Anda di halaman 1dari 22

REFERAT SUBDIVISI ILMU BEDAH ANAK

Nama :
Putaran stase :
Dibacakan tanggal :
Pembimbing :
__________________________________________________________________________
APPENDICITIS

Pendahuluan

Appendicitis merupakan kondisi bedah akut pada abdomen yang paling sering terjadi pada
pasien anak. Lebih dari 70.000 kasus appendicitis terjadi pada anak di AS setiap tahunnya,
atau 1 per 1000 anak per tahun. Diperkirakan 254.000 hari perawatan dan 680 juta dollar
dikeluarkan untuk penyakit ini di AS pada tahun 1997. Appendicitis masih merupakan suatu
enigma, penyakit sederhana, yang masih sering salah didiagnosis. Walaupun diagnosis dan
terapi appendicitis telah berkembang, appendicitis masih menyebabkan morbiditas dan
walaupun jarang, dapat menyebabkan kematian.1

Sejarah

Referensi medis pertama pada mengenai penyakit ini disebutkan pada 500 tahun yang lalu.
Perityphilitis digunakan untuk menggambarkan proses patologisnya. Caecum dipercaya
merupakan sumber penyakit ini sampai Melier menyebutkan inflamasi appendiks merupakan
penyebab penyakit pada tahun 1827. Pada tahun 1886, Fitz menunjukkan perityphilitis
bermula dari inflamasi appendiks dan diberi nama appendicitis. 1
Appendektomi pertama berhasil dilakukan oleh Amand, yang mendrainase abses
skrotum dan mengangkat appendiks perforasi lewat insisi skrotum pada tahun 1735. Morton
melakukan appendektomi untuk appendicitis perforasi di AS pada tahun 1887. Pada tahun
1889, McBurney melaporkan terapi appendicitis dengan appendektomi sebelum perforasi,
dan menjelaskan “tempat nyeri paling berat adalah di antara satu inchi dan di tengah atau 2
inchi dari SIAS pada garis lurus dari SIAS ke umbilicus. 1
Embriologi dan anatomi

Selama embryogenesis, appendiks pertama kali terlihat pada usia kehamilan ke delapan
sebagai kelanjutan dari ujung inferior caecum. Appendiks berotasi ke posisi finalnya pada
aspek posteromedial caecum, sekitar 2 cm di bawah valvula ileocacal, pada masa kanak-
kanak. Variabilitas pada rotasi menyebabkan posisi appendiks yang berbeda. Appendiks
berada pada intraperitoneal pada 95% kasus, tetapi lokasi pastinya bervariasi. Pada 30%
kasus, ujung appendiks berada di pelvis, 65% di belakang caeum, dan 5% di ekstraperitoneal
di retrokolika atau retrocaecal. Pada kasus malrotasi atau situs inversus, malposisi appendiks
menyebabkan tanda inflamasi pada lokasi yang tidak biasa. 1

Gambar 1. Variasi letak appendiks4

Panjang appendiks rata-rata adalah 8 cm, tetapi dapat bervariasi dari 0,3 sampai 33
1
cm. Diameter appendiks berkisar antara 5 sampai 10 mm. Struktur divertikulum dengan
ujung buntu ini memiliki lumen sempit dan iregular karena adanya struktur limfoid di
submukosa. 2 Suplai darah berasal dari cabang appendiks dari arteri ileokolika, yang berjalan
di belakang ileum. Terminal. Basis appendiks berada pada pertemuan 3 taenia coli, yang
merupakan tanda yang berguna untuk melokalisir appendiks. Epitel colon pada appendiks dan
lapisan otot sirkular dan longitudinal berkelanjutan dengan caecum. Beberapa folikel limfoid
terdapat saat lahir. Folikel ini meningkat jumlahnya sebanyak 200 buah pada usia 12 tahun
dan menurun setelah usia 30, dan hanya sedikit pada usia 60. 1

Gambar 2. Appendiks dan suplai arteri4

Supresi perkembangan caecum menyebabkan hipoplasia atau agenesis appendiks.


Duplikasi appendiksdilaporkan pada 4 dalam 100.000. duplikasi appendiks dapat parsial
(appendiks bifida) atau penuh, dan dapat memiliki orifisium terpisah atau bersatu pada
caeceum. 1
Fungsi appendiks tidak diketahui, mungkin merupakan tempat untuk perkembangan
sel-sel B. 1

Spektrum penyakit

Risiko terjadinya appendicitis adalah 8,7% pada anak laki-laki dan 6,7% pada anak
perempuan. Insidensi spesifik usia berprogresi dari sangat rendah pada periode neonatal dan
mencapai puncak antara usia 12 dan 18 tahun3, atau ada pula yang menyebutkan 11 dan 12
tahun. 1 Terdapat data yang menyebutkan bahwa terdapat risiko keluarga yang lebih tinggi
pada anak yang menderita appendicitis sebelum usia 6 tahun3. Appendicitis terjadi lebih
sering pada kulit putih dan saat musim panasdi AS. Walaupun kelainan ini jarang terjadi pada
bayi, kelompok usia ini dapat menunjukkan komplikasi yang tinggi karena diagnosis yang
1
terlambat. Appendicitis pada neonatus jarang terjadi, dan memerlukan evaluasi untuk
fibrosis kistik dan penyakit Hirschsprung. Appendicitis neonatal juga tidak dapat dibedakan
dengan entrokolitis nekrotikans fokal pada appendiks. 3
Banyak istilah telah digunakan untuk menjelaskan tahapan appendicitis, mencakup
appendicitis akut, appendicitis supuratif, appendicitis gangrenosa, dan appendicitis
perforasi. Terminologi ini membedakan appendiks secara tidak jelas, dan yang paling
jelassecara klinis adalah appendicitis sederhana dan komplikata. Karena appendicitis
gangrenosa menunjukkan usus yang mati yang mengalami perforasi, maka appendicitis
komplikata digunakan untuk menjelaskan appendicitis gangrenosa dan perforasi. 1

Perjalanan penyakit dan presentasi klinis

Appedendicitis merupakan sebuah versi sederhana dari divertikulitis dimana appendiks


3
merupakan divertikulum yang panjang dengan lumen sempit. Ajaran tradisional
menyebutkan bahwa appendicitis berjalan dari inflamasi sederhana sampai terjadi perforasi,
setelah 24 sampai 36 jam dari gejala, dan formasi abses setelah 2 sampai 3 hari. 1
Appendicitis terjadi akibat obstruksi lumen yang diikuti oleh infeksi. Proses ini
pertama kali dijelaskan oleh van Zwalenberg padatahun 1905 dan dikonfirmasi
secaraeksperimental oleh Wangensteen pada tahun1939. Wangensteen menunjukkan bahwa
appendiks manusia terus mensekresi mukus walaupun tekanan intraluminal mecapai 93
mmHg. Walaupun obstruksi luminal menyebabkan appendicitis, tetapi penyebab obstruksi
masih belum jelas. 1Mekanisme obstruksi pada lumen dapat berupa hiperplasia limfoid,
material feses yang kental atau terkalsifikasi (fecalith), benda asing, atau parasit. 3 Fecalith
dapat ditemukan pada 20% anak dengan appendicitis akut dan 30-40% pada appendicitis
perforasi. 1 Hubungan epidemiologi antara fecalith dan appendisitis terlihat di negara-negara
maju dengan konsumsi diet rendah serat. Terdapat hubungan antara insidensi appendicitis
dengan perkembangan dan peningkatan jumlah folikel limfoid submukosa pada dan di dekat
basis appendiks. Penyebab reaksi jaringan limfoid lokal atau generalisata adalah Yersinia,
Salmonella, dan Shigella dan beberapa virus seperti mumps virus, coxsackievirus, dan
3
adenovirus. Obstruksi lumen appendiks juga dapat disebabkan oleh parasit Entamoeba,
Strongyloides, enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Pada anak dengan fibrosis
kistik, distensi appendiks yang nyeri dapat terjadi akibat produksi mukus yang abnormal.
Tumor carcinoid dapat mengobstruksi appendiks, terutama pada sepertiga proksimal. Benda
asing, seperti peniti, biji sayuran, dan batu dapat mengobstruksi appendiks. Trauma, stres
psikologis, dan keturunan pernah dilaporkan sebagai penyebab lain. 1
Setelah obstruksi appendiks, terjadi peningkatan tekanan intraluminal dari akumulasi
mukus yang tak terdrainase, dan pada saat ini appendiks merupakan tempat perkembangan
yang sempurna untuk bakteri yang terperangkap. Tekanan ini terus meningkat sampai terjadi
gangguan drainase limfatik dan vena yang menyebabkan edema lokal. Bila tidak tertangani,
kongesti dapat membatasi inflow arteri dan membatasi pertukaran sustrat selular. Hal ini
menyebabkan gangguan integritas jaringan sampai terjadinya iskemia, infark, nekrosis,
gangrene, dan perforasi. Invasi bakteri dari dinding appendiks kemudian terjadi3. Demam,
takikardia, dan leukositosis berkembang sebagai konsekuensi pelepasan mediator oleh
jaringan iskemik, leukosit dan bakteri. Presentasi klinis appendicitis yang klasik dan paling
3
sederhana adalah anoreksia dan nyeri periumbilikal. Anoreksia merupakan tanda yang
berguna karena anak yang lapar jarang menderita appendicitis. 1Nyeri berasal dari viseral
akibat distensi appendiks. Nyeri viseral dini tidak spesifik di daerah dermatom ganglion
dorsal torakal 8 sampai 10, yang menghasilkan nyeri periumbilikus yang dalam dan tumpul3.
Distensi yang berkelanjutan pada dinding appendiks menyebabkan nausea dan muntah.
Nausea sering terjadi, tetapi muntah biasanya tidak parah. Adanya gejala ini sebelum onset
nyeri meragukan diagnosis. 1 Lokalisasi nyeri terjadi saat inflamasi appendiks berlanjut ketika
eksudat dari dinding appendiks mengiritasi peritoneum, yang memiliki sensasi somatik yang
terlokalisasi di dekat lokasi appendiks, paling sering pada titik McBurney. Nyeri terkadang
muncul hanya pada kuadan kanan bawah tanpa komponen visceral. Pada appendiks
retrocaecal atau pelvis, nyeri somatic sering terlambat karena eksudat inflamasi tidak
menyentuh peritoneum parietalis sampai terjadi rupture dan infeksi tersebar. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat terjadi di flank atau punggung. Appendiks di pelvis yang berada
di dekat ureter atau pembuluh darah testis menyebabkan frekuensi urin atau nyeri testis.
Inflamasi ureter dan buli oleh appendicitis menyebabkan nyeri berkemih atau retensi urin. 1
Kerusakan lebih lanjut pada dinding appendiks menyebabkan perforasi dengan
tumpahnya isi intralumen yang terinfeksi ke rongga peritoneum, dengan abses local atau
peritonitis difus. Tandaperitoniti difus mencakup suhu di atas 38,6C, leukosit lebih dari
14.000/mm2, dan terdapat tanda peritoneal difus. Factor risiko mencakup jenis kelamin laki-
laki, usia ekstrim,dan factor anatomis seperti posisi appendiks retrocaecal. 1
Pasien dapat asimtomatik sebelum perforasi, dan gjala dapat tejadi lebih dari 48 jam
tanpa perforasi. Durasi gejala yang lebih lama berhubungan dengan risiko perforasi yang
lebih besar. 1
Walaupun perjalanan penyakit appendicitis yang tidak diterapi biasanya berujung
pada perforasi dan perkembangan abses, tetapi hal tersebut tidak selalu terjadi, karena
resolusi tanpa terapi dapat terjadi. Inflamasi dini yang tidak berlanjut pada perforasi dapat
menjadi appendicitis kronis atau berulang. Bila presentasinya terlambat, maka dapat
ditemukan abses. 3
Konstipasi tidak biasa terjadi, tetapi sensasi penuh di rectum atau tenesmus sering
terjadi. 1Diare sering terjadi bersamaan dengan appendicitis perforasi pada anak, dan dapat
didiagnosis sebagai gastroenteritis. 3diare biasanya berdurasi pendek dan merupakan akibat
1
dari iritasi ileum terminal atau caecum, dapat juga mngindikasikan abses pelvis. Secara
umum, gastroenteritis sering terjadi pada riwayat muntah dan diare berulang yang
mendahului onset nyeri perut, dimana nyeri perut merupakan gejala minor, tidak terlokalisir,
dan tidak terdapat nyeri lokal pada pemeriksaan. 3
Anak yang lebih kecil kurang dapat memahami atau mengartikulasi simtomatologi
3
dibandingkan remaja, karena itu sering sudah ditemukan perforasi. Anak pra sekolah
1
biasanya hanya menunjukkan gejala muntah, diikuti dengan demam dan nyeri perut.
Perforasi didapatkan pada 82% anak kurang dari 5 tahun dan 100% pada usia 1 tahun.
Keterlambatan presentasi atau diagnosis yang menyebabkan tingginya angka perforasi telah
dipikirkan terdapat alasan lain selain usia. Anak dengan perforasi lebih sering dirujuk ke
dokter anak. Pasien yang tidak memiliki akses yang baik ke pusat kesehatan lebih sering
menunjukkan perforasi. Pada dewasa, tidak terdapatnya asuransi telah dikaitkan dengan
meningkatya perforai. Pada anak, angka perforasi dikaitkan dengan ras minoritas dan
asuransi kesehatan, tetapi penelitian terakhir tidak menunjukkan hubungan tersebut. 3

Pemeriksaan fisik

Anak dengan appendicitis biasanya berbaring di tempat tidur dengan pergerakan minimal.
Anak yang rewel dan berteriak jarang menderita appendicitis, kecuali appendicitis retrocaecal
dengan iritasi ureter yang menunjukkan gejala serupa dengan kolik renal. Anak yang lebih
besar dapat menekuk tubuhnya, bayi menekuk tungkai kanan di atas abdomen. Nyeri lokal
yang dipresipitasi goyangan di jalan saat ke rumah sakit membantu diagnosis.
1
Memperhatikan cara anak bergerak dapat informatif, biasanya anak akan bergerak pelan,
hati-hati, menghindari pergerakan tiba-tiba. Ini merupakan salah satu tanda peritonitis. 2
Setelah menganamnesis, minta anak untuk menunjuk dengan satu jari lokasi nyeri
perut. Dengan lutut ditekuk untuk merelaksasi otot abdomen, palpasi lembut dilakukan
dimulai dari bagian yang jauh dari tempat nyeri. Palpasi abdomen pada area yang jauh dari
tempat nyeri dapat menimbulkan nyeri di kuadran kanan bawah (tanda Rovsing),
mengindikasikan iritasi peritoneal. anak lebih kecil dapat lebih kooperatif bila tangannya atau
stetoskop digunakan untuk palpasi. Pemeriksaan auskultasi abdomen tidak terlalu
bermanfaat. auskultasi dada berguna untuk memeriksa infeksi pernapasan bawah karena
pneumonia lobus kanan bawah dapat menyerupai appendicitis. Hiperestesia kutaneus, sensasi
yang dihantarkan cabang saraf T10 sampai L1 terjadi dini. mnyentuh pasien dengan stetoskop
menimbulkan sensasi tidak nyaman. 1
Dapat ditemukan nyeri pada penekanan di abdomen kanan bawah dekan dengan titik
McBurney. Titik inidijelaskan sebagai “satu setengah samapi dua inchi dari SIAS sepanjang
garis khayal dari SIAS ke umbilikus”. Bila pasien berada di bawah pengaruh analgetik
narkotik pada saat pemeriksaan, nyeri di abomen kanan bawah lebih terpercaya untuk
appendicitis. Analgetik narkotik meningkatkan tingkat kenyamanan tetapi tidak mengubah
proses inflamasi, yang masih nyeri pada saat palpasi. Pemeriksaan negatif tidak
mengenyampingkan appendicitis. 3 Appendicitis retrocaecal dapat dideteksi dengan nyeri di
tengah antara iga ke-12 dan spina iliaka posterior. Appendicitis pelvis menyebabkan nyeri
rectum. 1
Nyeri tekan, dengan palpasi dalam dan pelepasan tekanan secara mendadak tidak
nyaman untuk pasien dan merupakan indikator peritonitis yang buruk dan harus dihindari.
Tekanan lembut pada sisi kiri abdomen atau menempatkan tangan padabagian tengah
abdomen dengan sedikit menggoyangabdomen dapat menimbulkan yeri pada keadaan
peritonitis. Bila manuver ini mempresipitasi nyeri tajam pada abdomen kanan bawah,
appendicitis akut kemungkinan besar sedang berlangsung. Massa yang terpalpasi pada
abdomen kanan bawah sulit untuk diidentifikasi karena terdapatnya guarding dan rigidity.
Massa ini sering jelas pada meja operasi setelah induksi anestesi. Penting untuk diingat
bahwa gejala lokal tergantung pada iritasi peritoneal yang terdeteksi saat pemeriksaan.
Obesitas, appendiks retrocaecal, atau appendiks medial yang terwalling-off oleh omentum,
mesenteriom, usus halus tidak akan terlokalisasi. 3
Tanda klasik psoas dilakukan dengan menempatkan anak pada sisi kiri dan
mengekstensi paha dan tungkai ke posterior. Adanya psoas sign dapat dilakukan dengan
menekan lutut dari anterior melawan resistensi dari tangan pemeriksa. Tanda obturator positif
juga dapat mengindikasikan appendicitis pelvis. hal ini dilakukan denga menempatkan anak
berbaring dan mengabduksi dan mengaduksi tungkai kanan yang difleksikan untuk merotasi
otot obturator internus. 2
Perforasi dapat menyebabkan hilangnya gejala sementara karena nyeri akibat
appendiks yang terdistensi menghilang. Awalnya peritonitis ditandai oleh rigiditas otot local,
yangdapat berprogresi menjadi menyeluruh. tanda lain adalah rigiditas otot psoas (ekstensi
paha kana atau mengangkat tungkai melawan tahanan), keduanya mengindikasikan iritasi
otot karena appendicitis retrocaecal. Tes lain untuk inflamasi peritoneal seperti nyeri lepas,
jarang dibutuhkan, dan menyebabkan ketidaknyamanan. 1
Pemeriksaan rectum traumatik dan hasilnya tidak spesifik. Pemeriksaan ini mungkin
membantu untuk diagnosis appendiks atau abses pelvis atau saat kondisi uterus atau adneksa
dipertimbangkan. 1
Bila appendicitis berprogresi, peritonitis difus dan syok dapat terjadi, atau infeksi
menjadi terisolir dan abses terbentuk. Peritonitis difus lebih sering pada bayi, mungkin karena
tidak terdapatnya lemak omentum. anak lebih besar dan remaja lebih sering mengalami abses,
yang berupa massa yang nyeri. 1
Demam jarang terjadi dan biasanya rendah pada appendicitis akut. Demam tinggi
sering terjadi setelah perforasi appendiks. Pasien dengan demam tinggi tanpa tanda peritoneal
jarang mengalami appendicitis, dan harus dipikirkan infeks virus atau penyakit saluran
kemih. 3
Pemeriksaan leher dan auskultasi dada penting karena faringitis dengan limfadenopati
atau pneumonia dan menyerupai appendicitis, khususnya pada lobus kanan tengah atau
bawah. 2
Surana dkk melaporkan tidak terdapat peningkatan morbiditas pada appendektomi
setelah observasi di rumah sakit dibandingkan dengan appendektomi segera. Saat diagnosis
tidak jelas, pemeriksaan fisik abdomen serial memungkinkan dokter untuk menurunkan
angka laparotomi yang tidak perlu tanpa menambah risiko pasien. 1

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan serum tidak terlalu sensitif dan spesifik untuk appendicitis. Peningkatan
leukosit ringan (11.000 sampai 16.000/mm)2 sering ditemukan. 3
Peningkatan leukosit
memiliki sensitivitas 52% sampai 96%. Hitung jenis leukosit menunjukkan neutrofolia dan
limfopenia, dan memiliki sensitivitas 39% sampai 96%. Jumlah leukosit yang normal
terdapat pada 5% pasien dengan appendicitis. spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi
dilaporkan dengan menggunakan ratio neutrofil-limfosit lebih dari 3,5. 1
Urin biasanya bebas dari bakteri, sedikit eritrosit dan leukosit biasanya terdapat pada
inflamasi ureter dan buli. Karena pasien biasanya mengalami dehidrasi, urin yang pekat dan
keton dapat ditemukan, elektrolit, enzim hepar, dan fungsi hepar biasanya normal. Nilai
positif pada C-reactive protein dan laju endapdarah berguna. Belum terdapat penelitian CRP
superior terhadap hitung leukosit. CRP yang normal tidak dapat menyingkirkan appendicitis,
walaupun dikombinasikan dengan leukosit yang normal. Dueholm menjelaskan bahwa
jumlah leukosit, persentasi netrofil, dan CRP yang normal menyingkirkan diagnosis
appendicitis dengan akurasi 100%.3

Pemeriksaan radiologis

Kesalahan diagnosis dapat memperlambat terapi dan menimbulkan morbiditas.


Appendektomi negative terhitung 10% sampai 20%. Pemeriksaan penunjang diperlukan
untuk meminimalisir risiko appendektomi negative dan diagnosis yang salah. Data dari
rumah sakit anak menunjukkan appendektomi negaif yang sangat rendah dengan
menggunakan pemeriksaan penunjang. 3
Foto polos menunjukkan fecalith pada 5% sampai 15% pasien. pola gas abnormal
pada kuadran kanan bawah, skoliosis lumbal menjauhi kuadran kanan bawah, dan obliterasi
bayangan psoas di kanan dapat berguna. Pemeriksaan foto abdmen nonspesifik dan
memakan waktu, dan tidak dianjurkan kecuali terdapat kecurigaan obstruksi usus dan udara
bebas intraperitoneal. Foto thoraks berguna untuk menyingkirkan pneumonia. 1
Diagnosis dengan barium enema harus digunakan hanya untuk pasien dengan
appendicitis atipik atau dengan nyeri perut berulang kronik. Pemeriksaan barium enema
menunjukkan pengisian appendiks yang inkomplit, iregularitas lumen appendiks, dan massa
ekstrinsik di caecum atau ileum terminal. Sayangnya, sebanyak 20% pasien normal memiliki
appendiks yang tidak terisi barium dan appendicitis g=fokal pada ujung distal dapat
memperlihatkan pengisian yang hampir komplit seperti normal.5
Tag leukocyte scan digunakan dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 92%, tetapi
memerlukan waktu 3 sampai 5 jam. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa skintigrafi
leukosit dengan technetium-99m hexaethylpropylene amine oxime tidak akurat untuk
diagnostic appendicitis anak. 1
Ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan noninvasif, tidak memerlukan kontras,
dan tidak memancarkan rediasi. Ulrasonografi kompresi dilakukan dengan menempatkan
tekanan pada transduser untuk menyingkirkan loop usus dan mengidentifikasi appendiks.
Tekanan dikatakan adekuat bila otot psoas dan pembuluh dara iliaka teridentifikasi. Tanda
appendicitis mencakup appendiks nonkompresibel, terisi cairan, dengan diameter lebih dari 6
mm, appendicolith, cairan periappendikuar atau pericaecal, dan meningkatnya ekogenisitas
periappendiks akibat inflamasi. Sensitivitas USG berkisar antara 78% sampai 94% dan
spesifisitasnya 89% sampai 98%. Tetapi, USG tergantung pada operator. Efektivitas USG
dipengaruhi ketebalan dinding abdomen dan lemak. Penyebab positif palsu adalah appendiks
normal yang besar, otot soas yang salah diartikan sebagai appendiks, dan feses kental.
Negatif palsu terjadi pada appendiks retrocaecal, perforasi appendiks, appendiks terisi udara,
hanya ujung appendiks yang meradang, dan ketidak mampuan untuk memvisualisasi
appendiks. USG tidak terlalu efektif untuk mengidentifikasi appendiks normal, beberapa
laporan menunjukkan hanya 10% sampai 50% appendiks normal yang dapat diidentifikasi. 3

Gambar 3. Ultrasonografi pada appendicitis

Computed tomography (CT) memberikan gambaran tiga dimensi seluruh abdomen


dan pelvis, tidak operator dependen, dan sangat akurat. Sensitivitas dan spesifisitas CT lebih
tinggi dari USG, yaitu 95%. Walaupun demikian, beberapa protokol yang diperlukan
menunda terapi, seperti pemberian kontras, dan sedasi untuk anak yang lebih kecil, serta
radiasi yang ditimbulkan. 3 Penemuan dapat berupa pelebaran appendiks (>6mm), penebalan
dinding appendiks (>1 mm), barisan lemak periappendiks, dan penyangatan dinding
appendiks. 1
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan alternatif lain yang non radiasi dan
sangat akurat dalam mendiagnosis appendicitis. Pemeriksaan radionuklir yang ditandai pada
sel darah putih dapat dilakukan, tetapi keuntungannya sangat sedikit. 3
Pemeriksaan penunjang merupakan perangkat diagnosis yang tak ternilai pada anak
dengan nyeri perut, karena memberikan dagnosis yang akurat, mencegah operasi yang tidak
3
diperlukan, dan menurunkan risiko presentasi berulang dengan perforasi. Berbeda dengan
pernyataan di atas, menurut Dunn (2006), CT scan dan USG harus dilakukan hanya bila
diagnosis tidak jelas. Pada sebuah protocol untuk appendicitis anak, kombinasi USG pelvis
yang diikuti dengan CT dengan kontras rectum memiliki sensitivitas 94% dan spesifisitas
94%. Protokol yang sama menurunkan angka appendektomi negative dari 12% menjadi 6%.
peningkatan akurasi pemeriksaan penunjuang meningkatkan penggunaan CT pada populasi
anak, walaupun tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan CT dalam diagnosis
appendicitis. Keterlambatan pembedahan, risiko kankerdengan radiasi ion pada CT harus
dipertimbangkan. 1
Metode diagnostic di atas hanya perlu bila diagnosis tidak jelas. penggunaan
radiografi kontras barium enema, CT, atau USG tidak mempengaruhi diagnosis atau
perjalanan penyakit pasien appendicitis. 1
Karena terdapat satu atau lebih komponen yang tidak konsisten dengan appendicitis,
maka telah dikembangkan beberapa system scoring. Sebuah serial menunjukkan scoring
merupakan peangkat diagnosis yang akurat, tetapi serial lain menunjukkan bahwa system ini
hanya member sedikit keuntungan. Baru-baru ini, system scoring digunakan untuk
menstratifikasi pasien yang harus mendapatkan konsultasi bedah (skor tinggi), pemeriksaan
penunjang (skor sedang), atau dipulangkan (skor rendah). 3

Tabel 1. Pediatric appendicitis score6


A score of 5 is not compatible with the diagnosis of appendicitis, whereas a score of >6 is compatible with the
diagnosis of appendicitis. Scores of 7 to 10 indicate high probability of appendicitis

Diagnosis banding

Appendicitis akut dapat menyerupai semua proses intraabdomen. diagnosis banding


appendicitis diuraikan pada table. Pertimbangan adanya proses penyakit lain sebelum
pembedahan sangat penting. 3
Gastroenteristis merupakan penyebab nyeri perut paling sering pada anak. Gejalanya
adalah diare cair, nyeri abdomen, demam, mual, dan muntah. Konstipasi merupakan masalah
yang sering lainnya, nyeri biasanya persisten dan tidak progresif. Infeksi saluran kemih
menyebabkan demam, mual, dan muntah, urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis. 3
Laparotomi tanpa ditemukannya appendicitis dapat terjadi. Pada kasus ini, dianjurkan
untuk membuang appendiks untuk pemeriksaan patologi dan mencegah kebingungan
penyebab nyeri perut kanan bawah di masa yang akan dating. Eksplorasi diperlukan untuk
mengetahui penyebab gejala. Ileum terminal dapat memperlihatkan adenitis mesenterial
yang dapat sekunder akibat infeksi saluran napas. pasien dapat menunjukkan nyeri perut,
demam, dan mual tetapi nyeri tidak terlokalisir. limfositosis dapat terlihat. Pemcarian
divertikulum Meckel harus dilakukan, tetapi jarang menyebabkan nyeri. perdarahan tanpa
nyeri dan obstruksi sering terjadi. Pada pasien dengan penyakit Chron, appendiks tidak boleh
dibuang bila appendiks atau caecum terlibat, karena dapat menyebabkan pembentukan
fistula.3
Keakuratan diagnosis appendicitis lebih rendah pada wanita karena veriabilitas
kondisi ginekologis yang menyebabkan nyeri perut bawah. kehamilan ektopik harus
dipertimbangkan pada wanita remaja dengan nyeri perut bawah. Ruptur kista ovarium dan
torsio ovarium juga dapat menyebabkan nyeri perut bawah. Anak yang aktif secara seksual
dengan penyakit inflamasi pelvis menunjukkan nyeri perit bawah, sekresi vagina, dan
pembesaran adneksa. 3
Tumor carcinoid terjadi pada kurang dari 1% pasien yang dilakukan appendektomi.
Sebagian besarkurang mengandung sel-sel yang mengandung serotonin yang khas untuk
tumor carcinoid midgut yang jarang simtomatik dan ditemukan incidental saat appendektomi.
sebagian besar jinak, dan appendektomi simple kuratif. Tumor carcinoid lebih dari 2 cm,
terdapat metastasis, dan lokasi di basis appendiks membutuhkan hemikolektomi, dimana
ukuran kurang dari 1 cm dan tidak metastasis dapat dilakukan appendektomi saja. terapi
tumor yang berukuran 1 sampai 2 cm masih controversial. 3

Tabel 2. Diagnosis Banding Appendicitis1


Terapi

Terapi appedicitis dimulai dengan cairan intravena dan antibiotik. Regimen antibiotik harus
meliputi spektrum luas organisme enterik. Pada appendicitis akut simpel, antibiotik dosis
tunggal adekuat untuk preoperatif. Setelah appedektomi, pasien biasanya dapat pulang dalam
waktu 24 jam. Bukti terbaru menunjukkan dosis antibiotik tambahan setelah appendektomi
tidak diperlukan. 3
Penggunaan antibiotic untuk terapi appendicitis sangat bermanfaat. Kultur
intraoperatif tidak mempengaruhi luaran terapi. Regimen dan durasi pemberian antibiotic
masih kontroversi. pada survey terbaru, pemberian ampicillin, gentamicin, dan clindamycin
atau metronidazole selama 10 hari secara intravena merupakan standard emas untuk terapi
appendicitis komplikata. Kombinasi ini dipilih karena bakteri yang terlibat adalah Eschericia
coli, Enterococcus, Klebsiella, dan Bacteroides. Antibiotik generasi baru seperti cefotaxime
dan clindamycin, cefoxitin saja, clindamycin dan amikacin, clindamycin dan aztreonam,
cefepime dan metronidazole, ticarcillin dan clavulanate, dan piperacillin dan tazobactam. 1
Terdapat trend menurunkan durasi terapi antibiotic. Pada appendicitis dini, hanya
dibutuhkan antibiotic perioperatif. Durasi yang direkomendasikan adalah dari dosis tunggal
sampai 48 jam. penelitian prospektif menunjukkan cefotixin dosis tunggal (waktu paruh 0,8
jam) tidak seefektif cefoxitin dosis tunggal (waktu paruh 3,5 jam) atau 24 jam perlindungan
dengan cefoxitin. Durasi terapi tergantung pada pemilihan obat. Untuk appendicitis
komplikata, penelitian terbaru perlindungan 48 jam adekuat. Penelitian lain menyarankan
terapi dilanjutkan selama 5 hari dengan penambahan waktu diperlukan dengan indicator
jumlah leukosit dan demam. Terdapat pula trend penggunaan antibiotic oral saat fungsi
gastrointestinal kembali. Penelitian prospektif menunjukkan ekuivalensi antara antibiotic
intravena 10 hari dan antibiotic intravena 10 hari diikuti antibiotic oral untuk appendicitis
1
komplikata. Penelitian terbaru oleh Fraser, dkk (2010) menunjukkan bahwa pemberian
antibiotic oral saat pasien telah mentoleransi diet regular menurunkan hospitalisasi tanpa
komplikasi adanya formasi abses pot operasi.7 Terapi antibiotic standard adalah terapi
preoperative dengan cefoxitin untuk appendicitis akut dan ampicillin, gentamicin, dan
clindamycin untuk appendicitis komplikata. perlindungan dilanjutkan bila diindikasikan
1
secara klinik dengan adanya demam atau peningkatan leukosit. Apabila antibiotik telah
diberikan, operasi tidak lagi bersifat emergency. Appedektomi di tengah malam tidak
diperlukan. 3
Terapi appendicitis akut yang diterima secara luas adalah pembedahan. Terdapat bukti
bahwa beberapa kasus appendicitis dapat beresolusi spontan, tetapi tidak terdapat penelitian
menggambarkan risiko appendicitis komplikata bila tidak dilakukan operasi inisial. Tidak
terdapat pemeriksaan radiologis, laboratories, atau tanda klinis yang dapat membantu
mengetahui proses inflamasi yang mana yang dapat beresolusi atau menjadi komplikasi.
Terdapat trend menghindari operasi segera, termasuk operasi pada tengah malam. Menurut
survey APSA, hanya setengah dari ahli bedah yang melakukan appendektomi pada tengah
malam. Tidak terdapat peningkatan kejadian perforasi atau insidensi komplikasi antara kedua
grup yang dilakukan appendektomi dalam 6 jam atau antara 6 jam sampai 18 jam setelah
masuk rumah sakit. 1
Pada teknik terbuka, dilakukan incisi tranversal atau oblique pada perut kanan bawah
melewati titik Mc Burney. Otot dinding perut biasanya displit. Setelah abdomen dimasukki,
caecum dan appendiks dimobilisasi dan appendiks dibawa keluar melewati incise.
Mesoappendiks kemudian dibagi, dan basis appendiks diligasi. Basis yang pendek
ditinggalkan untuk menghindari inflamasi pada stump. Stump ditutup dengan ligasi
sederhana, ligasi dengan inversi menggunakan jahitan pursestring atau Z-stitch. Ligasi
sederhana dapat dilakukan dengan dengan cepat dan menurunkan adhesi. Inversi secara
teoritis baik untuk control perdarahan, penutupan ganda yang aman, dan kesempatan
kontaminasi yang kecil; tetapi dapat membuat artifak pada pemeriksaan kontras selanjutnya
dan menyebabkan intususepsi. sebuah review yang membandingkan ligasi sederhana dengan
ligasi dan inversi menyimpulkan bahwa ligasi simpel sama efektifnya dengan ligasi dengan
inversi dan berhubungan dengan kurangnya formasi adhesi. Untuk appendicitis sederhana,
irigasi luka tidak diperlukan. Luka ditutup lapis demi lapis dan tidak diperlukan drain. Diet
normal dapat diberikan segera sesudah opersai, dan pasien dapat dipulangkan 1 sampai 2 hari
setelah operasi. Bila ditemukan appendiks yang normal, rongga peritoneum harus diinspeksi
untuk inflammatory bowel disease, adenitis mesenteric, diverticulitis Meckel, atau kondisi
patologis pada ovarium. 1
Appendektomi laparoskopik memeakai umbilikus sebagai tempat kamera, dengan dua
tempat tambahan. Laparoskopi memberikan beberapa keuntungan. Infeksi luka oprasi lebih
rendah pada laparoskopi dibandingkan dengan metode terbuka, karena insisi yang kecil dan
proteksi jaringan dengan kanula. Bila infeksi luka operasi terjadidengan laparoskopi,
morbiditas minimal karena ukuran incisi yang kecil. Lama perawatan juga lebih rendah pada
yang dilakukan laparoskopi. Dengan laparoskopi membantu kembali ke aktivitas penuh
sehari-hari, termasuk bekerja dan olah raga. 3
Sebuah penelitian menunjukkantingginya kualitas hidup pada appendektomi
laparoskopi setelah 2 minggu, rendahnya komplikasi gastrointestinal, dan obstruksi karena
adhesi post operatif. Beberapa penulis mengemukakan bahwa laparoskopi memberikan
visualisasi seluruh rongga abdomen dengan baik. 3
Yang menjadi perhatian pada pendekatan laparoskopik adalah waktu yang lama.
Beberapa penelitian gagal untuk menunjukkan bahwa laparoskopi membutuhkan waktu lama.
Metaanalisis terbaru menujukkan tidak terdapat perbedaan mengenai waktu operasi3. Selain
itu diperlukan biaya yang lebih tinggi dan pengalaman ahli bedah beserta tim. 1
Pasien diposisikan supine di atas meja operasi, dan abdomen dipreparasi luas. Kanula
12 mm dimasukkan melalui incisi umbilikus, dan pneumoperitoneum dilakuka. Laparoskopi
diagnostik dilakukan. Dua buah port 5 mm dibuat, di kiri tengan abdomen dan di suprapubis
kiri. Teleskop 5 mm 45 derajat dimasukkan melalui port umbilikus, dan ort 5 mm merupakan
port bekerja. Apabila appendiks telah teridentifikasi, sebuah jendela dibuat pada
mesoappendiks terlebih dahulu, diikuti oleh ligasi dan pemotongan mesoappendiks. Bila
appendiks dapat dilahirkan lewat kanula, kantung endoskopik tidak digunakan. Tetapi bila
ukuran appendiks besar, maka digunakan kantung. Teleskop dipindahkan ke port kiri tengah
dan stapler endoskopik dimasukkan melalui kanula umbilikus 12 mm. Biasanya appendiks di
ligasi dan dipotong. Untuk appendicitis perforasi, posisi port sama. Materi purulen dievakuasi
dari perlvis dan subhepatik. Abses interloop dilisiskan dan dibuka. Drain tidak rutin
digunakan. 3
Angka konversi kurang dari 1%. Abses post operasi kurang dari 1%, dan sebanyak
20% abses terjadi bila perforasi telah berlangsung. 3
Gambar 4. Appendektomi terbuka 1
Gambar 5. A. Posisi port untuk appendektomi laparoskopi. Digunakan 3 kanula, dengan
stapler endoskopik melalui port umbilicus 12 mm. Appendiks diangkat dari tempat ini. B.
Post operasi3

Gambar 6. Appendektomi per laparoskopi. Mula-mula dibuat jendela pada


mesoappendiks (A). B. Appendiks diligasi dan dipisahkan dengan stapler, diikuti
dengan ligasi mesoappendiks3

Terapi untuk pasien dengan appendicitis komplikata lebih controversial. angka


perforasi bervariasi dari 16% sampai 54%, tergantung dari pengaruh social, cultural,
ekonomi, dan diagnosis serta terapi. Tidak terdapat consensus yang menyatakan terapi yang
optimal untuk pasien ini. Opini berkisar dari terapi nonoperatif sampai terapi bedah agresif
denganirigasi antibiotic, drainase rongga peritoneum, dan penundaan penutupan luka operasi.
Wiener dkk melaporkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah hari
perawatan, biaya terapi, atau komplikasi menggunakan terapi inisial nonoperatif yang diikuti
dengan appendektomi interval dalam 8 minggu untuk appendicitis komplikata. pada
penelitian lain, terapi inisial nonoperatif untuk appendicitis komplikata yang dikonfirmasi
lewat pencitraan, sebanyak 22% pasien dilakukan appendektomi karena obstruksi usus.
Terapi operasi masih merupakan pendekatan standard karena kesulitan menentukan adanya
perforasi sebelum pembedahan. 1
Prosedur bedah untuk appendicitis komplikata adalah appendektomi. Masih terdapat
kontroversi apakah perlu memasang drain, apakah luka operasi ditutup atau dibiarkan
terbuka, apakah perlu mengirigasi rongga peritoneum, dan bila perlu apakah harus
menggunakan cairan antibiotic. Kebanyakan penelitian tidak mendukungpenggunaan drain,
kecuali pada abses retrocaecal yang tidak dapat didebridement secara komplit. Penutupan
luka yang ditunda tidak didukung oleh literature dan tidak berguna karena infeksi luka
operasi setelah appendektomi hanya 3%. Irigasi masih controversial. Putnam dkk menyatakan
bahwa irigasi memperpanjang ileus dan menyebabkan obstruksi usus halus, dan melaporkan
hasil yang baik tanpa irigasi. Beberapa penelitian terbaru mendukung irigasi dengan saline
1
dengan atau tanpa antibiotic. Penjahitan kulit secara subkutikular aman.8 Terapi standard
yang digunakan adalah evakuasi cairan purulen, irigasi saline, tidak memasang drain, dan
penutupan luka primer. 1
Manajemen pasien dengan massa abdomen palpable juga masih kontroversi. Beberapa
menyarankan appendektomi segera, dan yang lainnya melakukannya bila massa terkonfirmasi
dibawah anestesi umum. Bila operasi dilakukan, harus diperhatikan agar tidak merusak
struktur yang berdekatan seperti usus halus, tuba fallopi dan ovarium, dan ureter. Surana dan
Nitecki merekomendasikan terapi dengan antibiotic intravena sampai leukosit normal dan
pasien tidak demam dalam 24 jam. Bila kondisi pasien memburuk atau massa membesar pada
USG serial, massa didrainase secara perkutan, diikuti oleh appendektomi interval.
Appendektomi interval mencegah episode appendicitis dan memberikan kesempatan dokter
1
mengevaluasi kondisi lain yang dapat menyerupai massa appendiks. Alasan memberikan
antibiotik pada saat awal adalah untuk mencegah operasi yang sulit dengan adanya inflamasi
berat yang menghilangkan anatomi normal dan adhesi pada struktur sekitar. Apabila infeksi
telah terkontrol oleh antibiotik, dan membuat operasi dapat lebih mudah dan sederhana,
keputusannya adalah tinggal apakah akan melakukan appendektomi atau tidak. 3 Nitecki dkk
menyebutkan bahwa appendektomi interval tidak diperlukan karena hanya 14% mengalami
gejala rekuren dalam 2 tahun setelah diagnosis awal. Terapi standard adalah manajemen
konservatif dengan appendektomi interval setelah 8 sampai 12 minggu. 1
Kultur cairan abses tidak membantu. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak
yang diterapi sesuai dengan kultur lebih buruk daripada yang diterapi tanpa kultur. Sebagai
tambahan peritoneal lavage dengan saline atau antibiotik tidak menunjukkan penurunak
insidensi abses post operasi. Penggunaan drain tidak berguna kecuali pada kasis rongga abses
yang ter-walled off. Injeksi bupivacaine ke luka operasi menurunkan nyeri post operasi. 3

Gambar 7. CT scan Pasien dengan appendicitis perforasi dengan abses yang berbatas tegas. Ia
menjalani manajemen nonoperatif (drainase abses, antibiotic) diikuti dengan appendektomi
interval laparoskopik 10 minggu selanjutnya. CT scan menunjukkan abses pelvis besar (A)
diikuti dengan penempatan jarum (B), dan drainase perkutan (C). Drainase menyebabkan
resolusi abses3

Table 3. Manajemen appendicitis8


Komplikasi

Insidensi komplikasi meningkat seiring dengan beratnya appendicitis, tetapi semua


komplikasi menurun beberapa tahun belakangan ini. Komplikasi mencakup infeksi luka
operasi, formasi abses intraabdomen, ileus berkepanjangan, dan fistula enterokutan. Infeksi
luka operasi merupakan komplikasi yang sering, tetapi angkanya telah menurun dari 50%
menjadi kurang dari 5%. formasi abses intraabdomen lebih sering pada appendicitis
komplikata, tetapi masih kurang dari 2%. Abses dapat didrainase dengan penuntun CT atau
transrektal di kamar operasi. Obstruksi usus pos operasi terjadi pada 1% pasien dengan
appendicitis komplikata, yang memerlukan adhesiolisis. fistula enterokutan merupakan
komplikasi yang jarang biasanya berespon terhadap terapi nonoperatif. Pylephlebitis supuratif
merupakan komplikasi yang jarang tetapi serius. Komplikasi lain adalah infertilitas,
walaupun asih terdapat perdebatan. Puri dkk melaporkan appendicitis komplikata sebelum
pubertas berpengaruh sangat kecil terhadap infertilitas tuba, sedangkan Mueller dkk
melaporkan bahwa kondisi ini meningkatakan risiko empat kali lipat terjadinya infertilitas
tuba. 1

Luaran

Angka kematian akibat appendicitis komplikata telah menurun sampai hampir nol. Antibiotik
menurunkan insidensi komplikasi infeksius. Walaupun lama rawat inap dan morbiditas
pasien dengan appendicitis kompilkata lebih besar dibandingkan appendicitis simpel, namun
morbiditas anak dengan appendicitis komplikata kurang dari 10%.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Dunn JCY. Appendicitis. Dalam: Grosfeld JL, O’Neill JA, Coran AG, Fonkalsrud EW,
Pediatric Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006
2. O’Neiil, James A, et al. Principles of Pediatric Surgery. Disorders of Iguinal Canal.
Mosby, St.Louis Missoury. 2003

3. St Peter SD. Appendicitis. Dalam: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP, Pediatric
Surgery. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010
4. Zinner MJ, Asleey SW. Appendicitis. Dalam: Maingot’s Abdominal Operation, 11th
edition. 2009, Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010
5. Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP, Skinner MA. Appendix and meckel’s
diverticulum. Dalam: Principles adn Practices of Pediatric Surgery, 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins; 2005
6. Samuel M. Pediatric appendicitis score. J Pediatr Surg 37:877-881. Copyright 2002,
Elsevier Science (USA).
7. Fraser et al. A complete course of intravenous antibiotics vs a combination of intravenous
and oral antibiotics for perforated appendicitis in children: a prospective, randomized
trial. Journal of Pediatric Surgery (2010) 45, 1198–1202
8. Puri P, Holwart M. Appendicitis. Dalam: Pediatric Surgery Springer. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg 2009, Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010

Anda mungkin juga menyukai