Anda di halaman 1dari 26

5.

Macam-macam kasus

a. Kasus pemerkosaan
· Penderita dengan kasus pemeriksaan di UGD (diantar dari kepolisian) diperiksa
oleh dokter triase/jaga, kemudian koordinasi dengan obsgyn bila diperlukan.

· Pemeriksaan dilakukan selengkap mungkin dan jika dibutuhkan dapat dilakukan


pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan sperma atau tes kehamilan (bila
kasus lebih dari satu minggu)

· Perlu penyimpanan bahan-bahan yang mungkin berguna untuk


pemeriksaan/pengusutan, selanjutnya koordinasi dengan kepolisian atau satpam.

· Semua hasil pemeriksaan dicatat dalam buku pengunjung penderita jika


kemudian kasus ini jadi penanganan yang berwajib memerlukan bukti VR maka
permintaan tersebut sama dengan diatas.

b. Kasus Kriminal

· Pada dasarnya tidak bertanggung jawab dengan kasus kriminal

· Jika kasus kriminal dengan masalah kesehatan maka IGD mengenai


masalah kesehatannya.

· Dalam penanganan di RS pasien harus didampingi oleh petugas yang


berwajib (polisi) untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkannya
(pengamanan).

· Jika yang berwajib memerlukan VR maka sebagai bukti surat VR sama


dengan diatas.

c. Kasus Ruda Paksa

· Jika diketahui adanya kemungkinan kasus ruda paksa maka dokter

pemeriksa harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan lebih lengkap

dan ditulis dalam Rekam Medik sehingga jika ada pemeriksaan

sewaktu-waktu dari pihak yang berwenang dapat dilayani dengan cepat.


8. Ketentuan dan prosedur pelayanan asuransi

- Menunjukan kartu asuransi yang masih berlaku dan memfotocopy

- Mendaftaar dan mengisi blangko asuransi yang telah disediakan pihak


asuransi di rumah sakit

- Dilakukan pemeriksaan dan perawatan pasien sesuai dengan biaya


yang ditentukan asuransi

- Penagihan pihak rumah sakit ke asuransi

9. Riwayat penyakit pasien

10. Catatan perintah dokter untuk pengobatan dll

11. Laporan anestensi ,operasi ,tindakan lain

Dalam melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien yang


akan dilakukan tindakan operasi, kita dapat memilih berbagai macam
pilihan cara anestesi. Dari berbagai macam pilihan tersebut, sebagian besar
operasi (70%-75%) dilakukan dengan cara anestesi umum. Sedangkan
sisanya dilakukan dengan cara regional atau anestesi lokal. Operasi yang
dilakukan di daerah kepala, leher, intra toraks, intra abdomen akan lebih
baik jika dilakukan dengan cara anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakea. Hal ini akan menjadikan jalan nafas lebih mudah
dikontrol, selain jalan nafas menjadi lebih bebas .
Pilihan cara anestesia harus selalu terlebih dahulu mementingkan segi-segi
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan
cara anestesia antara lain adalah umur, status fisik pasien, posisi , ketrampilan
dan kebutuhan dari dokter pembedah, serta ketrampilan dan pengalaman
dokter anestesi.
Salah satu pilihan cara anestesi umum yang cukup sering digunakan adalah
teknik total intravenous anesthesia (TIVA).

A. Total Intravenous Anesthesia (TIVA)


Total intravenous anesthesia (TIVA) atau anestesi intravena
total adalah suatu teknik yang dirancang untuk menginduksi dan
mempertahankan anestesi umum dengan agen atau obat intravena saja.
Induksi biasanya dilakukan dengan suntikan bolus obat, disusul
mempertahankan infus secara kontinyu. Penderita yang dilakukan
anestesi dengan TIVA, pernafasannya secara spontan cenderung
bergerak secara tiba-tiba jika anestesinya terlalu ringan, dan dapat
terjadi henti nafas jika anestesinya terlalu dalam.
Teknik anestesi dengan TIVA mulai populer pada sekitar tahun 1970-
an, dengan ditemukannya obat-obat induksi non-barbiturat dan
pengunaannya semakin meluas dengan ditemukannya propofol.
Teknik ini dapat digunakan untuk anestesia umum atau sedasi pada
anestesi regional, dan dapat pula dikombinasikan dengan obat-obat
anestesia inhalasi. Teknik ini sering digunakan pada ambulatory
patiens, dan tindakan-tindakan pembedahan yang memerlukan waktu
yang singkat. Yang perlu diperhatikan disini adalah peralatan
resusitasi ( air viva, ET tube, laringoskop dan lain-lain) harus selalu
siap apabila sewaktu-waktu terjadi henti nafas pada pasien yang kita
lakukan anestesi dengan teknik TIVA ini.
Obat-obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam dua golongan,
yaitu :
1. Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesia
(misalnya golongan barbiturat).
2. Obat yang digunakan baik sendiri atau kombinasi
untuk mendapatkan
keadaan seperti pada neurolepanalgesia (droperidol), anestesia
dissosiasi (ketamin) atau sedativa (diazepam,
midazolam).
Obat-obatan yang sering digunakan pada TIVA antara lain adalah
thiopental, propofol, ketamin, midazolam, diazepam dan opioid
terutama yang kerja singkat.

B.Thiopental/Pentotal/Thiopentone
Diantara beberapa barbiturat dengan masa kerja sangat singkat,
thiopentone merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk
induksi anestesi dan banyak digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan anestetik inhalasi lainnya . Dengan penggunaan dalam klinis
yang telah lebih dari 50 tahun, dapat dikatakan thiopentone merupakan
obat standar dari golongan barbiturat kerja sangat singkat .
Thiopentone dikemas dalam bentuk tepung warna kuning dan berbau
belerang. Sebelum digunakan dianjurkan dilarutkan dengan akuades
steril dalam larutan 2,5% (1 ml = 25 mg) atau 5% (1 ml = 50 mg) dan
disuntikan perlahan-lahan. Dalam waktu 30 – 40 detik, penderita akan
tertidur setelah disuntik secara intravena dan kesadaran akan pulih
setelah 20 – 30 menit. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10 – 11,
sehingga jika sampai keluar vena akan menimbulkan rasa nyeri yang
hebat. Suntikan intraarterial akan menimbulkan vasokonstriksi dan
nekrosis jaringan.
Bergantung pada besar dosis dan kecepatan suntikan, obat ini
akan menyebabkan sedasi, hipnosis, anestesia dan depresi nafas.
Selain itu, obat ini bersifat antikonvulsan dan diduga dapat melindungi
otak akibat kekurangan oksigen, karena obat ini menurunkan aliran
darah otak, menurunkan tekanan likuour dan tekanan intra kranial.
Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
Meskipun dosis thiopentone yang dianjurkan untuk induksi
anestesi adalah antara 3 – 5 mg/kgBB, tapi ini bervariasi antara pasien
yang satu dengan yang lain. Hal ini paling banyak disebabkan oleh
efek tambahan dari obat premedikasi atau obat lain, selain juga
disebabkan oleh penyakit yang ada sebelumnya (seperti hipovolemi
atau penyakit jantung) atau usia tua.
Beberapa ahli anestesi secara rutin memberikan lebih dahulu dosis
kecil thiopentone (25 – 50 mg, disebut sebagai test dose), untuk
meyakinkan bahwa obat tersebut tidak masuk ke dalam jaringan
subkutan dan untuk mengetahui respon dari pasien sebelum
memberikan dosis yang sebenarnya.
Metabolisme thiopentone terutama terjadi di hepar, dan hanya

sebagian kecil (kurang dari 1%) thiopentone akan dikeluarkan lewat


urin tanpa mengalami perubahan. Metabolisme thiopentone terjadi
sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Rata-rata metabolisme
thiopentone adalah 10% - 16% perjam pada manusia setelah
pemberian dosis tunggal.
Pulih sadar yang cepat setelah pemberian disebabkan oleh karena
pemecahan thiopentone dalam hepar yang cepat. Thiopentone dalam
jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah
pemberian.

C. Propofol
Propofol berupa larutan berwarna putih susu yang tidak larut
dalam air, termasuk golongan alkilfenol dengan nama kimia
diisoprofil fenol. Propofol merupakan suatu emulsi lemak yang terdiri
dari 1% air; 10% minyak kedelai; 1,3%fosfatida telur dan 2,5%
gliserol. Formula ini menyebabkan rasa nyeri pada tempat
penyuntikan yang diakibatkan karena iritasi lokal, sehingga untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan lidokain sebelumnya. Propofol
bersifat isotonis dengan pH netral, harus disimpan pada suhu kurang
dari 25OC, dan jika tidak diberikan dalam 6 jam setelah dibuka
sebaiknya dibuang untuk menghindari kontaminasi dengan bakteri.
Dosis bolus untuk induksi adalah 1,5 – 3 mg/kgBB dan untuk
rumatan adalah 4 – 12 mg/kgBB/jam. Dosis bolus untuk sedasi adalah
0,2 mg/kgBB dan untuk kontinyu 1 mg/kgBB. Pada usia 55 tahun
lebih dosis diturunkan dan untuk wanita hamil dan anak kurang dari 3
tahun tidak dianjurkan.
Propofol mempunyai sifat lipofilik yang tinggi, sehingga
dengan cepat didistribusikan dari darah ke jaringan. Kadar dalam
plasma akan cepat sekali menurun dengan waktu paruh rata-rata 2,5
menit. Metabolisme propofol yang utama adalah di hati, selain di
paru-paru dan ginjal. Ekskresi melalui urin (88%) dan melalui tinja
(3%). Kurang dari 0,3% diekskresi dalam bentuk asal. Sisanya berupa
metabolit dalam bentuk konjugasi / gabungan yang terdiri dari 1 dan 4
glukoronida propofol.
Propofol menurunkan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Pada dosis induksi sering menyebabkan penurunan
volume tidal bahkan apneu, jarang terjadi spasme laring. Laju jantung
sedikit berubah, tekanan darah turun karena penurunan tahanan pada
pembuluh darah sistemik. Pada pemakaian propofol tidak
mempengaruhi fungsi saluran cerna, fungsi hati dan fungsi ginjal.
Jarang menimbulkan reaksi hipersensitivitas karena imunoglobulin
dan histamin dalam plasma tidak dipengaruhi.

D.Keminta
Merupakan derivat dari phenicyclidine, larut dalam air, jernih,
tidak berwarna, pH 3,5 – 5,5. Termasuk dalam golongan non –
barbiturat yang menimbulkan anestesia dengan cepat dan efek
analgesik yang dalam. Selain itu juga menghasilkan keadaan yang
disebut sebagai dissosiative anestesia.
Induksi anestesi diberikan dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB
intravena, dengan dosis pemeliharaan adalah 0,5 mg/kgBB. Efek
analgesik dan kehilangan kesadaran setelah 30 detik pemberian intra
vena dan setelah 5 – 8 menit pemberian intramuskuler.
Ketamin hampir seluruhnya dimetabolisme dalam tubuh,
sangat sedikit yang diekskresikan (lewat urin) tanpa mengalami
perubahan. Metabolisme utama terjadi di hepar. Ketamin mempunyai
kelarutan yang tinggi dalam lemak, dan kecepatan metabolisme
tergantung pada aliran darah ginjal. Norketamin merupakan metabolit
dari ketamin yang masih bersifat aktif.
Ketamin menyebabkan peningkatan tekanan darah tergantung
dari dosis yang diberikan. Selain itu juga meningkatkan isi semenit
jantung (cardiac output), laju jantung, curah jantung, tekanan darah
arteri paru, kebutuhan oksigen jantung karena rangsangan langsung
SSP sehingga tonus simpatis meningkat dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah tepi. Ketamin tidak menyebabkan
pelepasan histamin. Induksi anestesi dengan ketamin juga dapat
meningkatkan tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intraokuler.
Depresi pernafasan minimal, dan akan meningkat bila dosis
yang diberikan cukup besar. Tonus otot akan meningkat selama
induksi anestesi, pada wanita hamil akan meningkatkan tonus uterus.
Refleks laring dan faring biasanya tetap terjaga.
Pemulihan terjadi secara lambat dan bertahap, seringkali
disertai dengan mimpi buruk yang tidak menyenangkan, diikuti
adanya suara dan gerakan yang tak terkoordinir. Penyulit tersebut
dapat dicegah dengan memberikan benzodiazepin sebagai premedikasi
atau saat penderita mulai bangun.
E. Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepin agonis yang mempunyai

sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan amnesia anterograde. Obat

ini banyak digunakan perioperatif, pH 3,5 dengan potensi 1,5 – 2 kali

diazepam, larut dalam air dan dapat dicampur dengan larutan infus dan

stabil secara fisik maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu kamar.

Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin yang spesifik


yang terkonsentrasi pada korteks serebri, hipokampus dan serebelum.
Obat ini sebagian besar terikat pada protein plasma (95%) dan sisanya
dalam bentuk fraksi bebas.

Dosis yang diperlukan untuk induksi bervariasi sekitar 0,3


mg/kgBB. Dosis yang lebih rendah (0,05 – 0,1 mg/kgBB) akan
menyebabkan rasa mengantuk dan amnesia. Efek puncak pada SSP
didapat setelah 2 – 3 menit pemberian intravena. Setelah pemberian
intramuskuler efek pertama 5 menit dengan efek maksimum dalam 20
– 30 menit. Pemberian rektal peak plasma dicapai dalam 16 menit.
Obat ini diabsorbsi cukup cepat, tergantung aliran darah pada tempat
suntikan. Absorbsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada
gluteus maksimus. Eliminasi obat ini tergantung pada biotransformasi
hepatik yang mengubahnya menjadi alfa-hidroksimetil midazolam.

Midazolam menyebabkan depresi ringan tahanan vaskuler


sistemik dan curah jantung. Laju jantung biasanya tidak berubah.
Perubahan hemodinamik yang berat dapat terjadi bila dosis yang
diberikan terlalu besar atau bersama dengan obat narkotik.

Pemberian obat ini juga menyebabkan depresi ringan pada


volume tidal, laju nafas dan sensitivitas terhadap CO2. Hal ini makin
nyata bila digunakan bersama dengan opioid dan pada pasien dengan
penyakit jalan nafas obstruktif kronis. Pada pasien yang sehat
midazolam tidak menyebabkan bronkokonstriksi.

F.Diazepam
Termasuk golongan benzodiazepin yang berkhasiat sebagai

transquilizer. Suntikan akan menberikan rasa seperti terbakar, untuk

mengurangi dapat diencerkan dengan NaCl atau Dekstrosa 5%. Pada

dosis rendah akan timbul sedasi, sedang dosis besar bersifat hipnotik.
Dosis untuk induksi antara 0,2 – 1 mg/kgBB. Induksi sampai tidur
biasanya perlu dosis yang besar. Diazepam jangan dicampur dengan
obat-obatan lain dan harus disuntikkan dalam vena besar untuk
menghindari tromboflebitis.

Efek pada SSP bervariasi terhadap individu, mempunyai efek


pelemas otot ringan dan menimbulkan amnesia anterograd. Pengaruh
terhadap kontraksi maupun denyut jantung minimal sekali, kecuali
dosis yang digunakan terlalu besar. Hipotensi kadang-kadang terjadi
akibat reflek relaksasi pembuluh darah perifer. Depresi ringan
pernafasan dapat timbul, dan akan lebih berat jika dikombinasikan
dengan opioid. Hiccup, batuk-batuk dan disritmia jarang terjadi,
sehingga obat ini menguntungkan untuk pasien usia tua, penyakit
jantung resiko tinggi dan pasien resiko tinggi lainnya.

G.Fentanil
Merupakan opioid agonis poten, turunan dari fenilpiperidin.

Sebagai analgesik, fentanil 75 sampai 125 kali lebih poten dibanding

morfin atau 750 sampai 1250 kali lebih kuat dibanding petidin.

Dosis yang diberikan bervariasi. Dosis 1 – 2 g/kgBB


intravena biasanya digunakan untuk efek analgesia pada teknik
anestesia balans. Dosis 2 – 10 g/kgBB intravena digunakan untuk
mencegah atau mengurangi gejolak kardiovaskuler akibat laringoskopi
dan intubasi ET serta perubahan tiba-tiba dari stimulasi bedah. Dosis
besar 50 – 150 g/kgBB intravena digunakan sebagai obat tunggal
untuk menimbulkan surgical anesthesia.

Pada pemberian dosis tunggal intravena, mula kerja 30 detik

dan mencapai puncak dalam waktu 5 menit dan menurun setelah 20


menit. Mudah melewati sawar darah otak. Metabolisme terjadi di

hepar dengan cara dealkilasi, hidroksilasi dan hidrolisa amida menjadi

metabolit tak aktif meliputi norfentanil dan desproprionilnorfentanil.

Ekskresi melalui empedu dan urin, berada dalam feses dan urin dalam

bentuk metabolit lebih dari 72 jam setelah pemberian dan kurang dari

8% dalam bentuk asli. Waktu paruh eliminasi 185 – 219 menit.

Fentanil menyebabkan ketergantungan fisik, euforia, analgesia


yang kuat, perlambatan EKG, miosis, mual dan muntah yang
tergantung pada dosis. Efek terhadap kardiovaskuler minimal
meskipun laju jantung dapat menurun yang merupakan efek vagal.
Fentanil mendepresi ventilasi dan menyebabkan kekakuan otot rangka
khususnya otot thorak, abdomen dan ekstremitas. Tekanan intra bilier
meningkat dan mempunyai aksi kolinergik kuat. Fentanil tidak
menyebabkan pelepasan histamin.

Fentanil menimbulkan aktivitas kejang pada EEG pada dosis


20 – 80 g/kgBB (kucing), 200 – 400 g/kgBB (tikus) dan > 1.250
g/kgBB (anjing). Tetapi pada manusia dosis 150 g/kgBB tidak
menimbulkan aktivitas kejang pada EEG.

12. Catatan observasi pasien

13. Catatan perkembangan pasien

14. Penulisan diagnose


15. Bukti dokter penanggung jawab pasien memberikan penjelas tentang
penyakit pasien dan pendidikan tentang kewajiban pasien
a. Harus selalu berusaha melindungi dan mempertahankan hidup insani.
b. Harus bersikap tulus iklas mempergunakan ilmunya untuk kepentingan
pasien. Jika ia tidak mampu melaksanakan pemeriksaan dan
pengobatan, ia wajib merujuk pasien ke dokter/ rumah sakit lain yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
c. Wajib datang dan melakukan pertolongan darurat, sebagai suatu tugas
kemanusiaan.
d. Wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
e. Memberikan kesempatan kepada pasien agar dapat berhubungan
dengan keluarganya dan untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.
f. Dalam memberikan pengobatan harus memperhatikan kemampuan
ekonomi pasien.
g. Hubungan dokter dan pasien harus selaras secara empatis, tetapi jangan
sampai menimbulkan masalah diluar bidang medis, sebagai akibat
hubungan yang tidak proporsional.
h. Dokter wajib memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar
profesi, yang diberlakukan di RS. William Booth semarang.
i. Dokter wajib memberikan informasi dengan benar dan lengkap (inform
consent) kepada pasien/ keluarganya jika akan melakukan tindakan
medik
pada pasien tersebut.
Dokter wajib membuat rekam medik tentang penyakit/ keadaan pasien dengan
baik, lengkap, benar, secara berkesinambungan

16. Kewaliban dokter dan perawat mengisi rekam medis secara lengkap
,benar ,jelas ,akurat ,tepat waktu,tanpa coretan
BAB VIII

SISTEM PELAPORAN

1. Laporan internal berkala

Laporan Internal RS PKU Muhammadiyah Cepu dilakukan dengan cara


manual. Pengolahan manual ini dilakukan dengan cara merekapitulasi data-
data yang sudah terkumpul pada unit pengolahan data untuk dibuatkan table
atau grafik/trend yang sesuai dengan kebutuhan rumah sakit, laporan ini
meliputi laporan tahunan, yang dilaporkan direktur dan pemilik rumah sakit
(MKKM)

2. Laporan eksternal berkala

Laporan eksternal RS PKU Muhammadiyah Cepu dilakukan dengan

cara manual. Pengolahan manual ini dilakukan dengan cara merekapitulasi


data-data yang sudah terkumpul pada unit pengolahan data untuk dibuatkan

table atau grafik yang sesuai dengan kebutuhan. Pelaporannya antara lain :

1. Data Kegiatan Rumah Sakit (RL 1)

Laporan harian kegiatan rumah sakit dari setiap ruangan,baik dari ruang
rawat inap yang berupa sensus harian pasien rawat inap, ataupun
formulir lainya yang telah diisi oleh bagian masing-masing. Laporan
tersebut diolah oleh bagian pengolah data sehingga laporan tersebut sesuai
dengan kebutuhan untuk mengisi RL dan rumah sakit, pengolahan ini
dilakukan secara manual.

2. Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Inap Rumah Sakit (RL 2a)
dan Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit (RL
2b). Laporan harian yang berasal dari berkas Rekam Medis yang
dikodifikasi berdasarkan ICD-10, direkapitulasi secara mingguan, yang
kemudian didibuatkan secara bulanan dan dilaporkan secara triwulan. Hal
ini dilakukan baik secara manual maupun komputerisasi melalui proses
indeks untuk masing-masing jenis penyakit yang dikelompokkan menurut
DTD seperti yang terdapat pada formulir RL 2a dan 2b. Dalam membuat
laporan untuk RL 2a dan 2b, harap diperhatikan tentang koding yang
hanya ada di RL 2a saja atau di RL 2b saja. Misalnya di RL 2a, untuk
koding kontrol kehamilan, imunisasi, control setelah melahirkan tentunya
tidak ada di RL 2a tetapi lebih ke RL 2b. Di RL 2b juga tidak ada koding
untuk ibu melahirkan atau bayi baru lahir, tetapi lebih ke RL 2a. Juga
harap diperhatikan tentang jenis kelamin untuk diagnose tertentu,

misalnya ibu melahirkan tentunya dengan jenis kelamin perempuan, atau


penyakit yan g berhubungan dengan masa haid, jika dilihat di ICD-10,
maka untuk kode 0, hanya untuk perempuan saja. Tetapi ada juga hanya
untuk laki-laki saja, misalnya kode yang berhubungan dengan penyakit
prostat, neoplasma prostat, testis atau neoplesma alat kelamin pria lainnya.
Kodifikasi khusus untuk usia 0 – 28 hari, juga harap diperhatikan,
misalnya penyakit yang berhubungan dengan masa perinatal, maka bias
digunakan kode P. Atau misalnya penyakit karies gigi tidak akan terdapat
dikelompokan pada golongan usia 0 – 28 hari tersebut. Karena pada
umumnya di usia tersebut gigi belum tumbuh,
Untuk membuat laporan, selain RL 2a dan RL 2b yang sudah baku, bisa

diolah dari RL 2a dan RL 2b untuk dibuatkan ranking 10 (sepuluh)

besar penyakit rawat inap dan rawat jalan. Harap diperhatikan tentang

kode yang berhubungan dengan ibu melahirkan normal, bayi baru lahir

dengan kondisi sehat, ataupun control dan imunisasi serta lainya, tidak

dimasukkan kedalam ranking penyakit. Setelah mendapatkan 10 ranking

penyakit tersebut, maka dapat dibuatkan table atau grafik dalam bentuk

pie, untuk melihat secara jelas penyakit mana yang banyak diderita

pasien.

3. Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Inap Surveilans Terpadu


Rumah Sakit (RL 2a1) dan Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat
Jalan Surveilans Terpadu Rumah Sakit (RL 2b1).

Data dapat diperoleh dari laporan RL 2a dan 2b yang merupakan penyakit


menular yang dipantau secara rutin dan dilaporkan setiap bulan. Untuk
menyajikan data dari RL 2a1 dan 2b1 ini, dapat di ranking penyakit
menular mana yang paling tinggi, buntuk laporan bias berupa tabel atau
grafik, sesuai dengan kebutuhan dari Rumah Sakit tersebut.

4. Data Individual Morbiditas Pasien Rawat Inap Pasiwen Umum (RL


2.1), Data Individual Morbiditas Pasien Rawat Inap Pasien Obstetri
(RL 2.2) dan Data Individual Morbiditas Pasien Rawat Inap Pasien
Perinatal (RL 2.3). Data ini dapat diperoleh dari isian dokter yang
menangani pasien setiap periode pengambilan sampel yang ditulis pada
kolom sebelah kiri dan kolom sebelah kanan diisi oleh petugas Rekam
Medik berdasarkan isian dokter yang merawat pada kolom sebelah kiri.
Periodenya hanya untuk pasien pulang pada tanggal 1-10 setiap bulan
Februari, Mei, Agustus, dan Nopember. Untuk selanjutnya bila
memerlukan data tentang RL 2.1, 2., dan 2.3, dapat dibuatklan
rekapitulasinya, misalnya dengan dibuatkan data yang bedasarkan

penyakit yang diderita pasien, sehingga dari periode tanggal 1-10 tersebut

dapat diketahui penyakit mana yang lebih banyak diderita pasien.

5. Data Dasar Rumah Sakit (RL 3) yaitu data mengenai jumlah TT yang
tersedia dirumah sakit dan fasilitas yang ada di unit rawat jalan/
poliklinik yang menyediakan pelayanan dokter spesialis/sub spesialis
untuk menangani pasien. Dapat disajikan data tentang perkembangan
tempat tidur dirumah sakit atau bias juga tentang data pelayanan spesialis
atau subspesialis apa yang ada dirumah sakit tersebut.
6. Untuk Data RL 4 (mengenai Data Ketenagaan Rumah Sakit), disajikan tentang
jumlah semua tenaga yang bertugas dirumah sakit, baik tenaga dokter, perawat
maupun petugas lainnya. Dengan data ini bias disajikan tentang berapa tenaga dokter,
perawat atau yang lainnya, misalnya : Penyajian data tentang tenaga kesehatan yang ada
disebuah rumah sakit, bisa diambil data dari RL 4 tentang tenaga kesehatan saja,
kemudian dipilah menjadi beberapa bagian atau diklasifikasikan berdasarkan tanaga
medis, keperawatan, farmasi, dan lain-lain seperti yang ada di RL 4 halaman 1 s/d 4.
Dapat pula dibandingkan dengan RL yang lainnya. Misalnya tenaga perawat
dibandingkan dengan jumlah pasien yang dirawat setiap hari.

7. Untuk Data RL 4a (Data Individual ketenagaan) dibuatkan untuk kepentingan


Departemen Kesehatan sendiri tentang data individual ketenagaan khususnya
pada rumah sakit vertikal.

8. RL 5 merupakan data tentang data peralatan medic rumah sakit. Laporan ini berisi
jumlah, umur, kapasitas, kondisi dan izin operasional serta kalibrasi peralatan
yang ada dirumah sakit. Dengan format RL 5 ini, rasanya sudah cukup untuk menilai
suatu alat lain atau tidak untuk dipergunakan.

9. Pada Rl 6 (Data Infeksi Nosokomial Rumah Sakit) dapat disajikan tentang infeksi

noaokomial yang ungkin terjadi selama masa perawatan yang berasal dari ruang

perawatan rumah sakit. Dari laporan harian dapat dibuatkan laporan secara bulanan.

Dari data tersebut dapat diolah seberapa tinggi/banyaknya infeksi yang terjadi. Caranya

dengan mengklasifikasikan masing-masing infeksi yang terjadi selama perawatn di

rumah sakit dan mengurutkan infeksi nosokomial mana yang paling sering terjadi.

3. Laporan khusus sewaktu

Laporan ini dilakukan bila permintaan mendadak dari direktur maupun dinas kesehatan
dengan versi sesuai kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai