Anda di halaman 1dari 15

1.1.

Jenis – Jenis Akad


Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan Pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing – masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
a. Akad Mudharabah
Akad Mudharabah berasal dari kata adhdharby yaitu berpergian untuk urusan dagang.
Disbeut juga qiradh yang berasal dari kata alqardha yang berarti potongan, karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana
dengan pengelola untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil
menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung
oleh pemilik dana kecuali disebabkan oleh misconduct , negligence, dan violation oleh
pengelola dana. PSAK 105 per 18 memberikan beberapa contoh bentuk kelalaian pengelola
dana yaitu :
1. Persyaratan yang ditentukan didalam akad tidak dipenuhi.
2. Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majeur) yang lazim.
3. Dan atau yang telah ditentukan dalam akad atau merupakan hasil keputusan dari
institusi yang berwenang.

Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi yang berdasarkan
kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam akad mudharabah, yaitu
kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola dana. Oleh karena kepercayaan
merupakan unsur terpenting maka mudharabah dalam istilah Bahasa inggris disebut trust
financing. Pemilik dana yang merupakan investor disebut beneficial ownership atau
sleeping partner , dan pengelola dana disebut managing trustee dan labour partner. (
Syahdeini, 1999).

Dalam akad mudharabah pemilik dana tidak boleh mensyaratkan sejumlah tertentu untuk
bagiannya kepada pengelola dana karena dapat dipersamakan dengan riba yaitu meminta
kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor penyeimbang (iwad) yang diperbolehkan Syariah.
Misalnya, ia memberi modal sebesar Rp 100 Juta dan ia mensyaratkan setiap bulan
mendapat Rp 5 juta. Dalam mudharabah, pembagian keuntungan harus dalam presentase
/nisbah missalnya 70 : 30 , 70% untuk pengelola dana dan 30% untuk pemilik dana.
Sehinga besarnya keuntungan yang diterima terpenting pada laba yang dihasilkan.
Keuntungan yang dibagikan pun tidak boleh menggunakan nilai proyeksi (predictive value
) akan tetapi harus menggunakan nilai relaisasi keuntungan , yang mengacu pada laporan
hasil usaha yangsecara periodik disusun oleh pengelola dana dan diserahkan pada pemilik
dana.

Jenis – jenis akad Mudharabah

a. Mudharabah Mutlaqah , dimana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada


pengelola dana dalam pengelolaan investasinya, Mudharabah ini juga disebut sebagai
investasi tidak terikat.
b. Mudharabah Muqayyadah , yaitu yang pemilik dananya memberikan Batasan kepada
pengelola dana mengenai lokasi, cara , dan atau obyek investasi atau sektor usaha.
Misalnya, tidak mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana
lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan tanpa
penjamin atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa
melalui pihak ketiga. (PSAK par 07). Mudharabah jenis ini disebut juga investasi
terikat.
c. Mudharabah Masytarakah , yaitu yang pengelola dananya turut menyertakan modal
dananya dalam kerja sama invcestasi. Di awal kerja sama , akad yang disepakati adalah
akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi
usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana , ppengelola
dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut dan akadnya disebut
mudharabah musyarakah (merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad
musyarakah).
Ketentuan bagi hasil untuk akad ini dapat dialkukan dengan dua pendekatan ( PSAK
105 par 34) yaitu :
1. Hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai nisbah yang
disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola
dana tersebut dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dengan pemilik
dana sesuai dengan porsi modal masing-masing.
2. Hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan pemilik dana
sesuai dengan porsi modal masing – masing, selanjutnya bagian hasil investasi
setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai musytarik) tersebut dibagi antara
pengelola dana dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah yang disepakati. Jika
terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal
musytarik.

Sumber hokum akad mudharabah

a. Al- Quran
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah
karunia Allah SWT” (QS 62 : 10)
“….. Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya ….. “ (QS 2: 283)
b. As- Sunah
Dari Shalih bin Suaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “tiga hal yang didalamnya
terdapat keberkatan : jual beli secara Tangguh, muqharadhah (mudharabah) , dan
mencampuradukkan dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah).

b. Akad Musyarakah
Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in The Muslim School Trust,
secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua orang atau
lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan atau tidak dapat dipisahkan. Istilah
Iain dari musyarakah adalah sharikah atau syirkah atau kemitraan.
Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan musyarakah sebagai
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Musyarakah merupakan akad kerja sama di antara para pemilik modal yang mencampurkan
modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, para mitra sama-
sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama
mengelola usaha tersebut. Modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi
atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam pekerjaan dan ia menjadi wakil mitra lain
juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan
dari aktivitas yang dilakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang
normal.
Dengan bergabungnya dua orang atau lebih, hasil yang diperoleh diharapkan jauh lebih
baik dibandingkan jika dilakukan sendiri, karena didukung oleh kemampuan akumulasi
modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas, keahlian yang lebih beragam,
wawasan yang lebih luas, pengendalian yang lebih tinggi dan lain sebagainya.
Apabila usaha tersebut untung maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati (baik persentase maupun periodenya harus secara
tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian), sedangkan bila rugi akan didistribusikan
pada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap mitra. Hal tersebut sesuai dengan
prinsip sistem keuangan syariah yaitu bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
transaksi harus bersama-sama menanggung (berbagi) risiko.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan dari mitra lainnya
karena bertentangan dengan prinsip untungmuncul bersama risiko (alghunmu bi alghurmi).
Namun demikian, untuk mencegah mitra melakukan kelalaian, melakukan kesalahan yang
disengaja atau melanggar.

c. Akad Mhurabahah
Murabahah merupakan salah satu produk atau skim yang paling populer dalam praktik
pembiayaan pada perbankan syariah. Selain mudah perhitungannya, baik bagi nasabah,
maupun manajemen bank, produk ini memiliki beberapa kesamaan (yang bukan prinsipil)
dengan sistem kredit pada perbankan konvensional. Meskipun demikian, secara prinsip,
murabahah sangat jauh berbeda dengan suku bunga dalam perbankan konvensional.
Dapat diartikan bahwa murabahah itu sebagai suatu perjanjian antara bank dan nasabah
dalam bentuk pembiayaan pembeliaan atas sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah
Kata murabahah ini berasal dari kata ribhu (keuntungan), yaitu transaksi jual beli di mana
bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah
sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan
(margin).
Penjelasan atas Pasal 19 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
menielaskan bahwa:
"Yang dimaksud dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai keuntungan yang disepakati. "
Jadi, fitur dan mekanisme pembiayaan murabahah adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu untuk transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
pokok atau perolehan barang ditambah.

d. Akad Wadi’ah
Akad wadiah dalam fikih dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni akad wadiah al-amanah
dan akad wadiah adh-dhamanah. Akad wadiah al-amanah adalah akad wadiah, yang mana
pihak penerima titipan menggunakan barang yang dititipkan tersebut, sedangkan akad
wadiah adh-dhamanah adalah akad wadiah, yang mana pihak penerima titipan
diperbolehkan menggunakan barang yang dititipkan tersebut. Persamaan keduanya adalah
bahwa dalam hal penitip mau mengambil barang yang dititipkan, barang sebagaimana
dimaksud harus tersedia.
Penggunaan akad wadiah dalam produk perbankan syariah ini, yaitu pada produk
penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Produk ini secara teknis diatur dalam PBI
No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan
Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagai-
mana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/20()8. Dalam Pasal 3 PBI No.
9/19/PBI/2007 Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud, dilakukan dalam
kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain Akad Wadiah.
e. Akad Salam
Akad Salam adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat
tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.215 Undang-Undang
Perbankan Syariah memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Akad Salam
adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang
dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. Sebagaimana halnya
definisi Akad Muräbahah, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah memberikan definisi
Akad Salam dari segi transaksi salam, sedangkan UU Perbankan Syariah memberikan
definisi Akad Salam dari pengertian produk pembiayaan sebagai salah satu bentuk
kegiatan usaha bank syariah.

f. Akad Istishna’
Seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBl/2005 bahwa yang dimaksud dengan:
"Istishna" adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan
kesepakatan. "
Kemudian, ketentuan dalam Penjelasan atas Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBl/2007 mengartikan.
"Istishna" itu adalah transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
sesuai dengan kesepakatan. "
Pengertian yang tidak jauh berbeda juga dirumuskan dalam Penjelasan atas Pasal 19 ayat
(1) huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yang menjelaskan bahwa:
"Yang dimaksud dengan akad istishna' adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan dan pembeli (mushtashni’) dan penjual dan pembuat (shani’).
Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa istishna' merupakan akad salam yang
bersifat khusus atau setidak-tidaknya menyerupai akad salam, karena ia termasuk
bai'ma'dum (jual beli barang yang tidak ada), juga karena barang yang dibuat melekat pada
waktu akad pada tanggungan pembuat (shani') atau penjual. Akan tetapi, istishna' berbeda
dengan salam, dalam hal tidak wajib pada istishna' untuk mempercepat pembayaran, tidak
ada penjelasan jangka waktu pembuatan dan penyerahan, serta tidak adanya barang
tersebut di pasaran. Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk
produksi berasal dari pemesan sehingga produsen (Shani') hanya memberikan jasa
pembuatan dan ini identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan
bakunya dari produsen (shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'.
Kontrak istishna' biasanya dipraktikkan pada dan merupakan layanan pembiayaan
perbankan syariah dalam proyek konstruksi, di mana nasabah memerlukan biaya untuk
membangun suatu konstruksi. Akad ini identik dengan akad salam dalam hal cara
memperoleh aset, maka kontrak istishna' selesai ketika barang/bangunan itu selesai dibuat.

Dasar hukum Islam dari pembiayaan atau jual beli berdasarkan prinsip istishna' dapat
ditemukan dalam Al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama, yaitu:
Q.s. Al-Baqarah (2): 275
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Q.s. Al-Baqarah (2): 282
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu
tertentu, buatlah secara tertulis. "
Hadis Riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat- syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram. "
Hadis Riwayat Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa 'id al-Khudri
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain. "
Menurut mazhab Hanafi
"Istishna' hukumnya boleh (iawaz) karena hal itu telah dilakukan muslim sejak masa awal
tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. "

g. Akad Qardh
1. Pengertian al-Qardh
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur
fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan
bukan transaksi komersial.
2. Landasan Syariah
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majjah
dan ijma ulama. Sungguhpun demikian, Allah SWT mengajarkan kepada kita agar
meminjamkan sesuatu bagi "agama Allah".

h. Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa (Ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri. (Fatwa DSN Nomor 09/DSN-MU1/1V/2000) :
Ijarah adalah akad Sewa-menyewa antara muajjir (lessor) dengan atas barang yang
disewakannya. üarah muntahiyah bittamlik adalah perjanjian sewa suatu barang antara
lessor dengan lessee yang diakhiri dengan perpindahan hak milik obyek sewa. (PAPSI
2003)
Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik ma'jur (obyek sewa) dan musta'jir
(penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya. Ijarah
Muntahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan Opsi
perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. (PSAK 59
Paragraf 105).

1.2 Konsep keuntungan dalam Syariah


Keuntungan dalam Bahasa Arab Profit disebut dengan ar-ribh yang berarti petumbuhan
dalam berdagang, merupakan pertambahan penghasilan dalam berdagang. Kadang profit
dikaitkan dengan pedagang dan dikaitkan dengan dagangannya sendiri Dalam istilah lain
yang berkaitan dengan keuntungan yaitu an-nama', al-ghallah, dan al-faidah. Nama' yaitu
laba dagang atau pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk perdagangan
sebagai hasil dari proses barter dan perjalanan bisnis. Adapun al-faidah yaitu laba yang
berasal dari modal pokok atau pertambahan pada barang milik (asal modal pokok) yang
ditandai dengan perbedaan antara harga waktu pembelian dan harga penjualan sesuatu yang
baru dan berkembang dari barang dagang milik.
Profit dalam bahasa Arab disebut dengan ar-ribh yang berarti petumbuhan dalam
berdagang, merupakan pertambahan penghasilan dalam berdagang. Kadang profit
dikaitkan dengan pedagang dan dikaitkan dengan dagangannya sendiri.[1] Dalam istilah
lain yang berkaitan dengan keuntungan yaitu an-nama', al-ghallah, dan al-faidah. Nama'
yaitu laba dagang atau pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk perdagangan
sebagai hasil dari proses barter dan perjalanan bisnis. Adapun al-faidah yaitu laba yang
berasal dari modal pokok atau pertambahan pada barang milik (asal modal pokok) yang
ditandai dengan perbedaan antara harga waktu pembelian dan harga penjualan sesuatu yang
baru dan berkembang dari barang dagang milik.
Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil laba. Al-
Ghazali menganjurkan perilaku ihsan dalam berbisnis sebagai sumber keberkahan, yakni
mengambil keuntungan rasional yang lazim berlaku pada bisnis tersebut. beliau juga
menegaskan bahwa siapa pun yang qana'ah (puas) dengan kadar keuntungan yang sedikit,
maka niscaya akan meningkatkan volume penjualan dengan frekuensi yang berulang-ulang
(sering) maka justru akan mendapatkan margin keuntungan banyak, dan akan
menimbulkan berkah.
Menurut Nejatullah Siddiqi, profit berimbang untuk keuntungan yang pantas diambil oleh
pedagang adalah seberapa besar usaha, jerih payah, atau tingkat kesulitan yang dialami
oleh pedagang yang pantas diganti oleh pembeli. Unsur usaha yang dimaksud dapat
diartikan dari penemuan usaha (ide), bagaimana usaha mendapatkan barang, tingkat
kesulitan transportasi, tingkat kesulitan distribusi hingga ke tingkat tinggi rendahnya risiko.

1.3 Transaksi yang dilarang


Kegiatan ekonomi merupakan salah satu aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga
kaidah fikih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga
menggunakan kaidah fikih muamalah. Kaidah flkih muamalah adalah "al-ashlu fil
mua'malati al-ibahah hatta yadullu ad-daliilu ala tahrimiha" (hukum asal dalam urusan
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa
semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuannya, baik
larangan maupun anjuran yang ada dalam dalil Islam (Alquran maupun hadis),
diperbolehkan dalam Islam. Kaidah fikih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa
dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan keduniaan, manusia diberikan kebebasan
sebebas-bebasnya melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya
sendiri, sesamanya, dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang
melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada hadis Rasulullah yang berbunyi: "antum a'alamu
bi 'umurid dunyakurn" (Icamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwva dalam urusan
kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan
kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan
aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwva Islam
menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya
dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai
khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi). Efek yang timbul dari kaidah flkih muamalah
di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum
muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti jika timbul transaksi baru yang tidak
terdapat dalam sejarah Islam, transaksi tersebut "dianggap" diperbolehkan, selama
transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan
transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan faktor:
(l) haram zatnya (Objek transaksinya),
(2) haram selain zatnya (cara bertransaksinya),
(3) tidak sah/lengkap akadnya.

1. Haram Zatnya (ObjekTransaksinya)


Dalam Islam terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai objek transaksi yang
diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Karena itu, melakukan
transaksi yang berhubungan dengan Objek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal
ini sesuai dengan kaidah fikih: "maharuma fi'luhu haruma thalabuhu" (setiap yang
diharamkan atas objeknya, diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah
ini juga memberikan dampak bahwa setiap Objek haram yang didapatkan dengan cara
yang baik[halal tidak akan mengubah objek haram tersebut menjadi halal.
2. Haram selain Zatnya (Cara Bertransaksinya)
Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan cara bertransaksinya
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar
(rekayasa pasar dalam penawaran), bai' najasy (rekayasa pasar dalam permintaan), taghrir
(ketidakpastian), dan riba (tambahan).
3. Tidak Sah/Lengkap Akadnya
Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya dilarang dalam Islam. Ketidaksahan suatu
transaksi bisa disebabkan: rukun (terdiri atas pelaku, Objek, dan ijab-kabul) dan syaratnya
tidak terpenuhi, terjadi ta'alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one
(dua akad sekaligus). Ta'alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang Saling
dikaitkan, berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila
suatu transaksi diwadahi dua alad sekaligus sehingga terjadi ketidak- pastian (gharar) akad
mana yang harus digunakan.
Adapaun beberapa istilah yang merupakan transaksi yang dilaranag adalah :
1. Gharar
Yaitu transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain
dirugikan.
2. Maysir
Yaitu transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif
yang tinggi.
3. Riba
Yaitu transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam.
4. Zalim
Yaitu tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak
lain.
5. Risywah
Yaitu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar
hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
6. Barang haram dan maksiat
Yaitu barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum
Islam.

1.4 Kerangka Pelaporan Syariah

Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLK Syariah)
merupakan pengaturan akuntansi yang memberikan konsep yang mendasari penyusunan dan
penyajian laporan keuangan atas transaksi syariah.

Berbeda dengan Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan (KKPK) pada SAK umum yang
mengacu kepada transaksi konvensional, KDPPLK Syariah memberikan konsep dasar
paradigma, asas transaksi syariah, dan karakteristik transaksi Syariah.

1. Asas Transaksi Syariah

Berdasarkan KDPPLK Syariah, transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:

a. Persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi sosial
dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat
saling tolong menolong. Transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam
memperoleh manfaat (sharing economics) sehingga seseorang tidak boleh mendapat
keuntungan di atas kerugian orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip
saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling
menjamin (takaful), saling bersinergi dan beraliansi (tahaluf).

b. Keadilan (‘adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan
sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Implementasi
keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur:

1) riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);

2) kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan);

3) maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);

4) gharar (unsur ketidakjelasan); dan


5) haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional yang
terkait).

c. Kemaslahatan (maslahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta

individual dan kolektif.

d. Keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual,


aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan
aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada
maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik (shareholder).
Sehingga manfaat yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi
pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.

e. Universalisme (syumuliyah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak
yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai
dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).

2. Karakteristik Transaksi Syariah

Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigm dan asas transaksi syariah harus
memenuhi karakteristik dan persyaratan sebagai berikut:

 transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha;
 prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib);
 uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas;
 tidak mengandung unsur riba;
 tidak mengandung unsur kezaliman;
 tidak mengandung unsur maysir;
 tidak mengandung unsur gharar;
 tidak mengandung unsur haram;
 tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money) karena keuntungan
yang didapat dalam kegiatan usaha terkait dengan risiko yang melekat pada kegiatan usaha
tersebut sesuai dengan prinsip al ghunmu bil ghurmi (no gain without accompanying risk);
 transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk
keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak lain sehingga tidak diperkenankan
 menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta tidak menggunakan dua transaksi
bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad;
 tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa
penawaran (ihtikar); dan
 tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah).

[Bentuk Laporan Keuangan]

 Posisi Keuangan Entitas Syariah (dalam Neraca)


 Informasi Kinerja Entitas Syariah (dalam Laporan Laba-Rugi)
 Informasi perubahan posisi keuangan entitas Syariah
 Informasi lain
 Catatan dan Skedul Tambahan
Akuntansi Syariah di Indonesia , Salemba Empat. Sri Nurhayati, S.E., M.M., SAS |
Wasilah, S.E., M.E.2014

Rachmadi Usman , Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia Implementasi dan
asepek hokum ,2009 PT Citra Aditya Bakti

Pembiayaan Bank Syariah , DR A Wangsawidjaja Z. Gramedia Pustaka Utama 2012

Bank Syariah dari Teori dan Praktik , Muhammad Syafi’i Antonio , 2001 Gema Insan

Akuntansi Syariah di Lembaga Keuangan Syariah , Firdaus Furywardhana , SE ., SS, Msi


, PT Guepedia

Islamic Economics dan Finance Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif tetapi
Solusi , Prof Dr Vetihal Rivai, SE, M.M, M.B.A dan Antoni Nizar Usman , S.E., M.E.,
Ph.D. PT Gramedia Pustaka Utama , 2012

https://www.kompasiana.com/muhammadrozaldiramadhani1740/5c8e67610b531c3b9f0d
7c04/memahami-keuntungan-laba-dalam-islam?page=all#_ftn3

https://jagoakuntansi.com/2017/03/27/kdpplks-kerangka-dasar-penyusunan-dan-
penyajian-laporan-keuangan-syariah/

Anda mungkin juga menyukai