Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH FARMAKOLOGI DAN

TOKSIKOLOGI 2
ASMA, BATUK DAN MALARIA

OLEH

NAMA : SRI DEWI SUKMA

NIM : 70100116049

KELAS : FARMASI A

SAMATA-GOWA
2018
DAFTAR ISI

Daftar isi

Rumusan masalah

BAB I : Malaria

A. Pendalaman materi

B. Patofisiologi

C. Epidemioogi

D. Penggolongan obat dan mekanisme

E. Penatalaksanaan

F. Study Case

G. Drugs Relation Problems (DRPs)

H. Penetapan obat

BAB II: Batuk

A. Pendalaman materi

B. Patofisiologi

C. Epidemioogi

D. Penggolongan obat dan mekanisme

E. Penatalaksanaan

F. Study Case

G. Drugs Relation Problems (DRPs)

H. Penetapan obat
BAB III: Asma

A. Pendalaman materi Asma

B. Patofisiologi

C. Epidemioogi

D. Penggolongan obat dan mekanisme

E. Penatalaksanaan

F. Study Case

G. Drugs Relation Problems (DRPs)

H. Penetapan obat

Daftar Pustaka
BAB I
MALARIA

A. Pendalaman Materi
Perkataan malaria berasal dari bahasa ltalia (mala = jelek; aria : udara), jadi
dahulu orang menduga bahwa penyakit malaria disebabkan oleh udara yang kotor.
Dalam penelitian yang lebih modern ternyata penyakit malaria disebabkan oleh
parasit bersel tunggal yang disebut protozoa dan dipindahkan ke dalam tubuh
manusia melalui nyamuk anopheles. Malaria adalah penyakit infeksi yang paling luas
penyebarannya di dunia dan diperkirakan 1/3 penduduk di dunia terkena penyakit
infeksi ini sehingga mempunyai pengaruh sosial. Penelitian yang dijalankan
menjelang dan selama perang Dunia I menunjukkan bahwa obat-obat yang dapat
menanggulanginya ialah obat-obat sintetis. 20 tahun kemudian ternyata setelah obat-
obat sintetis ini dapat dibuat dan sangat manjur. Manfaat obat-obat sintetis tersebut
menurun karena penyakit malaria tersebut menjadi sangat resisten sehingga akhirnya
orang kembali memakai obat kuno yaitu kina. Dan juga faktor penyebabnya yaitu
nyamuk sendiri telah menjadi resisten terhadap insektisida DDT, walaupun dahulu
sangal ampuh. Karena ini penelitian di bidang ini sekarang masih dilaksanakan dan
belum berhasil didapatkan imunisasi terhadap malaria. Dahulu pemberantasan
penyakit malaria di Indonesia dilakukan oleh Komando Operasi Pembasmian Malaria
(KOPM) yang mempunyai tugas utama yaitu membasmi pembawa penyakit malaria
yaitu nyamuk anopheles. Dan ini sekarang termasuk P3M (Pencegahan Pembasmian
Penyakit Menular) (widjayanti. 1998: 39-40).
Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles. Penyakit ini paling penting di antara penyakit parasit pada
manusia yang menjangkiti 103 negara yang endemis dengan jumlah populasi lebih
dari 2,5 milyar orang dan menyebabkan 1 hingga 3 juta kematian setiap tahunnya.
Penyakit malaria kini telah terbasmi di Amerika Utara, Eropa, dan Rusia; namun
demikian, kendati ada upaya pengendalian yang luar biasa, penyakit ini tampak
timbul kembali pada banyak kawasan tropis. Di samping itu, resistensi parasit malaria
terhadap pengobatan menyebabkan peningkatan permasalahan di sebagian besar
daerah malaria. Malaria tetap terdapat pada saat ini seperti yang terdapat untuk
berabad-abad lamanya, menjadi beban utama bagi masyarakat yang tinggal di
kawasan tropis dan merupakan ancaman bahaya untuk para pelancong (Iiselbacher.
2000: 1001-1002).
Macam-macam penyakit malaria penyakit malaria ada tiga macam:
1. Malaria tertiana yang disebabkan oleh: Plasmodium Vivax dan Ovale dengan tanda
demam berkala 3 hari sekali.
2. Malaria Kwartana yang disebabkan oleh Plasmodium Malaria dengan tanda
demam berkala 4 hari sekali.
3. Malaria Tropika yang disebabkan oleh Plasmodium Falcifarum dengan tanda
demam tidak tertentu.
Yang paling banyak dan berbahaya di daerah tropis adalah plasmodium
Falcifarum yang dapat mengakibatkan malaria tropika (Widjajanti. 1988: 39-40).
B. Patofisiologi
Hampir semua malaria pada manusia disebabkan oleh keempat spesies
protozoa intrasel obligat genus Plasmadiam. Meskipun malaria dapat ditularkan
melalui transfusi darah terinfeksi -dan melalui penggunaan jarum suntik bersama,
manusia biasanya terinfeksi oleh sporozoit yang terinjeksi melalui gigitan nyamuk
betina (genus Anopheles) terinfeksi. Bentuk parasit ini secara cepat meninggalkan
sirkulasi dan terlokalisir di hepatosit, tempat sporozoit berubah bentuk, membelah,
dan berkembang menjadi skizon jaringan. Tahap infeksi primer asimtomik jaringan
ini (praeritrositik atau eksoeritrositik), berlangsung selama 5-15 hari, tergantung pada
spesies Plasmodium. Skizon-skizon jaringan kemudian pecah, masing-masing
melepaskan ribuan merozoit yang mamasuki sirkulasi darah, menyerang eritrosit, dan
memulai tahap eritrositik dalam infeksi siklik. Jika skizon jaringan pada infeksi P.
falciparum dan Plasmodium malariae pecah, maka tidak ada bentuk'parasit apa pun
yang tetap tinggal di hati. Sebaliknya, pada infeksi P. vivax dan P. ovale, ada parasit
jaringan yang tetap tinggal di jaringan hati yang dapat menyebabkan kekambuhan
infeksi eritrositik berbulan-bulan sampai bertahun-tahun setelah serangan awal. Asal
bentuk laten-jaringan tersebut belum jelas. Jika plasmodium memasuki siklus
eritrositik, plasmodium tersebut tidak dapat menyerang jaringan-jaringan lainnya;
sehingga tidak ada tahap infeksi jaringan untuk malaria pada manusia yang terjadi
melalui transfusi. Dalam eritrosit, sebagian besar parasit mengalami perkembangan
aseksual dari bentuk cincin muda menjadi bentuk tropozoit dan akhirnya menjadi
bentuk skizon dewasa. Eritrosit yang mengandung skizon kemudian pecah, masing-
masing skizon membebaskan 6 sampai 24 merozoit, tergantung pada spesies
Plasmodium tersebut. Proses inilah yang menimbulkan serangan klinis berupa
demam. Merozoit yang dilepaskan menyerang lebih banyak critrosit untuk
melanjutkan siklus sampai teljadinya kematian inang atau modulasi oleh obat-obat
atau oleh imunitas dapatan parsial. Periodisitas parasitemia dan manifestasi klinik
berupa demam tergantung pada waktu teljadinya Skizogoni pembentukan parasit-
parasit eritrositik. Untuk P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale, diperlukan kira-kira 48
jam untuk menyelesaikan proses ini. Pecahnya eritrosit yang terinfeksi dan pelepasan
merozoit kc sirkulasi secara bersamaan menyebabkan munculnya serangan demam
yang khas pada hari ke- 1 dan 3, yang menunjukkan munculnya “malaria tertiana”.
Sebenarnya, pola kemunculan demam secara periodik pada malaria falciparum
kurang teratur akibat kombinasi pelepasan parasit dan pemisahan eritrosit terinfeksi
yang tidak bersamaan di perifer. Pada infeksi P. malariae, skizogoni membutuhkan
sekitar 72 jam, menghasilkan serangan malaria pada hari ke- 1 dan 4 atau “malaria
kuartana” (Hardman. 2012: 1042).
Beberapa parasit eritrositik berdiferensiasi menjadi bentuk seksual yang dikenal
sebagai gametosit. Setelah darah manusia yang terinfeksi parasit ini diisap oleh
nyamuk betina, eksflagelasi gametosit jantan terjadi lalu dilanjutkan dengan
gametogenesis jantan dan fertilisasi gametosit betina di usus serangga. Zigot yang
dihasilkan yang berkembang menjadi ookista di dalam dinding ususakhimya berubah
menjadi sporozoit infektif, yang menyerang kelenjar saliva nyamuk. Serangga
tersebut kemudian dapat menginfeksi inang manusia lainnya dengan cara mengisap
darahnya (Hardman. 2012: 1042).
Setiap spesies Plasmodium menyebabkan penyakit dengan sifat yang khas dan
menunjukkan ciri-ciri morfologis yang berbeda pada apusan darah: 1) P. falciparum
menyebabkan malaria tertiana ganas, yang merupakan jenis malaria yang paling
berbahaya pada manusia. Dengan menyerang eritrosit pada berbagai usia, spesies ini
dapat menyebabkan parasitemia berbahaya, isolasi eritrosit terinfeksi di sistem
mikrovaskular perifer, hipoglikemia, hemolisis, dan syok yang disertai kegagalan
banyak organ. Terlambatnya pengobatan sampai setelah parasitemia muncul dapat
menimbulkan akibat yang fatal sekalipun darah perifer telah bebas parasit. Jika
pengobatan dilakukan sejak dini, infeksi biasanya memberi respons terhadap
kemoterapi yang tepat dalam waktu 48 jam. Jika pengobatan tidak memadai,
rekrudesens (munculnya kembali gejala setelah mereda sementara yang terjadi setelah
beberapa hari atau minggu) infeksi dapat terjadi akibat multiplikasi parasit yang ada
di darah. 2) P. vivax menyebabkan malaria tertiana ringan. Seperti malaria yang tidak
berbahaya lainnya, P. vivax menyebabkan serangan klinis yang lebih ringan daripada
P. falciparum, karena eritrosit yang diinfeksinya tidak terisolir di sistem
mikrovaskular perifer. Infeksi P. vivax menyebabkan tingkat kematian yang rendah
pada orang dewasa yang tidak diobati dan ditandai dengan relaps akibat bentuk
latenjaringan. 3) P. ovale menyebabkan infeksi malaria yang jarang ditemui, dengan
periodisitas dan relaps yang serupa dengan infeksi P. vivax, tetapi lebih ringan dan
lebih mudah diobati. 4) P. malariae menyebabkan malaria kuartana, suatu infeksi
yang umum terjadi di daerah tropis yang terlokalisir. Serangan klinis dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi, tetapi jauh lebih jarang dibandingkan setelah infeksi
oleh P. vivax.
(Hardman. 2012: 1042-1043)
C. Epidemiologi
Penyakit malaria terdapat pada sebagian besar kawasan tropis di dunia. P.
falciparum mendominasi daerah sub-Sahara Afrika, New Guinea, dan Haiti.
Meskipun P. vivax lebih sering ditemukan di Amerika Tengah dan subkontinen India,
peningkatan frekuensi infeksi P. falciparum telah terjadi di India selama dasawarsa
yang lalu. Prevalensi kedua spesies ini kurang lebih sama di Amerika Selatan, Asia
Timur, dan Oceania. P. malariae ditemukan pada sebagian besar daerah (khususnya
Afrika Barat dan Tengah), tetapi infeksi ini lebih jarang terdapat. Infeksi P. ovale
relatif tidak lazim dijumpai di luar Afrika (Iiselbacher. 2000: 1002).
Epidemiologi penyakit malaria dapat bervariasi sekalipun dalam daerah-
daerah geografis yang kecil. Faktor penentu epidemiologi yang penting adalah
keadaan imunologi serta genetik populasi, spesies parasit, serta nyamuk dalam
komunitas yang berisiko, tingkat turunnya hujan, temperatur, distribusi tempat
berkembangbiaknya nyamuk, penggunaan obat antimalaria, dan penerapan tindakan
pengendalian lainnya yang dapat menurunkan penularan (Iiselbacher. 2000: 1002).
Endemisitas telah diartikan dengan pengertian prevalensi parasitemia dan
terabanya limpa pada anak-anak yang berusia kurang dari 9 tahun, kendati angka-
angka ini dapat bervariasi menurut musim dan keberadaan penyakit endemik lainnya
yang menyebabkan splenomegali. Suatu daerah dianggap hipoendemik jika kurang
dari 10 persen anak yang menderita parasitemia dengan lien yang teraba,
mesoendemik jika angka-angka tersebut berkisar dari 11 hingga 50 persen,
hiperendemik jika berkisar dari 51 hingga 75 persen, dan holoendemik jika lebih
besar dari 75 persen. Pada daerah-daerah holoendemik dan hiperendemik (misalnya,
sebagian besar kawasan ’ Afrika yang tropis dan daerah pantai New Guinea) tempat
penularan P. falciparum berlangsung secara intenSif, individu terinfeksi berulang kali
di sepanj ang usia kanak-kanak. Malaria menyebabkan sakit dan kematian pada usia
kanak-kanak. Pembentukan imunitas merupakan keadaan berbahaya namun
menjelang usia dewasa, infeksi malaria kebanyakan asimtomatik. Situasi ini disebut
penyakit malaria yang stabil (stable malaria). Di daerah-daerah dengan frekuensi
penularan yang rendah, menyimpang atau berlangsung setempat, kemungkinan
seseorang yang terinfeksi akan menularkan parasit malaria kepada orang lain relatif
kecil, imunitas yang penuh tidak tercapai dan penyakit yang asimtomatik dapat terjadi
pada segala usia. Situasi ini disebut penyakit malaria yang tidak stabil (unstable
malaria). Di daerah dengan malaria yang stabil sekalipun, variasi musiman pada
penyakit ini bersesuaian dengan peningkatan peristiwa berkembang biaknya nyamuk
sepanjang musim hujan. Penyakit malaria dapat berperilaku seperti penyakit
epidemik pada sebagian daerah (seperti india bagian utara, Sri Lanka, Madagaskar
dan Brazil bagian barat laut) kalau pengungsi atau pekerja bermigrasi dari kawasan
nonmalaria ke daerah penularan yang tinggi atau jika tindakan pengendalian penyakit
malaria (terutama penyemprotan insektisida pada rumah tangga) dihentikan secara
mendadak. Epidemi malaria falsiparum dapat menimbulkan mortalitas yang cukup
tinggi pada segala usia (Iiselbacher. 2000: 1002-1003).
Faktor penentu yang utama untuk terjadinya penularan malaria adalah angka
sporozoit (proporsi vektor yang potensial dengan Sporozoit di dalam glandula
salivarius), kebiasaan menggigit, lamanya hidup, dan rapatnya populasi vektor
nyamuk. Umumnya, angka penularan malaria berbanding langsung dengan (1)
kerapatan (densitas) vektor, (2) pangkat dua dari jumlah gigitan pada manusia per
hari per nyamuk, dan (3) sepersepuluh probabilitas nyamuk yang hidup selama l hari.
Karena siklus ekstrinsik dari mnlai masuknya gametosit hing ga inokulasi sporozoit
berikutnya memerlukan waktu minimum 7 hari (dengan interval yang pasti
bergantung pada suhu sekitarnya), lamanya hidup nyamukmerupakan faktor yang
penting. Karena itu, vektor nyamuk yang paling efektif adalah nyamuk yang
hidupnya lama, terdapat dengan kerapatan yang tinggi, dan sering menggi git manusia
(misalnya, Anopheles gambiae di Afrika Barat). Angka inokulasi entomologi yang
digunakan sebagai ukuran intensitas penularan malaria, adalah jumlah gigitan
nyamuk yang positif-sporozoit per orang per unit waktu (Iiselbacher. 2000: 1003).
D. Mekanisme Kerja Obat
1. Klorokuin
Kerja obat ini adalah :
a) Sizon darah : Sangat efektif terhadap semua jenis parasit malaria dengan
menekan gejala klinis dan menyembuhkan secara klinis dan radikal. Obat
pilihan terhadap serangan akut, demam hilang dalam 24 jam dan parasitemia
hilang dalam 48-72 jam. Bila penyembuhan lambat dapat dicurigai terjadi
resistensi, klorokuin masih dapat mencegah kematian dan mengurangi
penderitaan.
b) Gametosit : tidak efektif terhadap gamet dewasa tetapi masih efektif
terhadap gamet muda.
Farmakodinamik:
a) Menghamat sintesa enzim parasite membentuk DNA dan RNA
b) Obat bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan
pembentukan RNA terganggu.
2. Priakuin
Kerja Obat ini adalah :
a) Sizon jaringan: sangat efektif tehadap p. falciparum dan p. vivax,
terhadap p. malariae tidak diketahui.
b) Sizon darah: aktif terhadap p. falciparum dan p. vivax tetapi
memerlukan dosis tinggi sehingga perlu hati-hati.
c) Gametosit: sangat efektif terhadap semua spesies parasite.
d) Hipnosoit dapat memberikan kesembuhan radikal pada p. vivax dan p.
ovale Farmakodinamiknya adalah menghambat proses respirasi
mitochondrial parasit (sifat oksidan) sehingga lenih berefek pada
parasite stadium jaringan dan hipnosoit.
3. Kina
Kerja Obat ini adalah:
a) Sizon darah: sangat efektif terhadap penyembuhan secara klinis dan
radikal.
b) Gametosis: tidak berefek terhadap semua gamet dewasa P. Falciparum
dan terhadap spesies lain cukup efektif.
c) Farmakodinamikannya adalah terkait dengan DNA sehingga
pembelahan RNA terganggu yang kemudian menghambat sintesa
protein parasit.
4. Sukfadoksin Pirimetamin (SP)
Kerja obat ini adalah:
a) Sizon darah: sangat efektif terhadap semua p. falciparum dan kurang
efektif terhadap parasit lain dan menyembuhkan secara radikal. Efeknya
bisa lambat bila dipakai dosis tunggal sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain (Pirimakuin).
b) Gametosit: tidak efektif terhadap gametosit tetapi pirimetamin dapat
mensterilkan gametosit.
Farkodinamik:
a) Pirimetamin, terikat dengan enzyme Dihidrofolat reduktase sehingga
sintesa asam folat terhambat sehingga pembelahan inti parasite
terganggu.
b) SP menghambat PABA ekstraseluler membentuk asam folat
merupakan bahan inti sel dan sitoplasma parasit.
(Nastity. 2011: 33-41)
E. Penatalaksanaan Klinis
Terapi Umum
 Istirahat
Tidak perlu istirahat mutlak”
 Diet
Makanan biasa
 Medikamentosa
 Obat pertama :
o Klorokin basa (60% dari bentuk garam)
- Hari pertama 600 mg, disusul
- Hari kedua juga 600 mg, dan terakhir
- Hari ketiga 300 mg
Dosis total 1500 mg
- Bila menggunakan klorokin garam (seperti resochin), dosisnya:
Hari pertama dan kedua masing-masing 1000 mg, dan
- Hari ketiga 500 mg
Jadi, dosis total 2500 mg
o Pada Plasmodium vivax ditambahkan primakin 15 mg/hari selama 14 hari
diberikan bersama atau menyusul pemberian klorokin, sedangkan pada P.
Falciparum diberikan 3-5 hari saja untuk mensterilkannya
 Obat Alternatif
o Amodiakin 3x200 mg hari pertama, disusul 2x200 mg pada dua hari
berikutnya
o Sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar) dosis tunggal 2-3 tablet kina
(Quinine sulfat) 3x650 mg oral selama 7-14 hari
o Meflokuin 15-25 mg/kg BB, dosis tunggak peroral atau terbagi dalam 2
dosis setiap 12 jam.
o Halofantrin dengan dosis 500 mg tiap 6 jam total 1500 mg
o Qianghasou, Kinghaosu dan Pirinaridin Artesunat (Coartem), 2x1 tablet
selama 3 hari.
(Mubin. 2007: 63-64)

F. Kasus
Seorang wanita usia 18 tahun datang ke RSU flores, NTT. Ia demam tinggi,
lemas, kejang seluruh tubuh sekitar 5 menit. Ia juga menderita Rheumatoid
Arthritis. TD 110/70mmHg, suhu tubuh 36,50C. Berdasarkan pemeriksaan lab
diperolaeh data tidak normal Hemoglobin 7 gr/dl, hematokrit 30 %, leukosit
11.000/mm3 dan pada sel darahnya positif terdapat plasmodium falciparum.

Pemeriksaan fisik : Wanita usia 18 tahun, TD 110/70mmHg, suhu tubuh 36,50C.

Pemeriksaan LAB :

Data lab pemeriksaan normal

Hemoglobin 7 gr/dl 12-16 r/l

hemotokrit 30 % 33-38 %

leukosit 11.000/mm3 4000-10000/3

Penyelesaian :

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan terlihat HB yang rendah, hematokrit rendah
dan tingginya ilai Leukosit. Sehingga dapat dikatakan bahwa pasien mengalami
malaria didukung dengan keluhan yang dialami pasien dan positif terdapat
plasmodium palcifarum dalam darahnya.
Diberikan obat Kloroquin, Pencegahan Malaria: Untuk tindakan profilaksis,terapi
dimulai dari 1-2 minggu dari awal sampai terkena malaria,dilanjutkan 4 minggu
setelah terkena malaria.

Dosis dewasa: 300 mg 1x seminggu (500 mg klorokuin fosfat).

DRPs :

Rheumatoid Artritis: Dosis Dewasa:150 mg (250 mg klorokuin fosfat)/hari.

KASUS II
Seorang wanita usia 28 tahun datang ke RSU flores, NTB. Ia demam tinggi,
lemas, kejang seluruh tubuh sekitar 5 menit. Ia Sementara hamil trisemester
pertama . TD 130/80mmHg, suhu tubuh 36,50C. Berdasarkan pemeriksaan lab
diperolaeh data tidak normal Hemoglobin 9 gr/dl, hematokrit 37 %, leukosit
13.000/mm3 dan pada sel darahnya positif terdapat plasmodium falciparum.

Pemeriksaan fisik : Wanita usia 28 tahun, TD 120/80mmHg, suhu tubuh 36,50C.

Pemeriksaan LAB :

Data lab pemeriksaan Normal

Hemoglobin 9 gr/dl 12-16 r/l

hemotokrit 37 % 33-38 %

leukosit 13.000/mm3 4000-10000/3

Penyelesaian :

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan terlihat HB yang rendah, hematokrit rendah
dan tingginya ilai Leukosit. Sehingga dapat dikatakan bahwa pasien mengalami
malaria didukung dengan keluhan yang dialami pasien dan positif terdapat
plasmodium palcifarum dalam darahnya.

Diberikan atau kombinasi antara artesunat dengan amodiaquin


DRPs :

Amodiaquin Tidak digunakan untuk penderita gangguan hati.

SOAL
1. Dalam penelitian yang lebih modern ternyata penyakit malaria disebabkan oleh
parasit bersel tunggal yang disebut protozoa dan dipindahkan ke dalam tubuh
manusia melalui nyamuk?
a. Anopheles
b. Anopheless
c. Annopheles
d. Anoppheles
e. Anophheles
2. Malaria yang disebabkan oleh: Plasmodium Vivax dan Ovale dengan tanda demam
berkala 3 hari sekali ?
a. Tertiana
b. Kwartana
c. Trupika
d. Semua
e. tropika
3. Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium Malaria dengan tanda demam berkala
4 hari sekali.
a. Tertiana
b. Kwartana
c. Trupika
d. Semua
e. tropika
4. Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium Falcifarum dengan tanda demam tidak
tertentu
a. Tertiana
b. Kwartana
c. Trupika
d. Semua
e. tropika
5. Hampir semua malaria pada manusia disebabkan oleh keempat spesies protozoa
intrasel obligat genus ?
a. Plasmodium
b. Plasmadiam
c. Plesmodium
d. Palasmodium
e. Plasmodeum
6. manusia biasanya terinfeksi oleh ......... yang terinjeksi melalui gigitan
nyamuk betina (genus Anopheles) terinfeksi.
a. Sporozoit
b. Spirozoit
c. metaozoit
d. metrazoit
e. skizoit
7. Bentuk parasit ini secara cepat meninggalkan sirkulasi dan terlokalisir di
hepatosit, tempat sporozoit berubah bentuk, membelah, dan berkembang
menjadi ?
a. skizon jaringan
b. metaozoit
c. metrazoit
d. skizoit
e. jaringan baru
8. Tahap infeksi primer asimtomik jaringan ini (praeritrositik atau
eksoeritrositik), berlangsung selama ?
a. 5-13 hari
b. 5-14 hari
c. 5-15 hari
d. 5-16 hari
e. 5-17 hari
9. Skizon-skizon jaringan kemudian pecah, masing-masing melepaskan ribuan
merozoit yang mamasuki sirkulasi darah, menyerang eritrosit, dan memulai ?
a. Tahap non eritrositik dalam infeksi siklik.
b. tahap eritrositik dalam infeksi non siklik.
c. tahap pra eritrositik dalam infeksi siklik.
d. tahap eritrositik dalam infeksi siklik.
e. tahap eritrositik dalam infeksi pra siklik.
10. Dalam eritrosit, sebagian besar parasit mengalami perkembangan aseksual
dari bentuk cincin muda menjadi bentuk tropozoit dan akhirnya menjadi
bentuk ?
a. skizon baru
b. skizon inti
c. metrozoit dewasa
d. metrozoit dewasa
e. skizon dewasa
11. Eritrosit yang mengandung skizon kemudian pecah, masing-masing skizon
membebaskan?
a. sampai 22 merozoit
b. sampai 24 merozoit
c. sampai 26 merozoit
d. sampai 28 merozoit
e. sampai 30 merozoit
12. Merozoit yang dilepaskan menyerang lebih banyak eritrosit untuk
melanjutkan siklus sampai teljadinya?
a. Degradasi inang atau modulasi nyamuk atau oleh imunitas dapatan
parsial
b. kematian inang atau modulasi oleh obat-obat atau oleh imunitas
dapatan parsial
c. Degradasi inang atau modulasi oleh obat-obat atau oleh imunitas
dapatan parsial
d. kematian inang atau modulasi oleh nyamuk atau oleh imunitas dapatan
parsial
e. kematian dan degradasi inang atau modulasi oleh obat-obat atau oleh
imunitas dapatan parsial
13. Pada infeksi P. malariae, skizogoni membutuhkan sekitar ........, menghasilkan
serangan malaria?
a. 62 jam
b. 72 jam
c. 82 jam
d. 92 jam
e. 102 jam
14. Serangga tersebut kemudian dapat menginfeksi inang manusia lainnya dengan
cara ?
a. mengisap darahnya
b. Menempel
c. Mengisap mineral
d. Menempel bagian pundak
e. Menghigapi makanannya
15. Jika pengobatan dilakukan sejak dini, infeksi biasanya memberi respons
terhadap kemoterapi yang tepat dalam waktu ?
a. 484Jam
b. 45 Jam
c. 46 Jam
d. 47 Jam
e. 48 Jam
16. Obat bersenyawa dengan DNA sehingga proses pembelahan dan pembentukan
RNA terganggu ?
a. Gametosit
b. Piraquin
c. Quinolon
d. Sukfadoksin Pirimetamin (SP)
e. Kina
17. Obat yang tidak berefek terhadap semua gamet dewasa P. Falciparum dan
terhadap spesies lain cukup efektif.
a. Gametosit
b. Piraquin
c. Quinolon
d. Sukfadoksin Pirimetamin (SP)
e. Kina
18. Obat yang Pirimetamin, terikat dengan enzyme Dihidrofolat reduktase
sehingga sintesa asam folat terhambat sehingga pembelahan inti parasite
terganggu
a. Gametosit
b. Piraquin
c. Quinolon
d. Sukfadoksin Pirimetamin (SP)
e. Kina
19. Malaria menyebabkan sakit dan kematian pada usia kanak-kanak.
Pembentukan imunitas merupakan keadaan berbahaya namun menjelang usia
dewasa, infeksi malaria kebanyakan
a. Asimtomatik
b. Simtomatik
c. Non simtomatik
d. Non asimtomatik
e. siklik
20. Faktor penentu epidemiologi yang penting adalah ?
a. keadaan imunologi serta genetik populasi, spesies parasit, serta
nyamuk dalam komunitas yang berisiko, tingkat turunnya hujan,
temperatur
b. spesies parasit, serta nyamuk dalam komunitas yang berisiko, tingkat
turunnya hujan, temperatur
c. keadaan imunologi serta genetik populasi, serta nyamuk dalam komunitas
yang berisiko, tingkat turunnya hujan, temperatur
d. keadaan imunologi serta genetik populasi, spesies parasit, tingkat turunnya
hujan, temperatur
e. keadaan imunologi serta genetik populasi, spesies parasit, serta nyamuk
dalam komunitas yang berisiko, tingkat turunnya hujan
BAB II
BATUK
A. Pendalaman Materi
Batuk merupakan ekspirasi eksplosif untuk mengeluarkan sekret dan benda asing
dari saluran trakeobronkial. Batuk merupakan gejala kardiorespirasi yang paling
sering ditemukan dan salah satu gejala yang paling sering menyebabkan seseorang
datang ke dokter. Alasannya dapat berupa keletihan, insomnia dan kekhawatiran
terhadap penyebab batuk, khususnya rasa takut terhadap kemungkinan penyakit
kanker serta AIDS (Harrison. 1999 : 199)
Hemoptosis merupakan keadaan batuk dengan pengeluaran sputum berbercak
darah atau pengeluaran darah yang tampak jelas dari dalam traktus respiratorius.
Gejala ini sering menakutkan penderitanya. Setiap pasien dengan hemoptisis
makroskopis harus menjalani evaluasi diagnostik yang tepat sehingga penyebab yang
spesifik dapat ditemukan. Pasien dengan sputum yang mengandung bercak atau
guratan darah juga harus diperiksa lebih lanjut kecuali bila kita yakin bahwa tipe
hemoptisis ini disebabkan oleh keadaan yang benigna. Serangan hemoptisis yang
berkali-kali tidak boleh secara automatis dikaitkan dengan diagnosis yang ditegakkan
sebelumnya, seperti bronkitis kronik. Cara pendekatan seperti ini dapat menyebabkan
lesi yang serius tetapi bisa diobati menjadi terlupakan (Harrison. 1999 : 201).
Sebelum melakukan evaluasi diagnostik yang ekstensif untuk mengetahui
penyebab hemoptisis harus dipastikan bahwa darah yang keluar itu berasal dari
traktus respiratorius dan bukan dari nasofaring atau traktus gastrointestinal.
Membedakan hemoptisis dengan hematemesis secara bersamaan sulit. Pada
hemoptisis, gejala prodromal biasanya berupa rasa gatal du tenggorokan atau
keinginan untuk batuk, darah dibatukkan keluar Darah biasanya berwarna merah
terang dan berbusa, dapat tercampur dengan sputumi pH biasanya alkali: dan pada
pemeriksaan mikroskopik dapat menunjukkan makrofag yang berisikan hemo-
sidetin. Pada hematemesis, gejala prodromal dan rasa tidak nyaman di perut, darah
dimuntahkan dan biasanya berwama merah gelap. Darah yang dimuntahkan dapat
tercampur dengan makanan yang dimakan dan asam. Begitu keadaan ini dapat
ditegakkan maka dilanjutkan untuk diagnostik. Meskipun terdapat sejumlah laporan
kasus tunggal penyakit yang disertai tabel di bawah ini memperlihatkan gangguan
yang lebih sering terjadi (Harrison. 1999 : 201).

No Penyakit Penyebab
1 Inflamasi Bronchitis,
Tuberculosis
Bronkiektasis
Fibrosis kliktis
Abses paru
Pneumonia
Septik
Penyakit akibat jamur atau parasit
2 Neuplasma Kanker paru
Sel skuamsa
Adenoma bronkial

Insidensi diagnosis yang tercantum pada table di atas tergantung pada sifat rangkaian
gejala yang dilaporkan dan apakah kita mengikut sertakan gejala batuk dengan
perdarahan makroskopis serta batuk dengan bercak darah dalam sputum. Bila kedua
tipe perdarahan ini tercakup, maka penyebab utamanya adalah bronkitis kronik. Jika
definisinya hanya terbatas pada perdarahan makroskopis lebih banyak daripada (yang
beberapa sendok makan), insidensinya tergantung tipetangkaian gejala yang
dilaporkan. Rangkaian gejala bedah mendukung insidensi lesi yang berupa massa dan
lesi yang dapat dioperasi seperti karsinoma Pasien pasien yang berasal dari numah
sakit dengan populasi penduduk yang banyak menderita penyakit tuberkulosis jelas
sangat mendukung keadaan ini. Rangkaian kombinasi gejala medis dan bedah
mencakup jumlah lesi yang lebih luas dengan gejala hemoptisis (karsinoma, bronkiti
lesi inflamasi lainnya termasuk tuberkulosis, bentuk lesi lainnya termasuk berbagai
etiologi vaskuler, traumatik serta perdarahan. Meskipun dilakukan evaluasi paling
luas. 5 hingga 15 persen kasus hemoptisis makroskopis tetap tidak terdiagnosis
(Harrison. 1999 : 201)

Dua keadaan harus disoroti dengan referensi pada penyakit yang disertai
hemoptisis: (1) Bemoptisis jarang dijumpai pada karsinoma metastatik ke paru, dan
(2) meskipun hemoptisis dapat tergadi pada beberapa waktu selama perjalanan
pneumonia atau virus, biasanya tidak begitu sering dan kejadiannya harus selalu
menimbulkan pertanyaan pada kemungkinan proses primer yang lebih serius
(Harrison. 1999 : 201)

Problem yang sering menjadi tantangan bagi dokter adalah pengenalan lokasi
perdarahan pada pasien dengan hasil pemeriksaan jasmani yang normal dan hasil foto
toraks yang normal. Pasien hemoptisis cenderung mempertahankan sisi perdarahan
yang sama dan dapat mengeluhkan rasa terbakar atau nyeri yang dalam, yang bisa
menentukan lokasi tempat perdarahan tersebut. Pemeriksaan bronkoskopi pada
keadaan ini dapat membantu. Prosedur ini umumnya sangat menolong bila
perdarahannya tidak banyak dan kurang begitu bermanfaat kalau perdarahannya
masif, karena darah dapat teraspirasi ke dalam saluran napas yang saling
berhubungan. Aspirasi darah ini dapat menimbulkan pengisian alveoli (yaitu"pneu-
monitis darah yang bisa mengaburkan etiologi hemoptisis pada rontgenogram toraks
yang pertama. Pneumonitis darah biasanya hilang dalam waktu seminggu dan setelah
gambaran ini lenyap, rontgenogram-ulang toraks dapat memperlihatkan asal
hemoptisis tersebut. Setelah mendapatkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan
jasmani, pendekatan pada pasien hemoptisi berbagai prosedur yang khusus untuk
menegakkan diagnosis spesifik. Pada pasien tanpa perdarahan yang aktif,
pemeriksaan rontgenogram harus diikuti oleh CT scan dan kemudian bronkoskopi
Pada pasien dengan perdarahan aktif, bronkoskopi dilakukan sebagai tindakan yang
darurat atau mendesak. rigid memungkinkan visualisasi saluran napas yang lebih
sentral Pemeriksaan ini sangat membantujika sumber perdarahannya terjadi pada
bagian ini pada sistem saluran napas, hemoptisis terjadi dengan derajat yang masif,
dan intubasi endobronkial yang selektif Bronkoskopifiberoptik dapat mencakup
saluran napas hingga saluran napas yang diameternya hanya beberapa milimeter.
Teknik endoskopi ini dapat memberikan informasi viso biopsi atau sitologi yang
pasti. Bronkografi dapat dipakai untuk menegakkan keberadaan bronkiektasis yang
terlokalisir aermasuk lobus paru yang mengalami sekuestrasi) dan (2) menyingkirkan
keberadaan bronkiektasis yang lebih menyeluruh pada pasien penyakit yang
terlokalisir dan dianggap sebagai calon untuk pembedahan karena terdapatnya gejala
hemoptisis yang berkali-kali atau infeksi rekuren. Mayoritas penderita bronkiektasis
akan mempunyai hasil foto toraks yang normal tetapi diagnosis keadaan 216). PPD,
dan bila terdapat sputum, pemeriksaan untuk menemukan BTA, harus dikerjakan.
Pemeriksaan laboratorium juga harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
kelainan perdarahan (Harrison. 1999 : 202)

Batuk adalah gejala yang sering ditangani oleh banyak dokter yang berbeda,
termasuk dokter pelayanan primer dokter spesialis. Terhitung sekitar 30 juta
kunjungan ke tempat praktik tiap tahunnya dengan keluhan batuk. Batuk-mekanisme
pro tektif untuk saluran napas atas dan bawah-membuat seseorang mampu untuk
membersihkan sekret yang berlebihan dan benda asing dari saluran napasnya.
Rangsangan untuk batuk timbul terutama dari ujung saraf sensorik di faring, laring,
dan saluran trakeobronkial. Impuls berjalan terutama melalui saraf kranial IX dan X
menuju pusat batuk di medula. Rangkaian proses neuromuskular yang kompleks
(sebagian refleks, sebagian volunter) dimulai dan memengaruhi otot diafragma,
laring, toraks abdomen Terdapat tiga fase batuk: inspirasi, kompresif, dan ekspirasi
Inspirasi maksimal menyebabkan volume udara yang besar masuk paru-paru, yang
disertai kontraksi otot-otot ekspirasi diafragma melawan glotis yang tertutup.
Akhirnya, glotis akan membuka secara tiba-tiba, memungkinkan keluarnya udara dan
materi-materi yang terperangkap dengan kecepatan tinggi (Frank.2011:392).

Hemoptisis adalah meludah atau batuk darah. Hemop harus dibedakan dengan

hematemesis, yang berarti muntah rah. Penyebab perdarahan dapat berasal dari mana

saja di luran napas atas atau bawah mulai dari hidung sampai p Darah yang keluar

waktu meludah tanpa batuk umumnya asal dari saluran napas atas, termasuk hidung,

sinus parana rongga mulut, dan orofaring. Darah dari laring, trakea, dan luran

bronkus bawah umumnya menimbulkan batuk. Nam saluran napas seluruhnya harus

dipertimbangkan dalam in tigasi hemoptisis yang bisa bersifat akut atau kronis

rekuren (Frank. 201 : 399)

Batuk dapat diklasifikasikan menjadi batuk produktif atau batuk berdahak.

Yaitu salah satu jenis batuk yang ditandai dengan gejala dada terasa berderik atau

penuh. Pada batu produktif, dada tersa penuh dengan dahak/lender dan sesak napas

sehingga seringkali membuat individu merasa sangat tidak nyaman. Gejala batuk

produktif biasanya semakin timbul pada saat bangun tidur dan sewaktu berbicara.

Batuk produktif adakalanya timbul sesudah didahului gejala sakit tenggorokan,

hidung tersumbat, atau kongesti sinus. Batuk berdahak yang berat mungkin

menandakan suatu penyakit serius yang perlu mendapat penaganan medis (MIMS.

2016: 40)

Batuk non produktif atau batuk kering adalah batuk yang tidak menghasilkan

sputum/dahak dan batuk ini menimbulkan iritasi pada tenggorokan, menyebabkan

(batuk produktif), batuk kering biasanya tidak menimbulkan gejala lainnya selain

batuk itu sendiri dan pasien seringkali mersa baik-baik saja, tanpa keluhan rasa penuh

dahak di dalam dada ataupun gangguan pernapasan. Jika bertambha parah, batuk
kering mungkin dapat menimbulkan suara serak atau kehilangan suara. Batuk kering

seringkali dipicu oleh partikel makanan berukuran kecil atau asap iritan yang

terhirup, perubahan temperature, dan asap rokok (baik sebagai perokok aktif maupun

sebagai perokok pasif). Juga dapat disebabkan karena udara kering atau udara yang

tercemar. Juga oleh infeksi virus yang belum lamam terjadi, flu, selesma dan

adakalanya dianggap sebagai batuk pasca infeksi virus. Batuk kering jga dapat

menjadi pertanda adanya penyakit lain seperti asma, penyakit refluks gastroesofagus,

ata gagal jantung serta dapat dipicu oleh obat-obat tertentu seperti mislanya obat

hipertensi golongan ACE Inhibitor (MIMS. 2016: 44).

B. Patofisiologi
Batuk dapat dicetuskan secara volunter refleksif. Sebagai refleks defensif,
batuk mempunyai aras aferen daneferen. Jaras aferen termasuk reseptor di dalam
serabut sensorik saraftngeminus, glosofaringeus, laringeus superius dan vagus. Jaras
termasuk saraf laringeus rekuren (yang menyebabkan penutupan dan saraf spinalis
(yang menyebabkan glotis otot-otot abdominal dan toraks). Urutan batuk terdiri dari
stimulus yang dalam. Keadaan ini diikuti oleh sesuai yang memulai inspirasi utupan
glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan glotis yang tertutup
menghasilkan dalam jalan napas sehingga tekanan dan intratoraks positif maksimal.
Tekanan intratoraks positif ini menyebabkan penyempitan trakea, yang ditimbulkan
oleh lipatan ke dalam membrana posterior yang lebih lentur. Begitu glotis terbuka.
kombinasi perbedaan tekanan yang besar antara jalan napas dan atmosfer yang
disertai penyempitan trakea menyebabkan laju aliran melalui trakea mendekati
kecepatan suara Tekanan pembersihan yang timbul membantu eliminasi mukus dan
benda- benda asing. Sirkuit pendek trakeostomi dan tuba endotrakeal mencegah
penutupan glotis. oleh karena itu keduanya menurunkan efektivitas mekanisme batuk
(Harrison. 1999 : 199)
C. Epidemiologi
Hampir seluruh masyarakat Indonesia pernah mengalami batuk. Batuk dapat
ditimbulkan oleh stimulasi inflamasi, mekanis, kimiawi dan termal pada reseptor
baruk stimulus inflamasi dicetuskan oleh edema dan hiperemia membrana sistem
respirasi, seperti pada bronkitis bakterial atau virus dan merokok yang berlebihan.
Gejala ini juga drip disebabkan oleh iritasi akibat proses eksudatif, seperti postnasal
dan aspirasi refluks lambung stimulus semacam itu dapat timbul dalam saluran napas
(seperti pada laringitis, trakeitis, bronkitis dan bronkiolitis), atau dalam alveoli paru
(seperti pada pneumonitis dan abses panu). Stimulus me ditimbulkan oleh inhalasi
partikel kecil, seperti partikel debu, dan oleh kompresi saluran napas serta tekanan
atau tegangan pada struktur ini, Lesi yang berkaitan dengan kompresi saluran napas
dapat bersifat ekstramural atau intramural Keadaan yang disebutkan pertama
mencakup aneurisma aorta, granu dan tumor mediastinum. Lesi intramural loma,
neoplasma paru benda asing, mencakup karsinoma bronkogenik, adenoma bronkial,
saluran lesi granulomatosa endobronkial dan kontraksi otot polos napas napas (asma
bronkiale). Tekanan atau tegangan pada saluran biasanya ditimbulkan oleh lesi yang
berkaitan dengan penurunan kelenturan jaringan paru. Contoh penyebab yang
spesifikparu dan atelektasis, sumulus kimiawi dapat terjadi akibat inhalasi gas yang
iritatif, termasuk asap rokok dan gas kimia. Banyak obat yang bisa menimbulkan efek
yang merugikan pada sistem respirasi dan menyebabkan batuk. Namun demikian,
batuk sendiri merupakan efek samping yang penting pada penggunaan preparat
inhibitor enzim pengubah angiotensin (angiorensin converting enzyme unibitors,
ACE-inhibitors). stimulus termal dapat ditimbulkan oleh inhalasi udara yang sangat
dingin atau panas. Batuk umumnya disertai dengan gejala wheezing yang bersifat
episodik dan timbul sekunder akibat bronkokonstriksi pada pasien asma bronkiale
yang simtomatik, Batuk yang kronik persisten dapat menjadi satu-satunya gambaran
klinis asma bronkiale batuk asma, Pasien-pasien seperti ini ditandai oleh (1) tidak
adanya riwayat serangan wheezing yang episodik dan (2)tidak adanya bukti
menunjukkan obstruksi saluran napas pada waktu ekspirasi yang dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan spirometri, tetapi (3) terdapatnya saluran napas yang hipereaktif
(ciri khas asma) kalau dirangsang dengan preparat kolinergik, yaitu metakolin
( Haririson. 1999 : 199)

Penyeba batuk darah dapat dibagi atas : (Tabrani. 2010: 330)


1. Infeksi, terutama tuberculosis, abses paru, pneumonia
2. Kardiovaskular, stenosis mitralis, aneurisms aorta
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan polyposis baronkus
4. Benda asing
5. Factor factor ekstrahepatik dan abses ameba

D. Penggolongan Obat dan Mekanisme Kerja


1. Ekspektoran.
Dimana mekanisme kerjanaya ada dua. Pertama, bereaksi secara langsung dengan
merangsang sekresi mucus sehingga sputum lebih encer dan mudah dikeluarkan.
Kedua adalah dengan bereaksi secara tidak langsung degan cara mengiritasi saluran
gastrointestinal yang berimbas ke sistem pernapasaan sehingga meningkatkan sekresi
mucus. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah guaifenesin (Rohman, abdul.
2017 : 1)
Ekspektoran ialah obat dari saluran napas (eks obat pekkoodiduga
berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjut yakan nya secara refleks
merangsang sekresi kelenjar ntung, saluran napas lewat N, vagus, sehingga
menurunkan nggian viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang
termasuk golongan ini ialah: ammonium klorida dan gliseril guaiakolat (Mardjono,
mahar. 2016 : 545)

Amonium klorida jarang di gunakan sendiri sebagai ekspektoran, tetapi


biasanya dalam bentuk campuran dengan ekspektoran atau lain atau antitusif. klorida
dosis besar minyak dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan
dengan hati hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal dan paru-paru. anyak
Dosis amonium klorida sebagai ekspektoran enjaga untuk orang dewasa ialah 300 mg
(5 mL) tiap 2-4 jam Amonium klorida hampir tidak lagi diguna karena untuk
pengasaman urin pada keracunan hingga kan logik. sebab berpotensi membebani
fungsi ginjal dan dapat menyebabkan gangguan imbang elektrolit (Mardjono, mahar.
2016 : 545)

Gliseril Guaikolat. Penggunaan obat ini hanya didasarkan tradisi dan kesan subyektif
pasien dan dokter. Belum ada bukti bahwa obat berman- faat pada dosis yang
diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk,
mual, dan muntah. Gliseri guaiakolat tersedia dalam bentuk sirop 100 mg/5 ml Dosis
dewasa yang dianjurkan 2-4 kali 200-400 mg sehari. Sirup ipekak dan kalium yodida
sebaiknya tidak digunakan sebagai ekspektoran karena tidak jelas kebutuhannya dan
dapat menyebabkan efek samping yang serius (Mardjono, mahar. 2016 : 546)

2. Mukolitik
Sesuai dengan namanya, mukolitik adalah obat batuk berdahak yang bekerja
dengan cara membuat hancur formasi dahak sehingga dahak tidak lagi memiliki sifat-
sifat alaminya. Mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida pada dahak. Yang termasuk dalam golongan obat
ini adalah brhomexin, ambroxol, asetil sitein (Mardjono, mahar. 2016 : 546)
Mukoliitik ialah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan
jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
Contoh mukolitik ialah bromheksin asetilsistein dan ambroksol.
Bromheksin ialah derivat sintetik dari vasicine, suatu zat aktif dari Adhatoda
vasica. Obat ini digunakan sebagai mukolitik pada bronkitis atau kelainan saluran
napas yang lain. Selain itu obat digunakan secara lokal di bronkus untuk me-
mudahkan pengeluaran dahak pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat. Data
efektivitas klinik obat ini sangat terbatas. Efek samping pada pemberian oral berupa
mual dan peninggian transaminase serum. Brom- heksin harus hati-hati digunakan
pada pasien tukak lambung. Dosis oral untuk dewasa yang dianjurkan 3 kali 4-8 mg
sehari. Obat ini rasanya pahit sekali (Mardjono, mahar. 2016 : 546)
Ambroksol, suatu metabolit brom-heksin diduga sama cara kerja dan
penggunaan- nya. Ambroksol sedang diteliti tentang kemungkinan manfaatnya pada
keratokonjungtivitis sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir
prematur dengan sindrom pernapasan (Mardjono, mahar. 2016 : 546)
Asetilsistein diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes hidung.
Asetilsistein, menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Aktivitas
mukolitik zat ini langsung terhadap mukoprotein dengan melepaskan ikatan
disulfidanya, sehingga menurunkan viskositas sputum. Aktivitas mukolitik terbesar
pada pH7 Setelah inhalasi sputum menjadi encer dalam wal menit, dan efek maksimal
dicapai dalam 5-10 menit. Obat ini tidak boleh diberikan bila tidak tersedia alat
penyedot lendir napas. Larutan yang biasa digunakan ialah asetilsistein 10-20%
(Mardjono, mahar. 2016 : 546)

3. Antitusif
Bekerja dengan mengurangi sensitivitas pusat batuk di otak terhadap stimulus
yang datang. Biasanya digunakan pada penderita yang batuknya sangat mengganggu
sehingga tidak bias beristirahat. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
kodein, hidrokodon dan morfin (Rohman, abdul. 2017 : 1)
Terapi definitif pertama bergantung pada penentuan penyebab dan kemudian
dimulai terapi spesifik untuk penyakit. Obat antitusif digunakan untuk
menghilangkan gejala batuk- dapat bekerja secara sentral se bagai penekan pusat
batuk, secara perifer dengan menganestesi reseptor batuk, atau melalui kombinasi
keduanya. Banyak obat-obatan yang bekerja di sentral berasal dari derivat opiat.
Kodein dan hidrokodon yang lebih poten efektif tetapi harus digunakan dengan hati-
hati karena bersifat analgetik dan adiksi. Dekstrometorfan adalah agen antitusif
sintetik golongan opioid tanpa efek ketergantungan atau analgetik. Antihistamin,
terutama difenhidramin, telah terbukti efektif sebagai penekan batuk tetapi
penggunaannya dibatasi karena kecenderungannya menimbulkan kantuk obat-obatan
antitusif yang bekerja di perifer seperti obat batuk tetes, obat batuk sirup, atau cairan
sederhana yang melapisi atau menganestesi reseptor dapat membantu secara artifisial
untuk meningkatkan ambang rangsang reseptor terhadap rangsangan refleks batuk.
dapat digunakan menghilangkan gejala, tetapi obat jenis ini untuk terbatas.
mempunyai manfaat terapeutik yang terbatas (Frank. 2023 :397)

E. Penatalaksanaa Klinik

Pasien dengan batuk produktif atau berdahak. Jika pasien datang dengan keluhan

batuk berdahak yang berlangsung selama lebih dari 5 hari, maka perlu ditanayakan

apakah pasien mengalami nafas memendek atau nyeri dada selagi batuk. Jika tidak

maka obat batuk dapat diberikan untuk membantu meredakan gejala. Anjurkan pasien

untuk berkonsultasi kembali ke dokter jika gejala batuk menetap atau kambuh

kembali. Jika Pasien mengalami kesulitan bernapas, maka perlu ditanyakan apakah

pasien demam?. Jika tidak maka pasien mungkin mengalami asma, suatu gangguan

pernapasan yang tidak menular, ditandai dengan penyempitan saluran napas yang

mengakibatkan kesulitan bernapas. Jika pasien mengalami demam maka perlu

ditanayakan apakah pasien mengalami gejala lain seperti berkeringat terutama malam

hari, menggigil,penurunan berat badan yang signifikan, dan kehilangan nafsu makan?

Jika tidak, maka perlu ditanayakn apakah pasien mengeluarkan dahak berbau, kental,

legket, berwarna cokelat, kunig, hijau, atau merah? Jika tidak anjurkan pasie untuk

melakuakan pemeriksaan lebih lanjt, karena kemungkinan disebabkan oleh penyakit

lain. Jika pasien mengeluarkan dahak yang berbau dan berwarna maka pasien

mungkin mengida infeksi saluran pernapasan. Jika pasien mengalami gejala seperti

keringat dan menggigil tertama di malam hari maka pasien mungkin mengidap

Tuberkulosis (TB), suatu penyakit infeksi paru yang snagat menular. Mak perlu

dilakaukan pemeriksaan lebih lanjut dengan tera[I yang sesuai (MIMS. 2016: 40)
Pasien dengan batuk kering. Pasien datang dengan keluhan batuk kering lebih

dari seminggu, maka perlu ditanayakan apakah pasien merngalami gejala napas

memendek? Jika tidak maka perlu diatanayakan apakah pasien mengguakan obat-obat

tertentu? Jiak pasien tidak menggunakan obat-obat tertentu, maka dapat dianjurkan

menggunakan obat batuk yang tergolong obat bebas untuk membantu meredakan

batuk untuk membantu meredakan batuk kering. Anjurkan pasien untuk kembali

berkonsultasi ketika gejala menetap selama lebih dari sebulan. Jika pasien

menggunakan obat-obat tertentu seperti golongan ACEI yang dapat menyebabkan

batuk kering. Maka anjurkan ke pasien untuk menanyakan ke dokter apa perlu

mengganti obat yang telah diresepkan. Jika pasien mengalami napas memendekmaka

perlu ditanyakan apakah pasien mendedengar suara mengi saat bernapas. Jika tidak

kemungkinan pasien memliki riwayat asma. Jika pasien tidak memiliki riwayat asma

maka dianjurkan untuk pemeriksaan lanjutan. Jiak pasien mengalami demam maka

kemungkinna pasien mengalami infeksi sauran pernapasan.

Hemoptosis merupakan gejala peringatan, kecenderungan untuk mengobati

pasien berlebihan jumlah darah yan akan berhenti spontan tanpa terapi yang khusus,

setelah dan menegakkan diagnosis etiologine mengenali lokasi perdarah us diatasi.

Jika hemoptisis kelainan yang mendasari gejala tersebut cukup berat, tindakan utama

dalam terapi tersebut mencakup tindakan untuk menenangkan perasaan pasien,

memerintahkan timah baring total, menyingkirkan prosedur diagnostik yang tidak

diperlukan sampai gejala hemoptisis tersebut mulai mereda, dan menekan gejala

batuk bila gejala ini terdapat serta memperberat hemoptisis, Tindakan emergensi

menuntut tersedianya peralatan dan suction di samping pasien. Kontrol saluran harus

dilakukan dengan memasang endorracheal tube (tuba endotrakeal) pada pasien s


masif jumlah darah yang keluar 500 mL 24 untuk menghindari kemungkinan

asfiksiasi. Pada pasien bahaya asfiksiasi yang timbul karena pengaliran darah yang

membanjiri pada sisikontralateral tempat perdarahan, tindakan intubasi dengan teknik

yang mengisolasi panu yang mengalami perdarahan dan mencegah aspirasi darah ke

sisi yang al harus segera dilaksanakan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan

pemasangan kateter balon pada lokasi yang strategis dan pemasangan kateter balon

ini dalam bronkus yang bersangkutan dapat dibantu.

Pengobatan definitif batuk tergantung pada penentuan penyebabnya yang

tepat dan kemudian memulai terapi spesifik untuk penyebab ini dilakukan, terapi

spesifik efektif, seperti pada menghentikan antibiotik pada infeksi bakterial spesifik

atau menghilangkan refluks dipertimbangkan kalau: 1) penyebab batuk tidak

diketahui atau spesifik tidak mungkin diberikan, (2) batuk menunjukkan fungsi yang

bermanfaat, atau batuk menggambarkan ancaman potensial bahaya atau

menyebabkan ketidaknyamanan pasien. Batuk yang dan dapat ditekan dengan

preparat antitusif yang akan meningkatkan masal aten atau ambang pusat batuk.

Preparat tersebut adalah kodein nonnarkotik (seperti dekstrometorfan, 15 mg qid).

Obat-obat ini menghasilkan terapi simtomatik yang berguna dengan menghentikan

serangan batuk panjang dan bertahan. Namun demikian, batu yang produktif dengan

jumlah sputum yang banyak tidak boleh ditekan karena retensi sputum dalam

percabangan trakeobronkial dapat mengganggu distribusi ventilasi, aerasi alveoli dan

kemampuan paru untuk bertahan terhadap infeksi (Harisson. 1999 : 202)

sekret atau dahak bersifat lengket dan kental, terapi dengan hidrasi yang

adekuat, obat-obat ekspektoranserta humidifikasi udara pemapasan melalui nebulizer

ultrasonik denganipratoprium bromida, aitu golongan bronkodilator yang mempunyai


efek antimuskarinik, yang diberikan dengan dua kali hirupan (36 pug qid), dapat

membantu mengatasinya. Preparat iodinated glycerol (30 mg qid) terutama khasiat

bagi pasien batuk asma atau bronkitis kronik, dan guaifenesin (100 mg tid dapat

diberikan pada pasien bronkitis akut atau kronik. Bersihan mukosiliaris dapat

ditingkatkan dengan pemberian antagonis beta-adrenergik seperti efedrin (2,5 mg

qid), ususnya pada penderita kistik fibrosis, dan dengan pemberian teofilin (100 mg

tid) pada pasien penyakit paru obst PPOK, atau penyakit paru obstruktif menahun,

PPOM (Harisson. 1999 : 202)


Pengobatan protusif (yang meningkatkan batuk) ditujukan untuk
meningkatkan efektivitas batuk, tetapi tidak adekuat. Aerosol jalan napas pertonik
dapat meningkatkan bersihan partikel dari bawah selama batuk dengan kitis,
sedangkan aerosol amilorid mempunyai efek yang sama pada pasien dengan kistik
fibrosis. (Harisson. 1999 : 202)
Pada prinsipnya terapi yang dilakukan dapat dibagi dua, yakni

1. Konservatif Pada tindakan konservatif ini alat-alat yang digunakan antara lain Alat
pengisap ("suction") Pipa endotrakeal (endotracheal tube) Trakeostomi Respirator
Penatalaksanaan konservatif Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni
dengan posisi mi ring (lateral decubitus, dimana paru-paru yang mengalami
perdarahan berada pada posisi yang bebas. Hal ini untuk mencegah terjadinya aspirasi
ke dalam paru-paru yang sehat. Sebaiknya posisi agak sedikit trendelenberg dengan
tujuan mempertahankan jalan pernapasan. Melakukan suction (penghisapan) dengan
kateter setiap terjadi per darahan Pemberian sedatif dan antitusif dengan dosis yang
dianjurkan, yaki sebesar 30-40 mg kodein intramuskular setiap 3-6 jam Pemberian
cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi. Pemberian
oksigen agar PaO2 lebih besar dari 55%. Pemberian vasopresin (Tabrani. 2010 : 332)

2. Mengatasi perdarahan dengan bronkoskopi (Tabrani. 2010 : 332)


F. Study Case

1. Sam Street adalah pria Ameroka berusia 62 tahun. Seorang dokter

keluargan baruya hadir untuk mengevaluasi dan melakukan tindak lanjut medis

kepadanya. Dia umumya tidak memeiliki keluhan, kecuali untu sakit kepala ringan

dan pusing. Dia menyatakan bahwa dia kurang puas terhadap diberi resep rendah

sodium oleh mantan dokter lamanya. Dia mengeluh btauk kronis dengan nafas

pendek terutama saat berjalan lama.

Pasien menderita batuk kering dicurigai karena pengunaan obat anti hipertensi

golongan ACE Inhibitor. Obat golongan ACE Inhibitor akan memberi dampak berupa

batuk kering kepada pasien. Untuk mengatasi keluha batuk ynag dirasakan oleh

pasien sebaiknya penggunaan obat golongan ACE Inhibitor diganti dengan obat

antihipertensi golongan lain.

Untuk edukasi atau penangan non farmakologi sebaiknya pasien

membiasakan minum air hangat, menghindari makan berminyak, dan tidak atau
berhenti mengkonsumsi rokok (terhindar dari asap terutama asap rokok).

2. Seorang pria 38 tahun dating ke dokter umum dan menegeluh tentang

benjolan tanpa rasa sakit di sisi kan lehernya. Hal ini telah berlangsung sekitar 2

bulan dan sepertinya embesar. Dia mengeluh sering batuk akhir-akhir ini. Penurunan

berat badan hingga 5 kg tejadi dalam beberapa bulan terakhir ini. Dia seorang

akuntan dengan tiga orang naak, tidak merokok dan tidak minum alcohol. Di malam

hari dia sring mengalami keringat hingga basah kuyup dan merasa dingin
(menggigil). Temperaturnya mencapai 370C . Terdaapt kelenjar getah bening

berdiamter 1-2 cm. Tekanan darahnya mencapai 112/66 mmHg.

Dicurigai pasien menderita Tuberculosis (TB), yang merupakan salah satu

penyakit yang dapat menimbulkan gejala batuk. Pada pasien dengan kasus seperti ini

maka batuk diatasi dengan mengatasi terlebih dahulu penyakitnya yaitu penyakit TB.

Akan tetapi, jika batuk sangat mengganggu aktivitas pasien, maka dapat diberi obat
Pereda batuk seperti golongan ekspektotan, mukolitik, dan atau golongan antitusif

jika batuk benar-benar mengganggu pasien.

G. Drugs Relation Problems (DRPs)

Penggunaan obat-obatan ditujukan untuk mengobati atau mengurangi keluhan

pasien. Tapi perlu diperhatikan, beberapa dari efek samping obat dapat memunculkan

suatu gejala atau penyakit lain, misalnya batuk. Dalam kasusu batuk ini, penggunaan

obat-obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor, disarankan untuk dihindari karena

dapat memberi efek batuk kepada pasien. Batuk kering merupakan efek samping

yang paling sering terjadi dengan insiden 5-20%, lebih sering pada wanita dan lebih

sering terjadi pada malam hari. Dapat terjadi segera atau beberapa lama setelah

pengobatan. Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar

bradikinin dan substansi P dan atau prostaglandin , efek samping ini bergantung pada

besarnya dosis dan bersifat reversible bila obat dihentikan.

H. Penetapan Obat

Pilihan terapi untuk pasien batuk produktif yaitu dengan menginstruksikan

pasien mengenai obat-obat apa sjaa yang perlu digunakan dan cara penggunaannya

yang tepat, seperti nama obat, dosis, frekuensi, penggunaan, dll. Informasikan kepada
pasien menegnai kemungkinan terjadinya efek samping dari beberapa jenis obat

batuk, seperti ketergantungan obat dan mengantuk. JIka gejala batuk produktif

menetap dalam waktu lama atau mengalami kekabuhan , instruksikan pasien untuk

segera berkonsultasi kembali dengan dokter. Diskusikan kepada pasien untuk

menagani batuk secara non farmakologi seperti membiasakan minum air hangat,

mengurangi makanan berminya, dan lain-lain.

Pilihan terapi untuk batuk non produktif yaitu dengan pendekatan awal dalam

pengobatan batuk kering yaitu mengobati kondisi atau penyakit yang mendasarinya,

seperti misalnya asma, bronchitis kronik, gagal jantung dengan kongesti paru dan

lain-lain. Terapi simtomatik dalam bentuk obat penekan batuk mungkin bermanfaat

jika penyebab batuk kering tidak diketahui atau pengobatan spesifik yang telah

diberikan tidak berhasil meredakan batuk. Pholcodin dan dextromethorphan adalah

obat-obatan ynag umumnya digunakan sebagai penekan batuk dianggap

menimbulkan efek samping ynag lebih sedikit dibandingkan derivate opiate seperti

kodein yang digunakan. Walaupun pholcodine merupakan obat golongan alkaloid

opioat dengan efek antitusif, tetapi obat ini tidak memiliki aktivitas sebagai analgesic

ataupun narkotik. Obat penekan batuk lainnya bekerja secara sentral tetapi tidak

dibuat darI opioat jenisini meliputi: butamirate citrate, clobutinol, pentoxyver.

Oxeladine yang juga merupakan obat penekan batuk yang bekerja secara. Sentral,

dilaporkan memilkiki efek mutagenic in vitro sehingga obat ini ditaarik dari

peredarannya.
KASUS I :

Tn. Baco usia 30 tahun Berat badan 60 Kg, Tinggi 170 cm. mengeluh batuk kering selama 2
hari, Batuk yang dialami mengganggu aktivitas sehari harinya, namun tidak mengeluarkan
dahak. Riwayat pengobatan ialah obat golongan ACEI. Berdasarkan pemerksaan data lab TD
140/80, Hematokrit 44 %, WBC 15.000/mm 3

Penyelesaian kasus

1. Pemeriksaan fisik: Tn. Baco umur 30 tahun, tinngi 170 cm dengan BB 60 kg.
2. Pemeriksaan LAB yang tidak normal :

Data lab pemeriksaan Data normal

TD 140/80 110-150/80-90 mmHg

Hematokrit 44 % 40-48 %

WBC 4000-10000 /mm3 15.000 /mm3

Data lab yang tidak normal ialah WBC yang tinggi, menandakan adanya perlawanan tubuh
terhadap alergen yang masuk, dan salah satu penyebab batuk ialah alergen.

Dihentikan pemberian obat golongan ACEI karna Tekanan darah sudah normal, dan ACEI
memberikan efek samping batuk pada pasien

Diberikan obat Dekstrometorfan 10-20 mg secara oral setiap 4 jam atau 30 mg secara oral
setiap 6-8 jam. Dosis max 120 mg/hari. Untuk mengatasi batuk kering dari pasien

DRPs :

Dekstrometorfan Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna. Memberikan efek dalam
15-30 menit setelah pemberian secara oral. Lama kerja obat 3-6 jam.

Dekstrometorfan Jangan digunakan pada penderita dengan batuk kronis, batuk yang
disertai dengan penyakit penyerta lain, atau batuk dengan sekresi sputum yang banyak.
KASUS II :
Ny tuti berusia 45 tahun, Tinggi 150 cm, BB 40 Kg. mengeluh batuk berdahak
selama 3 minggu, ia juga pernah mengalami penyakit gangguan pernapasan. Dari
pemeriksaan lab yang dilkakukan diperoleh data lab

Data lab pemeriksaan Data normal

TD 140/80 110-150/80-90 mmHg

Hematokrit 44 % 40-48 %

WBC 4000-10000 /mm3 10.000 /mm3

Spirometri 62 % < 60 %

Dari data lab terlihat spirometri yang lebih dari 60 % ini menandakan adanya
gangguan pada sistem pernafasan. Sehingga obat yang diberikan untuk mengatasi
batuk berdahak pasien ilah ambroxol (obat golongan mukolitik)
Dosis Oral (1) : 60-120 mg per hari dalam 2-3 dosis terbagi.
SOAL
BATUK

1. keadaan batuk dengan pengeluaran sputum berbercak darah atau pengeluaran


darah yang tampak jelas dari dalam traktus respiratorius?
a. Hemoptosis
b. Pneumonia
c. Batuk
d. Hepatomegali
e. Inflamasi
2. batuk yang tidak menghasilkan sputum/dahak dan batuk ini menimbulkan
iritasi pada tenggorokan?
a. Batuk produktif atau batuk kering
b. Batuk non produktif atau batuk basah
c. Batuk non produktif atau batuk kering
d. Batuk produktif atau batuk basah
e. Batuk produktif dan non produktif
3. Batuk kering seringkali dipicu oleh partikel makanan berukuran kecil atau
asap iritan yang terhirup, perubahan temperature, dan asap rokok. Perokok
yang dimaksud ialah ?
a. sebagai perokok aktif
b. sebagai perokok aktif maupun sebagai perokok pasif
c. sebagai perokok pasif
d. tidak sebagai perokok aktif maupun sebagai perokok pasif
e. sebagai perokok aktif maupun tidak sebagai perokok pasif
4. penyempitan trakea menyebabkan laju aliran melalui trakea mendekati
kecepatan suara Tekanan pembersihan yang timbul membantu
a. eliminasi mukus dan benda- benda asing
b. hanya eliminasi mukus dan tidak benda- benda asing
c. tidak eliminasi mukus dan benda- benda asing
d. tidak eliminasi mukus dan tidak benda- benda asing
e. produksi mukus dan benda- benda asing
5. Batuk dapat dicetuskan secara volunter refleksif. Sebagai refleks defensif,
batuk mempunyai aras ?
a. aras non aferen dan eferen
b. aras aferen dan non eferen
c. aras eferen
d. aras aferen
e. aras aferen dan eferen
6. Tekanan intratoraks positif ini menyebabkan ?
a. pelebaran trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke dalam membrana
posterior yang lebih lentur
b. penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke luar membrana
posterior yang lebih lentur
c. penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke dalam
membrana posterior yang lebih lentur
d. penyempitan trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke luar membrana
posterior yang lebih lentur
e. pelebaran trakea, yang ditimbulkan oleh lipatan ke dalam membrana
posterior yang lebih lentur
7. Batuk dapat ditimbulkan oleh?
a. stimulasi inflamasi, mekanis, kimiawi dan termal
b. stimulasi inflamasi, non mekanis, kimiawi dan termal
c. stimulasi non inflamasi, mekanis, kimiawi dan termal
d. stimulasi inflamasi, non mekanis, kimiawi dan termal
e. stimulasi non inflamasi, mekanis, kimiawi dan termal
8. Tekanan atau tegangan pada saluran biasanya ditimbulkan oleh ?
a. lesi yang berkaitan dengan penurunan kelenturan jaringan paru
b. lesi yang berjauhandengan penurunan kelenturan jaringan paru
c. lesi yang berkaitan dengan kenaikan kelenturan jaringan paru
d. lesi yang berjauhan dengan penurunan kelenturan jaringan paru
e. lesi yang berkaitan dengan kenaikan kelenturan jaringan paru
9. Penyeba batuk darah dapat dibagi atas ?
a. Infeksi, Neoplasma, dan Benda asing
b. Infeksi,Kardiovaskular, dan Benda asing
c. Infeksi,Kardiovaskular,Neoplasma, dan Benda asing
d. Infeksi,Kardiovaskular,non Neoplasma, dan Benda asing
e. Infeksi,non Kardiovaskular,Neoplasma, dan Benda asing
10. Dimana mekanisme kerjanya ada dua. Pertama, bereaksi secara langsung
dengan merangsang sekresi mucus sehingga ?
a. sputum lebih banyak dan mudah dikeluarkan.
b. sputum lebih encer dan mudah dikeluarkan.
c. sputum lebih encer dan sulit dikeluarkan.
d. mukosa lebih encer dan mudah dikeluarkan.
e. mukosa lebih encer dan mudah dikeluarkan.
11. Gliseril Guaikolat tersedia dalam bentuk sirop
a. 100 mg/5 ml Dosis dewasa yang dianjurkan 2-4 kali 200-400 mg
sehari
b. 1000 mg/5 ml Dosis dewasa yang dianjurkan 2-4 kali 200-400 mg sehari
c. 100 mg/5 ml Dosis dewasa yang dianjurkan 2-4 kali 200-4000 mg sehari
d. 100 mg/5 ml Dosis de wasa yang dianjurkan 2-5 kali 200-400 mg sehari
e. 100 mg/5 ml Dosis dewasa yang dianjurkan 2-5 kali 200-400 mg sehari
12. Obat yang bekerja dengan cara menghancurkan benang-benang mukoprotein
dan mukopolisakarida pada dahak adalah?
a. Mukolitik
b. Ekspektoran
c. Antitusif
d. ACEI
e. ARB
13. Obat yang bereaksi secara tidak langsung degan cara mengiritasi saluran
gastrointestinal yang berimbas ke sistem pernapasaan sehingga meningkatkan
sekresi mucus?
a. Mukolitik
b. Ekspektoran
c. Antitusif
d. ACEI
e. ARB
14. Guaifenesin adalah obat golongan?
a. Mukolitik
b. Ekspektoran
c. Antitusif
d. ACEI
e. ARB
15. AmbroxolMR adalah obat golongan?
a. Mukolitik
b. Ekspektoran
c. Antitusif
d. ACEI
e. ARB
16. Obat yang bekerja dengan mengurangi sensitivitas pusat batuk di otak
terhadap stimulus yang datang?
a. Mukolitik
b. Ekspektoran
c. Antitusif
d. ACEI
e. ARB\
17. Kodein dan hidrokodon yang lebih poten efektif tetapi harus digunakan
dengan hati-hati karena bersifat?
a. Non analgetik dan adiksi
b. analgetik dan non adiksi
c. adiksi
d. analgetik
e. analgetik dan adiksi
18. ekspirasi eksplosif untuk mengeluarkan sekret dan benda asing dari saluran
trakeobronkial disebut ?
a. batuk
b. demam
c. nyeri
d. pusing
e. mual
19. Tekanan atau tegangan pada saluran biasanya ditimbulkan oleh ?
a. lesi yang berkaitan dengan penurunan kelenturan jaringan paru
b. lesi yang berjauhandengan penurunan kelenturan jaringan paru
c. lesi yang berkaitan dengan kenaikan kelenturan jaringan paru
d. lesi yang berjauhan dengan penurunan kelenturan jaringan paru
e. lesi yang berkaitan dengan kenaikan kelenturan jaringan paru
20. Dimana mekanisme kerjanya ada dua. Pertama, bereaksi secara langsung
dengan merangsang sekresi mucus sehingga ?
a. sputum lebih banyak dan mudah dikeluarkan.
b. sputum lebih encer dan mudah dikeluarkan.
c. sputum lebih encer dan sulit dikeluarkan.
d. mukosa lebih encer dan mudah dikeluarkan.
e. mukosa lebih encer dan mudah dikeluarkan.

BAB III

ASMA

I. DEFINISI

Penyakit asma merupakan penyakit saluran napas yang ditandai oleh

peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis

stimulus. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan

yang meluas pada saluran udara pernapasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh

dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dispenea, batuk,

serta mengi Penyakit ini bersifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh
periode tanpa gejala. Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat

selama beberapa menit hingga beberapa jam dan sesudah itu, pasien tampaknya

mengalami kesembuhan klinis yang total. Namun demikian, ada suatu fase ketika

pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase

ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat. atau yang lebih serius

lagi. dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari hari atau berminggu-

minggu; keadaansemacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa

keadaan yang jarang terdapat, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan

kematian. (Isselbacher, dkk. 2000: 1311)

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik pada jalan napas yang

diakibatkan reaksi alergi yang berdampak pada tubulus paru, menyebabkan timbulnya

reaksi berlebihan pada dinding bronkiolus terhadap berbagai stimulus seperti debu,

stres dan emosi berlebihan. Ini adalah suatu kondisi gangguan pernapasan. Asma

dapat terjadi pada anak dan dewasa, walaupun kondisi ini seringkali lebih komplek

bila terjadi pada anak. Asma lebih sering dialami oleh anak laki-laki ketimbang anak

perempuan. Tetapi pola ini berubah sesudah masa pubertas, dimana remaja

perempuan lebih cenderung mengalami asma dibandingkan remaja pria. Faktor-faktor

pemicu asma antara lain meliputi factor hereditas, infeksi, alergik, lingkungan dan

psikososial. (MIMS. 2016: A25)

Gambaran Klinis

Gejala asma terdiri atas triad dyspnea, batuk dan mengi; gejala yang disebutkan

terakhir ini kerapkali dianggap sebagai gejala yang harus ada (sine qua non). Pada

bentuk yang khas asma merupakan penyakit penyakit episodik dan keseluruhan tiga

gejala tersebut terdapat bersama-sama. Pada awal awitan, pasien akan mengalami
rasa tertekan di daerah dada yang sering disertai dengan batuk dan non produktif.

Respirasi terdengar kasar dan suara mengi pada kedua fase respirasi semakin

menonjol, ekspirasi memanjang dan pasien sering memperlihatkan gejala takipnea,

takikardia, serta hipertensi sistolik yang ringan. Paru dengan cepat mengalami

overinflasi dan diameter anteroposterior toraks meningkat. Jika serangannya berat

atau berlangsung lama, suara pernapasan adventisial mungkin menghilang dan suara

mengi memiliki nada yang sangat tinggi. Selanjut, otot aksesorius terlihat sangat

aktif dan kerapkali timbul denyut nadi paradoksal. Kedua tanda ini ternyata sangat

berguna untuk menunjukkan intensitas obstruksi. Dengan adanya salah satu dari

kedua tanda di atas, fungsi paru cenderung mengalami gangguan yang lebih

bermakna jika dibandingkan dengan keadaan tanpa kedua tanda tersebut. Kita harus

memperhatikan bahwa terjadinya denyut nadi paradoksal dan digunakannya otot

aksesorius bergantung pada timbulnya tekanan intratorakal negatif yang luas Jadi,

bilamana pernapasan pasien menjadi dangkal, tanda ini bisa tidak terdapat sekalipun

keadaan obstruksinya cukup berat. Tanda dan gejala lain pada penyakit asma

merupakan cerminan yang kurang sempurna untuk berbagai perubahan fisiologik

yang terdapat sehingga jika kita hanya bergantung pada tidak adanya keluhan

subjektif atau bahkan pada hilangnya tanda mengi sebagai titik akhir dalam

menghentikan terapi untk serangan yang akut, sehingga sejumlah penyakit residual

akan terabaikan. (Isselbacher, dkk. 2000: 1315)

Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir

atau mukus yang lengket seperti benang yang liat dan kerapkali berbentuk silinder

dari saluran napas bagian distal (spiral Curschmann) yang jika diperiksa dengan

mikroskop, kerapkali memperlihatkan sel eosinofil sorta kristal Charcot-Leyden.


Dalam situasi yang ekstrim, gejala mengi dapat berkurang dengan nyata atau bahkan

menghilang sama sekali, gejala batuk sepenuhnya menjadi tidak efektif dan pasien

mungkin memperlihatkan corak pernapasan tipe bernapas pendek-pendek (gasping).

Gambaran ini menunjukkan adanya penyumbatan mukus yang luas dan asfiksia yang

membakat. Bantuan ventilasi dengan alat mekanis mungkin diperlukan. Atelektasis

akibat sekret yang kental kadang-kadang dapat terjadi pada serangan asma.

Komplikasi lainnya seperti pneumotoraks spontan dan/atau pneumomediastinum

jarang terjadi. Yang tidak begitu khas, seorang pasien asma dapat mengeluhkan

serangan batuk nonproduktif atau dispnea waktu kerja (dyspnoe d ’ejffort) yang

intermiten. Berbeda dengan keadaan asmatik lainnya, jika pasien ini diperiksa dalam

periode simtomatiknya, suara pernapasannya cenderung normal tetapi ia dapat

memperdengarkan suara mengi setelah melakukan ekspirasi sekuatnya secara berkali-

kali dan/atau dapat memperlihatkan gangguan ventilasi yang dinamik jika diperiksa

di dalam laboratorium. Tampa adanya kedua gejala di atas, tes provokasi bronkus

mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis. (Isselbacher, dkk. 2000: 1315)

II. PATOFISIOLOGI

Tanda patofisiologik asma adalah pengurangan diameter Jalan napas yang

disebabkan kontraksi otot polos kongeri pembuluh darah, edema dinding bronkus dan

sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas,

penurunan volume ekspirasi paksa (famed expiratory volume) dan kecepatan aliran,

hiperinflasi paru dan toraks. peningkatan kerja bernapas, pengubahan fungsi otot

pernapasan, pengubahan fungsi otot pernapasan, perubahan rekoil elastik, penyebaran

abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan

perubahan gas darah arteri. Jadi, walaupun asma pada dasarnya diperkirakan sebagai
penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan

selama serangan akut. Lagl pula, pada pasien yang sangat simtomatik seringkali pada

elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru. Bila

seorang pasien dirawat, kapasitas vital paksa cenderung kurang lebih 50% dari nilai

normal. Volume ekspirasi paksa satu detik, rata-rata 30 persen atau kurang dari yang

diperkirakan, sementara aliran rata-rata aliran midekspiratori maksimum dan

minimum berkurang sampai 90 persen atau kurang dari yang diharapkan. Untuk

mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap ditemukan berjumlah

besar. Pada pasien yang sakit berat, volume residual (RV) sering mendekati 400

persen nili normal, sementara kapasitas residual fungsional menjadi brrlipat ganda.

Pasien cenderung melaporkan bahwa serangannya berakhir secara klinis bilA RV

turun sampaI 200 persen dari nilai yang diperkirakan dan bila FEV naik sampai 50

persen. (Isselbacher, dkk. 2000: 1314-1315)

Hipoksia mempakan temuan umum sewaktu eksaserbasi akut, tetapi gagal

ventilasi yang jelas relatif tidak biasa ditemukan, hal ini diobservasi pada 10 sampai

15 persen pasien yang dirawat. Sebagian besar pasien asma mengalami hipokapnia

dan alkalosis respiratori. Pada pasien yang sakit parah, temuan tekanan karbon

dioksida arteri normal cenderung berhubungan dengan tingkat obstruksi yang cukup

berat. Akibatnya, bila ditemukan pada pasien yang simtomatik, keadaan ini harus

dipandang sebagai gagal respirasi yang membakat dan harus diterapi sebagai keadaan

tersebut. Demikian pula bila ditemukan asidosis metabolik pada asma akut, hal

tersebut merupakan petunjuk obstruksi berat. Biasanya, tidak ada gejala klinis yang

menyertai perubahan gas darah. Sianosis merupakan tanda akhir. (Isselbacher, dkk.

2000: 1314-1315)
Oleh sebab itu tingkat hipoksia yang berbahaya tidak dapat ditentukan.

Demikian juga, tanda yang berhubungan dengan retensi karbon dioksida, seperti

berkeringat, takikardia dan tekanan nadi yang lebar, atau terhadap asidosis, seperti

takipnea, bukan merupakan hal yang berarti besar dalam hal yang berarti besar dalam

memperkirakan terjadinya hiperkapnia atau kelebihan ion hidrogen pada pasien

karena tanda tersebut terlalu sering ditemukan pada pasien yang cemas dengan

penyakit yang lebih berat. Jadi mencoba menilai keadann status ventilasi seorang

pasien yang sakit berat berdasarkan gejala klinis saja dapat sangat membahayakan

dan tidak boleh didasarkan hanya pada bukti yang ada. Oleh sebab itu. tekanan gas

darah arteri harus diukur. (Isselbacher, dkk. 2000: 1314-1315)

III. Epidemiologi

Asma dijumpai di seluruh dunia, menyerang laki maupun perempuan, dewasa

maupun anak, kaya maupun miskin. Prevalensi asma berkisar antara 1-10%.

Tentunya, makin ‘lebar’ definisi yang dipakai,angka ini akan semakin tinggi.

Namun, memang ada peningkatan prevalensi asma dimana-mana. Walaupun

kemajuan dunia kedokteran dan farmasi luar biasa pesat, sehingga sekarang semakin

banyak obat anti-asma yang ampuh tersedia secara luas, sungguh mengherankan

prevalensi asma tetap terus meningkat. Diperki rakan penyebabnya adalah lebih

besar faktor lingkungan dari pada genetik.

Serangan pertama dapat timbul pada masa kanak-kanak sampai masa setengah

umur. Tampaknya, lebih sering dijumpai pada anak laki-laki daripada anak

perempuan, tetapi pada pasien dewasa perbedaan ini semakin tidak nyata.

(Danusantoso, Halim. 2012: 235)


Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan

diperkirakan 4 hingga 5 persen populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh

penyakit ini. Angka yang serupa juga dilaporkan dari Negara lain. Asma bronkial

terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. terjadi dall l juga

terutama 10 tahun usia scrupa tetapi usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum

usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia

kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki/perempuan 2:1, yang kemudian menjadi

sama pada usia 30 tahun. (Isselbacher, dkk. 2000: 1312)

Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Oleh sebab itu

bagi kepentingan epidemiologik dan klinis penting untuk membuat klasifikasi asma

berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan

dengan episode akut. Akan tetapi, penting untuk ditekankan bahwa perbedaan ini

sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi yang

diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan

mengingat hal ini, kita dapat memperoleh dua kelompok besar: alergi dan

idiosinkrasi. (Isselbacher, dkk. 2000: 1312)

Asma alergik acapkali disertai dengan riwayat pribadi dan/atau keluarga

mengenai penyakit alergi seperti rinitis, urtikaria dan ekzema; reaksi kulit wheal and

flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa

udara; peningkatan kadar IgE dalam serum: dan/atau respons yang positif terhadap

tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik. (Isselbacher, dkk. 2000: 1312)

Satu bagian populasi pasien asma akan memperlihatkan riwayat alergi pribadi

maupun keluarga yang negatif, uji kulit yang negatif dan kadar serum IgE yang

normal dan oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
imunologik yang sudah jelas. Keadaan ini kita sebut sebagai idiosinkrasi. Banyak

pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan

gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa flu biasa,

tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea

yang dapat berlangsung selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Pasien ini jangan

disamakan dengan pasien dengan gejala bronkospasme yang superi mposisi dengan

bronkitis kronik dan bronkiektasis. (Isselbacher, dkk. 2000: 1312)

IV. Mekanisme Kerja Obat Asma

a. Penghantaran Obat-obatan dengan Aerosol

Pemakaian obat secara topikal pada paru-paru dapat dilakukan dengan

menggunakan aerosol. Menurut teori, metode ini akan menghasilkan konsentrasi

lokal yang tinggi di dalam paru-paru dengan penghantaran sistemik yang rendah,

sehingga hendak memperbaiki rasio terapeutik demean cara meminimalkan efek

samping sistemik. Obat-obat yang paling umum digunakan dalam pengobatan asma,

agonis reseptor B2- adrenergik dan glukokortikoid, memiliki efek samping yang

kemungkinkan besar sangat serius jika diberikan secara sistemik. Karena

patofisiologi asma hanya berupa saluran napas secara teoriritis, manfaat pengobatan

menggunakan aerosol dengan efek sistemik menjadi sangat besar. Tentu saja,dalam

praktik klinis, kemungkinan lebih dari 90% penderita asma yang mampu

menggunakan alat inhalasi dapat diobati dengan pemberian aerosol saja. Prinsip-

prinsip metode penghantaran ini penting untuk dikaji karena adanya sifat

penghantaran aerosol yang khusus dan efek besar yang dimiliki sistem ini pada

indeks teraupetiknya. (Goodman & Gilman. 2002: 713)


Ada dua jenis alat yang digunakan untuk terapi aerosol, yaitu dosis inhaler

terukur dan nebulizer. Kedua alat itu memberikan suatu rentang ukuran partikel yang

diharapkan dalam rentang 1 sampai 5 µm. Jika digunakan dengan cara yang tepat,

kedua alat itu sama-sama efektif dalam menghantarkan obat ke paru-paru, bahkan

pada kondisi penyakit asma yang cukup parah (Turner, et al., 1988: Benton, et al.,

1989). Meskipun demikian, beberapa dokter dan banyak pasien lebih suka

menggunakan nebulizer untuk pasien yang parah yang kemampuan menghirupnya

kurang. Inhaler dosis terukur menguntungkan karena lebih murah dan dapat dibawa

bawa: nebulizer menguntungkan dari segi kemudahannya, karena tidak memerlukan

koordinasi antara tangan dan pernapasan. Selain itu, terapi nebulizer dapat diberikan

menggunakan masker wajah untuk anak kecil atau orang tua yang bingung

menggunakan alat tersebut. Kerugian utama inhaler dosis terukur adalah besar alat

tersebut mengandung klorofluorokarbon. Izin sementara diberikan untuk

penggunaan alat-alat tersebut sampai dapat dikembangkan propelan alternative yang

tepat dn aman. Inhaler albuterol dosis terukur yang menggunakan hidroflouroalkana

sebagai bahan propelan (PROVENTIL HFA) tersedia untuk penggunaan di Amerika

Serikat. (Goodman & Gilman. 2002: 714)

Salah satu pilihan lain untuk penghantaran obat dengan aerosol adalah

penggunaan inhaler serbuk inhaler serbuk kering. Alat ini biasanya menggunakan

serbuk laktosa atau glukosa sebagai pembawa obat. Salah satu kerugian alat ini

adalah diperlukan aliran udara yang relative tinggi untuk mensuspensikan serbuk

dengan tepat. Anak kecil, orang tua, dan penderita asma yang parah kemungkinan

tidak mampu menghasilkan kecepatan aliran udara yang demikian. Serbuk kering

dapat mengiritasi saat dihirup. Penyimpanan inhaler serbuk kering ditempay yang
memiliki fluktuasi suhu yang besar atau kelembapan tinggi dapat memengaruhi

kinerja alat tersebut. (Goodman & Gilman. 2002: 714)

b. Agonis Reseptor B-Adrenergik

Mekanisme Kerja dan penggunaan dalam Asma.

Agonis reseptor B-adrenergik yang tersedia untuk pengobatan asma bersifat

selektif untuk reseptor B2 subtipe reseptor B2. Dengan beberapa pengecualian, obat

ini langsung dihantarkan ke saluran saluran napas secara inhalasi. Agonis-agonis

tersebut dapat dikelompokkan menjadi agonis kerja singkat dan kerja lama. Dari

sudut pandang farmakologi, sub pengelompokan ini bermanfaat karena agonis kerja

singkat hanya digunakan untuk peredaan simtomatik asma, sementara agonis kerja

lama digunakan untuk profilaksis dalam pengobatan penyakit asma. (Goodman &

Gilman. 2002: 714)

Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja Singkat.

Obat-obatan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain albuterol

(PROVENTIL, VENTOLIN levalbuterol (xoPENEx, (R) -en- antiomer albuterol,

metaproterenol , dan pirbuterol. Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan inhalasi

pada bronkospasme akut. Terbutaliun, albuterol dan metaproterenol juga tersedia

dalam bentuk sediaan oral. Setiap obat inhalasi tersebut memiliki onset kerja dalam 1

sampai 5 menit dan menghasilkan bronkodilatasi yang berlangsung selama 2 sampai

6 jam. Jika diberikan dalam sediaan oral, durasi kerjanya sedikit lebih lama

(terbutalin oral, misalnya, memiliki durasi kerja 4 sampai 8 jam). Walaupun di antara

obat-obat tersebut ada sedikit perbedaan dalam rasio potensi relatif reseptor β1/ β2,

seluruh obat itu selektif untuk subtipe β2. (Goodman & Gilman. 2002: 714)
Mekanisme kerja agonis reseptor β-adrenergik kerja singkat sebagai antiasma

dipastikan berkaitan dengan saluran napas dan bronkodilatasi yang diakibatkannya.

Otot polos saluran napas dan bronkodilatasi yang diakibatnya. Walaupun otot polos

manusia hanya sedikit atau sama sekali tidak menerima pasokan saraf-saraf simpatik

katekolaminergik, namun otot ini mengandung banyak reseptor β2 adrenergik.

Rangsangan-rangsangan untuk reseptor-reseptor ini menyebabkan aktivasi adenilil

siklase dan meningkatkan AMP siklik di dalam sel sehingga tonus otot menurun.

Agonis reseptor β2 adrenergik juga telah terbukti meningkatkan konduktans saluran

kalium di dalam sel-sel otot saluran napas yang menyebabkan hiperpolarisasi dan

relaksasi membran. Hal ini terjadi, sebagian, melalui berbagai mekanisme yang tidak

menguntungkan pada kegiatan aktivitas adenilil siklase dan produksi AMP siklik

(Kume et al., 1994). (Goodman & Gilman. 2002: 715)

Obat-obat yang paling efektif dalam merelaksasi otot polos saluran napas dan

memulihkan keadaan bronkokonstriksi adalah pengobatan yang lebih khusus untuk

meredakan gejala dispnea dengan cepat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi

asmatik (Fanta, er al., 1986; Rossing, et a 1980; Nelson, 1995). Walaupun obat-

obatan ini diresepkan hanya jika dibutuhkan, petunjuk pengguanaannya mutlak

diberikan kepada pasien setelah asma semakin parah, tidak timbul ketergatungan

terhadap peredaan gejala. Jika simptom asma terjadi terus menerus, pasien harus

dievaluasi kembali, sehingga dapat meringankan juga untuk mengendalikan

penyakit. (Goodman & Gilman. 2002: 715)

Agonis Reseptor Adrenergik Keria-Lama.

Salmeterol xinafoat adalah agonis adrenergik keria lama dengan selektivitas

yang sangat tinggi untuk subtipe reseptor β2 (Cheung et al., 1992; D'Alonzo et al.,
1994; Kamada et al., 1994). Inhalasi salmeterol memberikan bronkodilatasi terus-

menerus yang berlangsung selama 12 jam. Mekanisme yang mendasari efek

terapeutik salmaterol belum diketahui penuhnya.Pemanjangan rantai samping pada

salmeterol menjadi lebih dari 10.000 kali lebih lipofilik banding albuterol (Brittain,

1990). Lipofiliosis mengukur laju difusi keluar dari reseptor dengan menetukan

derajat partisi di dalam lapisan ganda lipid pada membran. Setelah berikatan dengan

reseptor, agonis kerja singkat yang kurang lipofilik dengan cepat dilepaskan dari

lingkungan dengan cara difusi ke dalam fase air. Sebalinya, salmeterol yang Tidak

terikat tetap tinggal di dalam membran dan hanya mengalami disosiasi yang lambat

dari lingkungan reseptor. Bitolterol adalah agonis reseptor B-adrenergik yang sangat

selektif yang juga memiliki durasi kerja relatif lama, namun onset kerjanya asas cepat

dan disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan bronkospasme akut, tetapi tidak

untuk profilaksis. Mekanisme yang mendasari kerja bitolterol yang terkait demean

dengan kenyataan bahwa kerja biologis obat bergatung pada metabolism di dalam

paru-paru paru menjadi metabolit aktifnya yaitu kolterol (Friedel dan Brogden,

1988). (Goodman & Gilman. 2002: 715)

Agonis reseptor adrenergik kerja lama merelaksasi otot polos saluran napas

dan menyebabkan bronkodilatasi melalui mekanisme yang sama dengan agonis durasi

singkat.terdapat reseptor β2 adrenergik pada jenis-jenis sel didalam saluran napas

selain otot bronkus. Hal yang menarik adalah pengamatan bahwa stimulasi reseptor

β2 adrenergik menghambat fungsi banyak sel-sel radang, termasuk sel mast, basofil.

eosinofil, netrofil, dan limfosit. Secara umum, stimulasi reseptor β2 adrenergik di

dalam jenis-jenis ini mengarah pada terjadinya peningktan AMP siklik selular,

menyebabkan terjadinya serangkaian tahap pensinyalan sehingga terjadi


penghambatan mediator radang dan sitokin (Lichtenstein dan Margolis, 1968: Barnes,

1999). Pengobatan jangka panjang dengan agonis reseptor sering menyebabkan

desensitisasi reseptor Laju dan penurunan efek. Laju derajat desensitisasi reseptor β2

adrenergik tergantung pada jenis sel. Sebagai contoh, reseptor β2 adrenergik pada

otot polos bronkus manusia cukup tahan terhadap desensitisasi, sedangkan reseptor

pada sel mast dan limfosit mudah didesensitisasi setelah terpajan agonis (Chong dan

Peachell, 1999; Johnson dan Coleman, 1995). Hal ini dapat membantu untuk

menunjukkan bahwa obat-obat yang efektif dalam mengambat radang saluran napas

yang menyebabkan asma. (Goodman & Gilman. 2002: 715)

c. Glukokortikoid

Mekanisme Kerja pada Asma

Asma adalah penyakit yang disebabkan oleh radang saluran napas,

hiperreaktivitas saluran napas, dan bronkodilatasi akut. Glukokortikoid tidak

merelaksasi otot polos sehingga memiliki efek yang kecil pada bronkokonstriksi

akut. Lebih dari itu, efektif dalam menghambat radang saluran napas jika diberikan

secara tunggal. Sangat sedikit mekanisme yang mengarah pada reaksi peradangan

yang lolos dari efek inhibisi obat-obat ini (Schleimer, 1998). Mekanisme yang turut

menyebabkan efek antiradang terapi glukokortikoid pada asma meliputi modulasi

produksi sitokin dan kemokin, penghambatan sintesis eikosa noid, penghambatan

akumulasi basofil, eosinofil, dan leukosit secara nyata di jaringan paru-paru, serta

penurunan permea bilitas pembuluh darah (Schleimer, 1998). Kerja antiradang yang

menonjol dan berkembang yang menonjol dan menyeluruh yang dimiliki kelompok

obat ini menjelaskan mengapa obat-obat ini merupakan obat yang paling efektif

dalam pengobatan asma saat ini. (Goodman & Gilman. 2002: 716)
d. Antagonis Leukotrien

Mekanisme Kerja pada Asma. Obat-obat permodifikasi leukotriene bekerja

baik sebagai antagonis kompetitif pada reseptor leukotriene atau demean

menghambat sintesis leukotrien. (Goodman & Gilman. 2002: 718)

Leukotrien (LT) B4 dan sisteinil leukotriene, LTC 4, LTD4, dan LTE4, merupakan

produk jarak 5-lipooksigenase ditemukan dalam sel mieloid, seperti sel mast,

basophil, eosinophil dan neutrophil. LTB 4 merupakan kemoatraktan poten untuk

neutrophil dan eosinophil, sedangkan sisteinil leukotriene mengonstriksikan otot

polos bronkus, meningkatkan permeabilitas endotel dan mendorong sekresi mukus.

Zileuton merupakan penghambat spesifik dan selektif untuk 5-lipooksigenase, yang

mencegah pembentukan LTD4, dan sisteinil leukotrien. Zafirlukast dan montelukast

merupakan penghambat selektif dan reversible untuk reseptor sisteinil leukotriene-1

sehingga menghambat efek sisteinil leukotrien. (Harvey. 2013: 382)

e. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium

Mekanisme kerja. Kromolin dan nedokromil telah dilaporkan memiliki

berbagai aktivitas yang mungkin berhubungan dengan efek terapetiknya pada asma.

Aktivitas tersebut meliputi: menghambat pelepasan mediator dari sel-sel mast

bronkial (Pearce el al., 1989); kemampuan membalikkan aktivasi aktivasi fung sional

dalam hal leukosit yang diperoleh dari darah penderita asma (Murphy dan Kelly,

1987) supresi efek-efek berbagai peptida kemotaktik pada netrofil, eosinofil, dan

mono sit manusia (Kay et al., 1987; Moqbel et al .. 1988); penghambatan refleks

parasimpatik dan refleks batuk (Hargreaves beklo dan Benson, 1995; Fuller et al.,
1987); dan penghambatan peredaran leukosit di dalam saluran napas penderita asma

(Hoshino (Bro dan Nakamura, 1997). Dapat dikatakan bahwa kerja kromolin dan

nedokromil pada asma tidak diketahui. (Goodman & Gilman. 2002: 720)

f. Teofilin

Mekanisme Kerja. Teofilin menghambat enzim nukleotida siklik

fosfodiesterase (PDE). PDE mengkatalisis peme. AMP siklik menjadi 5-AMP, dan

GMP siklik menjadi 5-GMP. Penghambatan PDE akan penumpukan AMP siklik dan

GMP siklik, sehingga meningkatkan jalur transduksi melalui jalur-jalur ini. Sekarang

diketahui bahwa nukleotida siklik PDE merupakan anggota suatu superfamili yang

setidaknya terdiri atas sebelas kelompok enzim yang sangat berbeda secara genetik

(Soderling dan Beavo, 2000). Teofilin dan metilxantin yang relatif tidak selektif pada

subtipe PDE yang dihambatnya. (Goodman & Gilman. 2002: 722)

Potensi dan efikasi inhibitor PDE dalam memengaruhi bergantung pada

tingkat basal produksi nukleotida siklik. Produksi AMP siklik di dalam diatur oleh

interaksi antara reseptor-ligan endogen sehingga menyebabkan aktivasi adenili

siklase. Mediator yang dapat berdifusi seperti nitrogenmonoksida dan molekul-

molekul sejenis juga dapat peningkatan GMP siklik melalui interaksi langsung

dengan guanilil siklase. Oleh karena itu, berbagai inhibitor PDE dapat dianggap

sebagai obat yang meningkatkan autakoid , hormon, dan neurontransmiter endogen

yang memberikan informasi melalui messenger nukleotida siklik. Hal ini dapat

menjelaskan potensi invivo lebih sering meningkat dibandingkan dengan yang

teramati dalam bentuk secara in vitro. 1982 Teofilin dan juga antagonis kompetitif

pada reseptor adenosin (Fredholm dan Persson, 1982) Adenosin dapat bekerja sebagai

suatu autakoid dan transmitter dengan kerja biologis yang sangat besar. Kaitan
khusus dengan asma adalah pengamatan bahwa adenosin untu dapat menyebabkan

bronkokonstriksi pada penderita asman dan memperkuat pelepasan mediator yang

diinduksi secara imunologi dari sel-sel mast paru-paru manusia (Cushley et al.,

Peachell 1984; et al.,1988). Oleh karena itu, penghambatan kerja adenosin juga harus

dipertimbangkan ketika berusahan menjelaskan mekanisme kerjs teofilin (Feoktistov

et al.,1998). (Goodman & Gilman. 2002: 723)

V. Penatalaksanaan Klinis

Situasi emergensi

Bentuk terapi yang paling mujarab untuk mengatasi serangan akut asma

adalah pemberian preparat beta2- agonis. Obat ini akan memberikan kesembuhan

yang tiga hingga empat kali lebih besar dari pada pemberian aminofilin intravena.

Dalam situasi emergensi, obat beta2- agonis dapat diberikan setiap 20 menit sekali

dengan menggunakan nebulizer manual untuk pemberian tiga kali. Sesudah itu,

frekuensi pemberian dapat dikurangi hingga setiap 2 jam sekali sampai serangannya

mereda. Aminofilin dapat ditambahkan pada terapi ini setelah satu jam kemudian

sebagai upaya untuk mempercepat kesembuhan serangan. (Isselbacher, dkk. 2000:

1317-1318)

Serangan akut asma bronkiale merupakan salah satu kejadiaan emergensi

pernapasan yang paling sering ditemukan dalam praktik medis dan dokter harus

mengenali serangan obstruksi jalan napas mana yang dapat membawa kematian serta

pasien mana yang memerlukan tingkat perawatan apa. Hal ini mudah dilakukan

dengan menilai parameter klinis tertentu bersam-sama pengukuran aliran udara

ekspirasi dan pertukaran gas. Adanya denyut nadi paradoksal, penggunaan otot

aksesorius dan hipeinflasi toraks yang nyata menandai obstruksi jalan napas yang
berat dan ketidakberhasilan untuk menghilangkan tanda ini dalam waktu singkat

setelah dilakukan terapi intensif mengharuskan kita untuk melakukan pemantauan

pasien secara objektif demean pemeriksaan gas darah arterial dan PEFR serta FEV.

(Isselbacher, dkk. 2000: 1317-1318)

Terapi kronik

Tujuan terapi kronik adalah untuk mencapai keadaan asimtomatik yang stabil

demean mempertahankan fungsi paru dalam kondisi sebaik mungkin. Seperti halnya

pada situasi akut, terapi baris pertama harus berupa pemberian preparat beta2- agonis

lewat inhalasi. Pada pasien yang menghadapi kesulitan untuk mengkoordinasi

inhalasi demean bantuan inhaler dosis-terukur, alat spacing harus diikutsertakan. Jika

keluhan nokrutnal terus berlanjut, senyawa teofilin yang kerjanya lama dapat

memberikan pada malam harinya. (Isselbacher, dkk. 2000: 1317-1318)

KASUS
Peyton Harrison adalah seorang anak Afrika-Amerika berusia 3 tahun yang

dilarikan ke rumah sakit ke bagian gawat darurat dengan riwayat batuk 3 hari dan

hidung tersumbat. Dia memiliki retraksi ringan dengan takipnea di 52 napas per

menit. Tanda-tanda vital lainnya adalah denyut jantung 137 denyut per menit, tekanan

darah 100/68, suhu 38,9 ° C, dan berat badan 14,4 kg. Saturasi oksigen awal adalah

88%, dan dia mulai dengan oksigen pada 1,5 liter / menit melalui kanula nasal. Bunyi

nafasnya dicatat memiliki pertukaran udara yang baik tetapi dengan bunyi menciut

saat ekspirasi. Dadanya x-ray menunjukkan infiltrat merata dengan konsisten


pneumonia. Peyton mengeluh hidung meler dan sakit tenggorokan. Dia tidak

memiliki rasa sakit di telinga. Ketika di bagian gawat darurat, Peyton diberikan obat

albuterol atau ipratropium nebulasi dan prednisolone 15 mg peroral. Dia menerima

satu dosis acetaminophen 210 mg. Nafasnya terdengar dan oksigenasi tidak membaik

sehingga ia dimulai pada albuterol per jam nebulasi sebanyak 5 mg. Peyton kemudian

dipindahkan ke Pediatric Unit Perawatan Intensif untuk perawatan dan pemantauan

lebih lanjut.

Pemeriksaan data lab :

Na 134 mEq/L WBC 6.5 × 103/mm3

K 3.0 mEq/L RBC 3.84 × 106/mm3

Cl 103 mEq/L Hgb 10 g/dL

CO2 19 mEq/L Hct 34%

BUN 6 mg/dL Plt 252 × 103/mm3

SCr 0.4 mg/dL Glu 140 mg/dL

Penyelesaian

Penggunaan obat golongan agonis B2 seperti albuterol 5 mg perhari sebagiknya

di teruskan. Menjarangkan penggunaan (2 kali seminggu) agonis β2 kerja-singkat

sediaan inhalasi untuk pemulihan gejala yang cepat. Mempertahankan fungsi

paru (nyaris) "normal".

DRPs
Dari kasus, terlihat bahwa dokter memberikan obat golongan NSAID yaitu

acetaminofen untuk menurunkan gejala demam pada pasien. Namun, penggunaan


obat golongan NSAID dapat menyebabkan bronkokontriksi yaitu penyempitan

pembuluh darah sehingga menginduksi penyakit asma pada pasien.

SOAL

1. penyakit saluran napas yang ditandai oleh peningkatan daya responsif


percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis stimulus disebut ?
a. Asma
b. Batuk
c. Pneumonia
d. RA
e. OA
2. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang
meluas pada?
a. udara pernapasan
b. udara pencernaan
c. udara pernapasan dan pencernaan
d. pembuluh darah arteri
e. pembuluh darahvena
3. obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari hari atau berminggu-
minggu; keadaan semacam ini dikenal sebagai
a. status non esmatikus
b. status esmatikus
c. status praasmatikus
d. status asmatikus
e. status non asmatikus
4. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik pada jalan napas yang
diakibatkan reaksi alergi yang berdampak pada ?
a. tubulus paru
b. jantung
c. usus
d. hati
e. susum tulang
5. Faktor-faktor pemicu asma ?
a. factor hereditas, infeksi, alergik, lingkungan
b. factor hereditas, infeksi, lingkungan dan psikososial
c. infeksi, alergik, lingkungan dan psikososial
d. factor hereditas, infeksi, lingkungan dan psikososial
e. factor hereditas, infeksi, alergik, lingkungan dan psikososial

6. Apa pengertian dari asma ….

a. Adanya cairan didalam paru-paru

b. Penyakit yang diakibatkan oleh trauma

c. Penyakit yang disebabkan oleh banteri tuberculosis

d. Penyakit karena adanya darah didalam paru

e. penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,

peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus.

7. a. Batuk lama dan berulang

b. Napas berbunyi (mengi)

c. Napas sesak
d. Peningkatan TIK

e. Diare

Dari pernyataan diatas manakah yang termasuk gejala asma , kecuali

8. Manakah yang termasuk dalam tipe utama asma

a. Asma bronchial

b. Asma ektrinsik

c. Asma imunologi

d. Asma intrinsic

e. Asma saja

9. Penyebab dari penyakit asma adalah

a. Kucing

b. Serbuk atau bau-bauan

c. Asap rokok

d. Ketawa

e. Alergi

10. Kasifikasi asma berdasarkan berat penyakitnya dibagi menjadi

a. 4

b. 3

c. 2

d. 6

e. 5

Jawaban : A
11. Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari .Malam hari > 2 kali

per bulan.. Serangan dapat mempengaruhi aktifitas. Gejala tersebt tergolong

dalam

a. Intemiten

b. Persisten sedang

c. Persisten berat

d. Persisten akut

e. Persiten kronik

12. Variabilitas APE > 30% VEP1 < 60% nilai prediksi APE < 60% nilai terbaik.

Merupakan fungsi paru dari

a. Intemiten

b. Persisten sedang

c. Persisten berat

d. Persisten akut

e. Persiten kronik

DAFTAR PUSTAKA

Broto Wasisto. Sumber daya manusia dan kondisi kesehatan penduduk masa depan
di Indonesia : Warta Demografi. 2003

Depkes, Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, Ditjen Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta, 2007.

Gilman, A. G., Hardman, J. G. & Limbird, L. E, Dasar Farmakologi Terapi, Volume


1, diterjemahkan oleh Aisyah, C., Elviana, E., Syarief, W. R., Hanif, A. &
Manurung, J., 759, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran.2007.
Hasan, D, Rasio Efektifitas Biaya Obat Antimalaria Kombinasi Artesunate +
Amodiakuin Dan Kombinasi Sulfadoksin dan Pirimetamin Dalam Terapi
Malaria Falsiparum, Disertasi Program Doktor UI, 2006.

Isselbacher, Harrison. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih. BahasaAsdie


Ahmad H Edisi, 13. Jakarta : EGC.2012

Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto. 2011

Tjay, T. H., & Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan.
Efek-Efek Sampingnya: Jakarta. 2002

Anda mungkin juga menyukai