Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN VERTIGO

OLEH :
NI MADE MARCHANTI DEWINDA
1202106062

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

A. KONSEP DASAR PENYAKIT VERTIGO


1. DEFINISI VERTIGO
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo yang
berarti kondisi. Vertigo sering disebut dengan dizziness, giddiness, dan
lightheadedness adalah perasaan seolah olah penderita bergerak atau berputar
yayang biasanya disertai dengan mual dan gangguan keseimbangan (Brunner &
Suddart, 2008).
Vertigo adalah sensasi berputar atau pusing yang merupakan suatu gejala dimana
penderita merasakan benda-benda disekitarnya bergerak gerak memutar atau
bergerak naik turun karena gangguan pada sistem keseimbangan (Israr, 2008).
Vertigo adalah sensasi gerakan dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat
disertai gejala dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh
Vertigo terdiri dari kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik
(nistagmus, unstable), otonomik (pucat, keringat dingin, mual, muntah) dan pusing
(IW Utami, 2011).

2. EPIDEMIOLOGI
Vertigo dan dizziness merupakan salah satu keluhan tersering pasien datang ke
dokter. Insiden vertigo secara umum beragam yaitu 5 sampai 30% dari populasi
dan mencapai 40% pada orang yang berumur di atas 40 tahun. Vertigo
meningkatkan resiko cedera akibat trauma sampai 25% pada penderita yang
berumur diatas 65 tahun. Di Amerika, dari data pada tahun 1999 sampai 2005
didapatkan bahwa vertigo merupakan 2,5% dari diagnosis pasien yang datang ke
ruang gawat darurat. Sebagian besar (hampir 50%) diketahui sebagai “paroxysmal
vertigo” yang disertai dengan gejala-gejala migren (pucat, mual, fonofobia, dan
fotofobia ( Israr, 2008).

3. ETIOLOGI
a. Keadaan lingkungan
 Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
b. Obat Obatan
 Alcohol
 Gentamisin

c. Kelainan sirkulasi
 Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral
dan arteri basiler
d. Kelainan ditelinga
 Edapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis didalam telinga
bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal postinional vertigo)
 Infeksi telinga bagian dalam karena infeksi
 Herpes zoster
 Labirinitis (infeksi labirin didalam telinga)
 Peradangan saraf vestibuler
 Penyakit meniere
e. Kelainan neurologis
 Sklerosis multiple
 Patah tulang tengkorak yang disertai dengan cedera pada labirin,
persyarafan atau keduanya
 Tumor otak
 Tumor yang menekan saraf vestibularis (Israr, 2008).

4. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke
pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Informasi yang berguna untuk keseimbangan
tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor
vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul
kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik
kanan dan kiri, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar akan diproses
lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan
penggerak tubuh dalam keadaan bergerak, maka akan menyadari posisi kepala dan
tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di
perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang
gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan
terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom, selain itu respons
penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang
dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala
lainnya (Price&Sylvia, 2006)

5. KLASIFIKASI
Secara garis besar vertigo dibagi menjadi dua, yaitu vertigo perifer dan vertigo
sentral. Pembagian ini dimaksudkan untuk memberikan penatalaksanaan atau
terapi yang tepat.
a. Vertigo Perifer
Vertigo perifer (peripheral vertigo) disebabkan oleh disfungsi struktur perifer
hingga ke batang otak. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan vertigo
perifer antara lain:
 Benign paroxysmal positional vertigo
 Drug-induced vertigo (vertigo yang disebabkan oleh obat)
 Labyrinthitis
 Ménière’s disease
 Vestibular neuritis

b. Vertigo Sentral
Vertigo sentral (central vertigo) melibatkan proses penyakit yang memengaruhi
batang otak atau cerebellum. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
vertigo sentral antara lain:
 Acoustic schwannomas atau meningiomas
 Cerebellar pontine angle tumors
 Cerebellar infarction
 Cerebellar hemorrhage
 Vertebrobasilar insufficiency
Beberapa hal yang membedakan vertigo perifer dengan vertigo sentral, yaitu :
 Vertigo perifer beronset akut (waktunya singkat atau serangannya cepat
terjadi), sedangkan vertigo sentral beronset kronis atau perlahan (gradual).
Dengan kata lain, durasi gejala pada vertigo perifer terjadi dalam hitungan
menit, harian, mingguan, namun berulang (recurrent).
 Penyebab umum vertigo perifer adalah infeksi (labyrinthitis), Ménière’s,
neuronitis, iskemia, trauma, toksin. Penyebab umum vertigo sentral adalah
vaskuler, demyelinating, neoplasma
 Intensitas vertigo perifer sedang hingga berat, sedangkan vertigo sentral
ringan hingga sedang.
 Mual (nausea) dan muntah (vomiting) umumnya terjadi pada vertigo
perifer dan jarang terjadi pada vertigo sentral.
 Vertigo perifer umumnya berhubungan dengan posisi (positionally related),
sedangkan vertigo sentral jarang berhubungan dengan posisi.
 Kehilangan pendengaran (hearing loss) hingga ketulian (deafness)
umumnya terjadi pada vertigo perifer dan jarang terjadi pada vertigo
sentral.
 Tinnitus (telinga berdenging) seringkali menyertai vertigo perifer. Pada
vertigo sentral, biasanya tidak disertai tinnitus.
 Pada vertigo perifer tidak ada defisit neurologis. Defisit neurologis
(neurologic deficits) umumnya terjadi pada vertigo sentral.
 Sifat nystagmus pada vertigo perifer adalah fatigable, berputar (rotary) atau
horisontal, dan dihambat oleh fiksasi okuler, sedangkan sifat nystagmus
pada vertigo sentral adalah nonfatigable, banyak arah (multidirectional),
tidak dihambat oleh fiksasi okuler (Brunner & Suddart, 2008).

6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala umum pada vertigo meliputi :
 Pusing
 Mual
 Keringat dingin
 Pucat
 Muntah
 Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
 Nistagmus (Brunner & Suddart, 2008).

Tanda dan Gejala menurut Klasifikasirtigo Periferal (Vestibulogenik) Vertigo


Sentral (Non-Vestibuler)
No. Vertigo Periferal (Vestibulogenik) Vertigo Sentral (Non-Vestibuler)
1 Pandangan Gelap Penghilatan ganda
2 Rasa lelah dan stamina menurun Sukar menelan
3 Jantung berdebar Kelumpuhan otot-otot wajah
4 Hilang keseimbangan Sakit kepala parah
5 Tidak mampu berkonsentrasi Kesadaran terganggu
6 Perasaan seperti mabuk Tidak mampu berkata-kata
7 Otot terasa sakit Hilangnya koordinasi
8 Mual dan muntah Mual dan muntah
9 Memori dan daya pikir menurun Tubuh terasa lemah
10 Sensitif pada cahaya terang dan suara
11 Berkeringat

7. PEMERIKSAAN FISIK
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab
apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat
korteks serebri, serebelum, batang otak atau berkaitan dengan sistim
vestibuler/otologik, selain itu harus dipertimbangkan pula faktor
psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut. Dalam
menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu
letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang
tepat dan terapi simtomatik yang sesuai.
a. Pemeriksaan umum. Ukur tekanan darah dan nadi dengan posisi pasien berdiri.
Apabila tekanan darah saat berdiri rendah, periksa tekanan darah dengan posisi
berbaring dan duduk. Auskultasi arteri karotis dan subklavia.
b. Pemeriksaan neurologis
 Tes menulis vertikal :
Pasien duduk di depan meja, tubuh tidak menyentuh meja dan tangan yang
satu berada diatas lutut, penderita disuruh menulis selajur huruf dari atas
ke bawah, mula-mula dengan mata terbuka lalu tertutup. Pada kelainan
labirin satu sisi akan terjadi deviasi dari tulisan dari atas kebawah sebesar
10 derajad atau lebih. Sedangkan Penderita kelainan serebelum maka
tulisannya menjadi semakin besar (macrographia) atau tulisan
menjadi kacau.
 Tes Romberg
Pasien berdiri tegak kedua kaki sejajar bersentuhan dan mata lalu
dipejamkan. Apabila gangguan vestibuler pasien tidak dapat
mempertahankan posisinya, ia akan bergoyang menjauhi garis tengah dan
akan kembali ke posisi duduk dan berdiri seketika, jika ada lesi pasien akan
jatuh ke sisi lesi. Kemampuan normal minimal dengan mata tertutup
selama sekitar 6 detik. Dewasa muda seharusnya dapat melakukannya
sekitar 30 detik, dan kemampuan menurun seiring usia. Pasien dengan
gangguan vestibuler bilateral secara moderat mengalami ataksia menjadi
sangat tergantung terhadappenglihatan dan merasa tidak seimbang apabila
mata tertutup. Tidak ada pasien dengan gangguan bilateral yang dapat
berdiri dengan mata tertutup pada test Romberg selama 6 detik.
 Tes Tandem Gait
Pasien kaki saling menyilang dan tangan menyilang didada. Pasien di
suruh berjalan lurus, pada saat melangkah tumit kaki kiri djiletakkan pada
ujung jari kaki kanan dan seterusnya. Adanya gangguan vestibuler akan
menyebabkan arah jalanannya menyimpang.
 Stepping test
Berjalan di tempat dengan mata terbuka dan lalu tertutup sebanyak 50
langkah. Test dianggap abnormal ada kelainan vestibuler jika pasien
berjalan beranjak miring sejauh 1 meter atau badan berputar lebih 30
derajat. Jika penderita stabil test diulang dengan tangan terentang. Juga
berjalan diatas kasur. Penderita dengan kelainan vestibular bilateral yang di
sebabkan intoksikasi obat – obatan dapat berjalan dengan mata terbuka
akan tetapi sulit dengan mata tertutup
 Past pointing test
Dengan mata terbuka pasien di minta untuk mengangkat lengannya lurus
keatas dengan telunjuk ekstensi. Kemudian lengan tersebut di turunkan
sampai menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya dengan mata tertutup
pasien di minta untuk mengulang gerakan tersebut. Adanya gangguan
vestibuler menyebabkan penyimpangan tangan pasien sebhingga
telunjuknya tidak dapat menyentuh telunjuk pemeriksa.
c. Pemeriksaan Quik : Pasien berdiri di depan pemeriksa. Kedua lengan
direntangkan ke depan setinggi bahu, dan kedua jari telunjuk menunjukkan ke
telunjuk pemeriksa. Selanjutnya pasien disuruh menutup mata. Perhatikan
timbulnya penyimpangan arah pada kedua tangan pasien.
d. Finger to finger test : bila kelainan labirin satu / dua sisi maka kelainan test ini
selalu pada kedua jari kiri dan kanan, bila sumber kelainannya dari serebelum
satu sisi maka jari yang menunjukkan kelainan hanya pada sisi maka jari yang
menunjukkan kelainan hanya pada sisi yang sesuai dengan sisi kelainan
serebelum.
e. Pemeriksaan mata untuk menilai nistagmus. Nistagmus menunjukkan
gangguan telinga bagian dalam, otak, dan otot okuler. Evaluasi nistagmus yang
optimal memerlukan kacamata Frenzel, dimana kacamata ini dipakai oleh
pasien dan mngaburkan penglihatan pasien, namun memeperjelas munculan
nistagmus (Israr, 2008).

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes Audiologik, tidak dibutuhkan untuk untuk setiap pasien dengan keluhan
pusing, tapi mungkin lebih tepat jika ada masalah pendengaran.
 Audiogram, menilai pendengaran. Abnormalitas memberikan kesan vertigo
otologik. Sering cukup untuk penegakkan diagnosis. Upaya untuk
memisahkan otologik dari sumber vertigo lain.
 Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP). Test nurofisiologi ini
dipergunakan bila diduga adanya carebello pontine tumor, terutama
neuroma akus tikus atau multiple sklerosis. Kombinasi pemeriksaan BERA
dan CT Scan dapat menunjukkan konfirmasi diagnostik tumor.
 Otoacoustic Emission (OAE) menilai suara oleh telinga pasien
sendiri. Cara ini cepat dan sederhana. OAE berguna dalam mendeteksi
malingering, gangguan pendengaran sentral dan orang- orang dengan
neuropati auditorik. Dalam situasi ini, OAE dapat dilakukan bahkan bila
pendengaran subjektif berkurang. Ketika ada potensi malingering, sering
audiologist melakukan beberapa tes untuk uji pendengaran objektif, tes
dapat mendeteksi kehilangan pendengaran psikogenik. OAE biasanya tidak
membantu padang orang- orang usia > 60 tahun karena OAE menurun
dengan usia.
 Electrocochleografi (ECOG) adalah sebuah potensi bangkitan yang
menggunakan electrode perekam yang diposisikan dalam gendang telinga.
ECOG membutuhkan frekuensi pendengaran yang tinggi. ECOG yang
abnormal memberi kesan penyakit Meniere. ECOG itu sulit dan
interpretasi dari hasil harus memnuhi penilaian bentuk gelombang.
b. Tes Vestibular tidak dibutuhkan untuk setiap pasien dengan keluhan pusing.
Penelitian primer- Tes Elektronystagmography (ENG), membantu bila
diagnosis masih belum jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan. ENG secara
bertahap digantikan dengan tes VEMP.
 ENG merupakan prosedur beruntun yang dapat mengidentifikasi vestibular
asimetris (seperti yang disebabkan oleh neuritis vestibular) dan
membuktikan nistagmus spontan dan posisi (seperti yang disebabkan oleh
BPPV). ENG adalah tes yang panjang dan sulit. Jika ada hasil yang
abnormal dan tidak sesuai dengan gejala klinis sebaiknya dikonfirmasi
denga tes kursi putar dan dikombinasi dengan tes VEMP.
 VEMP merupakan tes vestibular dasar karena ini
memberikan keseimbangan yang baik untuk keperluan diagnostic dan
toleransi pasien. Tes ini sensitif terhadap sindrom dehiscence kanal
superior. Kehilangan vestibular bilateral dan neuroma kaustik. VEMP
secara umum normal pada neuritis dan penyakit Menier.
 Posturografi adalah sebuah instrument dari tes Romberg. Ini sangat
berguna untuk malingering dan juga mempunyai kegunaan melihat
perkembangan orang- orang yang menjalani pengobatan.
c. Pemeriksaan labor darah, dilakukan bila ada gejala spesifik kompleks dan tidak
ada pemeriksaan rutin untuk pasien denga keluhan pusing. Dalam faktanya
pemeriksaan kimia, hitung jenis , tes toleransi glukosa, tes alergi tidak secara
rutin diperiksa.
d. Pemeriksaan Radiologi, foto tengkorak, foto vertebrae servikal, CT scan
kepala dan sinus tidak direkomendasikan secara rutin dalam evaluasi vertigo.
 MRI kepala, mengevaluasi kesatuan struktural batang otak, serebelum,
periventrikuler substansia putih, dan kompleks nervus VIII. MRI tidak
secara rutin dibutuhkan untuk evaluasi vertigo tanpa penemuan neurologis
yang lain berkaitan.
 CT Scan tulang temporal memberikan resolusi tinggi dari struktur telinga
daripada MRI dan juga lebih baik untuk evaluasi lesi yang melibatkan
tulang. CT tulang temporal mutlak dibutuhkan untuk diagnosis dehiscence
canal superior. Jenis koronal langsung resolusi tinggi adalah yang terbaik
untuk diagnosis ini. CT Scan tulang temporal banyak memancarkan radiasi
dan untuk alasan ini, tes VEMP direkomendasikan sebagai tes awal untuk
dehiscence canal superior.
e. Pemeriksaan lainnya
 EEG digunakan untuk diagnosis kejang. Hasilnya sangat rendah untuk
pasien dengan keluhan pusing.
 Ambulatory Monitor atau Holter Monitoring digunakan untuk mendeteksi
aritmia atau sinus arrest (Israr, 2008).

9. DIAGNOSIS
Sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan sifat dan penyebab dari vertigo.
Gerakan mata yang abnormal menunjukkan adanya kelainan fungsi telinga bagian
dalam atau saraf yang menghubungkannya dengan otak. Nistagmus adalah gerakan
mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Arah dari gerakan
tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang
dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau meneteskan air dingin
ke dalam telinga. Untuk menguji keseimbangan, penderita diminta berdiri dan
kemudian berjalan dalam satu garis lurus, awalnya dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup. Tes pendengaran seringkali bisa menentukan adanya
kelainan telinga yang mempengaruhi keseimbangan dan pendengaran.
Pemeriksaan lainnya adalah CT scan atau MRI kepala, yang bisa menunjukkan
kelainan tulang atau tumor yang menekan saraf. Jika di duga suatu infeksi, bisa
diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang. Jika di
duga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan
angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke
otak (IW Utami, 2011).

10. TINDAKAN PENANGANAN


a. Terapi Medikamentosa
Terapi ini diberikan tergantung dari penyebab terjadinya vertigo, jika
penyebabnya Infeksi telinga (misalnya otitis media, labirinitis) yang
disebabkan bakteri dapat diterapi menggunakan antibotik (contohnya
amoksisiillin, ceftriakson). BPPV yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
reposisi kanalit dapat diterapi dengan pemberian meklizin. Namun, meklizin
dapat menyebabkan kantuk, mulut kering, dan penglihatan kabur. Jika meklizin
tidak efektif, benzodiazepin seperti klonazepam dapat diresepkan, atau
antihistamin seperti prometazin dapat diberikan pada seorang yang mengalami
vertigo. Tentu saja harus di bawah pengawasan dokter dan tenaga kesehatan
lain. Prometazin dapat menyebabkan kantuk, lelah, sulit tidur, dan tremor.
Vertigo akibat penyakit Ménière dapat diatasi dengan diuretika serta
mengurangi asupan garam.
Kortikosteroid dapat diresepkan di awal penyakit untuk mengurangi
peradangan dan menstabilkan pendengaran. Antibiotik dapat digunakan ke
telinga tengah (dengan teknik perfusi intratimpanik) untuk mengobati vertigo
yang disebabkan penyakit Ménière. Vertigo yang disebabkan karena migrain,
terkadang dapat diatasi dengan obat. Gangguan pembuluh darah otak, tumor,
maupun multiple sclerosis dapat diupayakan penyembuhannya dengan cara
menggunakan obat, radiasi, maupun pembedahan.
Secara Garis Besar, Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Obat untuk
mengurangi vertigo yang ringan adalah meklizin, dimenhidrinat, perfenazin
dan skopolamin. Skopolamin terutama berfungsi untuk mencegah motion
sickness, yang terdapat dalam bentuk plester kulit dengan lama kerja selama
beberapa hari. Semua obat diatas bisa menyebabkan ngantuk, terutama pada
usia lanjut. Skopolamin dalam bentuk plester kulit memiliki efek mengantuk
yang paling efektif.

b. Terapi operatif
Infeksi telinga kronik dapat menggunakan metode pembedahan miringotomi.
c. Terapi Fisik
 Terapi rehabilitasi vestibular
Terapi rehabilitasi vestibular (vestibular rehabilitation therapy/VRT)
merupakan terapi fisik untuk menyebuhkan vertigo. Tujuan terapi ini
adalah untuk mengurangi pusing, meningkatkan keseimbangan, dan
mencegah seseorang jatuh dengan mengembalikan fungsi sistem
vestibular. Pada VRT, pasien melakukan latihan agar otak dapat
menyesuaikan dan menggantikan penyebab vertigo. Keberhasilan terapi
ini bergantung pada beberapa faktor pasien yang meliputi usia, fungsi
kognitif (memori, kemampuan mengikuti pentunjuk), kemampuan
kordinasi dan gerak, dan kesehatan pasien secara keseluruhan (termasuk
sistem saraf pusat), serta kekuatan fisik. Dalam VRT, pasien yang datang
ke dokter, akan menjalani beberapa latihan yang akan melatih
keseimbangan dalam tingkat yang lebih tinggi, meliputi gerakan kepala,
gerakan mata, dan berjalan.

 Reposit Kanalit
Menurut Akademi Neurologi Amerika (American Academy of Neurology)
metode yang paling efektif untuk BPPV yang disebabkan oleh kristal
kalsium di telinga bagian kanal posterior adalah menggunakan teknik
reposisi kanalit (canalith repositioning) atau Epley maneuver. Pada
prosedur ini, terapis (dokter) akan meminta pasien untuk menggerakkan
kepala dan tubuh. Kemudian kristal kalsium akan keluar dari kanal
posterior, dan masuk ke dalam kanal telinga bagian dalam yang akan
diabsorpsi tubuh (IW Utami, 2011).

11. KOMPLIKASI
Komplikasi penyakit vertigo antara lain adalah penyakit meniere, trauma telinga
atau labirinitis dan otitis media kronik (Israr, 2008).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Data Primer
 Data Subjektif
Keluhan utama : Pusing hingga berputar
Riwayat penyakit saat ini : Pusing berputar hingga mual dan muntah sebanyak lebih
dari 3 kali
Riwayat penyakit sebelumnya : Penyakit keturunan
 Data Objektif
 Airway :
 Jalan nafas paten
 Tidak ada obstruksi pada pernafasan
 Breathing / Pernafasan
 Nafas spontan
 Irama nafas cepat
 Pola nafas tidak teratur
 Jenis pernafasan; Kusmaul
 Adanya sesak nafas
 Adanya pernafasan cuping hidung
 RR > 24x/menit
 Circulation
 Nadi > 120x/menit
 Tekanan darah menurun
 Wajah tampak pucat
 Suhu > 37,50C
 CRT > 2 detik
 Mukosa bibir kering
 Tidak terjadi perdarahan
 Turgor kulit lambat
 Riwayat kekurangan cairan akibat mual dan muntak
 Disability
 Pasien tampak lemah
 Pandangan pasien gelap
 Nyeri kepala yang hebat
Data sekunder
 Eksposure
 Tidak adanya edema ekstremitas
 Tidak ada jejas pada kepala
 Five intervention
Pemeriksaan Penunjang
 Give comfort
 Pasien tampak nyeri
 Nyeri di sekitar perut
 Head to toe
 Kepala dan wajah : mata cowong
 Leher : pada pemeriksaan leher tidak ada data yang abnormal
 Dada : tidak ada data yang bermasalah pada pemeriksaan dada.
 Abdomen dan pinggang :
Inspeksi ,Auskultasi, Perkusi, Palpasi
 Ekstremitas : tidak ada masalah pada pemeriksaan ekstremitas.
 Inspect the posterior surface
Tidak ada masalah pada pemeriksaan bagian belakang.
2. Diagnosa
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal mengekspresikan perilaku gelisah
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
ditandai dengan dispnea
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer hipertensi ditandai dengan warna
kulit pucat, waktu pengisian kapiler lebih dari 3 detik
d. Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi sensorik
e. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyabab multiple ditandai
dengan disuria
f. Mual berhubungan dengan nyeri ditandai dengan melaporkan mual, sensasi
muntah, rasa asam di dalam mulut
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum ditandai dengan
menyatakan merasa lemas
3. Rencana Keperawatan
(terlampir)
4. Implementasi Keperawatan
(terlampir)
5. Evaluasi Keperawatan
(terlampir)
DAFTAR PUSTAKA

 Brunner & Suddart, 2008.Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8. Jakarta: EGC


 Corwin,Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi revisi 3. Jakarta : EGC
 Bulecheck, Butcher, Dochterman dan Wagner. 2013. Nursing Intervention
Classification Sixth Edition. United States of America : Mosby.
 Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification Fifth Edition. United States of America : Mosby
 Blackwell Weley. Nursing Diagnosis Association (NANDA). 2014. Diagnosis
Keperawatan 2015-2017. Jakarta : EGC.
 Riyanto , Budi. 2004. Vertigo : Aspek Neurologi. Bogor : tinjauan kepustakaan
 Sylvia Anderson Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Alih Bahasa Adji Dharma, Edisi II.P: 329-330.

Anda mungkin juga menyukai