SABDA NUSANTARA
Senin, 09 Desember 2019 Cari Blog Ini
Telusuri
KONSEP ‘WALI’ PERSPEKTIF TASAWUF,
SUATU PENGANTAR Beranda
Di dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang menggunakan kata wali atau mustaq
dari wali, misalnya Wilayat, Wala, dan Mawla. Menurut Muthahari, al-Qur’an
Arsip Blog
[1] Desember 2019 (12)
menyebutnya dalam bentuk kata kerja 124 kali dan sebagai kata benda 122 kali.
Untuk kata wali sendiri memiliki berbagai makna yang berbeda, paling tidak menurut September 2019 (8)
Fakhrurrazi dalam Tafsir Al-Kabir membagi makna wali, antara lain:
1. Wali bermakna penolong atau saling mencintai, sebagaimana tergambar dalam
ayat berikut:
Description: 9_71
Artinya : Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. (Al-Anfal: 73)
Description: 29_41
Description: 5_51
Artinya : Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang
beriman yang menyerahkan zakat ketika mereka dalam keadaan
ruku” (Al-Maidah: 55)
4. Wali bermakna sebagai penanggung jawab atau pemelihara:
“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah
member kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui
batas dalam membunuh” (Al-Isra’: 33)
Ada banyak lagi makna wali, jika kita ingin melihal lagi secara lebih jauh
makna wali dalam al-Qur’an. Namun demikian dari beberapa makna di atas kita
mendapati bahwa kata wali yang digunakan al-Qur’an memiliki makna yang berbeda-
beda, secara khusus masuk dalam katagori lafadz musytarak (isyitirak al-Lafdzhi).
Ada dua makna kata wali yang dijelaskan para sufi , yaitu , pertama, Wali
bermakna fa’il , diambil dari kata muwalat yang artinya terus menerus. Oleh karena
itu, wali ialah
Kedua, wali bermakna maf’ul yang artinya diurusi, dikuasai. Oleh karena itu,
wali ialah:
Dua pemaknaan wali di atas baik yang berhubungan dengan makna wali murid
ataupun wali murad, sebenarnya merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam
arti untuk sampai pada maqam kewalian, seseorang harus melakukan upaya kerja
keras dalam melakukan taqarrub untuk selanjutnya Allah akan mengurus dengan
limpahan rahmatnya.
Abu Yazid Al-Busthomi pernah ditanya : “ siapakah wali Allah itu ? “ dia
menjawab : “ orang yang sabar di bawah perintah dan larangan Allah”, karena semakin
orang itu cinta kepada Tuhan, hatinya semakin memuliakan perintah Tuhan, dan
semakin jauh jasadnya dari apa yang dilarang.
Dalam suatu iriwatkan dikatakan bahwa Abu Yazid pernah berkata. : “ Suatu
hari aku diberi tahu bahwa ada seorang wali di kota anu. Aku pergi mengunjunginya,
ketika aku sampai di mesjidnya ia pun muncul dari kamarnya. Ketika itu ia meludah
kelantai mesjid, Aku segera kembali tanpa menyalaminya, dan berkata kepada diriku
sendiri : “seorang wali harus menjaga hukum agama agar Tuhan menjaga keadaan
ruhaninya. Seandainya orang ini wali rasa hormat terhadap mesjidnya tentu akan
mencegahnya dari meludah di lantai mesjid, atau Tuhan tentu akan mencegah dari
merusak anugerah yang telah diberikan kepadanya. Pada malam harinya aku
[5]
bermimpi bertemu Rasulullah. Keadaan ini merupakan persetujuan Rasulullah
terhadap sikap Abu Yazid.
Abdul ar-Razaq al-Kasyani, salah seorang sufi dan komentator karya- karya Ibn
Arabi, ia menjelaskan makna Wali antara lain: Wali adalah seseorang yang diliputi
ketaatan dan tidak berlaku maksiat. Pada bagian lain ia mengatakan Wali adalah orang
yang hanya memandang Allah dan Allah memandang-Nya dengan mengangkat hijab
serta mendengar perkataan ilahi dan mengikutinya. Selanjutnya ia mengatakan Wali
adalah orang yang menyerahkan penjagaannya dan inderawinya kepada Allah swt.,
secara terus-menerus dan tidaklah melakukan tindakan yang mengantarkannya
kemaksiatan dan Allah swt., selalu memberikan bimbingan-Nya untuk selalu berada
[6]
dalam ketaatan dan kemuliaan.
Rujukan yang dikemukakan dalam literatur tasawuf tentang kewalian adalah ayat
berikut ini:
Description: 10_62
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS.Yunus :62)
mendatang ( ) ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ ﻣﻦ ﺗﻮﻗﻊ ﺟﺼﻮل ﻣﻜﺮوه atau kelak akan sirnanya sesuatu
yang di inginkan, sementara wali adalah putra Zamannya (ibn waqtihi); ia tak
memikirkan masa depan sehingga tak takut akan apapun; ia juga tidak merasa sedih
karena kesedihan timbul dari kekerasan waktu, dan bagaimana ia akan merasa sedih
sedangkan ia berada dalam pancaran sinar keridhaan dan berada dalam keserasian
(muwafaqat). Selanjutnya dikatakan : “Takut dan harap, aman dan sedih semua
[8]
mengacu kepada kepentingan-kepentingan jiwa rendah.
Rentetan uraian di atas menggambarkan bahwa wali tentu saja sebagai hamba
yang dicintai dan mencintai Allah swt., wali juga sebagai pemimpin, dengan makna ini
kita bisa melihat bahwa para wali bukan hanya memimpin ummatnya secara spiritual
akan tetapi secara sosial dan politis. Sejarah mencatat ada banyak nama tokoh-tokoh
tasawuf yang kemudian menjadi pemimpin revolusi atau perjuangan melawan
kezaliman, bahkan bisa disebutkan hampir sebagian besar perjuangan kaum muslimin
yang tertindas dipimpin oleh para tokoh tasawuf yang sebagian besar diyakini sebagai
wali. Sebutlah misalnya Syekh Sanusi dengan thariqat Sanusiyahnya di Sudan, thariqat
tijaniyah di Maroko, dan banyak tokoh, di Indonesia sebut saja KH. Badruzzaman -
muqaddam thariqat Tijaniyah di Garut- dengan thariqat tijaniyahnya ia memimpin
perlawanan terhadap penjajah Belanda.
4. Maqam Kewalian
Dalam keyakinan Mutasawifin, dunia ini tidak akan pernah kosong dari wali-wali
Allah swt., ia adalah yang menjadi perantara antara langit dengan dunia. Fungsinya
menjadi jembatan spiritual di antara keduanya, menjaga keselarasan dan
keseimbangan di antara mazhar nama-nama Allah serta membimbing ummat manusia
secara muthlaq sebagai mana peran seorang Nabi ataupun Rasul, karena Nabi ataupun
Rasul juga menjadi quthb. Ia merupakan persentase dari Insan Kamil yang telah
mengimplementasikan nama-nama Allah dalam dirinya. Seperti yang telah disebutkan
Abdul Karim Jilli bahwa Insan Kamil adalah manusia yang telah menserap seluruh
nama dan sifat Allah swt., ia memancarkan sinarnya kepada wali – wali Allah. Para
wali itu banyak sekali jumlahnya demikian juga mengenai maqamnya.
Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-
Mahjub, mengatakan bahwa wali Allah yang telah tersucikan jiwanya
mereka menjadi pejabat-pejabat istana ilahi yang disebutnya sebagai
“Akhyar” berjumlah 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar
sebanyak 7 orang, wali Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3
orang dan wali Quthub atau al-Ghauts sebanyak 1 orang. Menurut Akbar
Muhyiddin Ibnu `Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah
jumlah wali Allah di dunia ini sangat banyak, ada yang terbatas dan yang
tidak terbatas. Menurutnya sedikitnya terdapat sembilan maqam
tingkatan kewalian. Secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:
[1] Murtadha Muttahari, Master dan Mastership, ,( Teheran : Beth’at Foundation, 1982) hlm. 16).
[2] Lihat : Muhammad al-Syinqiti, al-Jaisy al-Kafil, (Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961), hlm. 10
[3] Ali Harazim, op.cit.hlm. 85
[4] Lihat Juga : Syekh Dhiya Udin , Jami’ al-Usul fi al-Awliya, ( Beirut : Daar al Kutub al-Imiyah, 2002).hlm. 18
[5] Al-Hujwiri, op.cit.hlm. 201
[6] Abd ar-Razaq al-Kasyani, Lathaif al-I’Iam fi Isyarat ahli al-Ilham, (al-Wizarah as-Saqafah wa al-Irsyad al
Islamy, Tehran Iran, 2000)hal. 596.
[7] Ibid, hlm.97
[8] Al-Hujwiri, op.cit.hlm. 196
[9] Ibid, hlm. 197
Posting Komentar
Masukkan komentar Anda...