Anda di halaman 1dari 24

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot,
kartilago, ligamen, tendon, fascia, bursae, dan persendian. Cedera atau trauma
pada jaringan muskuloskeletal dapat melibatkan satu jaringan yang spesifik
seperti ligament, tendon atau satu otot tunggal, walaupun injury pada satu jaringan
tunggal jarang terjadi. Kejadian yang lebih umum adalah beberapa jaringan
mengalami injury dalam suatu insiden traumatik seperti fraktura yang
berhubungan dengan trauma kulit, saraf dan pembuluh darah.
Adnya beban yang berlebih ataupun tekanan yang berulang mengakibatkan
lebam atau kontusio pada kulit kram (regangan) atau strain pada serabut tendon
atau ligament, keseleoatau sprain. Keadaan di atas yaitu sprain, strain dan
dislokasi mempunyai tanda inisial yang mirip namun mempunyai beberapa
perbedaan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan strain, sprain, dan dislokasi sendi?
1.2.2 Apakah perbedaan antara strain, sprain, dan dislokasi sendi?
1.2.3 Apakah penyebab cidera muskuloskeletal?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis dari strain, sprain dan dislokasi sendi?
1.2.5 Bagaiman asuhan keperawatan untuk klien dengan cidera
muskuloskeletal?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari strain, sprain, dan dislokasi sendi.
1.3.2 Untuk mengetahui perbedaan antara strain, sprain, dan dislokasi sendi.
1.3.3 Untuk mengetahui penyebab cidera muskuloskeletal.
1.3.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari strain, sprain dan dislokasi
sendi.
1.3.5 Untuk mengetahui asuhan keperawatan untuk klien dengan cidera
muskuloskeletal.

1
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Muskuloskeletal


2.1.1 Strain
Kerusakan pada jaringan otot disebabkan trauma langsung (impact) atau tidak
langsung (overloading). Terjadi akibat otot tertarik ke arah yang salah,
kontraksi otot yang berlebihan atau keadaan otot belum siap ketika kontraksi.
Mencakup robekan, ruptur jaringan, inflamasi terjadi pada cedera otot atau
tendon yang menyebabkan nyeri dan pembengkakan jaringan. Fleksibilitas
otot yang baik, menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan
membengkak (Elizabeth, 2009).

2.1.2 Sprain
Trauma pada sendi berhubungan dengan cedera pada ligamen. Sprain berat
mengakibatkan ligamen terputus. Ligamen mengalami kerusakan serabut
ringan maupun total, mengalami robek menyebabkan kehilangan kemampuan
stabilitasnya. Sprain yang terjadi pada skala berat dapat menyebabkan
ligamen putus dan terjadi edema, sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi
terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2
sampai 3 jam setelah cedera akibat membengkaan dan pendarahan yang
terjadi (Elizabeth, 2009).

2
2.1.3 Dislokasi sendi
Diakibatkan pergeseran tulang dari posisi semula. Dislokasi sendi dapat
diakibatkan oleh trauma berat yang mengganggu kemampuan ligamen dalam
menahan tulang di posisi normalnya, selain itu akibat kelainan kongenital.
Dislokasi akibat trauma mengakibatkan nyeri hebat, pembengkakan, dan
kehilangan kemampuan rentang gerak sendi (Elizabeth, 2009).

2.2 Klasifikasi
2.2.1 Strain
a. Derajat I (Strain ringan). Cidera akibat penggunaan berlebih pada unit
muskulotendinous ringan yang berupa robekan ringan pada otot atau
ligament. Gejala yang timbul berupa nyeri lokal, meningkat bila bergerak

3
atau ada beban pada otot. Ditandai dengan adanya spasme otot ringan,
bengkak, dan gangguan kekuatan otot. Komplikasi yang dapat terjadi jika
strain berulang adalah tendonitis dan perioritis, perubahan patologi adanya
infeksi ringan yang mengganggu jaringan otot dan tendon. Biasanya akan
sembuh dengan istirahat yang cukup, terapi latihan ROM untuk
mengembalikan kekuatan otot.
b. Derajat II (Strain sedang). Cedera pada unit muskulotendinous akibat
kontraksi berlebihan dengan gejala nyeri lokal, menigkat apabila bergerak
atau beban. Ditandai dengan spasme otot sedang, bengkak, tenderness,
gangguan kekuatan otot, dan kelamahan fungsi otot sedang. Terapi RICE
dengan istirahta 3-6 minggu, kompres dingin 15-30 menit, dan balut tekan
dengan bahan lunak, serta tinggikan daerah cedera dibantu imobilisasi.
c. Derjat III (Strain berat). Adanya tekanan berat sehingga mengakibatkan
robekan penuh pada otot dan ligament yang mengakibatkan
ketidakstabilan sendi. Gejala yang timbul berupa nyeri berat, dan
stabilisasi. Ditandai dengan spasme otot kuat, bengkak, tenderness, dan
gangguan kekuatan otot dan fungsi berat. Terapi berupa istirahat 3-6
minggu, kompres dingin 15-30 menit, balut tekan dengan bahan lunak,
tinggikan daerah cedera, dan imobilisasi. Rujuk ke rumah sakit untuk
pembedahan untuk mengembalikan fungsi (Sadoso, 1995).

2.2.2 Sprain

a. Tingkat I. Ditandai dengan sedikit hematoma dalam ligamentum dan


hanya beberapa serabut yang putus. Menimbulkan rasa nyeri tekan,
pembengkakan, dan sakit di daerah cedera. Terapi berupa istirahat yang
cukup, latihan penggerakan otot.
b. Tingkat II. Ditandai dengan banyaknya serabut ligamentum yang putus,
sehingga menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan, pembengkakan, efusi atau
adanya cairan yang keluar, dan biasanya tidak dapat menggerakkan
persendian tersebut.
c. Tingkat III. Ditandai dengan terputusnya semua ligamentum akibatnya
kedua ujung terpisah. Persendian tersebut akan terasa sakit, darah di

4
persendian, pembengkakan, tidak dapat bergerak, dan terdapat gerakan
abnormal.
2.2.3 Dislokasi sendi
a. Dislokasi kongenital terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
b. Dislokasi patologik diakibatkan penyakit pada sendi atau jaringan sekitar
sendi seperti: tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang, diakibatkan
kekuatan tulang berkurang.
c. Dislokasi traumatik merupakan kedaruratan ortopedi misalkan pasokan
darah, susunan saraf rusak atau stres berat, dan kematian jaringan akibat
anoksia. Akibat edema akibat pengerasan. Terjadi karena trauma kuat yang
dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekitarnya dan kemungkinan
dapat merusak struktur sendi, ligamen, saraf, dan sistem vaskuler.
(Arif Mansyur, 2000)

2.3 Etiologi
2.3.1 Penyebab terjadinya strain
a. Strain akut terjadi akibat otot yang keluar dan berkontraksi secara
mendadak.
b. Trauma diakibatkan adanya benturan keras pada sendi dan mengakibatkan
dislokasi.
c. Terjatuh
d. Patologis mengakibatkan tear ligament dan kapsul articuler yang
merupakan penghubung tulang (Smeltzer Suzame, 2001).
2.3.2 Penyebab terjadinya sprain
Penggunaan daya yang berlebihan atau tekanan berulang-ulang sehingga
terjadi tendonitis atau peradangan pada tendon.
2.3.3 Penyebab terjadinya dislokasi
a. Cedera olahraga
Contohnya olahraga sepak bola, senam, basket, voli ataupun olah raga
yang beresiko jatuh.
b. Trauma
Adanya benturan yang keras pada sendi contohnya kecelakaan

5
c. Terjatuh
d. Patologis

2.4 Manifestasi Klinis


2.4.1 Tanda dan gejala strain:
a. Memar, bengkak di sekitar persendian tulang yang terkena cedera,
termasuk perubahan warna kulit.
b. Terjadi haemarthrosis atau perdarahan sendi.
c. Nyeri pada persendian tulang , nyeri bila anggota badan digerakkan atau
diberi beban
d. Fungsi persendian terganggu
e. Terjadi kekakuan sendi
2.4.2 Tanda dan gejala sprain:
a. Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
b. Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
c. Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri (yang baru terjadi beberapa jam
setelah cedera)
d. Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan
sekitarnya
2.4.3 Tanda dan gejala dislokasi sendi
a. Nyeri
b. Perubahan kontur sendi
c. Perubahan panjang ekstremitas
d. Kehilangan mobilitas normal
e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f. Deformitas
g. Kekakuan

2.5 Patofisiologi
Cedera ditandai dengan memar dan luka, atau dislokasi dari otot, sendi atau
tulang akibat kecelakaan, benturan (body contact) atau gerakan yang berlebihan
sehingga otot, tulang, atau sendi tidak dapat menahan beban atau menjalankan

6
tugasnya. Cedera yaitu rusaknya jaringan (lunak atau keras) menimbulkan rasa
sakit atau nyeri dan atau akibat dari kelebihan latihan dalam memberikan
pembebanan yang terlalu berat (overload) sehingga otot, tulang, atau persendian
tidak lagi dalam keadaan atau posisi anatomis (dislokasi).
Trauma akut dan Overuse Syndrome (Sindrom Pemakaian Berlebih). Trauma
akut adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan
ligament, otot, tendo, atau terkilir, atau bahkan patah tulang. Cedera akut biasanya
memerlukan pertolongan profesional. Cedera olahraga seringkali direspon oleh
tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor
(panas), dolor (nyeri), dan functiolaesi (penurunan fungsi). Pembuluh darah di
lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih
banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran
pembuluh darah dapat mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor).
Cairan darah yang banyak dikirim di lokasi cedera akan merembes keluar dari
kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan
dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan
meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Tumpukan sisa metabolisme
dan zat kimia lain akan merangsang ujung saraf di daerah cedera sehingga
menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung saraf
karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor, kalor,
maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang
dikenal dengan istilah fungsiolaesa.
2.5.1 Strain
Kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak
langsung (overloading). Cedera terjadi akibat otot yang tertarik ke arah yang
salah, sehingga kontraksi otot berlebih, sedangkat oto belum siap. Strain terjadi
pada bagian muscles seperti otot pada paha, hamstring pada otot bagian bawah,
dan otot guadrisep. Jika fleksibilitas otot baik, maka cedera, memar dan bengkak
daerah sekitar dapat dicegah.
2.5.2 Sprain
Avulsion seluruh atau sebagian dari daerah sekitar sendi yang diakibatkan
oleh tekanan yang besar.

7
2.5.3 Dislokasi sendi
Disebabkan karena humerus yang terdorong ke depan, sehingga merobek
kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi, terkadang bagian
posterolateral kaput hancur. Jarang terjadi jika prosesus akromium dapat
mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio rekta.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 Strain
a. CT Scan
b. MRI. Digunakan untuk menentukan derajat dari cedera
c. Antroskopi. Digunakan untuk melihat bagian dalam sendi dengan
menggunakan lensa fiber melalui sayatan kulit yang sangat kecil
d. Elektromiografi. Berfungsi untuk mendeteksi adanya potensial listrik yang
dihasilkan otot ketika kontraksi dan relaksasi
e. Foto rontgen untuk membedakan strain, sprain dengan patah tulang
2.6.2 Sprain
a. Foto rontgen atau radiologi. Pemeriksaan diagnostik noninvasif untuk
membantu menegakkan diagnosa. Hasil pemeriksaan di temukan
kerusakan pada ligamen dan sendi.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan menggunakan
gelombang magnet dan gelombang frekuensi radio, tanpa menggunakan
sinar x atau bahan radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh
yang lebih detail. Hasil yang diperoleh gambaran ligamen yang luka.
2.6.3 Dislokasi
a. Pemeriksaan dengan sinar-x (x-rays) pada bagian anteroposterior terlihat
bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid.
Kaput biasanya terletak di bawah medial terhadap mangkuk sendi.
b. Foto rontgen menentukan luasnya degenerasi dan menyampingkan
malignasi
c. Pemeriksaan radiologi dengan gambaran tulang yang lepas dari sendi
d. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai apakah ada infeksi yang
diakibatkan meningkatnya leukosit

8
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Strain
a. Penatalaksanaan medis
1. Kemoterapi dengan Analgetik seperti Aspirin (300-600 mg/hari) atau
Acetaminoten (300-600 mg/hari).
2. Elektromekanis dengan penerapan kompres dingin menggunakan es
3. Pembalutan atau warpping eksternal
4. Pembalutan di daerah yang sakit
5. Posisi atau daerah cidera yang sakit ditinggikan atau diangkat (daerah
ekstremitas)
6. Latihan ROM, yaitu latihan secra pelan dan penggunaan kekuatan otot
semampunya sesudah 2 x 24 jam
7. Penyangga beban, dilakukan sampai pasien dapat menggerakkan daerah
yang sakit
2.7.2 Sprain
a. Penatalaksanaan medis
1. Pembedahan, bertujuan agar sendi dapat berfungsi secara sepenuhnya.
2. Kemoterapi, dengan analgetik aspirin (100-300 mg setiap 4 jam sekali)
untuk meredakan nyeri dan peradangan. Terkadang diperlukan Narkotik
seperti codeine 30-60 mg per oral setiap 4 jam sekali untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis, dengan penerapan kompres dingin menggunakan es
4. Pembalutan atau warpping eksternal
5. Posisi lebih tinggi untuk daerah cidera yang sakit
6. Latihan ROM, dilakukan saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan
secra pelan dan bertahap setelah 7-10 hari sesuai jaringan yang sakit
7. Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari
atau lebih sesuai jaringan yang sakit

9
2.7.3 Dislokasi sendi
a. Penatalaksanaan medis
1. Reposisi pasien segera. Memanipulasi permukaan sendi untuk diluruskan
kembali secara perlahan. Tindakan dilakukan biasanya disertai dengan
anastesi umum bertujuan untuk melemaskan otot-ototnya.
2. Dislokasi sendi kecil yang direposisi ditempat kejadian tanpa bantuan
anstesi.
3. Dislokasi sendi besar
4. Fisioterapi segera untuk mempertahankan fungsi otot dan latihan aktif
yang diawali secara dini untuk mendorong gerakan sendi penuh.
5. Tindakan pembedahan yang dilakukan jika muncul tanda-tanda gangguan
neumuskular yang berat. Jika gangguan vaskular tidak teratasi setelah
reposisi tertutup dilakukan, pembedahan terbuka diperlukan.
6. Pemasangan gips yang bertujuan untuk menyanggah, dan memberikan
kesembuhan pada ligamen yang teregang.

10
2.8 Pathway

Benturan, gerakan Otot tertarik ke Hiperkontraksi otot


berlebih, tekanan berulang arah yang salah

Luka, robekan pada Vasodilatasi


Hiperkontraksi Dislokasi sendi pembuluh darah
jaringan lunak (otot/sendi)
otot jantung

Jumlah oksigen
Cairan -> lokasi Rubor (kemerahan)
meningkat
cedera banyak

Proses Metabolisme
Kapiler -> Tumor (bengkak)
meningkat
ruang antar sel

Sisa Metabolisme meningkat Menekan ujung saraf

Luka/jahitan di
lapisan kulit Gangguan Mobilitas
Suhu meningkat (kolor) Fisik Nyeri

Kerusakan Integritas jaringan kulit

11
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Tgl. Pengkajian No. Register
Jam Pengkajian Tgl. MRS
Ruang/Kelas

3.3.1 Identitas
1. Identitas Pasien
Nama :
Umur : cedera banyak terjadi pada orang dewasa khususnya olahragawan
yang aktivitasnya lebih berisiko dari orang dewasa lainnya dan pada
anak-anak yang biasanya hanya bermain. Pada laki-laki usia sekitar
15-29 tahun, namun wanita akan mengalami peningkatan yang lebih
banyak dari laki-laki pada usia > 60 tahun (Anonim, 2014).
Pada orang dewasa ini cenderung mengalami dislokasi traumatic dan
sering terjadi dibagian bahu, paha, lutut, siku dll. Dislokasi ini
sendiri sering terjadi Sprain (keseleo) dan strain (kram) juga paling
sering terjadi pada orang dewasa (olah ragawan). Sprain banyak
terjadi pada area engkel, sedangkan strain sering terjadi pada area
groin muscle, hamstring dan quadrisep (Anonim, 2014).
Gender : jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot.
Secara fisiologis, kemampuan otot perempuan sekitar 2/3 dari
kekuatan otot laki-laki. Mengakibatkan daya otot laki-laki lebih
tinggi (Astrand & Rodahl, 1996). Perbandingan keluhan nyeri otot
antara laki-laki dan perempuan adalah 1:3 (Johanson, 1994).
Agama :-
Pendidikan : -
Pekerjaan : banyak terjadi pada olahragawan yang melakukan aktivitas dengan
ketegangan otot yang lebih tinggi, kuli panggul, kuli bangunan
ataupun orang-orang yang bekerja di daerah industri.

12
Gol. Darah : -
Alamat :-
2. Keluhan Utama
a. Keluhan Utama Saat MRS
Badan bengkak, muka sembab, dan anfsu makan menurun.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan menurun, konstipasi,
diare, dan urine menurun.
b. Riwayat Kesehatan yang Lalu
Edema, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kelainan gen autosom resesif. Kelainan yang tidak dapat ditangani dengan
terapi biasa. Biasanya, bayi tidak dapat tertolong pada tahun pertama atau dua
tahun setelah kelahiran.
4. Pengkajian fungsional
a. Persepsi kesehatan
Mengkaji pendapat dan pandangan klien ataupun keluarga mengenai sakit
yang terjadi pada klien. Apa yang dilakukan, dan bagaimana perawatan tau
pengobatan yang diberikan.
b. Pola nutrisi
Tanyakan mengenai pola makan klien sebelum, dan selama sakit. Kaji status
nutrisi klien dengan mengkaji input cairan selama 24 jam, dan turgor kulit
serta observasi adanya edema.
c. Pola eliminasi
Kaji pola BAB dan BAK klien sebelum dan selama sakit. Apakah klien
mengalami perubahan pola BAB dan BAK baik meningkat ataupun
mengalami penurunan frekuensi.
d. Pola aktivitas
Kaji kemampuan klien yang berkurang secara fisiologi selama terjadi cedera.
Kaji tanda-tanda vital, adanya nyeri di daerah cedera dan kelemahan. Respon
pasien untuk menahan sakit saat melakukan aktivitas.

13
e. Kebutuhan istirahat dan tidur
Pola tidur klien yang berkurang akibat rasa nyeri di daerah cedera selama
sakit, dan lingkungan yang tidak mendunkung klien dalam memenuhi tidur
dan istirahat yang adekuat.
f. Pola persepsi kognitif
Kaji kemampuan pancaindra klien, pengetahuan klien mengenai cedera yang
dialami, dari penyebab, dan cara mengatasi nyeri.
g. Pola persepsi diri
Kaji persepsi klien mengenai gambaran diri sendiri. Perasaan klien mengenai
kemampuan yang berkurang akibat cedera (body image, harga diri, peran,
konsep diri dan ideal diri).
h. Pola hubungan sosial
Pola komunikasi klien terhadap keluarga, dan dengan perawat. Kepada
perawat dalam menyampaikan respon dari tindakan keperwatan yang
diberikan.
i. Pola seksualitas
Kaji kebutuhan seksualitas klien
j. Pola mekanisme koping
Kaji bagaimana respon klien terhadap penyakitnya, cara klien untuk
memndapatkan sumber kekuatan.
k. Pola spiritual
Kaji persepsi klien dari segi agama, apakah klien dapat menerima
penyakitnya dan menggap bahwa itu ujian dari Allah SWT.
5. Pemeriksaan fisik
a. Strain dan sprain
Kelemahan, ketidakmampuan menggunakan sendi, edema pada sprain,
perubahan warna kulit, perdarahan, dan mati rasa.
b. Dislokasi
Digunakan untuk menentukan lokasi dari terjadinya dislokasi tersebut. Pengkajian
meliputi rasa nyeri, deformitas, dan fungsiolesa (tanda-tanda inflamasi). Contohnya
pada daerah bahu yang tidak dapat endorotasi, perubahan kontur sendi ekstremitas,
perubahan panjang ekstremitas, lebam pada daerah dislokasi sendi. Pengkajian

14
IPPA melihat gangguan neurologis, ada tidaknya sararf yang terganggu dengan
menilai rentang gerak ektremitas atas dan bawah.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera pada jaringan lunak, pemasangan alat/traksi.
2. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka:
bedah permukaan; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi,
akumulasi eksresi atau sekret atau immobilisasi fisik.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur
dan kerusakan rangka neuromuskuler.
4. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan
pembentukan trombus.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
kerusakan kulit dan trauma jaringan.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal
sumber infor

15
3.3 Intervensi

NO. Diagnosa Keperawatan Perencanaan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Tujuan : setelah dilakukan tindakan Pain Manajemen
dengan kerusakan jaringan keperawatan diharapkan nyeri berkurang 1. Kaji nyeri secara komprehensif dari lokasi,
yang aktual atau potensial, dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor
spasme otot, gerakan presipitasi.
fragmen tulang, edema, 1. Klien mampu mengontrol nyeri (tahu 2. Observasi reaksi nonverbal dari klien
pemasangan alat atau penyebab, mampu menggunakan teknik 3. Kaji penyebab nyeri pada klien
traksi. non farmakologi dalam mengurangi 4. Evaluasi mengenai ketidakmampuan klien
nyeri dan bisa mencari bantuan). dalam memanajemen nyeri
2. Klien melaporkan bahwa nyeri 5. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
berkurang dengan menggunakan teknik dan menemukan dukungan
manajemen nyeri. 6. Kontrol lingkungan yang mempengaruhi
3. Klien mampu mengenali nyeri (skala, nyeri seperti suhu, pencahyaan dan
lokasi, intensitas, frekuensi, kualitas, kebisingan.
durasi dan faktor presipitasi). 7. Ajarkan pasien tentang teknik pengendalian
nyeri secara non farmakologi.
8. Tingkatkan istirahat pasien
9. Evaluasi keefektifan dalam mengontrol
nyeri.
10. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
jika keluhan dan manajemen tidak berhasil
(dengan farmakologi)
11. Monitoring respon pasien dalam
memanajmen nyeri

16
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat.
2. Cek kembali instruksi dokter untuk prinsip
6 Benar
3. Cek riwayat alergi pada pasien

2. Kerusakan integritas kulit Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
atau jaringan berhubungan keperawatan kerusakan integritas kulit pakaian yang longgar
dengan fraktur terbuka: pada pasien dapat teratasi. 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
bedah permukaan; 3. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
perubahan sensasi, Kriteria Hasil: 4. Monitor kulit pasien dari adanya kemerahan
sirkulasi, akumulasi 1. Integritas kulit yang baik dan bisa 5. Bersihkan area sekitar jahitan
eksresi atau sekret atau dipertahankan (elastisitas, sensasi, 6. Ganti balutan dengan interval waktu yang
immobilisasi fisik. hidrasi dan pigmen). sesuai
2. Tidak ada luka atau lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit

17
3. Gangguan mobilitas fisik Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Kaji derajat mobilitas pasien yang akibat
berhubungan dengan keperawatan diharapkan mobilitas pasien cedera dan perhatikan respon pasien.
cedera jaringan sekitar dapat kembali pulih (normal). 2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik
fraktur dan kerusakan dan pertahankan lingkungan sekitar pasien.
rangka neuromuskuler. Kriteria hasil: 3. Latih pasien untuk proses pemenuhan ADL
1. Klien mampu mempertahankan secara mandiri sesuai kemampuan
mobilitas pada tingkat kenyamanan 4. Ajarkan pasien untuk teknik ambulasi
yang lebih tinggi 5. Bantu pasien dalam menggunakan alat
2. Klien dapat mempertahankan posisi bantu gerak
secara fungsional 6. Monitoring vital sign pasien sebelum dan
3. Klien dapat meningktkan kekutan atau sesudah latihan.
fungsi dan kompoensasi terhadap 7. Konsultasi dengan ahli terapi fisik tentang
bagian tubuh yang sakit. rencana ambulasi yang sesuai dengan
4. Klien mampu menunjukkan teknik kondisi pasien.
yang tepat dalam melakukan aktifitas.
5. Klien dapat mendemonstrasikan
pemakaian alat bantu gerak
4. Resiko tinggi terhadap Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan
disfungsi neurovaskuler keperawatan diharapkan disfungsi kehangatan bagian distal dari daerah cedera.
perifer berhubungan neurovaskuler perifer tidak terjadi. 2. Kaji status neuromuskuler, catat perubahan
dengan aliran darah; motorik atau fungsi sensorik.
cedera vaskuler langsung, Kriteria hasil: 3. Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki
edema berlebih, 1. Mempertahankan perfusi jaringan yang atau tangan.
hipovolemik dan ditandai dengan terabanya pulsasi 4. Monitor posisi atau lokasi ring penyangga
pembentukan trombus. 2. Kulit hangat bidai
3. Vital sign stabil tanpa tanda sianosis. 5. Monitor vital sign, kaji adanya tanda-tanda
sianosis (kulit dingin, perubahan kesadaran)

18
6. Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang
mengalami cedera.
5. Resiko infeksi Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Inspeksi kulit untuk mengetahui danya
berhubungan dengan tidak keperawatan diharapkan resiko infeksi iritasi atau robekan kontinuitas.
adekuatnya pertahanan tidak terjadi secara aktual. 2. Monitor danya tanda dan gejala terjadinya
primer, kerusakan kulit infeksi pada pasien.
dan trauma jaringan. Kriteria hasil: 3. Pertahankan kebersihan lingkunga pasien
1. Mencapai penyembuhan luka tepat 4. Ajarkan teknik perawatan luka pada pasien
waktu dan keluarga
2. Pasien bebas dari tanda dan gejal 5. Tingkatkan intake nutrisi pasien.
infeksi 6. Kaji tonus otot, dan refleks tendon
3. Jumlah leukosit normal 7. Monitor adnya rasa nyeri secara tiba-tiba/
4. Menunjukkan perilaku bersih dan sehat adanya keterbatasan gerak dengan edema
8. Berikan antibiotik sesui indikasi dan resep
dokter jika tanda infeksi muncul.
6. Kurang pengetahuan Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kembali patologis, progmosis dan
tentang kondisi dan keperawatan diharapkan pemahamn dan harapan mendatang
kebutuhan pengobatan pengetahuan klien dan keluarga bertambah 2. Beri penguatan mentode mobilitas dan
berhubungan dengan ambulasi sesuai instruksi terapis fisik
kurang informasi, salah Kriteria hasil: 3. Buat daftar aktivitas pasien untuk
interpretasi informasi, 1. Menyatakan pemahan kondisi, melakukan secar mandiri
tidak prognosis, dan pengobatan 4. Dorong pasien untuk melanjutkan latihan
mengenal sumber 2. Melakukan tindakan dengan benar aktif untuk sendi
informasi. terutama dalam melatih
kemandirian pasien.

19
3.4 Implementasi

No Hari/ Waktu Implementasi Ttd


Tanggal
1. Minggu, 08.00- 1. Membersihkan daerah sekitar
06/03/16 09.00 jahitan/balutan pasien
WIB 2. Mengkaji nyeri secara
komprehensif dari lokasi,
durasi, frekuensi, kualitas, dan
faktor presipitasi.
3. Memonitor posisi atau lokasi
ring penyangga bidai
4. Memonitor vital sign, kaji
adanya tanda-tanda sianosis
(kulit dingin, perubahan
kesadaran)
5. Mengkaji penyebab nyeri pada
klien
6. Mengevaluasi mengenai
ketidakmampuan klien dalam
memanajemen nyeri

2. Minggu 15.30- 1. Menginspeksi kulit untuk


06/03/16 16.30 mengetahui danya iritasi atau
WIB robekan kontinuitas.
2. Memonitor danya tanda dan
gejala terjadinya infeksi pada
pasien.
3. Mengajarkan teknik perawatan
luka pada pasien dan keluarga
3. Senin 09.30- 1. Melatih pasien untuk proses
07/03/16 10.15 pemenuhan ADL secara mandiri
WIB sesuai kemampuan
2. Mengajarkan pasien untuk
teknik ambulasi
3. Memonitor adnya rasa nyeri
secara tiba-tiba/ adanya
keterbatasan gerak dengan
edema
4. Membuat daftar aktivitas pasien
untuk melakukan secar mandiri

20
3.5 Evaluasi
Dalam melakukan evaluasi pada pasien menggunakan metode SOAP yang
terdiri dari:
S : data subjektif, keterangan secara langsung dari pasien
O : data objektif, pengamatan terhadap kondisi pasien
A : analisis dari kriteria hasil yang terpenuhi
P : planning, rencana perawatan selanjutnya

21
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

22
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta:


Penerbit buku kedokteran EGC.

Smeler, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikat Bedah Brunner Dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

Doenges,Marlyn.E.1999.rencana asuhan keperawatan.Ed 3.Jakarta: EGC

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC

Nurachman, Elly. 1989. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:
EGC

Carpenito, Lynda. 1999. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Ed 8. Jakarta: EGC

Arif Mansyur, dkk. 2000 . Sprain, Strain dan Dislokasi (online) diakses pada
tanggal 1 mei 2012. http://www.scribd.com/ardinataaa/d/49528746-
FRAKTUR-DAN-DISLOKASI. On line:
http://dokumen.tips/documents/makalah-dislokasi-sprain-strain.html

Johanson. 1994. Gangguan Muskuloskeletal. Amalia Mumtaza. On line:


http://mumtazamalia.blogspot.co.id/2014/04/gangguan-muskuloskeletal.html

Astrand & Rodahl. 1996. Gangguan Muskuloskeletal. Amalia Mumtaza. On line:


http://mumtazamalia.blogspot.co.id/2014/04/gangguan-muskuloskeletal.html

Anonim. 2014. On line:


http://eprints.unsri.ac.id/5722/1/LK_2015_Dislokasi_Sendi.pdf
http://www.alodokter.com/dislokasi
http://www.fisioterapiku.com/2014_02_01_archive.html

23
24

Anda mungkin juga menyukai