Anda di halaman 1dari 6

ESTROGEN

C. FUNGSI
1) Estrogen
Estrogen dapat memediasi berbagai efek pada seluruh tubuh wanita dan
pria, mengatur proses fisiologis dan patologis dalam sistem reproduksi,
kardiovaskular, skeletal, endokrin, saraf, dan sistem imun. Oleh karena itu hormon
estrogen juga terlibat dengan sejumlah penyakit, misalnya, infertilitas,
endometriosis, sindrom ovarium polikistik, dan berbagai jenis kanker. (Tang et al,
2019)
Fungsi yang signifikan dari hormon estrogen dalam sistem reproduksi
wanita adalah pengembangan karakteristik seksual secara sekunder. Reseptor
seluler estrogen adalah mediator penting dari fungsi estrogen, yang meliputi
keluarga reseptor nuklear (reseptor estrogen (ER) α dan β) dan reseptor estrogen
membran (mERs; protein-coupled reseptor G 30 (GPR30)). (Tang et al, 2019)
Reseptor estrogen α dan β merupakan mediator yang berperan dalam efek
biologis estrogen, dikodekan oleh gen ESR1 dan ESR2, yang masing-masing
terletak pada kromosom nonhomolog. Selain itu, ekspresi ERα dan ERβ sangat
berbeda dalam jaringan dan sel. ERα sebagian besar diekspresikan dalam uterus,
ovarium, dan payudara, sedangkan ekspresi ERβ terutama ditemukan pada sistem
saraf, ovarium, sistem kardiovaskuler, serta sistem reproduksi pria. Fungsi ERα
dan ERβ dapat dijadikan sebagai target terapi penyakit yang berhubungan dengan
hormon estrogen. (Tang et al, 2019)
Untuk memediasi efek ekspresi gen, reseptor hormon nuklear terlokalisasi
dalam nukleus. Adapun reseptor estrogen, ER yang inaktif terutama terletak di
nukleus (sebesar 95%), dan sisanya terletak di sitoplasma, sedangkan ER α yang
terlokalisasi pada membran bertindak sebagai G-protein-coupled reseptor atipikal.
Aktivasi ligan biasanya mengarah pada dimerisasi monomer setelah terdisosiasi
dari chaperone (Hsp90), dan mentranslokasi reseptor sitosol ke nukleus. Seperti
reseptor hormon steroid lainnya, ER bertindak sebagai dimer homolog dan atau
heterodimer pada proses transkripsi, merekrut koregulator dan menggabungkannya
dengan elemen respons estrogen (EREs). Melalui penggabungan dengan faktor-
faktor transkripsi, reseptor estrogen yang teraktivasi juga dapat secara tidak
langsung terikat pada DNA, dan transkripsi dapat diregulasi oleh modifikasi post-
translasi tanpa adanya ligan. Berbagai ligan yang dapat berikatan dengan ER
menghasilkan berbagai konformasi pada domain ikatan reseptor-ligan (terutama
heliks 12), yang menghasilkan banyak area pengikatan untuk faktor regulasi dan
protein lainnya. Selain itu, perbedaan ekspresi pada beberapa tipe jaringan yang
berbeda menghasilkan kompleksitas dari ER dan ligannya. Pada intinya, ERs
mengatur ekspresi banyak gen, baik secara positif maupun negatif, yang tergantung
pada ligan dan jaringan. (Tang et al, 2019)

Gambar. G-protein-coupled estrogen receptor (GPER) serta agonis dan


antagonis dari reseptor terikat-membran yang berasal dari reseptor estrogen
(ER) α dan ERβ, terlibat dalam transduksi sinyal intraseluler.

Estrogen memediasi respons biologis melalui beberapa mekanisme


seluler yang mungkin. Ada dua peran seluler utama yang melibatkan reseptor:
aktivitas genomik dan efek nongenomik cepat. Dilaporkan bahwa efek cepat
terjadi dalam beberapa menit pada proses terapi. Selanjutnya, dengan
menghambat jalur pensinyalan MAPK / ERK atau AKT, efek non genomik
dapat dihentikan. Pengikatan hormon dengan reseptor ekstranuklear protein,
perubahan unit pengikat steroid, disebut sebagai transformasi reseptor.
Transformasi reseptor adalah langkah penting dalam aksi estrogen, dan reseptor
yang diinduksi hormon protein dikonversi menjadi bentuk biokimia yang
fungsional (Tang et al, 2019).

2) Progesteron
Progesteron tidak memiliki atau hanya memiliki efek kecil pada tulang.
Turunannya hanya memiliki efek terbatas pada densitas tulang. Reseptor
progestin telah diidentifikasi pada osteoklas dan osteoblas dan telah
dihipotesiskan bahwa progesteron memiliki aksi trofik pada tulang yang mirip
dengan estrogen, dengan menghambat resorpsi tulang melalui efek stimulasi
langsung pada sekresi kalsitonin. (Taraborrelli, 2015)
Progesteron bekerja pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenokortikal
dengan memodulasi sekresi LH, sehingga membentuk mekanisme umpan balik
pada steroidogenesis ovarium. Progesteron dianggap memiliki efek
penghambatan pada hasrat seksual pada wanita dan dimetabolisme dalam 5a-
dihidro-progesteron dan allopregnanolon, yaitu senyawa yang memberikan efek
neuroprotektif dan restoratif pada cedera otak traumatis dan iskemik, Hal ini
dianggap mengurangi edema dan mengembalikan fungsi pada barrier darah.
Oleh karena itu, progesteron dianggap sebagai 'neurosteroid' dan metabolitnya
allopregnanolon juga dapat aktif pada sel glial dengan memicu produksi mielin
dan memperlambat perkembangan penyakit Alzheimer. Selain itu, progesteron
dapat berinteraksi dengan reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) non-
genomik dan, di masa depan, agen ini dapat dianggap sebagai alternatif terapi
dalam perilaku agresif psikiatri, depresi dan kecemasan. (Taraborrelli, 2015)
Progesteron meningkatkan kadar basal insulin dan mendorong
pelepasan insulin setelah mengonsumsi karbohidrat. Pada carpal tunnel
syndrome, yang mungkin disebabkan oleh neuropati diabetik, umum diobati
dengan kortikosteroid. Studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian
progesteron setelah nyeri punggung akut atau neuropati yang diinduksi oleh
obat antikanker (vincristine) dapat meningkatkan nyeri neuropatik dengan
mempromosikan regenerasi mielin. Terlebih lagi, meskipun terapi estrogen
berhubungan dengan efek menguntungkan yang dimediasi oleh lipoprotein
densitas tinggi (HDL) meningkat, penambahan progesteron mikronisasi pada
estrogen di HRT memiliki dampak negatif pada level HDL. (Taraborrelli, 2015)
Pada kelenjar payudara selama fase luteal dan, pada tingkat yang lebih
besar, pada kehamilan, progesteron bertindak sinergi dengan estrogen yang
akan mengakibatkan penurunan regulasi estrogen, tetapi hal ini tidak terjadi
pada reseptor progestin. Aktivitas mitosis sel epitel payudara sangat tinggi pada
fase folikuler tetapi lambat pada fase luteal. Temuan ini mengkonfirmasi
tindakan protektif progesteron pada jaringan payudara karena tindakan
penghambatannya terhadap 1 a-hydroxy steroid dehydrogenase dan apoptosis.
(Taraborrelli, 2015)

D. KELEBIHAN
Tingginya kadar estrogen dapat menyebabkan masalah kesuburan dan beberapa
pasien berisiko lebih tinggi terkena kanker endometrium (kanker lapisan terdalam dari
uterus). Paparan estrogen yang berkepanjangan dalam kasus usia dini saat menarche
atau menopause lanjut dapat, misalnya, meningkatkan risiko kanker payudara.
Beberapa studi epidemiologis dan klinis telah mengkonfirmasi korelasi antara hormon
dan keganasan payudara dengan melaporkan kadar estrogen serum yang lebih tinggi
pada wanita dengan kanker payudara dibandingkan dengan kasus kontrol. (Gerard,
2017)
Studi epidemiologi prospektif selama dua dekade terakhir secara konsisten
mengaitkan peningkatan estradiol dan estrone yang bersirkulasi dengan peningkatan
risiko kanker payudara pascamenopause. Peningkatan kadar metabolit jalur 2-
hidroksilasi secara signifikan berkaitan dengan pengurangan risiko kanker payudara
setelah disesuaikan dengan kadar total estrogen. (Sampson et al, 2016)
Apabila wanita tidak sedang dalam masa kehamilan, ditemukan kadar
progesteron yang tinggi dalam tubuh dapat kemungkinan menjadi tanda penyakit kista
ovarium, kanker adrenal, bentuk yang lebih jarang dari kanker ovarium.
Mekanisme potensial yang mendasari peningkatan sensitivitas terhadap
progesteron adalah peningkatan jumlah sel PR yang tercermin dalam peningkatan
induksi RANKL dan WNT4 sebagai respons terhadap stimulasi progesteron ex vivo.
Oleh karena itu, paparan perinatal terhadap pengganggu endokrin yang meniru estrogen
seperti BPA dapat meningkatkan risiko kanker payudara dengan meningkatkan
sensitivitas epitel payudara terhadap progesteron dan memperkuat respon biologis
selama setiap siklus menstruasi. (Brisken et al, 2015)

E. KEKURANGAN
Dipercayai bahwa penurunan kadar estrogen pada wanita adalah penyebab
utama peningkatan prevalensi risiko CVD bersamaan dengan peningkatan adipositas
sentral dan profil lipid yang tidak menguntungkan setelah menopause. Defisiensi
estrogen dan pensinyalan estrogen yang rusak mengakibatkan obesitas dengan
meningkatnya massa jaringan adiposa, terutama di lokasi visceral. (Shin, 2016)
Salah satu mekanisme utama melalui mana obesitas meningkatkan risiko kanker
payudara adalah dengan secara signifikan mempengaruhi pensinyalan estrogen pada
payudara wanita pascamenopause. Faktor-faktor terkait obesitas yang disekresikan
mengubah pensinyalan estrogen di payudara wanita obese dengan beberapa cara, yaitu
dengan menginduksi transkripsi aromatase dalam sel stroma adiposa melalui
penggunaan promotor, yang mungkin menjadi mekanisme utama yang terjadi pada
wanita pascamenopause yang obese, tetapi juga dengan meningkatkan aktivitas
aromatase, meningkatkan bioavailabilitas estrogen lokal atau dengan mengatur ekspresi
ER dan aktivasi. Pensinyalan estrogen yang terdisregulasi, pada gilirannya,
menunjukkan peningkatan aksi genomik dan non-genomik yang menciptakan kondisi
lokal yang menguntungkan bagi karsinogenesis payudara dan pertumbuhan tumor pada
payudara. (Gerard, 2017). Selain itu, estrogen adalah pengatur utama metabolisme
tulang pada pria dan wanita. Menopause dan hilangnya estrogen ovarium yang
menyertainya dikaitkan dengan penurunan kepadatan mineral tulang (BMD) (Cauley,
2015).

Tingkat progesteron yang rendah dapat menstimulasi prostaglandin yang


merupakan mediator peradangan, juga dapat menyebabkan prostaglandin berkurang,
dan peradangan mudah terjadi. Pada penelitian dilaporkan bahwa konsentrasi
prostaglandin E2 (PGE2) dalam saliva menurun secara signifikan pada luka fase aktif,
dan meningkat secara signifikan selama pemulihan Recurrent Aphthous Stomatitis
(RAS) pada mulut. (Utami, 2018)

Progesteron berpotensi imunosupresif. Oleh karena itu diasumsikan bahwa


penurunan kadar progesteron akan mengurangi fungsi anti-inflamasi. Meskipun tingkat
estrogen masih normal dan pematangan epitel diharapkan bekerja dengan baik, tingkat
progesteron yang rendah menurunkan fungsi kemotaksis PMN. Ketidakseimbangan
hormon mempengaruhi kekebalan dan sistem saraf pusat. Tiga sistem berinteraksi satu
sama lain, dimediasi oleh sitokin, hormon, dan neuropeptida yang dapat merangsang
respons imun. (Utami, 2018)
DAFTAR PUSTAKA

Brisken, C., Hess, K., & Jeitziner, R. (2015). Progesterone and overlooked endocrine pathways in
breast cancer pathogenesis. Endocrinology, 156(10), 3442-3450.

Cauley, J. A. (2015). Estrogen and bone health in men and women. Steroids, 99, 11-15.

Gerard, C., & Brown, K. A. (2018). Obesity and breast cancer–role of estrogens and the molecular
underpinnings of aromatase regulation in breast adipose tissue. Molecular and cellular
endocrinology, 466, 15-30.

Sampson, J. N., Falk, R. T., Schairer, C., Moore, S. C., Fuhrman, B. J., Dallal, C. M., ... & Brinton, L.
A. (2017). Association of estrogen metabolism with breast cancer risk in different cohorts of
postmenopausal women. Cancer research, 77(4), 918-925.

Shin, Y. A., & Lee, K. Y. (2016). Low estrogen levels and obesity are associated with shorter telomere
lengths in pre-and postmenopausal women. Journal of exercise rehabilitation, 12(3), 238.

Tang, Z. R., Zhang, R., Lian, Z. X., Deng, S. L., & Yu, K. (2019). Estrogen-Receptor Expression and
Function in Female Reproductive Disease. Cells, 8(10), 1123.

Taraborrelli, S. (2015). Physiology, production and action of progesterone. Acta obstetricia et


gynecologica Scandinavica, 94, 8-16.

Utami, S., Rahardjo, T. W. B., Baziad, A., Alwadris, T. T., & Auerkari, E. I. (2018, May). Effect of blood
estrogen and progesterone on severity of minor RAS. In Journal of Physics: Conference Series (Vol.
1025, No. 1, p. 012080). IOP Publishing

Anda mungkin juga menyukai