OLEH:
NI PUTU EKA SINTIA DEWI ASTITI
1202106023
2. Etiologi
Cedera kepala umumnya disebabkan oleh:
Kecelakaan kendaraan bermotor
Terjatuh dari ketinggian
Kekerasan fisik (terutama terjadi pada anak-anak)
Aktivitas yang memiliki resiko tinggi (Seperti lompat jauh, arung jeram,tinju, dan
lainnya)
Situasi dan kondisi lainnya yang mengakibatkan terjadinya benturan ringan atau keras
ke kepala.
3. Epidemiologi
Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan masalah besar di dunia
karena mortalitas dan morbiditas yang diakibatkannya. Secara umum cedera kepala
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas seperti tabrakan kendaraan, tertabraknya pejalan
kaki, dan terjatuh dari kendaraan. Di Amerika data statistik menunjukkan setiap tahun
cedera kepala terjadi pada 600.000 orang dengan porsi 2:1 dimana pria lebih sering
mengalami cedera kepala dibandingkan wanita.
Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di urutan 6 dari
total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000
kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi cedera kepala. Data rumah sakit seperti
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta pada tahun 2005 menunukkan kasus
cedera kepala mencapai 750 kasus dengan mortalitas sebanyak 23 kasus.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih
dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.
Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat
amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum
terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di
lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak,
EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk
observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan
otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion
ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti
pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis
difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu,
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di
daerah “coup” , “contrecoup”, dan “intermediate”menimbulkan gejala deficit
neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN.
Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain
syndrome”. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi
menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat,
maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan
penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan
komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan,
simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater.
Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika,
subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung
dan tidak langsung. Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas
jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
6. Patofisiologi
Pada cedera kepala di mana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Derajat kerusakan yang disebabkan
tergantung pada kekuatan yang menimpanya. Makin besar kekuatan, makin parah
kerusakaannya. Ada dua macam kekuatan yang dikerahkan melalui dua jalan, yang
mengakibatkan dua efek yang berbeda. Pertama, cedera setempat, yang disebabkan oleh
benda tajam dengan kecepatan rendah dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi neurologis terjadi
di dalam tempat yang terbatas dan disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih lazim
ditemukan pada cedera tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu
energi atau kekuatan diserap oleh lapisan-lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala, dan
tengkorak, tetapi pada cedera hebat, penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa
energi diteruskan ke otak pada waktu energi ini melewati jaringan otak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran
kekuatan. Risiko utama yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat
menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan,
memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah
penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila
kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik (Smeltzer &
Bare, 2007).
Pada cedera kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada
dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga
cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan
tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.Akibat dari adanya edema,
maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak
berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia. Akibat lain dari adanya
perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari
banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan
menyebabkan koma dengan TIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak
sudah tidak berfungsi (Price & Wilson, 2006).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya secara berlebihan glutamine, kelainan aliran kalsium, produksi laktat,
efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron
atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung pada menit ke menit pada suplai nutrient yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik
apabila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak (Price & Wilson, 2006).
7. Komplikasi
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian
timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing,
kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi
perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus
piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik
positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi
piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak
(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang
tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak
(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural
hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada
lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa
hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan
perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi
dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan
manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin
hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat.
Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan
otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,
disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,
mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah
laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan
depresi.
8. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien cedera kepala secara umum meliputi :
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik umum
c. Pemeriksaan neurologis dan reflex patologis
9. Pemeriksaan Penunjang
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
Pengkajian Sekunder
Riwayat kesehatan Sekarang
Tanyakan pada pasien atau keluarga kapan cedera terjadi? Bagaimana mekanisme
cedera? dan Darimana arah dan kekuatan penyebab trauma?
Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan apakah pasien pernah mengalami kecelakaan atau cedera sebelumnya? Apakah
pasien memiliki riwayat kejang? Apakah memiliki riwayat penyakit sistemik seperti DM,
penyakit jantung, penyakit pernapasan atau hipertensi?
Head To Toe
a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana
timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS, Kaji adanya tanda kejang pada pasien
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan
EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen.
Kaji apakah pasien mengalami mual muntah.
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang
lain
2. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema
serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran ; kehilangan memori,
Perubahan respons motorik/ sensori, gelisah, muntah, dan Perubahan TTV
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
ditandai dengan hipoksia dan hipoksemi
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan pasien
tampak meringis, ungkapan nyeri, dan gelisah.