Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH DOSEN PEMBIMBING

Qawaid Fiqhiyyah DR. Johari

Di Susun Oleh:

Ahmad Luqman Al Hakam Bin Mohd Zaidi

11720115010

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN 2019

1
1. Hukum suami melafazkan talak ketika istri dalam kondoisi hamil

Jawaban :

Pendapat para ulama bahwa talak untuk istri yang sedang hamil adalah
sah. Ini adalah kesepakatan ulama, tidak ada perselisihan. Terdapat hadits yang
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tatkala Ibnu Umar mentalak
istrinya ketika haid, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
Ibnu Umar untuk mempertahankan istrinya sampai selesai haidnya dan bersuci.

Kemudian beliau bersabda,

‫ثم ليطلقها طاهرا أو حامال‬


Artinya : “Silahkan talak istrimu, dalam kondisi suci atau ketika sedang
hamil.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa talak untuk wanita hamil statusnya sama
dengan talak untuk wanita suci yang belum disetubuhi. Ringkasnya, mentalak
wanita ketika hamil hukumnya boleh. Bahkan termasuk talak sunnah, menurut
pendapat yang kuat. Talak yang dilarang adalah talak sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits, yaitu talak ketika haid atau nifas. Selama wanita sedang
haid atau nifas maka tidak boleh seorang suami yang muslim mentalaknya.

2. Hukum Istri keluar rumah tanpa izin suami.

Jawaban:

Allah perintahkan agar para wanita lebih banyak tinggal di dalam rumah.
Karena rumah adalah hijab yang paling syar’i baginnya. Allah berfirman,

‫َوقَ ْرنَ فِي بُ ُيوتِكُنَّ َو ََل تَبَ َّرجْ نَ تَبَ ُّر َج ا ْلجَا ِه ِليَّ ِة ْاْلُولَى‬

Artinya: “Tetaplah tinggal di rumah kalian, dan jangan melakukan tabarruj


seperti tabarruj jahiliyah yang dulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)

Allah gandengkan perintah untuk banyak tinggal di rumah dengan


larangan melakukan tabarruj. Karena umumnya, wanita akan lebih rentan
melakukan tabarruj jika dia sudah sering keluar rumah.

2
Karena itu, para wanita diperintah untuk banyak tinggal di dalam rumah. Dan
ketika hendak keluar rumah, mereka harus meminta izin kepada suaminya.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

َّ‫س ِج ِد فَأْذَنُوا لَ ُهن‬ َ ‫ستَأْذَنَ ُك ْم ِن‬


ْ ‫سا ُؤ ُك ْم ِبال َّل ْي ِل ِإلَى ا ْل َم‬ ْ ‫ِإذَا ا‬

Artinya: “Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke
masjid malam hari, maka izinkanlah…” (HR. Ahmad 5211, Bukhari 865, dan
Muslim 1019).

3. Hukum perempuan yang menjalani iddah menetap di tempat yang


berdomisili.

Jawaban:

Perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya wajib ia menetap di


rumah keluarga hingga masa iddahnya berakhir. Ia tidak boleh keluar dari rumah
keluarganya itu dan suaminya tidak boleh mengeluarkannya. Apabila ketika talak
dan perceraian terjadi, sang istri sedang tidak berada di rumah keluarga, ia wajib
kembali ke rumah keluarga itu pada saat ia mengetahui terjadinya talak atau
perceraian. Hal itu berdasarkan firman Allah swt.

ٰٓ‫ٰٓم ْۢ ْن‬
ِ ‫ٰٓربَّ ُك َۚ ْم ََٰٓلٰٓت ُ ْخ ِر ُج ْو ُه َّن‬ َ َ ‫وآٰال ِعدَّ َۚة‬
‫ٰٓواتَّقُ ه‬
َ َ‫وآّٰٰللا‬ ْ ‫ص‬ َ َ‫س ۤا َءٰٓف‬
َ ‫ط ِلقُ ْو ُه َّنٰٓ ِل ِعدَّتِ ِه َّن‬
ُ ْ‫ٰٓواَح‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُمٰٓالن‬
َ ٰٓ‫يٰٓاِذَا‬
ُّ ِ‫يٰٓاَيُّ َهآٰالنَّب‬

ٰٓ‫ظلَ َم‬
َ ْٰٓ‫ّٰٰٓللآِٰفَقَد‬
‫ّٰٰٓللآِٰ ٍَۗو َم ْنٰٓيَّتَعَ ٰٓدَّٰٓ ُحد ُْودَ ه‬ َ ‫شةٍٰٓ ُّمبَيِنَ ٍۗ ٍة‬
‫ٰٓوتِ ْلكَ ٰٓ ُحد ُْودُ ه‬ ِ َ‫ٰٓو ََلٰٓيَ ْخ ُرجْ نَ ٰٓا ََِّلٰٓا َ ْنٰٓيَّأْتِيْنَ ٰٓبِف‬
َ ‫اح‬ َ ‫بُي ُْوتِ ِه َّن‬

‫يٰٓلَعَ َّل ه‬
ُ ‫ّٰٰٓللآَٰيُحْ د‬
‫ِثٰٓبَ ْعدَٰٓذلِكَ ٰٓا َ ْم ًرا‬ َ ‫نَْٰٓف‬
ْ ‫سهٗ ٰٓ ٍََٰۗٓلٰٓتَد ِْر‬

Artinya : “Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah


kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang
wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan)
keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-

3
hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh,
dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. ( Surah Thalaq (65):1)

4. Hukum mengajak anak untuk memindahkan tempat tinggal.

Jawaban:

Ibnu Qayyim berpendapat bahwa apabila salah satu dari kedua orang tua
berpegian untuk ketentuan tertentu, kemudian, dia kembali ke rumahnya,
sedangkan orang tua yang satunya lagi tetap bermukim di tempat itu. Hal ini
karena berpegian bersama si anak, apalagi jika si anak masih disusui sama saja
dengan menelantarkannya dan membahayakan keselamatan jika wangnya. Inilah
pendapat yang disepakati oleh para ulama. Bahkan, mereka tidak mengecualikan
pelaksanaan ibadah haji.

Para ulama menyampaikan riwayat lain yang bersumber dari Abu Hanifah,
yaitu apabila perpindahan sang ibu dari pusat kota ke desa maka sang ayah lebih
berhak untuk mengasuh si anak. Sementara itu, apabila ia (ibu) berpindah dari
satu kota ke kota yang lain, maka ia lebih berhak mengasuh si anak.

5. Hukum mengkhitbah tunangan orang lain.

Jawaaban:

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٰٓ‫علَى‬
َ ُٰٓ‫ٰٓالر ُجل‬
َّ ‫ب‬ ُ ‫ٰٓوَلَٰٓيَ ْخ‬،
َ ‫ط‬ َ ‫ض‬ ٍ ‫علَىٰٓبَيْعِٰٓبَ ْع‬ ُ ‫سلَّ َمٰٓأ َ ْنٰٓيَبِ ْي َعٰٓبَ ْع‬
َ ٰٓ‫ض ُك ْم‬ َ ‫ٰٓو‬ َ ُٰٓ‫صلَّىٰٓهللا‬
َ ‫علَ ْي ِه‬ َ ٰٓ‫ي‬ُّ ِ‫نَ َهىٰٓالنَّب‬
ُٰٓ ‫َاط‬
‫ب‬ ْ ‫بٰٓقَ ْبلَهُٰٓأ َ ْوٰٓيَأْذَنَ ٰٓلَه‬
ِ ‫ُٰٓالخ‬ ُ ‫َاط‬ ِ ‫ٰٓالخ‬ْ َ‫ٰٓ َحتَّىٰٓيَتْ ُرك‬،‫طبَ ِةٰٓأ َ ِخ ْي ِه‬
ْ ‫ ِخ‬.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli


barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang
seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang
meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya”

4
Mengkhitbah perempuan adalah boleh-boleh saja. Namun jika perempuan
tersebut sudah dikhitbah terlebih dahulu oleh orang lain, maka lebih baiknya tidak
mengkhitbahnya kembali. Rasulullah melarang hal tersebut. Kecuali perempuan
tersebut membatalkan tunangan pertamanya atau laki-laki yang mengkhitbahnya
telah mengizinkannya.

Dalam hal ini, khitbah boleh dilakukan oleh laki-laki kedua apabila
memenuhi beberapa hal berikut.

1. Pihak perempuan sudah menolak khitbah laki-laki pertama atau


menjawabnya dengan sindiran, misalnya dengan mengucapkan “ Aku
tidak membencimu”.
2. Laki-laki kedua tidak mengetahui adanya khitbah laki-laki pertama.
3. Pihak perempuan belum memberi kepastian kepada laki-laki pertama,
apakah ia menerima atau menolak lamarannya.
4. Laki-laki pertama telah memberikan izin kepada laki-laki kedua.

Syafi’i meriwayatkan hadis bahwa ketika seorang laki-laki meminang


seorang perempuan dan perempuan itu menerima pinangannya, maka tak seorang
pun berhak untuk meminang pinanganya (perempuan tadi).

Apabila laki-laki yang ingin meminang tidak mengetahui jawaban perempuan tadi
atas pinangan laki-laki pertama, maka ia boleh meminangnya. Tetapi, apabila ia
meminang setelah perempuan tadi menerima pinangan laki-laki pertama, maka ia
telah berdosa.

6. Hukum menikahi istri orang lain dan perempuan yang dalam masa iddah.

Jawaban:

Seorang muslim diharamkan menikahi perempuan yang berstatus istri


orang lain, seperti juga diharamkan baginya menikahi perempuan yang sedang
berada dalam masa iddah dari pernikahannya dengan laki-laki lain. Hal ini tidak
lain demi menjaga hak-hak suami dari perempuan tersebut.

5
Allah swt berfirman,

َٰۚٓ‫علَ ْي ُك ْم‬ َّ ‫َاب‬


َ ِٰٓ‫ّٰٰٓللا‬ َ ‫تٰٓأ َ ْي َمانُ ُك ْمٰٰٓۖٓ ِكت‬
ْ ‫اءٰٓ ِإ ََّلٰٓ َمآٰ َملَ َك‬
ِ ‫س‬َ ‫ٰٓالن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
ِ ُ‫صنَات‬
ِ َ‫ٰٓمن‬

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu”. (An-Nisa (4):24)

Ayat di atas merupakan larangan bagi setiap laki-laki untuk menikahi


perempuan yang telah bersuami kecuali para hamba sahaya yang merupakan hasil
dari tawanan perang. Para budak perempuan tersebut halal di nikahi oleh laki-laki
yang menguasainya walaupun ia telah bersuami setelah selesai masa iddahnya,
karena ketika seorang perempuan menjadi budak (tawanan) perang maka ia
dianggap telah berpisah dengan suaminya.

Ayat tersebut dapat diartikan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi


tawanan halal untuk dinikahi setelah habis masa iddahnya, yaitu dengan
perhintungan satu kali haid.

7. Hukum istri yang melakukan khuluk karena tidak suka.

Jawaban:

Syaukani berkata, “Secara literal, hadist-hadist yang membahas khuluk


menjelaskan bahwa pertikaian yang disebabkan oleh pihak istri dianggap cukup
untuk menjatuhkan khuluk”

Sementara itu, Ibnul Mundzir berpendapat bahwa khuluk tidak boleh dijatuhkan
apabila pertikaian tidak datang dari masing-masing suami istri. Dia beralasan
dengan zahir ayat. Pendapat ini juga dianut oleh Thawus, Sya’bi dan beberapa
ulama dari kalangan tabi’in.

6
8. Hukum menjual kucing peliharaan dalam islam

Jawaban:

‫ٰٓالربَا‬
ِ ‫ٰٓو َح َّر َم‬ ْ ُ‫ّٰٰٓللا‬
َ ‫ٰٓالبَ ْي َع‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

Artinya “padahal Allah telah menghalalkan (segala jenis) jual-beli dan


mengharamkan (segala jenis) riba…”Q.S. Al-Baqarah: 275.

Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm, segala


bentuk jual-beli yang mana kedua pihak saling ridha terhadapnya adalah boleh
dilakukan, kecuali jual-beli yang ditetapkan di dalam syariat tentang
keharamannya. Misalnya, jual-beli yang mengandung riba dan hal-hal yang
diharamkan lainnya yang dilarang Rasulullah Saw.

Secara umum, jual-beli dalam Mazhab Syafi’i didefenisikan dengan;


sebuah transaksi tukar-menukar harta dengan harta yang menyebabkan beralihnya
hak milik harta tersebut.

Kemudian rukun jual beli ada tiga: pelaku (penjual dan pembeli); sighat
akad (ijab dan qabul); dan objek jual beli (barang dan harga). Masing-masing
rukun tersebut memiliki syarat-syarat yang ditentukan syara’ yang telah
dirumuskan oleh para fukaha.

Fokus kepada objek jual beli, diantara syaratnya adalah harus suci dan
juga memiliki manfaat. Karena bila barang tersebut tidak bermanfaat, tidak bisa
dinamakan sebagai “harta”. Oleh karenanya, hukum jual-beli hewan yang suci dan
dapat dimanfaatkan adalah boleh.

Allah SWT berfirman:

ٰٓ‫ون‬ َ ً‫َآٰو ِزينَة‬


َ ‫ٰٓويَ ْخلُ ُقٰٓ َم‬
َ ‫آَٰلٰٓت َ ْعلَ ُم‬ َ ‫َٰٓو ْال َح ِم‬
َ ‫يرٰٓ ِلت َْر َٰٓكبُوه‬ َ ‫َٰٓو ْالبِغَال‬
َ ‫َو ْال َخ ْيل‬

7
Artinya: “dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu
ketahui.”

Imam Ar-Rafi’i dalam Fath Al-’Aziz mengklasifikasikan hewan yang suci


ke dalam dua macam; hewan suci yang dapat dimanfaatkan (termasuk manfaat
keindahan suara dan warnanya), dan yang tidak dapat dimanfaatkan. Hewan
kiteria pertama boleh diperjualbelikan, sedangkan hewan kriteria kedua tidak.

9. Hukum menuduh orang lain berzina

Jawaban:

Dalam kitab-kitab fiqih, menuduh orang lain berbuat zina diistilahkan


sebagai qadf, yang definisinya sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Muhammad
bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 282 ialah:

‫ وشرعًا الرمي بالزنا على جهة التعيير لتخرج الشهادة بالزنا‬،‫ وهو لغةً الرمي‬.‫فصل في بيان أحكام القذف‬

Artinya: “Pasal penjelasan tentang hukum al-qadf. Secara bahasa (qadf)


bermakna ‘menuduh’. Secara syariat bermakna menuduh zina untuk tujuan
mempermalukan agar keluar persaksian zina”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketika seseorang menuduh orang


lain berbuat zina, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tuduhannya
tersebut. Dia harus mampu menghadirkan empat orang saksi laki-laki (satu
diantaranya adalah dirinya) yang sama-sama menyaksikan tertuduh melakukan
tindakan zina yakni memasukkan alat kelamin lelaki ke dalam alat kelamin
perempuan, dengan melihat secara langsung (mata telanjang) tanpa terhalang
apapun. Persaksian keempatnya harus seragam.

Apabila penuduh tidak mampu menghadirkan saksi dengan ketentuan di


atas, maka keadaan justru terbalik, si penuduh akan diancam hukuman hadd qadf,
yakni dicambuk sebanyak 80 kali. Hukuman ini tidak berlaku apabila si penuduh
adalah suami tertuduh yang telah bersumpah li’an.

8
Di antara pernyataan yang masuk dalam kategori sebagai tuduhan zina
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Azhari, penulis kitab Hasyiyah
al-Jamal, ialah ketika seseorang berkata pada orang lain: “engkau berzina”, atau
“hai pezina”, atau “kelaminmu berzina”, atau “engkau memasukkan kelaminmu
pada kelamin yang haram”, atau ia berkata pada seorang anak: “Engkau bukan
anak si fulan”, atau “engkau anak zina”, dan lain sebagainya.\

10. Isteri bekerja sebagai seorang guru. Apakah boleh bagi suaminya untuk
mengambil semua gaji isterinya mengingat pasangan suami isteri ini
membutuhkan rumah tempat tinggal?

Jawaban:

Syaikh Abdullah bin Sulaiman al Mani’ (salah seorang ulama anggota


Haiah Kibar Ulama KSA), mengatakan, “Perempuan itu memiliki hak pribadi
yang independent, hak-hak finansial dan hak lainnya yang diakui. Sehingga tidak
boleh mengambil sedikit pun hak finansialnya, kecuali dengan sepenuh kerelaan
hatinya. Sehingga jika dengan sepenuh hati dia merelakan gaji bulanannya untuk
suaminya, ayahnya atau ibunya maka memanfaatkan uang gaji tersebut adalah
suatu yang halal.

ً ‫فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا ً فكلوه هنيئا ً مريئا‬

Artinya: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari


maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. An Nisa:4).

Sedangkan mengambil seluruh atau sebagian gaji isteri secara paksa maka
ini adalah perbuatan yang terlarang karena termasuk memakan harta orang lain
dengan cara yang tidak benar.

Seorang suami memiliki kewajiban untuk menafkahi isterinya dan


memenuhi semua kebutuhan hidupnya meski isteri adalah seorang wanita yang
kaya. Kayanya seorang isteri tidaklah menyebabkan gugurnya haknya yang
merupakan kewajiban suami”.

Anda mungkin juga menyukai