh Direktorat Pembinaan PKLK mengingat PDCI sebenarnya siswa luar
biasa yang menuntut layanan pendidikan dan pengembangan khusus. Oleh karena
itu kelompok PDCI yang hakikatnya bukan kelompok siswa biasa menjadi tidak
mungkin diberikan layanan pendidikan sama dengan siswa biasa (reguler) karena
tidak sesuai dengan tuntutannya.
15
Penyelenggaraan layanan pendidikan khusus bagi PDCI lebih diarahkan
untuk memberikan manfaat untuk terselenggaranya layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan siswa (diferensiasi). Argumentasi yang digunakan dalam tujuan
penyelenggaraan pendidikan khusus adalah bahwa layanan pendidikan CI tidak
akan banyak berguna bagi PDCI apabila mereka mempelajari sesuatu yang tidak
dibutuhkan. Demikian pula dengan tidak tersedianya perangkat stimulasi
pembelajaran yang cocok akan membawa resiko bagi PDCI. Oleh karena itu secara
empirik manfaat penyelenggaraan layanan pendidikan khusus bagi PDCI SMA
adalah sebagai berikut:
1. Memastikan bahwa semua siswa yang memiliki keunggulan akademik
sebagai PDCI menerima layanan pendidikan yang sesuai dengan yang
diperlukan dan karakteristiknya sebagaimana perundangan.
2. Melindungi hak-hak PDCI SMA selaku peserta didik dengan
keterbatasan maupun keunggulannya dari praktik persekolahan yang tidak
kondusif.
3. Menilai dan menjamin keefektifan upaya mendidik setiap
PDCI dengan keterbatasan dan keunggulannya.
BAB III
SISTEM PENYELENGGARAAN LAYANAN PENDIDIKAN
16
PESERTA DIDIK CERDAS ISTIMEWA
A. MODEL PENYELENGGARAAN
Model penyelenggaraan layanan pendidikan PDCI yang ditetapkan oleh
Direktorat PK-LK Dikmen berdasarkan pada karakter, keunikan, hasil identifikasi
psikolog dan keunggulan. Penyelenggaraan layanan pendidikan khusus bagi PDCI
yang teridentifikasi oleh psikolog berbentuk: (1) kelas inklusif; (2) kelas khusus;
dan (3) satuan pendidikan khusus.
1. Kelas Inklusif adalah kelas reguler yang di dalamnya terdapat beberapa PDCI.
Kelas inklusif dapat dilaksanakan jika jumlah PDCI yang terjaring tidak
memenuhi jumlah satu rombongan belajar (1 rombel minimal 12 siswa). Kelas
inklusif dalam sebuah sekolah dapat disebar pada berbagai kelas sehingga
jumlah PDCI di kelas reguler tidak lebih dari 5 orang. Bentuk penyelenggaraan
kelas inklusif dapat dilakukan dengan model sebagai berikut :
a) Kelas Inklusif dengan Kelompok (cluster)
PDCI belajar bersama dengan peserta didik reguler di dalam kelompok
khusus. Kelompok khusus yang dimaksud adalah kelompok kecil PDCI
yang berada di kelas reguler mendapatkan layanan khusus pada waktu
pembelajaran tertentu sesuai dengan keunggulan yang dimilikinya.
Layanan khusus berupa pembelajaran yang diberikan dengan materi yang
lebih tinggi, lebih kompleks atau pemberian penugasan yang melebihi
beban tugas kelas regular, sehingga PDCI harus disiapkan materi pelajaran
yang tingkatannya lebih tinggi.
17
2. Kelas Khusus adalah kelas yang semua peserta didiknya telah dikategorikan
sebagai PDCI. Kelas khusus yang berbeda dengan reguler ini dapat berbentuk
kelas percepatan dan pengayaan. Kelas percepatan diselenggarakan dalam
waktu pembelajaran dua tahun dengan tanpa perpanjangan waktu sekolah.
Kelas pengayaan adalah kelas CI yang siswanya belajar dalam waktu tiga
tahun dengan kurikulum pengayaan, proses pembelajaran dan evaluasi
berdiferensiasi (berbeda dengan reguler). PDCI dalam kelas khusus maksimal
terdiri dari 20 siswa setiap rombongan belajar.
3. Satuan Pendidikan Khusus artinya sekolah yang semua peserta didiknya
adalah PDCI dan dapat mengambil bentuk sekolah percepatan dengan lama
belajar dua tahun dan/atau pengayaan dengan lama belajar tiga tahun.
18
1) Seleksinya menggunakan tiga ring ( kreativitas, komitmen terhadap tugas dan
IQ di kurikulum diferensiasi dan dieskalasikan lebih tinggi di atas rerata kelas
biasa),
2) Kurikulum diferensiasi dan dieskalasikan lebih tinggi di atas rerata kelas biasa
3) Pembelajaran menggunakan dan melibatkan berfikir tingkat tinggi,
4) Menfasiltasi pengembangan tingkat lanjut atas kemajuan siswa dalam bentuk
program pengayaan,
5) Didukung oleh guru yang berkualifikasi sebagai pamong CI,
6) Menggunakan kurikulum compacting bagi layanan siswa yang diidentifikasi
sebagai siswa accerelated maupun kurikulum enrichment bila diidentifikasi
ada siswa CI bertipe enriched.
Berdasarkan kekhususan layanan pendidikan PDCI seperti yang diuraikan di atas maka
penerapan SKS tidak menyebabkan hilangnya layanan pendidikan khusus CI, demikian
pula eksistensi kelas akselerasi. Khusus untuk kelas akselerasi penerapan SKS menuntut
perlakuan differensiasi yang mengarah pada pembelajaran yang menekan critical
thinking, curriculum advance/kurikulum tingkat lanjut dan bahan ajar yang lebih
berbobot yang dalam SKS tidak ada pengaturannya.
Pelayanan pendidikan yang khusus diperuntukan sesungguhnya merupakan
upaya melakukan pemberian wahana aman bagi siswa yang berkebutuhan khusus,
demikian juga ditujukan agar terjadi penormalan layanan bagi PDCI sebab habitat
PDCI berada dalam kelompok di luar siswa biasa, karena apabila PDCI yang jelas
berbeda kebutuhan dan keunggulannya disamakan dengan siswa non CI maka
PDCI akan memperoleh layanan yang tidak normal. Berkait dengan hal ini
penegasan James Borland memprediksi akan mungkin terjadi ada layanan yang
dilabelkan CI tetapi di dalam kelas tidak pernah ada PDCI atau sebaliknya
(Borland, 2003). Mendasarkan pada fenomena yang terjadi dalam kelas CI
pedoman ini diharapkan akan dijadikan pedoman penyelenggraan yang sesuai
dengan kebijakan sekaligus mengoreksi penyelenggaraan layanan pendidikan CI
yang selama ini ada.
Penerapan SKS pada kelas akselerasi menggunakan prosedur yang sama dengan
anak reguler walaupun masa belajar hanya 2 tahun sehingga terbuka kemungkinan
dengan penerapan SKS untuk PDCI bisa kurang dari 2 tahun. Terhadap waktu yang
tersisa dapat dipergunakan untuk pengayaan persiapan UN, penyiapan OSN/OSI,
dan persiapan masuk perguruan tinggi. Penerapan SKS pada kelas akselerasi dan
kelas pengayaan menuntut terpenuhinya komponen pembelajaran yang
19
berdeferensiasi/berbeda dibandingkan pada penerapan SKS di kelas reguler yang
menggunakan kurikulum reguler dan pembelajaran non critical thinking.
Mengadopsi secara utuh SKS ke dalam layanan pendidikan CI tanpa adanya
modifikasi dan pelevelan pada komponen pembelajaran akan menyebabkan
gagalnya siswa CI dalam akademik (Wendy Cocklin. 2007).
20
pembelajarannya selanjutnya misalnya pengayaan tipe 2 yang dirancang khusus
untuk meningkatkan ketrampilan berfikir dan proses afektif sehingga PDCI
mampu menguasai ketrampilan kognitif tingkat tinggi yang dapat dijadikan alat
dalam pengembangan keilmuan. Sedangkan PDCI boleh mengikuti pengayaan
model ini apabila dalam pengamatan guru, PDCI ternyata memiliki minat kuat
dalam bidang tertentu sehingga PDCI bersangkutan diberikan peluang untuk
belajar mandiri.
Pertimbangan penggunaan waktu jam kelas belajar dalam kelas CI lebih banyak
pada siswa bertujuan agar pelaksanaan penilaian yang bercorak autentik dapat
diterapkan. Demikian juga supaya aktifitas yang menghasilkan kreasi produksi
dan inovasi dapat tumbuh pada PDCI.
Sesudah diperoleh kreasi dan hasil temuan baru oleh siswa pada tahapan
penerapan M 1/menalar, guru melanjutkan tahapan penerapan 4 M lainnya
(mengamati, menanya, membuat jejaring dan mencoba) yang merupakan
tahapan siswa melakukan pengayaan hasil temuan atau kreasi saat di tahap M 1.
Melalui tahapan 4 M ini akhirnya akan diperoleh hasil belajar, kreasi dan inovasi
dari siswa yang lebih terjamin dan akurat.
22
seluruh hasil yang diperoleh pada tahap kedua sehingga diperoleh solusi yang
sudah dirasional melalui M 1, maka selanjutnya diakhiri dengan temuan solusi
terbaik, terjitu dan terjamin. Model pembelajaran versi 2 ini lebih menyerupai
model pembelajaran problem based learning, namun temuan solusi atas
pemecahan problem menjadi lebih teliti dan informasi yang diperoleh dari
berbagai sumber dan dilakukan oleh siswa sendiri.
ANALISIS
KESIAPAN
MENYUSUN PROPOSAL
DISAHKAN DINAS KAB/KOTA
VISITASI
VERIFIKASI
PENILAIAN
Mekanisme Penyelenggaraan
a. Membentuk Tim (ada lampiran Susunan Tim yang direkomendasikan)
b. Menyusun program (ada lampiran lay out program)
c. Sosialisasi kepada Stake holders (guru/karyawan/yayasan/komite,
pemerintah, masyarakat, orang tua, perguruan tinggi)
d. Menyiapkan SDM (Pembinaan Tim pelaksana, Pelatihan guru)
e. Menyeleksi peserta didik
f. Pelaksanaan KBM dan Penilaian PDCI
g. Melakukan Bimbingan Konseling PDCI
h. Menyiapkan sarana
i. Menjalin kemitraan
j. Monitoring dan Evaluasi
k. Melakukan upgrading
24
E. KRITERIA DAN PROSES IDENTIFIKASI PDCI
Menurut Renzulli kriteria yang dikategorikan sebagai peserta didik cerdas
istimewa adalah peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (Above
Average General Ability), kreativitas tinggi (mean +1 standard Deviation) dan
komitmen pada tugas tinggi (mean +1 standard Deviation) yang terkombinasikan
dalam perilaku.
Menurut Beghetto & Kaufman 2010 untuk mengkategorikan PDCI bisa dengan
menggunakan skor 120 demikian juga dalam pandangan Steven I. Pfiffer & Taylor L
Thomson 2013:234 yang diperkuat juga oleh Jane Piirto 2013:219.
Dalam kategorisasi menurut Caroll Brain B. Ada lima kelompok anak cerdas
istimewa yaitu :
25
hasil dari konstruksi sosial sehingga CI dapat berubah dari waktu ke waktu dan tempat
yang lain. CI bukan semata-mata hanya IQ dan bukan semata-mata prosentase dari
populasi atau kelompok sehingga skor bisa berubah-ubah menurut konstruksi sosial
pembentuknya. Berdasarkan pertimbangan dari berbagai pandangan pakar serta
kebijakan pengembangan penyelenggaraan layanan pendidikan PDCI dari Direktorat
PK-LK Dikmen maka penetapan skor IQ kategori siswa CI 125.
26
Alur Proses Identifikasi Peserta Layanan Pendidikan Khusus PDCI
TAHAP I
SKRINING/PENJARINGAN
Wawancara guru
TAHAP II
IDENTIFIKASI/PENYARINGAN
TES PSIKOLOGI
SMA: TIKI Menengah/IST/WAIS
Kreativitas danTask Commitment, Tes Kepribadian
27
Tes Psikologi
Pemeriksaan psikologis harus dilakukan oleh psikolog yang sudah mengikuti
pelatihan identifikasi siswa Cerdas Istimewa yang diadakan oleh Asosiasi Psikolog
Sekolah Indonesia (APSI). Hal ini dengan pertimbangan, pertama adalah penggunaan
alat tes yang sama, dengan kriteria yang sama, sehingga hasil identifikasi ini bisa
berlaku sama untuk semua PDCI yang dilakukan di Indonesia, karena alat yang
digunakan sama dan memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas, sehingga hasil tes
psikologi lebih akurat.
Tabel 1
Alat Ukur dan Kriteria IQ minimal
Tabel 2
Alat Ukur Kreativitas dan Kriteria Minimal
28
+ 1 deviasi standar)
c. Skala Task Commitment, yang disusun oleh Pokja Psikologi dengan mengacu
pada indikator Renzulli (2002):
1. Kapasitas untuk mendalami bidang tertentu yang ditekuni
2. Ketekunan
3. Ketahanan
4. Keyakinan diri mampu menyelesaikan tugas
5. Dorongan berprestasi
6. Kemampuan menanggapi topik mutakhir berkait bidang yang diminati
7. Kemampuan mengenali permasalahan dalam bidang yang ditekuni
8. Standard of excellent
9. Mampu mengembangkan rasa keindahan, kualitas, dan kesempurnaan
pekerjaannya maupun pekerjaan orang lain.
10. Introspeksi dan keterbukaan dalam menerima kritik orang lain
Tabel 3
Alat Ukur Kepribadian
29
Rekomendasi psikolog hanya ada dua, yaitu :
- Disarankan, bila memenuhi kriteria
- Tidak disarankan bila tidak memenuhi kriteria
a. Kurikulum
Program pendidikan khusus bagi PDCI yang menerapkan layanan
pendidikan yang berbentuk percepatan menggunakan kurikulum yang
dipadatkan (compacting) dengan eskalasi, sedangkan yang berbentuk
pengayaan (enrichment) menggunakan kurikulum pengayaan.
Prinsip dasar dari pembelajaran bagi siswa CI adalah penyediaan
kurikulum yang berbobot lebih tinggi dan mendalam. pada sejumlah langkah
pengembangannya. Pembelajaran bagi PDCI harus lebih berorientasi pada
pengembangan berfikir tingkat tinggi (advance) sehingga kurikulum yang
disiapkan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang bercorak ekplorasi,
30
inquiri dan pemecahan masalah harus tersedia. Terkait dengan hal tersebut
kurikulum harus berisikan materi unggul (content advance) serta problem
solving. Ciri khas kurikulum yang sesuai dengan penyelenggaraan layanan
pendidikan khusus PDCI sebagai berikut:
1) Mengembangkan lebih positif konsep diri
2) Mengembangkan hubungan yang komperehensif diantara PDCI dengan
masyarakatnya.
3) Mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk membangun interaksi
yang efektif dengan sebaya, orang tua dan orang dewasa lainnya.
4) Munculnya wawasan PDCI dalam berbagai perspektif keilmuan.
5) Mengembangkan berpikir, membuat keputusan, dan keterampilan
pemecahan masalah.
6) Mampu berpartisipasi dalam kegiatan yang sesuai untuk mendukung dan
memadukan pengetahuan, emosi, dan sosial.
7) Menunjukkan tanggung jawab atas pembelajaran sendiri baik di dalam
maupun di luar kelas.
8) Tujuan kurikulum adalah membentuk PDCI yang bertanggung jawab,
kreatif, dan mandiri.
2. Prasarana Belajar
a) Ruang multimedia dilengkapi dengan ICT sesuai dengan ratio 1:2.
b) Laboratorium yang dapat mendukung proses pembelajaran PDCI (Lab
31
komputer, Lab Fisika, Lab Kimia, Lab Biologi, Lab Bahasa)
c) Ruang perpustakaan yang berisi minimal 250 judul.
d) Ruang Kelas dengan formasi tempat duduk yang mudah dipindah-
pindah sesuai dengan keperluan dengan rasio maksimal 1:20
e) Ruang Kepala Sekolah, Ruang Manajer/wakil kepala sekolah, Ruang
Guru, Ruang BK, dan Ruang Tata Usaha.
f) Ruang konferensi guru.
g) Ruang serbaguna/auditorium.
c. Peserta didik
PDCI adalah mereka yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
psikolog yang berlisensi oleh Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI):
d. Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik pada layanan pendidikan khusus PDCI harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi yang memadai. Kualifikasi akademik
minimal yang harus dipenuhi, adalah:
a. Berpendidikan minimal S1 pada bidang keahlian sesuai dengan mata
pelajaran yang diampu.
b. Bersertifikat pendidik
c. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik dan
kebutuhan PDCI.
32
d. Terampil menggunakan TIK dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar.
e. Memiliki pengalaman mengajar di kelas reguler sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun.
f. Memiliki kompetensi dalam metodologi pembelajaran PDCI.
e. Pembiayaan
Biaya program pendidikan khusus PDCI menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, masyarakat, dan orang tua dengan
menerapkan pola subsidi silang bagi peserta didik yang tidak mampu secara
ekonomi.
f. Manajemen
Prinsip manajemen yang digunakan dalam pengelolaan program pendidikan
khusus bagi PDCI adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen
CI dipimpin oleh seorang manager yang ditunjuk oleh Kepala Sekolah, dan
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan program pendidikan khusus
PDCI.
Struktur organisasi pengelolaan program pendidikan khusus PDCI diatur
sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan.
g. Proses Pembelajaran
33
b) Penilaian ranah keterampilan berupa penilaian kinerja/praktek, portofolio,
produk, dan proyek.
c) Penilaian ranah sikap berupa penilaian terhadap materi pelajaran, sikap
terhadap guru, sikap terhadap proses pembelajaran, dan sikap terhadap
norma yang terkait dengan materi pembelajaran. Penilaian ini
menggunakan teknik observasi, penilaian diri, penilaian antar teman, dan
jurnal guru. Penilaian ranah pengetahuan berupa : tes tertulis, tes lisan, dan
penugasan
34
4) Menyusun laporan penyelenggaraan pendidikan khusus bagi PDCI dan
hasilnya disampaikan kepada Direktorat Pembinaan PK-LK Dikmen.
d. Satuan Pendidikan
Fungsi satuan pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan khusus PDCI
sebagai berikut:
1) Mengelola sumber daya pendukung di satuan pendidikan dalam rangka
penyelenggaraan layanan pendidikan khusus PDCI.
2) Mengimplementasikan pedoman penyelenggaraan layanan pendidikan
khusus PDCI.
3) Merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan melaporkan
penyelenggaraan layanan pendidikan khusus PDCI dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stake holders).
35
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
36
Pendidikan Kabupaten/Kota terkait, dan Pengawas.
F. TINDAK LANJUT
Tindak lanjut dari kegiatan monitoring dan evaluasi adalah pembinaan
kepada satuan pendidikan penyelenggara kelas PDCI dalam upaya pemenuhan
profil/indikator keberhasilan layanan pendidikan khusus PDCI. Pembinaan
diberikan dalam bentuk afirmasi, supporting pelatihan maupun bantuan sarana
prasarana oleh Direktorat Pembinaan PK-LK Dikmen, Dinas Pendidikan
Provinsi, maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
37
BAB V
PENUTUP
38
39