Anda di halaman 1dari 7

Lainnya Buat Blog Masuk

SABDA NUSANTARA
Senin, 09 Desember 2019 Cari Blog Ini
Telusuri
KONSEP ‘WALI’ PERSPEKTIF TASAWUF,
SUATU PENGANTAR Beranda

 KONSEP ‘WALI’ PERSPEKTIF TASAWUF, SUATU Mengenai Saya


PENGANTAR WANGKONGAN ABAH
Oleh : Asep Achmad Hidayat
Lihat profil lengkapku
(Muqoddam Tijaniyah, Pimpinan Ponpes Zawiyah Darussufi
Cibunar Garut, Ketua Prodi Magister Sejarah
Peradaban Islam UIN SGD Bandung
Laporkan
Penyalahgunaan
1.      Konsep Wali Dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang menggunakan kata wali atau mustaq
dari wali, misalnya Wilayat, Wala, dan Mawla. Menurut Muthahari, al-Qur’an
Arsip Blog
[1] Desember 2019 (12)
menyebutnya dalam bentuk kata kerja 124 kali dan sebagai kata benda 122 kali.
Untuk kata wali sendiri memiliki berbagai makna yang berbeda, paling tidak menurut September 2019 (8)
Fakhrurrazi dalam Tafsir Al-Kabir membagi makna wali, antara lain:

1.      Wali bermakna penolong atau saling mencintai, sebagaimana tergambar dalam
ayat berikut:
Description: 9_71

Artinya :    Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian


mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
(Taubat: 71)
Description: 8_73

Artinya :   Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain.  (Al-Anfal: 73)
Description: 29_41

Artinya :    Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung


selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba
kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 41)
2.      Wali  bermakna pemimpin seperti tersurat dalam ayat-ayat al-Qur’an berikut :
Description: 5_51

Description: 5_51

Artinya :    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. (Al-
Maidah: 51)
Description: 7_3

Artinya :    Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan


janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Al-A’raf: 3)
Description: 60_1

  Artinya :  Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil


musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian sebagai pemimpin” (Al-
Mumtahanah: 1)
Description: 41_31

Artinya :    Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan


akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan
dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Al-
Fushilat: 31)
3.          Wali bermakna pengendali, pengatur yang bersifat mutlak seperti dijelaskan
adalam ayat berikut :
Description: 5_55

Artinya :    Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang
beriman yang menyerahkan zakat ketika mereka dalam keadaan
ruku” (Al-Maidah: 55)
4.      Wali bermakna sebagai penanggung jawab atau pemelihara:
“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah
member kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui
batas dalam membunuh” (Al-Isra’: 33)
Ada banyak lagi makna wali, jika kita ingin melihal lagi secara lebih jauh
makna wali dalam al-Qur’an. Namun demikian dari beberapa makna di atas kita
mendapati bahwa kata wali yang digunakan al-Qur’an memiliki makna yang berbeda-
beda, secara khusus  masuk dalam katagori lafadz musytarak  (isyitirak al-Lafdzhi).

2.      Pengertian “Wali” Perspektif Sufi

Ada dua makna kata wali   yang dijelaskan para sufi , yaitu , pertama, Wali
bermakna fa’il , diambil dari kata muwalat yang artinya terus menerus. Oleh karena
itu, wali ialah

‫ﻣﻦ ﺗﻮﻟﺖ ﻃﺎﻋﺘﺔ ﻣﻦ ﻏﻴﺮان ﻳﺘﺨﻠﻠﻬﺎ ﻋﺼﻴﺎن‬


“Hamba Allah swt., yang terus menerus mngerjakan ibadah dan selalu ber-
[2]
taqwa tanpa di selipi ma’shiat”.
Dengan demikian, wali dalam arti aktifnya ialah orang yang menginginkan (murid)

Kedua, wali bermakna maf’ul yang artinya diurusi, dikuasai. Oleh karena itu,
  wali  ialah:

  ‫ اﻓﻌﺎل اﻟﺤﻖ‬ ‫اﻣﺮه ﺑﺎ ﻟﺨﺼﻮﺻﻴﺔ ﻣﻊ ﻣﺸﺎ ﻫﺪت‬ ‫ﻣﻦ ﺗﻮاﻟﻰ ا‬


” Hamba Allah swt., yang urusannya di kuasai oleh Allah swt., secara khusus
[3]
serta musyahadah terhadap af’ al Allah swt. “.
Dengan demikian wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada orang yang di
inginkan Tuhan (murad)

Dua pemaknaan  wali di atas baik yang berhubungan dengan makna wali murid
ataupun wali murad, sebenarnya  merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam
arti untuk sampai pada maqam kewalian, seseorang harus melakukan upaya kerja
keras dalam melakukan taqarrub untuk selanjutnya Allah akan mengurus dengan
limpahan rahmatnya.

Para sufi banyak mengungkapkan pendapatnya tentang wali, di antaranya


sebagaimana dikatakan Abu Ali Jurjani  : wali itu lenyap dalam keadaan dirinya dan
dalam kontemplasi tentang kebenaran; ia tak dapat mengatakan apapun mengenai
dirinya, ia tak bisa tenang dengan apapun kecuali dengan Tuhan. Oleh karena itu Imam
Abdurahman al-Kakhamsakhanawi  menegaskan bahwa ciri Wali Allah swt., adalah
Himmahnya selalu terhadap Allah, selalu berlindung kepada Allah dan menyibukan
[4]
diri dengan Allah.

Diriwayatkan bahwa Ibrahim bin Adham bertanya kepada seseorang apakah ia


ingin menjadi wali Allah, dan ketika dijawab, “ya“, Ibrahim berkata : “jangan
menghasratkan sesuatu di dunia ini atau di akhirat, dan baktikan dirimu sepenuhnya
kepada Allah, dan berpalinglah kepada Allah dengan segenap hatimu“. Menghasratkan
dunia ini berarti berpaling dari Tuhan karena mendambakan yang bersifat sementara,
dan menghasratkan akhirat berarti berpaling dari Tuhan demi mendambakan yang
bersifat kekal.

Abu Yazid Al-Busthomi pernah ditanya : “ siapakah wali Allah   itu ? “ dia
menjawab : “ orang yang sabar di bawah perintah dan larangan Allah”, karena semakin
orang itu cinta kepada Tuhan, hatinya semakin memuliakan perintah Tuhan, dan
semakin jauh jasadnya dari apa yang dilarang.

Dalam suatu iriwatkan dikatakan  bahwa Abu Yazid pernah berkata. :    “ Suatu
hari aku diberi tahu bahwa ada seorang wali di kota anu. Aku pergi mengunjunginya,
ketika aku sampai di mesjidnya ia pun muncul dari kamarnya. Ketika itu ia meludah
kelantai mesjid, Aku segera kembali tanpa menyalaminya, dan berkata kepada diriku
sendiri : “seorang wali harus menjaga hukum agama agar Tuhan menjaga keadaan
ruhaninya. Seandainya orang ini wali rasa hormat terhadap mesjidnya tentu akan
mencegahnya dari meludah di lantai mesjid, atau Tuhan tentu akan mencegah dari
merusak anugerah yang telah diberikan kepadanya. Pada malam harinya aku
[5]
bermimpi bertemu Rasulullah. Keadaan ini merupakan persetujuan Rasulullah
terhadap sikap Abu Yazid.

Abdul ar-Razaq al-Kasyani, salah seorang sufi dan komentator karya- karya Ibn
Arabi, ia menjelaskan  makna Wali antara lain: Wali adalah seseorang yang diliputi
ketaatan dan tidak berlaku maksiat. Pada bagian lain ia mengatakan Wali adalah orang
yang hanya memandang Allah dan Allah memandang-Nya dengan mengangkat hijab
serta mendengar perkataan ilahi dan mengikutinya. Selanjutnya ia mengatakan Wali
adalah orang yang menyerahkan penjagaannya dan inderawinya kepada Allah swt.,
secara terus-menerus dan tidaklah melakukan tindakan yang mengantarkannya
kemaksiatan dan Allah swt., selalu memberikan bimbingan-Nya untuk selalu berada
[6]
dalam ketaatan dan kemuliaan.

Mahrum Qasyari memberikan penjelasan lengkap terhadap Wali, menurutnya ;


“Wali adalah seseorang yang sudah mencapai qurbun nawafil”. Qurbun nawafil dalam
istilah sufi, yaitu  sebuah maqam yang jika seorang salik dalam perjalanan spiritualnya
mencapai maqam itu, maka kesadaran dirinya menjadi kesadaran ilahi, lisannya
[7]
menjadi lisan ilahi, pendengarannya menjadi pendengaran ilahi. Selanjutnya ia
menjelaskan secara panjang lebar bawa seseorang mencapai posisi wali setelah
terlebih dahulu melakukan sebuah perjalanan spiritual yang panjang melalui
manzilah-manzilah spiritual yang melelahkan, dengan terus-menerus melakukan
Riyadhah yang panjang.

3.      Landasan Al-Qiur’an

Rujukan yang dikemukakan dalam literatur tasawuf tentang kewalian adalah ayat
berikut ini:          
  Description: 10_62

“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS.Yunus :62)

Dalam memahami ayat ini al-Junaid sebagaimana dikutif al-Hujwiri, mengatakan :


“wali tak punya rasa takut karena rasa takut adalah kekhawatiran akan bencana masa

mendatang ( ‫) ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ ﻣﻦ ﺗﻮﻗﻊ ﺟﺼﻮل ﻣﻜﺮوه‬    atau kelak akan sirnanya sesuatu

yang di inginkan, sementara wali adalah putra Zamannya (ibn waqtihi); ia tak
memikirkan masa depan sehingga tak takut akan apapun; ia juga tidak merasa sedih
karena kesedihan timbul dari kekerasan waktu, dan bagaimana ia akan merasa sedih
sedangkan ia berada dalam pancaran sinar keridhaan dan berada dalam keserasian
(muwafaqat).   Selanjutnya dikatakan : “Takut dan harap, aman dan sedih semua
[8]
mengacu kepada kepentingan-kepentingan jiwa rendah.

Lebih jauh tentang wali dalam hadits dikatakan:

(‫)رواه اﻟﺒﺠﺎرى‬  ‫آذ ْﻧﺘُ ُﻪ ِﺑ ْﺎﻟ َﺤ ْﺮ ِب‬


َ ْ‫َﻣ ْﻦ ﻋَ ﺎدَ ى ِﻟﻰ َو ِﻟﻴﺎ َﻓ َﻘﺪ‬
                      “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang kepadanya“.
(HR.Bukhari).
Menurut al-Hujwiri hadits di atas menunjukan bahwa Allah mempunyai hamba-hamba
qudus yang dilindungi (awliya) dan dibelanya. Yang dicirikannya secara khusus dengan
pershahabatannya dan yang Ia pilih menjadi penguasa dalam kerajaanNya dan yang
ditunjuk untuk mewujudkan tindakan-tindakanNya dan yang secara istimewa di
anugrahinya bermacam-macam keajaiban (karamat) dan di sucikan dari hawa nafsu
sehingga segenap pikiran mereka tertuju kepadaNya dan kedekatan mereka hanya 
[9]
denganNya.  

Rentetan uraian di atas menggambarkan bahwa  wali tentu saja sebagai hamba
yang dicintai dan mencintai Allah swt., wali juga sebagai pemimpin, dengan makna ini
kita bisa melihat bahwa para wali bukan hanya memimpin ummatnya secara spiritual
akan tetapi secara sosial dan politis. Sejarah mencatat ada banyak nama tokoh-tokoh
tasawuf yang kemudian menjadi pemimpin revolusi atau perjuangan melawan
kezaliman, bahkan bisa disebutkan hampir sebagian besar perjuangan kaum muslimin
yang tertindas dipimpin oleh para tokoh tasawuf yang sebagian besar diyakini sebagai
wali. Sebutlah misalnya  Syekh Sanusi dengan thariqat Sanusiyahnya di Sudan, thariqat
tijaniyah di Maroko, dan banyak tokoh, di Indonesia sebut saja KH. Badruzzaman -
muqaddam thariqat Tijaniyah  di Garut- dengan thariqat tijaniyahnya ia memimpin
perlawanan terhadap penjajah Belanda.
4.      Maqam Kewalian

            Dalam keyakinan Mutasawifin, dunia ini tidak akan pernah kosong dari wali-wali
Allah swt., ia adalah  yang menjadi perantara antara langit dengan dunia. Fungsinya
menjadi jembatan spiritual di antara keduanya, menjaga keselarasan dan
keseimbangan di antara mazhar nama-nama Allah serta membimbing ummat manusia
secara muthlaq sebagai mana peran seorang Nabi ataupun Rasul, karena Nabi ataupun
Rasul juga menjadi quthb. Ia merupakan persentase dari Insan Kamil yang telah
mengimplementasikan nama-nama Allah dalam dirinya. Seperti yang telah disebutkan
Abdul Karim Jilli bahwa Insan Kamil adalah manusia yang telah menserap seluruh
nama dan sifat Allah swt., ia memancarkan sinarnya kepada wali – wali  Allah. Para
wali itu banyak sekali jumlahnya demikian juga mengenai maqamnya.

Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-
Mahjub, mengatakan bahwa wali Allah yang telah tersucikan jiwanya
mereka menjadi pejabat-pejabat istana ilahi yang disebutnya sebagai
 “Akhyar”  berjumlah 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar
sebanyak 7 orang, wali Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3
orang dan wali Quthub atau al-Ghauts sebanyak 1 orang. Menurut Akbar
Muhyiddin Ibnu `Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah
jumlah wali Allah di dunia ini sangat banyak, ada yang terbatas dan yang
tidak terbatas. Menurutnya sedikitnya terdapat sembilan maqam
tingkatan kewalian. Secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:

1.          Wali Qutub al-Aqthab (Wali Qutub al-Ghauts), yaitu sangat


paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali di seluruh alam
semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini
wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan. 2.

2.            Wali Aimmah, Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka


menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang
dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas
menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar Abdul Malik,
bertugas menyaksikan alam malaikat.

3.          Wali Autad (pilar-pilar). Jumlahnya empat orang. Berada di


empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing
menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kaabah.
Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka
bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul
Murid.

4.      Wali Abdal (pengganti-pengganti). Dinamakan demikian karena


jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk
penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang
menguasai ketujuh iklim. Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mengaku
pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di
Makkah al- Mukarramah.Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin
ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani.
Sahabat Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin
Salamah mengaku pernah juga bertemu Wali Abdal bernama
Muâ’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan
bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab
dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan
mengasingkan diri dari keramaian.

5.          Wali Nuqoba (pemimpin-pemimpin), tugasnya mengatur


perjalanan dua belas bintang. Jumlah mereka sebanyak 12
orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang
hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera
menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika
Wali Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang di atas
tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh,
orang baik atau tidak.

6.      Wali Nujaba (dermawan-dermawan). Jumlah mereka sebanyak


delapan orang setiap masa.

7.          Wali Hawariyun. Berasal dari kata hawari, yang berarti


pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik
dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad
sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam. Allah
menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan,
keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

8.          Wali Rajabiyyun. Dinamakan demikian, karena karomahnya


muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40
orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling
mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang.
Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat
bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang
dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua
pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan
harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga,
mereka menyaksikan peristiwa ghaib. Berbagai rahasia
kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap
berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap
demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara. Apabila bulan
Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia
akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang
pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari
sebagai pedagang.
9.          Wali Khatam (Khatmul Aulia). Secara harfiah khatmu artinya
penutup. Menurut Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau
muncul dari mukasyafah),  jumlah keseluruhan Auliya yang
telah disebut di  atas, sampai berjumlah 589 orang. Di antara
mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman,
yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan
yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan
tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini
(zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami telah melihatnya dan
mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan
kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H
Selanjutnya menurut Ibnu Arabi Wali Khatam itu ada dua,yaitu
Khatam al-‘Ammah yaitu penutup kewalian. Allah menutup Kewalian
(mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup
Kewalian mutlak adalah Nabi Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan
Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, di mana turunnya
di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali
dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at
dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai
Penutup Kenabian, di mana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu,
walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa, sebagai salah satu
dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Nabi Isa
sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti
aturan Nabi Muhammad saw, bergabung dengan para Wali dari ummat
Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada
Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi
Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar.
Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsya bersama para Rasul dan
para Nabi. 
Kedua, khatmul khas, yaitu khatmul Muhammadi, yang hanya
dikhususkan kepada Ummat Nabi Muhammad. Penutup Kewalian
Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi) ada pada
seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di
tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah
Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota
Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah
darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai
kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirr-nya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi
Muhammad SAW, kata Muhyidin Ibnu Arabi,  begitu juga Allah menutup
Kewalian Muhammad, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan
diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim,
Musa, dan Nabi Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah
munculnya Khatamul Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi
Wali pada Kalbu Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-
Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah ‘Ammah (umum), di
mana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa Alaissalam. Dan
kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa
As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya. Tegas
Muhyiddin Ibn Arabi.
                                   

[1] Murtadha Muttahari, Master dan Mastership, ,( Teheran : Beth’at Foundation, 1982) hlm. 16).
[2] Lihat : Muhammad al-Syinqiti, al-Jaisy al-Kafil, (Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961), hlm. 10
[3] Ali Harazim, op.cit.hlm. 85
[4] Lihat Juga : Syekh Dhiya Udin , Jami’ al-Usul fi al-Awliya, ( Beirut : Daar al Kutub al-Imiyah, 2002).hlm. 18
[5] Al-Hujwiri, op.cit.hlm. 201
[6] Abd ar-Razaq al-Kasyani, Lathaif al-I’Iam fi Isyarat ahli al-Ilham, (al-Wizarah as-Saqafah wa al-Irsyad al
Islamy, Tehran Iran, 2000)hal. 596.
[7] Ibid, hlm.97
[8] Al-Hujwiri, op.cit.hlm. 196
[9] Ibid, hlm. 197

di Desember 09, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar
Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: wildansr30@gm Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya


Posting Lebih Baru Beranda Posting Lama

Lihat versi seluler

Langganan: Posting Komentar (Atom)

SEJARAH PERKEMBANGAN MINORITAS MUSLIM DI PASIFIK SELATAN (AUSTRALIA,


SELANDIA BARU, DAN PAPUA NUGINI)

SEJARAH PERKEMBANGAN MINORITAS MUSLIM DI PASIFIK SELATAN (AUSTRALIA, SELANDIA BARU,


DAN PAPUA NUGINI)                             Peta...

KONSEP ‘WALI’ PERSPEKTIF TASAWUF, SUATU PENGANTAR


  KONSEP ‘WALI’ PERSPEKTIF TASAWUF, SUATU PENGANTAR Oleh : Asep Achmad Hidayat (Muqoddam
Tijaniyah, Pimpinan Ponpes Zawiyah Darussufi ...

KONSEP ‘NUR MUHAMMAD’ MENURUT SYEIKH AHMAD ATTIJANI


KONSEP ‘NUR MUHAMMAD’ MENURUT SYEIKH AHMAD ATTIJANI Oleh : Dr.KH.   Asep Achmad Hidayat &  
Dr.KH. Ikyan Badruzaman [*] Pend...

SEJARAH PERKEMBANGAN MINORITAS MUSLIM DI PASIFIK SELATAN (AUSTRALIA, SELANDIA BARU,


DAN PAPUA NUGINI)
SEJARAH PERKEMBANGAN MINORITAS MUSLIM DI PASIFIK SELATAN (AUSTRALIA, SELANDIA BARU,
DAN PAPUA NUGINI)                             Peta...

Tema Tanda Air. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai