Anda di halaman 1dari 11

PRINSIP HUKUM

FIQH & IBADAH


DALAM ISLAM

By

Nanda Ayu Prastiwi Nugraha


20180310036
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur saya panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. yang
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta pengetahuan sehingga makalah
Ushul Fiqh tentang “Prinsip Hukum Fiqh dan Ibadah dalam Islam” ini bisa selesai sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.

Saya berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-
rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang prinsip hokum fiqh dan ibadah
yang merupakan salah satu bagian dari Ushul Fiqh.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil saya susun ini bisa dengan
mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya meminta maaf bilamana terdapat
kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa saya juga berharap adanya masukan
serta kritikan yang membangun demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………………..i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………….1
Daftar Isi………………………………………………………………………………………..2
Prinsip Hukum Fiqh Islam Terkait Masalah Kedokteran
Transplantasi…………………………………………………………………………....3
Bayi Tabung…………………………………………………………………………….4
Euthanasia………………………………………………………………………………4
Prinsip Ibadah bagi Orang Sakit
Wudhu dan Salat………………………………………………………………………..6
Puasa……………………………………………………………………………………7
Haji……………………………………………………………………………………...8
Penutup………………………………………………………………………………………...10

2
Prinsip Prinsip Hukum Fiqh Islam Terkait dengan Masalah Kedokteran

1) Transplantasi
Donor organ atau transplantasi organ menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan serta PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia dalam pasal 1 ayat 5 UU
tersebut Transplantasi adalah serangkaian tindakan medis untuk memindahhkan organ dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain maupun tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan
baik.

Kemudian, pada pasal 33 ayat 2 UU tersebut menyebutkan bahwa Transplantasi organ


dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan
dilarang untuk tujuan komersil.
Jenis-jenis transplantasi :
1. Autotransplantasi : transplantasi antara resipien dan donor satu individu
2. Homotransplantasi : resipien dan donor dua individu yang sama jenisnya
3. Heterotransplantasi : resipien dan donor dua individu yang beda jenisnya.misal
binatang ke manusia

Hukum Transplantasi :
 Pencangkokan dengan tujuan pengobatan adalah suatu tindakan pengobatan setelah
usaha pengobatan yang lain tidak berhasil
 Hukum melakukan pencangkokan dengan tujuan pengobatan, yang apabila tidak
dilakukan akan membahayakan jiwa pasien, ialah mubah (boleh) karena dlarurat
 Hukum pencangkokan dengan tujuan pengobatan cacat badan dapat dimasukkan
kategori dlarurat, karena sangat dihajatkan untuk tidak menimbulkan komplikasi
kejiwaan, maka hukumnya mubah (boleh)
 Pecangkokan harus dilakukan oleh seorang ahli (dokter sesuai keahliannya)

3
2) Bayi Tabung

Bayi tabung atau pembuahan in vitro adalah sebuah teknik pembuahan yang sel
telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Ini merupakan salah satu metode untuk mengatasi
masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.
Hukum bayi tabung :
 Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-
kaidah agama
 Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik
dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan
 Bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain
hukumnya haram, karena akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan warisan
 Bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri
yang sah hukumnya haram. Karena, statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina

3) Euthanasia
Euthanasia sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-
rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut(memudahkan kematian)
Euthanasia sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif
Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-
rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut(memudahkan kematian).

4
Terdapat 2 macam euthanasia, yaitu :
1. Euthanasia Positif
Eutanasia positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit—karena kasih saying—yang
dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat) atau obat
2. Eutanasia Negatif
Euthanasia negatif adalah tindakan membiarkan saja pasien yang sudah parah sakitnya tanpa
tindakan pengobatan

Hukum euthanasia :
 Untuk euthanasia positif tidak diperbolehkan, sedangkan untuk euthanasia negatif
sebagian ulama membolehkan dengan dasar bahwa hukum mengobati atau berobat
dari penyakit tidak sepenuhnya wajib
 Pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat
diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai
dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh
para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan
mustahab berobat, apalagi wajib.

5
Prinsip Ibadah bagi Orang Sakit

1) Wudhu dan Salat


 Ketika akan melaksanakan shalat hendaklah melakukan wudhu terlebih dahulu.
 Jika orang sakit mampu melakukan wudhu dengan menggunakan air, maka hendaklah
ia melakukannya seperti orang sehat.
 Apabila ia tidak mampu melakukannya dengan menggunakan air, maka hendaklah ia
melakukan tayamum sebagai ganti dari wudhu, yaitu, dengan menekankan kedua
telapak tangan ke tanah atau tempat yang mengandung unsur tanah/ debu, kemudian
meniup kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya pada muka dan kedua
punggung telapak tangan masing-masing satu kali
 Orang sakit selama ia mampu melakukan shalat dengan berdiri, maka hendaklah ia
shalat dengan berdiri. Jika ia tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, maka
shalatlah dengan duduk, baik dengan duduk bersila maupun dengan cara duduk tawaruk
atau iftirasy
 Jika tidak mampu duduk karena mendapatkan kesulitan ketika duduk atau mendapatkan
madharat, seperti penyakitnya bertambah parah, maka hendaklah ia melaksanakan
shalat dengan tidur miring. Tata cara shalat orang sakit seperti itu ditegaskan dalam
hadits: “Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita penyakit
wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab: “Shalatlah
kamu sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalat sambil
berbaring.” [HR. al-Bukhari]
 Gerakan atau cara ruku’ dan sujud orang sakit hendaklah dibedakan
“Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: Orang sakit
melakukan shalat dengan berdiri jika ia mampu berdiri. Jika ia tidak mampu (berdiri),
shalatlah ia dengan duduk. Jika ia tidak mampu sujud ke tanah (tempat sujud), maka ia
memberi isyarat, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah (posisi atau caranya) dari
ruku’nya. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka ia shalat dengan tidur miring
ke sebelah kanan dan menghadap kiblat. Jika tidak mampu tidur miring ke sebelah

6
kanan, maka ia shalat dengan menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat.” [HR. al-
Baihaqi dan ad-Daruquthni]

2) Puasa
Terdapat 3 aturan berpuasa bagi orang sakit, yaitu :
1. Sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa
Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan.
Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
2. sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat
jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan
Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin
berpuasa.
3. apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada
kematian
Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,

َ ُ‫َوال ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬


‫س ُك ْم‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia
ditakutkan sakit? Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang
ditakutkan akan menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti
orang sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama
sembuhnya.

Allah Ta’ala berfirman,

َ ُ‫َوال ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬


‫س ُك ْم‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

‫َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َوال ي ُِريدُ ِب ُك ُم ْالعُس َْر‬


‫ي ُِريدُ ه‬
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
ِ ‫علَ ْي ُك ْم فِي ال ِد‬
‫ِّين ِم ْن َح َرج‬ َ ‫َو َما َج َع َل‬

7
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)

َ َ‫َوإِذَا أ َ َم ْرت ُ ُك ْم بِأ َ ْمر فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْست‬


‫ط ْعت ُ ْم‬
“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara,
maka lakukanlah semampu kalian.”[2]

Hadits lain tentang ketentuan puasa bagi orang sakit :

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan
seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-
Baqarah: 184)

3) Haji
Allah Ta’ala berfirman dalam Kitab yang Mulia,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” SQ. Ali
Imron: 97.”

Pembahasan para ulama’ terkait dengan kemampuan sekitar adanya kendaraan yang
dapat menyampaikan (ke Mekkah), biaya di perjalanan pulang pergi setelah meninggalkan biaya
keluarganya dan orang yang menjadi tanggungannya selama ketidak hadirannya. Setelah
melunasi kewajiban hutangnya serta sehat, aman diperjalanan dan mahrom bagi wanita.

Telah ada dari Ikrimah rahimahullah terkait dengan penafsiran ayat tadi, ucapanya
perjalanan adalah kesehatan (tafsir Ibnu Katsir surat Ali Imron ayat 97).

8
 Sehingga keselamatan badan dari penyakit dan kekurangan yang menghalangi haji
merupakan syarat diwajibkannya haji. Kalau sekiranya seseorang sakit menahun atau
ditimpa penyakit permanen atau stroke atau orang tua yang tidak memungkinkan
berpindah-pindah, maka dia tidak diwajibkan menunaikan kewajiban haji.
 Barangsiapa yang mampu menunaikan haji dengan bantuan orang lain, maka dia wajib
haji kalau dia mudah mendapatkan orang yang membantunya (Al-Mausu’ah Al-
Fiqhiyyah 17/34).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Terkait dengan kemampuan ada beberapa bagian,
terkadang seorang mampu sendiri, terkadang dengan orang lain. Sebagaimana telah ditetapkan
dalam kitab hukum (tafsir di tempat tadi).

 Barangsiapa yang tertimpa penyakit yang menghalangi dari berhaji yang tidak ada
harapan sembuh, maka dia harus mencari pengganti untuk menghajikan dirinya.
Sementara kalau dia terkena penyakit yang ada harapan sembuh, maka ditunggu sampai
sembuh kemudian menunaikan haji sendiri. Dan tidak diperbolehkan mewakilkan
kepada orang untuk menghajikan dirinya (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/34).

9
PENUTUP

Terima kasih atas waktu yang telah diberikan untuk membaca makalah “Prinsip Hukum
Fiqh dan Ibadah dalam Islam”. Apabila ada kata-kata yang kurang dapat di mengerti ataupun
salah-salah kata saya mohon untuk di maafkan dan di maklumi.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Penyusun

10

Anda mungkin juga menyukai