Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala


atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV ditemukan
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina,
serta air susu ibu. (Yatim, 2006)
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sampai
September 2013 terdapat penambahan 20.413 kasus HIV dan 2.763 kasus
AIDS. Sampai 30 September 2013, kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan
sejak 1978 berjumlah masing – masingnya 128.995 dan 47.633 kasus,
dengan angka kematian 8.553 kasus. Menurut data yang terkumpul sampai
September 2013, Sumatera Barat sendiri menempati urutan ke-12 setelah
DI Yogyakarta, Riau, Banten, dan Sulawesi Selatan dengan 836 kasus HIV
dan 802 kasus AIDS. (Kemenkes, 2013)
Terdapat perbedaan pola transmisi penularan HIV/AIDS antara negara
maju dan berkembang, di mana pada negara maju didapatkan penularan
terbesar pada kelompok homoseksual, diikuti pengguna narkoba, dan
terakhir adalah transmisi perinatal. Sementara untuk Indonesia sendiri,
berdasarkan data Kemenkes sampai September 2013, didapatkan
transmisi penularan terbesar adalah kaum heteroseksual sebanyak 27.782
kasus, homo-biseksual 1.134 kasus, penyalahgunaan obat-obatan 7.962
kasus, transfusi darah 92 kasus, transmisi perinatal 1.279 kasus dan tidak
diketahui 7.147 kasus. (CDC, 2009; Kemenkes, 2014)
Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang, dan
sekitar 12% pasien adalah wanita, di mana 85%-nya ada pada usia
reproduktif. Kasus HIV/AIDS pada anak-anak Indonesia meningkat
700 persen dalam empat tahun terakhir (2006-2010). Kasus HIV pada
anak biasanya paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah
memiliki HIV ke anaknya. Bila angka kelahiran di Indonesia 2,5% maka setiap
tahun akan ada 2.250 – 3.250 bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.

1
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam
kandungan, persalinan, dan menyusui. Di Amerika Serikat, seperti
dilaporkan oleh pusat kontrol penyakit (The Center for Disease
Control =CDC), didapatkan selama tahun 2009 hanya didapatkan 7 kasus
baru HIV karena transmisi perinatal. Ini merupakan bukti bahwa penularan
HIV karena transmisi perinatal dapat dicegah. (CDC 2009; WHO 2012 ; KEMENKES RI, 2014)

Penularan HIV ke anak-anak dari ibu HIV positif disebut sebagai Mother
to Child Transmission (MTCT). Penularan dari ibu ke anak/ bayi terjadi
melalui penularan di dalam kandungan/ in utero, saat kelahiran/ peripartum,
dan melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI). Resiko bayi tertular HIV dapat
ditekan hingga 98%, bila ibu mendapatkan terapi Antiretroviral (ARV)
selama masa kehamilan. Dengan demikian pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
menjadi penting, karena sebagian besar Orang Hidup Dengan HIV/AIDS
(ODHA) perempuan berada pada usia subur. Dari data-data yang
dikemukakan di atas, maka penanganan HIV dalam kehamilan adalah
untuk memaksimalkan kesehatan maternal dan meminimalkan transmisi
perinatal. (McFarland, Elizabeth 2003)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi HIV
Anatomi HIV-1 seperti gambar dibawah ini (AIDS, 2012 ) :

Gambar.1 Anatomi HIV


Terdapat 3 genus retrovirus yaitu oncovirus (5 genus), lentivirus (HIV-1
dan HIV-2) dan Spumavirus (human foamy virus).
Struktur HIV-1 terdiri dari :
1. Kapsul
 Lipid membran yang berasal dari membran luar sel host
 Dibungkus oleh gliokoprotein GP120 dan GP41
2. Inti
 P24 dan P18 merupakan protein utama pembentuk struktur inti
 Gen RNA
 Enzim reverse transcriptase
HIV merupakan virus penyebab AIDS. AIDS sendiri merupakan
manifestasi klinis paling berat akibat infeksi HIV yang menurunkan sistem
imunitas tubuh. (Cunningham, Leveno, 2005)
HIV merupakan RNA-retrovirus dengan 2 tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Penyebab paling sering kasus AIDS diseluruh dunia adalah HIV-1 karena
lebih infeksius daripada HIV-2. HIV secara primer menginfeksi komponen
vital dari sistem imunitas tubuh seperti Sel T CD4+, makrophage, dan sel
dendritik. Sel T CD4+ yang berasal dari Tymus merupakan derivate limposit

3
yang berperan sebagai reseptor HIV. Seperti diketahui Sel T CD 4+ sangat
dibutuhkan untuk pelaksanaan fungsi imunitas tubuh, dan ketika jumlah Sel
T CD4+ sangat menurun akan menyebabkan munculnya manifestasi klinis
atau AIDS. Akibat efek imunosuppresi oleh HIV akan menyebabkan
munculnya bermacam-macam infeksi oppurtunistik dan keganasan.
Adanya co-reseptor yaitu reseptor chemokine (CCR5 dan CXCR4) telah
diidentifkasi berperan dalam terjadinya infeksi. Sesudah inisial infeksi, level
viremia biasanya menurun mencapai satu titik yang disebut set point, dan
pasien dengan kadar virus sangat tinggi pada periode ini dapat berkembang
lebih cepat menjadi AIDS dan menyebabkan kematian. Dengan berlalunya
waktu jumlah Sel T CD4+ akan menurun secara tersembunyi dan progressif
sehingga menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh atau
imunosuppresi. Walaupun diketahui bahwa kehamilan mempunyai efek
yang minimal terhadap jumlah Sel T CD4+ dan level HIV-RNA, belakangan
sering lebih tinggi pada 6 bulan postpartum daripada selama kehamilan.
Selain infeksi pada monosit-makrophage, infeksi pada sel mikroglial otak
dapat menyebabkan kelainan neuropsikiatri. Infeksi HIV juga meningkatkan
insidens keganasan seperti Sarcoma Kaposi, Lymphoma Non-Hodgkins,
dan beberapa karsinoma lainnya. (Putu, 2004,Cunningham, Leveno, 2005,AIDS, 2005)
Dibawah ini gambaran infeksi HIV-1 pada Limposit (Cunningham< Leveno
2005)

Gambar.2. Skanning mikroskop electron HIV-1 dari limposit yang


dikultur.

1. Perjalanan Alamiah Infeksi HIV (Rauscher, 2005)

4
Secara alami perjalanan infeksi HIV dalam tubuh seseorang
adalah :
 Antibodi (anti-HIV) terbentuk dalam 2-3 minggu setelah
seropositif.
 Individu yang terinfeksi akan tetap asimptomatik (carier) selama
2-10 tahun atau lebih.
 Gejala awal yang muncul hanya berupa demam, rash, general
lymphadenopaty, yang kemudian dapat berkembang menjadi
diare, penurunan berat badan, oral thrush dan herpes zooster
multidermatomal.
 Infeksi oppurtunistik yang sering menyertai adalah :
pneumocystis carinii pneumonia, sarkoma kaposi, lymphoma sel
B, ensephalitis sub akut, wasting sindroma, limphoma otak
primer.
 Sekitar 10 % akan menjadi AIDS dalam 4 tahun dan 35 % dalam
7 tahun.
2. Patogenesis AIDS (Rauscher, 2005 )
Mekanisme respon imun tubuh terhadap infeksi HIV adalah :
 Limposit B akan memproduksi antibodi yang akan mengikat HIV
dan menetralisirnya.
 Sekelompok sel T akan diaktivasi dan menyerang HIV secara
langsung.
 Pengenalan dan penyerangan HIV ini diatur dan dikontrol oleh sel
T helper. Sementara HIV sendiri akan membunuh sel T helper ini
sehingga sistem imun tubuh tidak dapat bekerja sebagaimana
mestinya.
HIV akan membunuh sel T helper melalui cara sbb :
 Secara langsung melalui cytophatic effect-nya dan induksi
syncytia
 Efek sitotoksik terhadap respon sel T
 Sitotoksik terhadap antibodi
 Apoptosis

5
Pengaruh genetik HIV yang bervariasi disebabkan :
 Kemampuan HIV bereplikasi pada berbagai tipe sel
 Sifat antigeniknya yang bervariasi karena poses reverse
transkripsi yang tidak bisa kendalikan sehingga lolos dari kontrol
sel imun. Hal inilah yang menyebabkan sulit membuat vaksin HIV.
 Efek virulensi strain genetik yang bervariasi
 Adanya resistensi terhadap pengobatan
B. Siklus Hidup HIV (AIDS,2012)
Siklus hidup HIV dalam tubuh manusia dapat dibagi 6 tahap yaitu :
1. Tahap I : Binding
Virus HIV terdiri dari kapsul luar berupa protein, lemak dan
karbohidrat yang membungkus gen. Informasi genetik dibawa oleh
RNA yang digantikan oleh DNA dan enzim khusus. HIV yang
mempunyai protein pada kapsulnya secara kuat menyerang reseptor
CD4+ pada permukaan luar sel T. Ketika HIV berikatan dengan
reseptor CD4+ sel T, ikatan ini akan mengaktivasi protein lain pada
permukaan sel T sehingga mengakibatkan kapsul HIV dapat
mengadakan fusi dengan permukaan luar sel T. Masuknya kapsul
HIV ini dapat diblok dengan entry inhibitor.

Gambar.3 Proses Binding HIV dengan CD4+ sel T


2. Tahap II : Reverse Transcription
Gen HIV dibawa oleh dua untai RNA, sedangkan material genetik
sel manusia ditemukan dalam DNA. Ketika HIV menginfeksi sel T,
terjadilah suatu proses yang disebut reverse transcription yaitu
dibentuknya kopi DNA dari RNA virus. Setelah proses binding
(ikatan), kapsul virus (bagian dalam virus yang mengandung RNA

6
dan enzim yang penting) dilepaskan kedalam sel host. Enzim virus
yang disebut reverse transcriptase membuat kopi DNA dari RNA
virus. DNA baru ini disebut proviral DNA. Proses reverse
transcription ini dapat diblok dengan Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTIs) dan Non Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTIs)

Gambar.4 Proses Reverse Trancription HIV


3. Tahap III : Integration
Kemudian DNA HIV dibawa kedalam inti sel tempat DNA sel host
berada. Oleh enzim yang lain yang disebut intregrase akan
mengintegrasikan atau menyembunyikan proviral DNA kedalam
DNA sel host. Ketika sel host berusaha membuat protein baru, hal
ini akan mengakibatkan pembentukan HIV baru secara mendadak.
Proses integrasi ini dapat diblok dengan preparat Integrase Inhibitor
yang merupakan klas baru obat-obatan yang sedang diteliti.

Gambar.5 Proses Integration HIV kedalam Inti Sel

4. Tahap IV : Transcription

7
Setelah material genetik HIV masuk kedalam inti sel maka akan
berlangsung proses pembentukan HIV baru. Untaian DNA virus
didalam inti sel akan terpisah dan enzim khusus akan
menterjemahkan pesan genetik DNA virus dengan membuat
untaian komplemen material genetik yang disebut messenger
RNA atau mRNA yang membawa pesan genetik berupa instruksi
pembuatan HIV baru. Proses transkripsi ini dapat diblok dengan
antisense antiviral atau transcription inhibitors (TIs) yang
merupakan obat klas baru yang sedang diteliti.

Gambar.6 Proses Transcription HIV


5. Tahap V : Translation
mRNA membawa pesan genetik berupa instruksi pada inti sel
untuk membuat protein virus yang baru. Setiap untaian mRNA akan
diproses dan diterjemahkan untuk membuat protein. Proses ini
berlanjut sampai untaian mRNA telah ditransformasi atau
diterjemahkan kedalam protein virus yang baru yang dibutuhkan
untuk pembuatan HIV baru.

Gambar.7 Proses Translation HIV


6. Tahap VI : Viral Assembly

8
Merupakan proses akhir terbentuknya virus baru. Benang panjang
dari protein dipotong oleh enzim virus yang disebut protease
kedalam bentuk protein-protein yang lebih kecil. Protein-protein ini
mempunyai bermacam-macam fungsi, beberapanya menjadi unsur
struktural pembentuk HIV baru. Yang lainnya menjadi enzim seperti
reverse transcriptase. Sekali protein virus baru terbentuk, akan
merusak sel host dan memacu pembuatan virus baru. Virus ini
kemudian akan menginfeksi sel-sel yang baru lainnya. Masing-
masing sel yang terinfeksi dapat menghasilkan sejumlah besar virus
baru. Viral Assembly dapat diblok dengan protease inhibitors (PIs).

Gambar.8 Proses Viral Assembly HIV

Secara ringkas siklus hidup HIV didalam sel host dapat digambarkan
sebagai berikut : (Decherney, Pernoll, 1994)

9
Gambar 9. Siklus Hidup HIV dalam Sel Host
C. Penularan dan Gejala Klinis (Putu, 2004; Cherney, Pernoll 1994)
Transmisi HIV mirip dengan penularan virus hepatitis B, dimana sexual
intercourse (kontak seksual) merupakan cara penularan yang paling sering.
Secara umum penularan HIV pada seseorang bisa melalui :
1. Kontak Seksual (homo atau heteroseksual)
2. Transplasental dan ASI (penularan vertikel dan atau perinatal)
3. Terpapar dengan darah atau cairan jaringan yang terinfeksi HIV
(penularan parenteral) seperti: transfusi darah, tertusuk jarum suntik.
Kemungkinan seorang wanita tertular dari seorang laki-laki pengidap
HIV adalah 20 kali lebih besar daripada kemungkinan seorang laki-laki
tertular dari seorang wanita pengidap HIV, oleh karena kemungkinan pada
cairan sperma terdapat titer HIV yang cukup tinggi.
1. Transmisi Infeksi Maternal dan Fetal-Neonatal (AIDS, 2012; Decherney,

Pernoll 1994; Minnesota, 2005; Nurs 2003)

Transmisi vertikel pada neonatus terjadi sekitar 30 % ( 20-50 %)


pada ibu dengan seropositif HIV. Laporan CDC pada tanggal 27
Februari 2004 berdasarkan hasil penelitian selama 4 tahun
menyebutkan rata-rata transmisi vertikal terjadi sekitar 3-10 %.
Menurut Dr.Maryglen Fowler rata-rata transmisi berkisar 25 %

10
sebelum dikenalkannya obat antiretroviral. Di beberapa negara maju
transmisi vertikal telah menurun bahkan mencapai < 5 %, sebaliknya
dinegara berkembang sangat sulit mengendalikannya. Janin dapat
dipengaruhi secara in utero melalui transfer virus (transplasental),
pada saat persalinan melalui kontaminasi sekret dan darah ibu pada
jalan lahir (transmisi perinatal) dan setelah janin lahir melalui
pemberian ASI (post partum). Penularan secara intra uterine
menyebabkan bayi mempunyai antibodi terhadap HIV yang didapat
secara pasif dari ibu dan tetap ada sampai bayi berumur 15-18 bulan.
Antibodi terhadap HIV yang diperoleh janin in utero melalui jalur
transplasental akan habis pada usia bayi sekitar 18 bulan. Sehingga
pada tes antibodi pada bayi didapatkan hasil dengan nilai yang
rendah.
Mekanisme pasti transmisi vertikal masih belum jelas. HIV dapat
menginfeksi pada usia kehamilan 8 mg sehingga terjadi abortus
spontan. Sedangkan trasnmisi yang terjadi pada kehamilan lanjut
lebih responsif terhadap pengobatan dengan antiretroviral yang
dapat melewati barier plasenta.
Adanya penularan transplasental dibuktikan berdasarkan adanya
virus HIV yang dapat diidentifikasi pada spesimen dari abortus
elektif. Menurut Blair, dkk (2004) rata-rata angka kehamilan diantara
wanita yang terinfeksi HIV meningkat secara signifikan pada era
adanya terapi anti retroviral dibandingkan pada era sebelum tahun
1996. Menurut Kourtis, dkk (2001) telah mengusulkan suatu model
untuk memperkirakan distribusi temporal dari trasmnisi vertikel.
Mereka memperkirakan sekitar 20 % transmisi terjadi sebelum
kehamilan 3 bulan, 50 % beberapa hari sebelum persalinan, dan 30
% dalam proses persalinan (intra partum). Sedangkan angka
transmisi HIV melalui ASI cukup tinggi yaitu sekitar 30-40 %.
Merupakan suatu kesulitan dalam menentukan faktor resiko
transmisi apakah melalui trasplasental dan atau didapat dalam
proses persalinan (intrapartum). Salah satu pendekatan untuk

11
membedakan ini dengan melakukan pemeriksaan kultur HIV-1 atau
DNA Polymerase Chain Reaction Assay (PCR - Assay) dalam 48 jam
pertama kehidupan bayi. Tetapi tes virologik dalam 48 jam pertama
kehidupan bayi ini tidak selalu tersedia.
a. Penularan intra uterin (AIDS, 2012; Putu, 2004)
HIV dapat melewati barier plasenta dan masuk kedalam tubuh
bayi, walaupun tidak selalu terjadi tapi dapat terjadi. Penularan ini
diketahui karena didapatkan HIV pada jaringan tymus, lien, paru
dan otak janin usia 20 miggu yang digugurkan dari ibu pengidap
HIV.
b. Penularan intra partum (AIDS, 2012; Putu, 2004)
Terjadinya penularan ini karena adanya kontak darah dan
sekret ibu dengan bayi pada saat persalinan.
c. Penularan post partum (AIDS, 2012;Putu, 2004)
Penularan ini terjadi melalui pemberian ASI pada bayi baru
lahir. Adanya penularan ini dibuktikan dengan terdapatnya HIV
yang diisolasi dari ASI. Meskipun masih ada perbedaan pendapat
mengenai hal ini karena adanya perbedaan hasil penelitian, tetapi
karena belum adanya vaksin untuk HIV dan kemungkinan
penularan ini tetap ada maka disepakati pemberian ASI pada bayi
tetap masih dilarang.
Secara umum faktor yang mempengaruhi penularan perinatal HIV
adalah : (Putu, 2004; Duta, 1998)
a. Faktor Virus
Semakin tinggi titer virus dalam tubuh ibu maka semakin tinggi
tingkat penularannya atau makin infeksius. Kadar RNA-HIV
merupakan prediktor yang lebih baik daripada jumlah sel T.
 Kadar RNA-HIV 1000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 2 %
 Kadar RNA-HIV 10000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 11 %
 Kadar RNA-HIV 100000 kopi/ml → rerata transmisi vertikal 40 %
b. Faktor Host (ibu hamil)

12
Berhubungan dengan daya tahan ibu hamil atau sistem
kekebalan tubuh (jumlah sel T CD4), nutrisi dan ada tidaknya
anemia dalam kehamilan.
c. Faktor Obstetrik
Dipengaruhi oleh cara dan lamanya persalinan berlangsung,
prosedur dan peralatan yang digunakan selama kehamilan dan
persalinan, internal fetal dan labor monitoring selama persalinan,
episiotomi, pemasangan kateter urine, forseps dan vakum
ekstraksi hanya dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan janin,
ruptur membran artificial, resiko meningkat jika ketuban pecah > 4
jam sebelum persalinan.
d. Faktor Bayi
Tergantung pada kondisi bayi yaitu aterm atau premature dan
ada tidaknya lecet pada bayi akibat proses persalinan.
2. Gejala Klinis (Putu, 2004; Cunningham, Leveno; 2005)
Gejala klinis AIDS secara primer tidak terjadi pada individu
dengan imunitas tubuh yang sehat. Masa inkubasi dari terpapar virus
sampai munculnya gejala klinis bervariasi dari beberapa hari sampai
beberapa minggu. Gejala akut mirip dengan gejala infeksi virus
lainnya yang berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala klinis paling
sering meliputi demam, keringat malam, lemah, letih, lesu,
kemerahan pada kulit (rash), sakit kepala, limphadenopati,
penurunan berat badan, paringitis, mialgia, artralgia, mual, muntah,
dan diare. Setelah gejala akut reda, masuk pada tahap viremia kronik
(set poin) yang asimptomatik. Faktor pencetus yang menyebabkan
gejala berkembang secara progressif dari asimptomatik viremia
menjadi AIDS masih belum jelas, tapi butuh waktu lebih kurang 10
tahun.
Pada keadaan HIV positif dan ditemukan gejala klinis sehingga
diagnosa AIDS ditegakkan, general lymphadenopaty, oral hairy
leukoplakia, aphtous ulcer, dan trombositopenia sering terjadi. Jika
sistem imunitas tubuh jelek, infeksi oppurtunistik sering terjadi yang

13
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan organisme lainnya.
Setiap sistem organ dapat dipengaruhi. Infeksi oppurtunistik yang
sering terjadi adalah esophageal atau pulmonary candidiasis, herpes
simplek persisten, lesi herpes zoster, condyloma akuminata, TBC,
pneumonia cytomegalovirus, retinitis, gangguan gastrointestinal,
molluscum contagiosum, pneumocystis pneumonia, toxoplasmosis,
dan sebagainya. Gangguan neurologi juga sering, sekitar setengah
dari penderita mempunyai gejala gangguan SSP. Kadar CD4+
kurang dari 200/mm3 dipertimbangkan secara definitif untuk
menegakkan diagnosa AIDS.
Terdapat gejala ginekologik yang unik pada wanita penderita HIV
seperti gangguan menstruasi, neoplasma genital, PMS yang lainnya,
dan kontrasepsi yang overlap dengan kehamilan. Kehamilan yang
berulang tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap klinis
ataupun status imunologis terhadap infeksi virus. Penderita HIV-
AIDS juga mempunyai resiko yang meningkat untuk
berkembanganya keganasan seperti Sarcoma Kaposi, Ca.cervix,
dan Lymphoma.
3. WHO Disease Staging System untuk Infeksi HIV-AIDS
(Cunningham,Leveno,2005)

Sistem Stadium WHO ini berdasarkan data klinis dan


laboratorium. Pada tahun 1990 WHO mengelompokkan infeksi ini
beserta segala kondisinya dengan memperkenalkan staging system
untuk penderita HIV. Stadium ini dikembangkan pada bulan
September 2005. Sebagian besar kondisi ini terjadi akibat infeksi
oppurtunistik yang secara mudah dapat diobati pada orang yang
sehat. Adapun Stadium WHO tersebut adalah :
a) Stadium I : Infeksi HIV asimptomatik dan tidak dikategorikan
AIDS
b) Stadium II : Termasuk gejala klinis mukokutaneus minor dan ISPA
yang berulang.

14
c) Stadium III : Termasuk diare kronik yang tidak bisa diterangkan
untuk jangka waktu lebih dari 1 bulan, infeksi bakteri berat dan TB
paru.
d) Stadium IV: Termasuk toxoplasmosis otak, kandidiasis
esophagus, trakea, bronkus atau paru dan sarcoma Kaposi.
Penyakit-penyakit ini digunakan sebagai indikator AIDS.
4. Sistem Klasifikasi Infeksi HIV Menurut CDC (Cunningham,Leveno,2005)
Di Amerika Serikat pada tahun 1993, CDC mengembangkan
definisi untuk AIDS termasuk penderita sehat HIV positif dengan
jumlah CD4+ sel T kurang dari 200 per µl darah. Sebagian besar
penderita AIDS baru di USA dilaporkan berdasarkan kadar CD4+ Sel
T yang rendah dan adanya infeksi HIV.
D. Tes Serologik (Putu, 2004; AIDS, 2012)
EIA (Enzim Immuno Assay) digunakan sebagai tes penyaring terhadap
antibodi HIV dan menjadi protokol tes standar. Dibawah ini keadaan yang
memerlukan tes antibodi HIV yaitu :
1. Wanita yang menggunakan obat-obatan intravena.
2. Wanita yang melakukan praktek prostitusi
3. Wanita dengan pasangan HIV positif atau beresiko terinfeksi
4. Wanita dengan penyakit menular seksual
5. Wanita yang tinggal dalam komunitas atau lahir dalam Negara dengan
prevalensi HIV pada wanita yang tinggi.
6. Wanita yang dalam evaluasi dan pengobatan medik terhadap gejala
dan tanda-tanda infeksi HIV.
7. Wanita yang menerima transfusi darah pada periode waktu 1978-1985.
8. Wanita yang menurut mereka sendiri beresiko terinfeksai HIV.
Diagnosa infeksi HIV ditegakkan melalui tes antibodi HIV-1. Tes rutin
untuk HIV-2 tidak direkomendasikan kecuali pada pasien dengan resiko
infeksi HIV-2 atau mempunyai gejala klinis dengan tes antibodi HIV-1 yang
negatif. Sebagian besar penderita yang terpapar HIV dapat dideteksi
antibodinya terhadap HIV dalam 12 minggu setelah terpapar. Adanya
antibodi menunjukkan adanya infeksi walaupun penderita asimptomatik

15
selama bertahun-tahun. Sensitifitas dan spesifisitas dari tes ELISA (Enzym
Linked Immuno Assay Adsorbed) adalah 99 % ketika hasil reaktifnya
berulang. Hasil tes antibodi HIV negatif jika hasilnya non reaktif dan ini
menandakan derajat infeksi HIV yang sangat rendah sehingga terlalu awal
untuk mendeteksi produksi antibodi. Tes lain yang bisa digunakan adalah
Western Blot atau IFA (Immunofluoresscent Asssay) yang kurang sensitive
dibandingkan EIA. Menurut CDC (2001) antibodi dapat terdeteksi pada
sebagian besar pasien dalam 1 bulan setelah terinfeksi. Untuk infeksi
primer HIV yang akut, identifikasi viral p24 core antigen atau Viral-RNA atau
DNA mungkin dapat dilakukan.
Pada tahun 1991 secara umum tapi sukarela, screening prenatal
direkomendasikan oleh Institute of Medicine the CDC, American Academy
Pediatrics, dan ACOG (American College Obstetric and Gynaecologic).
Sansom,dkk (2003) menganjurkan untuk mengulang tes HIV pada trimester
III kehamilan pada daerah dengan prevalensi 1 tiap 1000 orang pertahun
atau lebih tinggi terinfeksi HIV. Beberapa negara merekomendasikan tes
HIV kedua saat persalinan. (Putu, 2004)
E. Penatalaksanaan
Konseling wajib diperlukan pada wanita hamil dengan HIV positif. Lebih
baik dilakukan pada awal kehamilan dan jika wanita tersebut memutuskan
untuk melanjutkan kehamilannya, konseling tetap dilakukan untuk
memberikan dukungan psikologis. Ketersediaan sejumlah agent
antiretroviral yang meningkat dan evolusi informasi yang berkembang cepat
telah memperkenalkan terapi HIV yang lebih kompleks. Tujuan
terapeutiknya adalah semaksimal mungkin mensupressi perkembangan
virus HIV dan menjaga serta mempertahankan fungsi imunitas tubuh. Untuk
penderita yang tidak hamil terapi antiretroviral diberikan jika kadar CD4+ sel
T-nya < 350/mm3 atau level RNA-HIV plasma melampaui 55.000 copies/ml.
Strategi terapi yang lebih agressif diterapkan pada infeksi HIV dalam
kehamilan karena dengan penurunan level RNA-HIV plasma akan
menurunkan resiko transmisi perinatal. Terapi antiretroviral seharusnya
diberikan pada semua wanita hamil yang terinfeksi HIV dengan tujuan untuk

16
memulai terapi dan menurunkan resiko transmisi perinatal yang sangat
tergantung pada kadar HIV-RNA dan CD4+ sel T. (Putu, 2004)
Sampai saat ini belum ada vaksin atau obat yang menyembuhkan HIV-
AIDS. Di Negara Barat kebanyakan pasien dapat bertahan hidup beberapa
tahun setelah diagnosa ditegakkan disebabkan ketersediaan HAART
(Highly Active AntiRetroviral Therapy). Pada keadaan tidak adanya HAART,
progressifitas HIV menjadi AIDS terjadi antara 9-10 tahun dan dapat
bertahan hidup selama 9,2 bulan setelah menjadi AIDS. Pemberian HAART
yang optimal berupa kombinasi (cooktails) yang terdiri paling sedikit 3 obat
dari paling sedikit 2 tipe atau 2 kelas obat antiretroviral. Regimen yang
diberikan terdiri dari 2 Nucleoside analog Reverse Transcriptase Inhibitors
(NRTIs) ditambah Protease Inhibitors atau Non Nucleoside analog Reverse
Transcriptase Inhibitors (NNRTIs). Pemberian antiretroviral diantara obat-
obat lainnya ditujukan untuk mencegah menjadi AIDS, mencegah infeksi
oppurtunistik yang berhubungan dengan AIDS, mengurangi komplikasi,
mengurangi gejala infeksi HIV, dan memperpanjang harapan hidup
penderita. Bagaimanapun juga pedoman terapi selalu berubah. Pedoman
terbaru terapi antiretroviral dari WHO (2003) merekomendasikan
pemberian antiretroviral terapy pada anak-anak dan dewasa jika ditemukan
salah satu dari keadaan berikut ini : (Cunningham,Leveno,2005)
1. Gejala klinis infeksi HIV yang bertambah berat
2. Stadium IV WHO dan pengukuran CD4+ sel T yang tidak respon.
3. Stadium III WHO dengan pertimbangan titer CD4+ sel T < 350/µl darah.
4. Stadium I WHO dengan titer CD4+ sel T < 200/µl darah.
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan AS yang
bertanggung jawab terhadap infeksi HIV-AIDS di negaranya, pada tanggal
7 April 2005 mengusulkan bahwa : (Cunningham,Leveno,2005)
1. Semua pasien dengan riwayat AIDS atau dengan gejala berat infeksi
HIV yang dikaitkan dengan kadar CD4+ sel T harus menerima terapi
antiretroviral.
2. Terapi antiretroviral juga direkomendasikan untuk pasien asimptomatik
dengan kadar CD4+ sel T < 200/µl darah.

17
3. Pasien asimptomatik dengan kadar CD4+ sel T 201-350 sel/µl darah
seharusnya diberikan terapi antiretroviral.
4. Pasien asimptomatik dengan kadar CD4+ sel T > 350 sel/µl darah dan
titer plasma HIV-RNA > 100.000 copies/ml, kebanyakan para ahli yang
berpengalaman menunda terapi tapi beberapa ahli mempertimbangkan
untuk memulai terapi.
5. Terapi harus ditunda pada pasien dengan kadar CD4+ sel T > 350 sel/µl
darah dan titer plasma HIV-RNA < 100.00 copies/ml.
1. Obat Anti-HIV dalam Kehamilan (Duta, 1998; Magder, 2005 )
Informasi mengenai keamanan pemberian anti HIV dalam
kehamilan masih terbatas. Efek jangka panjang pada bayi yang
terpapar anti-HIV intrauterine masih belum diketahui. Beberapa
golongan anti-retroviral yang sering digunakan adalah :
a. Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
Yaitu Nevirapine (NVP). Penggunaan jangka panjangnya dapat
menyebabkan kelemahan (exhaustion), nausea, penurunan nafsu
makan, ikterik pada mata dan kulit karena efek hepatotoksiknya.
NVP hanya digunakan pada wanita yang belum pernah mendapat
anti-HIV sebelumnya dengan jumlah sel CD4 > 250 sel/mm 3.
Delavirdine dan Efavirenz tidak boleh digunakan selama hamil
karena efek teratogeniknya.
b. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
Dapat menimbulkan efek mitochondrial toxicity yang dapat
meningkatkan asam laktat dalam darah dan menimbulkan
asidosis laktat. Toksisitas ini dapat terjadi pada ibu hamil dan bayi
yang terpapar NRTIs intrauterine.
c. Protease Inhibitors (PIs)
Dapat menyebabkan peningkatan gula darah sehingga dapat
menimbulkan atau memperberat DM sampai terjadi diabetic
ketoasidosis. Hubungan dengan terjadinya diabetes gestasional
masih belum diketahui.
d. Fusion Inhibitors

18
Yaitu Enfuvirtide, masih sangat sedikit penggunannya dalam
kehamilan.
Dibawah ini gambar tempat bekerjanya obat anti retroviral pada
siklus hidup HIV didalam tubuh sesorang yaitu;

Gambar.10.Tempat bekerjanya antiretroviral pada siklus hidup HIV


Regimen antiretroviral inisial yang lebih disukai dan sering
digunakan adalah :
 Efavireaz + Lamivudine atau emtricitabine + Zidovudine atau
Tenofovir atau
 Bosster Lopinavir dengan Ritonavir + Zidovudine + Lamivudine atau
emtricitabine
Obat-obat anti retroviral ini mempunyai efek samping dan jika
diberikan dengan dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi.
(Cunningham,Leveno,2005)

Dibawah ini terdapat protokol pemberian ACTG 076 : (Magder, 2005;

Kanabus, 2005)

Tabel.1. Protokol Pemberian ACTG 076

Waktu Pemberian Dosis Obat dan Cara Pemberian

Sebelum Persalian 100 mg AZT diberikan 5 x sehari oral, dimulai usia


(antepartum) kehamilan 14-34 mg dan dilanjuitkan selama
kehamilan.

19
Selama Persalinan Diberikan AZT dosis inisial 2 mg/kgBB IV dalam
(intrapartum) 1 jam, dilanjutkan melalui infuse 1 mg/kgBB
perjam sampai lahir.

Bayi Baru Lahir Syrup AZT 2 mg/kgBB 4 x sehari oral sampai 6


(postpartum) minggu pertama kehidupannya.

Ket : AZT = Zidovudine


Dibawah ini terdapat algoritma penatalaksanaan ibu hamil dengan HIV
positif

2. Algoritma Penatalaksanaan Ibu Hamil Dengan HIV Positif (HIV,


2004)

Semua pasien seharusnya secara sadar melakukan tes


serologik HIV dengan ELISA untuk screening. Pada kasus
seropositif, penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan berupa tes
untuk PMS lainnya seperti Hepatitis B, Gonorrhea, Syphilis,
Chlamidia, Herpes, Sitomegalovirus,Toxoplasmosis,dsb. Suami
penderitapun harus diperiksa. Tes Tuberkulin perlu dilakukan dan
jika hasilnya positif, dilakukan rontgen thorax dan jika hasilnya
negative diberikan INH profilaksis 300 mg oral 1 x sehari. Pada
pasien seharusnya diperiksa kadar Limposit T pada tiap-tiap

20
trimester kehamilan. Jika kadar < 200 sel/µl darah, harus diterapi
dengan zidovudine 100 mg oral 5 x sehari dan profilaksis untuk
infeksi Pneumocystis Carinii dengan Trimetoprim (160 mg) dan
Sulfametoksazol (800 mg) secara oral 3 x seminggu. Progressifitas
penyakit dinilai dari kadar CD4+ sel T secara gradual, adanya P24
core antigen, penurunan p24 antibodi, dan menigkatnya level ß 2
mikroglobulin. (Decherney, Pernoll 1994)
3. Managemen Pasien Hamil dengan HIV (Putu, 2004; Decherney, Pernoll 1994)
a. Penanganan AntePartum ( Prenatal Care)
1. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi secara dua
arah, dengan memberikan informasi mengenai HIV dan
hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan
sehingga ibu hamil ini dapat mengambil keputusannya sendiri
mengenai kehamilan dan persalinannya. Pada trimester
pertama, konseling perlu dilakukan dengan intensif untuk
memutuskan apakah kehamilannya akan diteruskan atau
tidak. Informasi yang perlu diberikan antara lain ;
 Apa arti anti HIV positif, Wester Blot positif
 Apa itu HIV, AIDS, dan bagaimana prognosanya
 Pengaruh HIV pada kehamilan dan sebaliknya
 Resiko terjadinya penularan perinatal HIV terhadap bayi
baru lahir
 Pemberian obat anti virus (AZT)
2. Pemeriksaan Antenatal
Dilakukan pemeriksaan antenatal seperti biasa, tetapi perlu
dilakukan eksplorasi mengenai partner hubungan seksual,
apakah pernah menderita penyakit hubungan seksual (STD)
atau pernah mendapatkan tranfusi darah, dan apakah sering
mendapatkan pengobatan dengan suntikan.
3. Pemeriksaan Penunjang

21
Selain pemeriksaan yang umum dilakukan pada ibu hamil,
perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya
infeksi oppurtunistik dan pemeriksaan imunologik untuk
mengetahui progressifitas infeksi HIV. Pemeriksaan yang
perlu dilakukan antara lain ;
 Foto Thorax untuk mengetahui adanya pneumonia
 Pemeriksaan imunologik ; Th, Tc, IgA
 Pemeriksaan ; TORCH, Lues, GO, Candida, Chlamydia,
VHB
4. Pemberian Obat Anti Virus
Pemberian obat anti virus pada ibu hamil dengan HIV akan
menurunkan jumlah virus sehingga memperkecil
kemungkinan terjadinya penularan perinatal. Ada beberapa
macam obat anti virus yang banyak dipakai antara lain :
Zidovudine, Azido Dideoxy Thymidine (AZT). Dosis yang
dianjurkan adalah 100 mg 4 kali sehari mulai dari kehamilan
14-34 minggu. Pada persalinan diberikan secara bolus 2
mg/kgBB, diteruskan dengan infus 1 mg/kgBB/hari sampai
terjadinya persalinan. Bayi yang baru lahir diberikan syrup
AZT 2 mg/kgBB 12 jam post partum, setiap 6 jam sampai umur
6 minggu. Dengan cara ini penularan perinatal dapat
diturunkan dari 25,5 % menjadi 8,3 %.
b. Penanganan Intra Partum
Kewaspadaan menyeluruh atau Universal Precaution
harus diperhatikan untuk memperkecil kemungkinan
terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong maupun
petugas kesehatan lainnya. Hindari memecahkan ketuban
pada awal persalinan, terjadinya partus lama, dan laserasi
pada ibu maupun bayi. Oleh karena itu pada keadaan
kemacetan persalinan, maka tindakan SC adalah lebih baik
daripada memaksakan persalinan pervaginam.

22
Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan Vynil,
bukan saja pada pertolongan persalinan tetapi juga pada
waktu membersihkan darah, bekas air ketuban, dan bahan
lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV. Penolong
persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju
operasi yang tidak tembus air, dan harus sering kali
membersihkan dan mencuci tangan. Membersihkan lendir
atau air ketuban dari mulut bayi harus memakai mesin isap,
tidak dengan kateter yang diisap dengan mulut. Bayi yang
baru lahir segera dimandikan dengan air yang mengandung
desinfektan yang tidak menganggu bayi.
Dapat disimpulkan beberapa point yang penting antara
lain;
 SC tidak melindungi bayi dari transmisi vertikel dan hanya
dilakukan jika ada indikasi obstetrik
 Menghindari prosedur yang dapat merusak kulit atau
membran mukosa bayi. Amniotomi, pemasangan
elektroda SCALP harus dihindari.
 Petugas kesehatan harus dilindungi kontak dengan cairan
yang potensial terinfeksi HIV.
 Memakai tutup kepala, masker, baju operasi, dan sarung
tangan berlapis.
 Jarum harus sekali pakai dan dibuang pada tempatnya.
 Alat suction harus dipakai untuk mengeluarkan secret dari
jalan pernafasan neonatal.
 Tutup jarum harus dipakai untuk menghindari luka akibat
jarum.
 Mencuci tangan segera setelah kontak dengan darah.
 Memeriksa palsenta dan tali pusat harus dengan sarung
tangan.
c. Penanganan Pasca Persalinan

23
Pada pasca persalinan dilakukan pencegahan terjadinya
penularan melalui ASI, disamping penularan parenteral
melalui suntikan dan luka lecet pada bayi. Pencegahan
penularan dengan ASI dilakukan dengan mencegah
pemberian ASI, tetapi pada Negara yang sedang
berkembang hal ini masih menjadi perdebatan karena
dikwatirkan bayi tidak mendapat pengganti ASI. Neonatus
diberikan Zidovudin syrup 2 mg/kgBB 4 kali sehari selama 6
minggu pertama kehidupannya. Ibu pengidap HIV harus
dinasehatkan untuk mencegah kehamilan berikutnya
dengan alat kontrasepsi. Metode kontrasepsi barier efektif
mencegah transmisi virus. Penggunaan secara simultan non
oxynol-9 spermaticidal agent dapat meningkatkan efektifitas
disamping pendidikan kesehatan dengan praktek seksual
yang aman.
F. Pencegahan (Cunningham, Leveno, 2005)
Pencegahan transmisi HIV yang meliputi periode antepartum,
peripartum, dan pediatrik hampir sama dengan Hepatitis B. Ada 2 prinsip
dalam pencegahan Maternal-Neonatal transmission dengan infeksi HIV
yaitu pemberian terapi antivirus dan Seksio Sesaria. Transmisi paling
rendah didapatkan pada penggunaan terapi kombinasi selama periode
antepartum yaitu 1-2 %.
Adapun panduan yang dikeluarkan oleh U.S Public Health Service
Perinatal tahun 2003 adalah :
1. Jika HIV-RNA ibu > 1000 kopi/ml, terapi antiretroviral diindikasikan.
2. Jika HIV-RNA ibu < 1000 kopi/ml, kombinasi antiretroviral atau
Zidovudin monoterapi dapat diberikan.
3. Ibu yang tidak mendapatkan terapi sebelum persalinan, dapat diberikan
profilaksis intrapartum dengan Zidovudin, Zidovudin dengan Lamivudin,
Zidovudin dengan Nevirapine, atau Nevirapine saja.

24
4. Jika persalinan terjadi sebelum mendapatkan terapi, bayi baru lahir
dapat diberikan profilaksis selama 6 bulan dengan Zidovudin atau pada
beberapa kasus dengan antiretroviral kombinasi.
Program surveilans banyak Negara menemukan pada tahun 1996, 80
% wanita yang terinfeksi HIV sebelum persalinan yang sebagian besar
mendapatkan profilaksis ante dan intra partum mengalami penurunan
transmisi perintal.
1. Pilihan Persalinan (Seksio Sesaria atau Persalinan Pervaginam)
(HIV, 2004)

Peranan cara persalinan dalam menurunkan transmisi vertikal


masih belum jelas. Transmisi perinatal menurun sekitar 50 % ketika
dilakukan SC dibandingkan persalinan pervaginam. Pemberian
antiretroviral pada periode prenatal, intrapartum, dan pada neonatal
dengan tindakan persalinan SC dapat menurunkan transmisi
perinatal sampai 87 % dibandingkan metode persalinan lain yang
tanpa pemberian antiretroviral. Pada pemberian AZT 3 dosis yaitu
sebelum melahirkan secara oral, selama persalinan secara
intravena, dan pada neonatus secara oral, telah terbukti dapat
menurunkan rata-rata trasmisi vertikal sampai 2/3-nya yaitu dari 25
% menjadi 8 %.
SC elektif dapat direkomendasikan pada keadaan :
1. Viral load (titer RNA-HIV) tidak diketahui atau > 1000 kopi/ml yang
diperiksa pada usia kehamilan 36 minggu
2. Tidak mendapat satupun obat anti-HIV atau hanya mendapat AZT
saja selama kehamilan. Pada SC elektif, AZT diberikan 3 jam
sebelum operasi dan dilanjutkan sampai lahir.
3. Tidak melakukan prenatal care sampai usia kehamilan 36 mg atau
lebih.
Persalinan Pervaginam dapat direkomendasikan pada keadaan :
1. Prenatal care yang teratur selama kehamilan
2. Viral load < 1000 kopi/ml yang diperiksa pada usia kehamilan 36
mg.

25
3. Mendapat AZT dengan atau tanpa obat anti-HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga direkomendasikan jika selaput
ketuban pecah dan proses persalinan berlangsung dengan cepat.
2. Keuntungan dan Kerugian SC vs Persalinan Pervaginam (HIV, 2004)
 SC elektif dapat menurunkan transmisi vertikal daripada
persalinan pervaginam
 SC dapat meningkatkan resiko demam, infeksi seperti UTI,
komplikasi anestesi, resiko respiratory dystress pada janin, dan
resiko lain yang berhubungan dengan pembedahan pada ibu yang
imunosuppressi.
ACOG pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa Seksio Sesaria
elektif dapat direkomendasikan pada wanita terinfeksi HIV dengan
kadar HIV-1 RNA lebih dari 1000 kopi/ml darah. SC elektif
direkomendasikan pada usia kehamilan awal 38 minggu untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya Premature Rupture of
Membrane. Data yang ada tidak cukup untuk memperkirakan
keuntungan SC pada wanita dengan kadar HIV-RNA < 1000 kopi/ml
sehingga ACOG tidak merekomendasikan SC elektif pada keadaan
ini. Pendapat yang berbeda malah menunjukkan peningkatan
morbiditas yang signifikan pada wanita yang terinfeksi HIV yang
melakukan SC untuk persalinannya.
Pemberian terapi AZT dapat menurunkan transmisi vertikal
sampai 67 %. Tindakan SC elektif sebelum selaput ketuban pecah
dapat mencegah janin terpapar darah dan sekret ibu pada waktu
melewati jalan lahir. Sebuah presentasi di Geneva menyampaikan
bahwa terdapat penurunan transmisi vertikal pada wanita yang
mendapat terapi antiretroviral dan melakukan SC sebelum selaput
ketuban pecah. 3 buah studi di Eropa yang meneliti tentang transmisi
vertikal ini yaitu :
1. Pada 902 orang wanita yang diterapi dengan AZT dan dilakukan
SC elektif mempunyai transmisi vertikal hanya 0,8 %. Sebagai

26
perbandingan pada SC emergency rata-rata transmisi vertikal
11.4 % dan pada persalinan pervaginam sebesar 6,6 %.
2. Diantara 45 orang wanita yang mendapat regimen lengkap dan
melakukan SC elektif, tidak ditemukan adanya transmisi vertikal.
3. Penelitian dilakukan sejak tahun 1994, SC elektif 80 orang
wanita HIV positif yang mendapat terapi AZT, mempunyai rata-
rata transmisi vertikal yang menurun yaitu 2,5 %. Wanita yang
melakukan SC elektif tanpa terapi AZT mempunyai rata-rata
transmisi 10,8 %. Sedangkan wanita yang mendapat terapi AZT
dengan persalinan pervaginam mempunyai rata-rata transmisi 7
%.
Penelitian Augusto Semprini, MD di Italia selama 5 tahun
menghasilkan kesimpulan bahwa wanita hamil yang mendapat terapi
antiretroviral dan melakukan SC pada usia kehamilan 38 mg,
mempunyai reta-rata transmisi vertikal sebesar 3 % dibandingkan
persalinan pervaginam sebesar 10,3 %.
Survey terbesar yang dilakukan NIH menghasilkan kesimpulan
bahwa SC elektif dengan terapi antiretroviral mempunyai transmisi
vertikal 2 % dibandingkan cara persalinan lain sebesar 7,3 %.
Sedangkan wanita yang tidak mendapat terapi antiretroviral dengan
persalinan SC mempunyai rata-rata transmisi 10,4 % dan 19 % pada
cara persalinan lain.
Menurut Lynne Mofenson, MD dari NIH bahwa keuntungan SC
elektif menjadi minimal jika dibandingkan dengan resiko
pembedahan pada wanita hamil yang mendapat terapi antiretroviral
dengan kadar HIV yang rendah dan jumlah sel CD4 500 atau lebih.
Sehingga perlu ditekankan sangat sulit membuat rekomendasi
secara universal tentang cara persalinan karena masing-masing
kasus memerlukan penilaian tersendiri.
3. Dilema Pemberian Air Susu Ibu ( ASI ) (AIDS, 2012)
 Resiko terbesar neonatus terinfeksi dari ibu yang HIV positif
melalui ASI terjadi pada beberapa bulan pertama kehidupannya.

27
 Pada negara maju tidak direkomendasikan pemberian ASI pada
ibu HIV positif karena HIV dapat melewati kelenjer payudara.
Sebaliknya pada negara berkembang diperlukan pemberian ASI
untuk mencegah dan memberikan proteksi terhadap bayi
terhadap diare, penyakit pernafasan dan malnutrisi. Sayangnya
menurut CDC, jumlah bayi yang terinfeksi melalui ASI diseluruh
dunia mencapai 273.000 bayi setiap tahunnya.
 Transmisi vertikel meningkat dengan pemberian ASI, sehingga
secara umum tidak direkomendasikan oleh WHO pada wanita
dengan HIV positif. Probabilitas transmisi HIV per liter ASI
diperkirakan sama dengan trasmisi heteroseksual dewasa yang
melakukan praktek seks tidak aman.
 Resiko penularan dikaitkan dengan kadar HIV-RNA, status HIV,
kesehatan payudara, dan durasi pemberian ASI.
 Sebagian besar transmisi terjadi dalam 6 bulan pertama dan
kebanyakan 2/3 infeksi pada anak yang menyusui terjadi melalui
ASI.
 WHO (2001) telah merekomendasikan melanjutkan pemberian
ASI dalam 6 bulan pertama pada wanita yang tinggal di Negara
berkembang dengan penyakit infeksi dan malnutrisi merupakan
penyebab utama kematian bayi.
DR. Coutsoudis membuat beberapa rekomendasi praktis tentang
pemberian ASI pada negara berkembang yaitu :
 Stop pemberian ASI setelah 6 bulan karena keuntungan ASI
setelah 6 bulan lebih rendah dibandingkan resiko transmisi HIV
melalui ASI
 Gunakan kondom selama ASI eklusif 6 bulan dengan tujuan
memproteksi ibu terhadap re-infeksi HIV atau STD lainnya.
 Stop ASI jika ada masalah seperti puting yang retak atau
berdarah.
 Segera berikan terapi jika terdapat oral trush (infeksi jamur) pada
mulut bayi.

28
 Terapi panas (pausteurisasi) pada ASI jika memungkinkan
 Berikan anti retroviral pada bayi selama menyusui jika
memungkinkan.
4. Post Partum (AIDS, 2012)
Pada wanita dengan kadar CD4+ sel T normal dan level HIV-
RNA yang rendah boleh tidak melanjutkan terapi setelah
persalinan dengan monitoring yang ketat. Dukungan psikologis
sangat penting pada saat ini. Kontrasepsi dapat diberikan berupa
kondom, hormonal, oral dan injeksi. IUD dapat diterima sebagian
peneliti pada beberapa wanita dengan imunokompeten normal
dan resiko yang rendah terhadap Penyakit Menular Seksual
(STD).
5. Vaksin HIV (AIDS, 2012)
Vaksin merupakan substansi yang menstimulasi respon imun
tubuh dengan tujuan untuk mencegah infeksi atau mengendalikan
infeksi. Terdapat beberapa tipe vaksin yang masih sedang
dipelajari untuk mencegah HIV-AIDS yaitu sub unit vaccines,
recombinant vector vaccines dan DNA vaccines. Vaksin-
vaksin ini hanya mengandung beberapa substansi dari banyak
substansi yang dibutuhkan HIV untuk bereplikasi. Vaksin-vaksin
ini sendiri tidak menyebabkan HIV atau AIDS. Pemberiannya
dapat secara tunggal atau kombinasi. Suatu metode pendekatan
pada pemberian vaksin ini yang disebut prime-boost strategy yang
mengkombinasikan 2 tipe vaksin yang berbeda. Pertama sekali
diberikan salah satu tipe vaksin seperti recombinant vector
vaccines yang kemudian diikuti pemberian vaksin tipe kedua
seperti sub unit vaccines. Tujuan pendekatan seperti ini untuk
menstimulasi berbagai macam respon imun yang berbeda dan
memberi kesempatan tubuh untuk memberikan respon imun
secara menyeluruh
a. Subunit Vaccines. (AIDS, 2012)
 Disebut juga component vaccines

29
 Mengandung protein atau peptide dari HIV yang dibuat
dilaboratorium menggunakan teknik rekayasa genetik
terhadap protein kapsul yang membungkus permukaan luar
virus.
 Protein kapsul ini akan menstimulasi tubuh memproduksi
anti-HIV
b. Recombinant Vector Vaccines (AIDS, 2012)
 Dibuat berdasarkan virus atau bakteri yang telah dilemahkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit dan dijadikan sebagai
vektor atau carier yang menghasilkan HIV yang kurang
berbahaya.
 Tujuannya agar tubuh membentuk protein terhadap gen HIV,
dan protein-protein ini akan menstimulasi pembentukan anti
HIV sehingga bisa mengurangi keganasan gen HIV dalam
memasuki sel host.
c. DNA Vaccines (AIDS, 2012)
 Vaksin DNA memperkenalkan potongan DNA HIV yang
memasuki sel host. DNA HIV diinjeksikan secara
langsung kedalam tubuh. Sel akan mengambil DNA ini
dan menggunakan untuk memproduksi protein HIV.

BAB III
KESIMPULAN
1. Semua wanita hamil yang beresiko tinggi direkomendasikan
melakukan tes skreening HIV antenatal.
2. Semua wanita hamil dengan HIV positif harus mendapatkan obat anti
retroviral sejak kehamilan 14 minggu sampai melahirkan untuk
menurunkan level HIV-RNA sampai pada level yang tidak terdeteksi
sehingga dapat menurunkan resiko transmisi vertikal.

30
3. Neonatus yang lahir dari ibu HIV positif harus mendapatkan anti
retroviral seperti zidovudin sampai 6 minggu pertama kehidupannya
4. Pilihan cara persalinan tergantung pada viral load, jumlah sel CD4,
pernah tidaknya mendapat Anti Retroviral Terapy (ARV), terkontrol
atau tidaknya, dengan tetap mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian SC elektif dibandingkan cara persalinan lainnya.
5. Neonatus yang lahir dari ibu HIV positif tidak boleh disusui kecuali
pada negara berkembang dimana kejadian penyakit infeksi dan
malnutrisi masih menjadi penyebab utama kematian bayi, dapat
disusui secara eklusif selama 6 bulan sambil diberikan antiretroviral
untuk menurunkan transmisi
6. Obat pilihan yang sering digunakan adalah HAART ( Highly Active
Anti Retroviral Terapy ) yang mengandung kombinasi 3 macam obat
yang berasal dari 2 klas yang berbeda

Daftar Pustaka

AIDS and Anti HIV drugs. AIDS info. diakses dari


http://www.ovc.voguelph.ca/Bio med/HIV/AIDS. 2012
AIDS. from Wikipedia, the free encyclopedia. Last modified 24 Nov 2005.
diakses dari http//www.en.wikipedia.org/wiki/AIDS
Center for Disease Control and Prevention. 2009. Epidemiology of HIV
Infection Through 2009. Available from: http : //

31
www.cdc.gov/hiv/topics/surveillance/ resources/slides/general/
slides/ general.pdf
Cunningham FG, Leveno KJ, et al. Human Immuno Deficiency Virus
Infection. Williams ´Obstetric. 22st ed. Mc.Graw Hill Publishing
Division New York, 2005
DeCherney AH, Pernoll ML. Human Immuno Deficiency Virus Infection.
Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis and Treatment,1994.
Duta DC. Acquired Immuno Deficiency Syndrome in Pregnancy. Text
Book of Obstetric. fourth edition. New Central Book Agency LTD,
India.1998.
HIV In Pregnant Women. diakses dari http://www.apregistry.com/. 2004
Kanabus A. HIV AIDS and Preganancy. last update Septembert 9, 2005.
diakses dari htpp//www.avert.org/.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Statistik Kasus
HIV/AIDS di Indonesia. Diperoleh dari:
http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
Magder LS, Mofenson L,et al. Risk Factor for In Utero and Intrapartum
Transmission of HIV. Abstract. October 18,2005; from Journal Acquir
Immune Def Syndr 2005;38(1):87-95.
McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in
: Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition. 2003.
McGraw&Hill Company. Singapore (1140-50).
Minnesota Departement of Health. World AIDS Day 2005. diakses dari
http://www.worldaids campaign.info/.
Nurs J, Cradock and Johson M. HIV Life Cycle, BCM,2003. diakses dari
http://www.engenderhealth.org/
Putu Surya IG. Human Immuno Deficiency Virus Pada Kehamilan. Ilmu
Kedokteran Fetomaternal. ed. perdana. editor Hariadi R. Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI. Surabaya. 2004
Rauscher M. Perinatal HIV Transmission Now Most Likely to Occur In
Utero. last update 02-02-2005. from Journal Acquir Immune Def
Syndr 2005;38:87-95.

32
World Health Organization. 2012. Guidance on Provider-initiated HIV
Testing and Counselling in Health Facilities. Geneva: WHO; 2012.
Available at: www.who.int/hiv/pub/vct/pitc/en/index.html
Yatim, D.I, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai