Anda di halaman 1dari 92

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) menurut World Health

Organization (WHO) adalah semua bayi baru lahir yang berat badannya

kurang atau sama dengan 2500 gram Setiap tahun di dunia diperkirakan

lahir sekitar 20 juta bayi berat lahir rendah. Dalam laporan WHO yang

dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun 2000-2003)

dikemukakan bahwa 27% kematian neonatus disebabkan oleh Bayi Berat

Lahir Rendah. Namun demikian, sebenarnya jumlah ini diperkirakan lebih

tinggi karena sebenarnya kematian yang disebabkan oleh sepsis, asfiksia

dan kelainan kongenital sebagian juga adalah BBLR (WHO, 2007).

Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah

39 per 1000 kelahiran hidup (Darmstadt, 2005). Di Indonesia Angka

Kematian Bayi (AKB) masih tinggi, sekitar 56% kematian terjadi pada

periode yang sangat dini yaitu di masa neonatal. Sebagian besar

kematian neonatal terjadi pada 0-6 hari (78,5%) dan prematuritas

merupakan salah satu penyebab utama kematian. Target Millenium

Development Goals (MDGs) 2015 adalah menurunkan Angka Kematian

Bayi (AKB) kelahiran hidup menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.


2

Sedangkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

tahun 2007, AKB masih 34/1.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2011).

Menurut data dari dines kesehatan provinsi Sulawesi selatan pada

tahun 2011, jumlah bayi normal sebanyak 141.744 (98,10%), BBLR

2.743 (1,90%), kelahiran hidup 144.487 (99,36%), meninggal 925

(0,64%) dari 145.412 kelahiran keseluruhan (Profil Dinkes, 2012 ).

Insiden kejadian BBLR di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi

sangat tinggi. Selain itu Rumah Sakit ini merupakan salah satuh Rumah

Sakit Bersalin yang memiliki fasilitas yang lengkap. Data Kejadian BBLR

di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar yaitu tahun 2010 untuk

BBLR sebanyak 260 orang, BBLSR sebanyak 27 orang dan BBLER

sebanyak 17 orang, total keseluruhan 304 orang. Untuk tahun 2011

BBLR sebanyak 238 orang, BBLSR sebanyak 17 orang, BBLER 17

orang, total keseluruhan 269 orang. Tahun 2012 untuk BBLR sebanyak

243 orang, BBLSR sebanyak 21 orang dan BBLER sebanyak 23 orang,

total keseluruhan adalah 287 orang .

Kematian perinatal pada bayi berat badan lahir rendah 8 kali

lebih besar dari bayi normal pada umur kehamilan yang sama. Prognosis

akan lebih buruk lagi bila berat badan makin rendah. Angka kematian

yang tinggi terutama disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan

komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi pneumonia, perdarahan

intrakranial, dan hipoglikemia. Bila bayi ini selamat kadang-kadang


3

dijumpai kerusakan pada syaraf dan akan terjadi gangguan bicara, IQ

yang rendah dan gangguan yang lainnya (Mochtar, 1998).

Perawatan BBLR masih memprioritaskan pada penggunaan

inkubator tetapi keberadaannya masih sangat terbatas. Hal ini

menyebabkan morbiditas dan mortalitas BBLR menjadi sangat tinggi,

bukan hanya akibat kondisi prematuritasnya, tetapi juga diperberat oleh

hipotermia dan infeksi nosokomial. Di sisi lain, penggunaan inkubator

memiliki banyak keterbatasan. Selain jumlahnya yang terbatas, inkubator

membutuhkan biaya perawatan yang tinggi, serta memerlukan tenaga

terampil yang mampu mengoperasikannya. Selain itu, dengan

menggunakan inkubator, bayi dipisahkan dari ibunya, hal ini akan

menghalangi kontak kulit langsung antara ibu dan bayi yang sangat

diperlukan bagi tumbuh kembang bayi (Depkes, 2008).

Perawatan BBLR merupakan hal yang kompleks dan

membutuhkan infrastruktur yang mahal serta staf yang memiliki keahlian

tinggi sehingga seringkali menjadi pengalaman yang sangat mengganggu

bagi keluarga. Mereka harus secara bersamaan selain menghadapi

kebutuhan mereka sendiri dan keluarga (terutama bila ada anak lain),

juga kebutuhan bayinya. Selain itu, keadaan dan kondisi yang berbahaya

dapat terjadi pada bayi mereka dapat menimbulkan kecemasan dan

ketidakpastian. Keluarga dengan BBLR dihadapkan pada krisis ganda


4

dan perasaan bingung mengenai tanggung jawab, ketidakberdayaan, dan

frustrasi (Siti & Asrining, 2003).

Kelahiran bayi BBLR merupakan beban bagi orang tua. Mereka

bisa syock, tidak dapat menerima keadaan, merasa bersalah, marah,

depresi dan takut. Perasaan-perasaan negatif ini dapat menetap setelah

bayi BBLR lahir. Munculnya rasa penerimaan atas kelahiran yang

prematur dari orang tua memang membutuhkan waktu, tetapi umumnya

sebagian besar akan dapat menerima keadaan ini dan mulai mencoba

mencari jalan untuk menolong dan merawat bayinya (Utami, 2008).

Kebahagiaan seorang ibu adalah ketika ia melahirkan anaknya

setelah ia mengandung lebih dari sembilan bulan, namun kadang

membuat ibu sedih dan cemas. Kecemasan ibu timbul ketika melihat

bayinya lahir dengan ukuran yang sangat kecil sehingga fungsi alat-alat

pernapasan bayi belum sempurna ini salah satu penyebab bayi sulit

untuk minum, hal ini tentu meresahkan orang tua si bayi. Jika bayi

beratnya dibawah 2500 gram, biasanya bayi akan dirawat di Rumah

Sakit, disini akan mendapatkan perawatan, diantaranya dimasukkan

dalam inkubator, diinfus bila perlu, pencegahan infeksi, minum yang

cukup, memberikan sentuhan, membantu beradaptasi dan setelah berat

badannya naik, minumnya sudah baik, kondisinya sudah memungkinkan

untuk dibawa pulang dan ibu merasa sudah mampu untuk merawat di

rumah, bayi dapat dibawa pulang (Maulana, 2008).


5

Mekanisme koping merupakan suatu proses dimana individu

berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan

akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan

perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam

dirinya. Orang tua khususnya seorang ibu akan menunjukkan mekanisme

koping dengan adanya permasalahan pada bayi mereka (Rasmun,2004).

Frekuensi kedatangan orang tua terutama ibu ke Rumah Sakit

adalah tergantung orang tua bayi masing-masing dan pihak Rumah Sakit.

Rumah sakit memiliki peraturan tersendiri dalam jam berkunjung. Orang

tua pun tidak bisa selama 24 jam karena mereka pun memerlukan

istirahat. Studi pendahuluan yang dilakukan dengan seorang ibu yang

memiliki bayi yang sedang dirawat di ruang perawatan bayi sakit RSIA

Pertiwi Makassar, ibu mengatakan setiap hari bergantian dengan suami

datang ke Rumah Sakit untuk memberi ASI pada bayinya. Ibu

mengatakan sesudah menjenguk bayinya, ibu sangat khawatir jika berat

badan bayinya tidak naik.

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik sekali untuk

melakukan penelitian tentang studi fenomenologi untuk mengeksplorasi

koping yang digunakan oleh ibu yang memiliki bayi dengan BBLR yang

menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

masalah yaitu: Bagaimanakah koping yang digunakan oleh ibu yang

memiliki bayi dengan BBLR yang menjalani perawatan diruang

perawatan bayi Rumah Sakit Anak dan Ibu Pertiwi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengeksplorisasi koping yang digunakan oleh ibu yang

memiliki bayi dengan BBLR yang menjalani perawatan di ruang

perawatan bayi Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui sumber stres ibu yang memiliki bayi BBLR

yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi.

b. Untuk mengetahui respon stres ibu yang memiliki bayi BBLR

yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi

c. Untuk mengetahui sumber koping ibu yang memiliki bayi BBLR

yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi.

d. Untuk mengetahui mekanisme koping ibu yang memiliki bayi

BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi.


7

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi ibu yang memiliki bayi BBLR yang dirawat di ruang perawatan

bayi

Membantu mengeksplorisasi perasaan para ibu untuk

beradaptasi terhadap permasalahan yang dihadapi, karena setiap

ibu yang memiliki bayi yang sedang dirawat secara intensif di

Rumah Sakit akan mengalami pengalaman dan cara adaptasi yang

berbeda dari orang tua yang melahirkan bayi secara normal.

2. Bagi Perawat Di Ruang Perawatan Bayi

Mampu mengidentifikasi koping ibu yang memiliki bayi

dengan BBRL yang menjalani perawatan di ruang perawatan bayi.

Sehingga dapat membantu perawat khususnya perawat yang

bekerja di ruang perawatan bayi tidak hanya dapat memberikan

asuhan keperawatan pada bayi yang di rawat di ruangan tersebut,

tetapi juga orang tua khususnya ibu dari anak yang di rawat di

ruang perawatan bayi. Dimana perawat harus bisa memberi

motivasi atau dorongan, membantu mengatasi perasaan sedih,

marah sehingga dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut.

3. Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan untuk membuat perencanaan dalam

memberikan layanan asuhan keperawatan baik kepada bayi dengan


8

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) yang sedang menjalani

perawatan di ruang perawatan bayi maupun orang tua dari bayi

yang sedang menjalani perawatan di ruang perawatan bayi.

Sehingga diharapkan pada akhirnya Rumah Sakit tidak hanya

berfokus pada individu (fisik) saja tetapi biopsikososialnya juga

sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit.

4. Bagi Peneliti

Sebagai proses pembelajaran buat peneliti sehingga peneliti

mampu mengaplikasikan ilmu tersebut dan belajar menemukan

serta menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-

hari .

5. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diupayakan dapat digunakan sebagai bahan

refrensi untuk studi lanjut tentang asuhan keperawatan.

6. Bagi Institusi Pendidikan (PSIK UMI )

Sebagai masukan untuk jurusan keperawatan agar bisa lebih

memperdalam ilmu tentang koping individu dalam penyelesaian

masalah.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Berat Bayi Lahir Rendah ( BBLR )

1. Defenisi BBL dan BBLR

Bayi baru lahir disebut juga dengan neonatus merupakan

individu yang sedang bertumbuh dan baru saja telah mengalami

trauma kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian dari

kehidupan intrauterine ke kehidupan ekstreuterin (Eni , 2009).

Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al ahqaff ayat 15 tentang

penciptaan manusia yaitu :

Terjemahan :

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik


kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula),
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh
tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku
dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri“
10

Maha benar Allah, ternyata dalam penelitian ditemukan bahwa

Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk berbuat baik kepada

ibu bapaknya terutama ibu yang sudah melahirkannya.

BBLR adalah neonatus dengan berat lahir pada saat kelahiran

kurang dari 2.500 gram (sampai 2499 gram) tanpa memandang masa

kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam

setelah lahir (Eny, 2009).

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari

2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan (Proverawatih, 2010).

Berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan lahir kurang

dari 2500 gram. Dahulu bayi baru lahir yang berat badan kurang atau

sama dengan 2500 gram disebut prematur (Pantiawati, 2010).

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan suatu kondisi

dimana bayi yang memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram

tanpa memandang usia kehamilan. Berat badan lahir rendah

mempunyai hubungan erat dengan meningkatnya angka kematian

bayi (AKB), dimana bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai

penyulit/masalah yang dapat terjadi antara lain: hipotermi, sindrom

gawat napas, hipoglikemi, rentan terhadap infeksi, kerusakan

integritas kulit (Dewi, 2012).


11

2. Klasifikasi BBLR

Menurut Proverawatih (2010), ada beberapa cara dalam

pengelompokan bayi BBLR yaitu :

a. Menurut harapan hidupnya

1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) berat lahir 1500 – 2500 gram

2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) berat lahir 1000–

1500 gram

3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) berat lahir kurang

dari 1000 gram

b. Menurut masa gestasinya

1) Bayi prematuritas murni (prematur) atau bayi sesuai masa

kehamilan (SMK).

Makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang

dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Melalui

pengelolaan yang optimal dan dengan cara yang kompleks

serta menggunakan alat-alat yang canggih, beberapa

sangguan yang berhubungan dengan prematuritas dan dapat

diobati, sehingga gejala sisa yang mungkin diderita

dikemudian hari dapat dicegah atau dikurangi (Siti & Asrining

,2003).

Menurut Siti & Asrining (2003) bayi prematuritas

murni digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:


12

a) Bayi yang sangat prematur (extremely premature): 24-

30 minggu. Bayi dengan masa gestasi 24-27 minggu

masih sangat sukar hidup terutama di negara yang

belum atau sedang berkembang. Bayi dengan masa

gestasi 28-30 minggu masih mungkin dapat hidup

dengan perawatan yang sangat intensif.

b) Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately

premature): 31-36 minggu. Pada golongan ini

kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik dari pada

golongan pertama dan gejala sisa yang dihadapinya

dikemudian hari juga lebih ringan, asal saja

pengelolaan terhadap bayi ini benar-benar intensif.

Borderline premature: masa gestasi 37-38 minggu.

Bayi ini mempunyai sifat-sifat prematur dan matur.

Biasanya beratnya seperti bayi matur dan dikelola

seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul

problematika seperti yang dialami bayi prematur,

misalnya sindrom gangguan pernapasan,

hiperbilirunemia, daya hisap yang lemah dan

sebagainya, sehingga bayi harus diawasi dengan

seksama.
13

Menurut Siti & Asrining (2003), faktor-faktor yang

merupakan predisposisi terjadinya kelahiran prematur yaitu:

a) Faktor ibu.

b) Faktor janin.

Menurut Siti & Asrining (2003), gambaran klinik bayi

prematur yaitu:

a) Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37

minggu

b) Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram

c) Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm

d) Kuku panjangnya belum melewati ujung jari

e) Batas dahi dan rambut kepala tidak jelas

f) Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm

g) Lingkar dada sama dengan atau kurang dari 30 cm

h) Rambut lanugo masih banyak

i) Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang

j) Tumit mengkilap, telapak kaki halus

k) Alat kelamin bayi laki-laki pigmentasi dan rugae pada

skrotum kurang

l) Testis belum turun ke dalam skrotum, untuk bayi

perempuan klitoris

m) Menonjol, labia minora belum tertutup oleh labia mayora


14

n) Tonus otot lemah, sehingga bayi kurang aktif dan

pergerakannya lemah

o) Verniks kaseosa tidak ada atau sedikit

p) Jaringan kelenjar mammae kurang akibat pertumbuhan

otot dan jaringan lemak masih kurang

2) Bayi dismatur atau bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK)

Banyak istilah yang dipergunakan untuk

menunjukkan bahwa bayi KMK ini menderita gangguan

pertumbuhan di dalam uterus (intrauterine growth retardation

= IUGR) seperti pseudopremature, small for dates,

dysmature, fetal malnutrition. Setiap bayi yang berat lahirnya

sama dengan atau lebih rendah dari 10 persentil untuk masa

kehamilan pada Denver Intrauterine Growth Curve adalah

bayi SGA. Kurva ini dapat pula dipakai untuk Standart

Intrauterine Growth Chart of Low Birth Weight Indonesian

Infants. Setiap bayi baru lahir (prematur, matur dan

postmatur) mungkin saja mempunyai berat yang tidak sesuai

dengan masa gestasinya. Gambaran kliniknya tergantung

dari pada lamanya, intensitas dan timbulnya gangguan

pertumbuhan yang mempengaruhi bayi tersebut.

Menurut Siti & Asrining (2003), ada dua bentuk IUGR

yaitu:
15

a) Proportionate IUGR: janin yang menderita distres yang

lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-

minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir

sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam

proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya

masih dibawah masa gestasi yang sebenarnya. Bayi ini

tidak menunjukkan adanya wasted oleh karena

retardasi pada janin ini sebelum terbentuknya adipose

tissue.

b) Disproportionate IUGR : terjadi akibat distres subakut.

Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa

hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan

lingkaran kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai

dengan masa gestasi. Bayi tampak wasted dengan

tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit,

kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi keliatan

kurus dan lebih panjang. Pada bayi IUGR perubahan

tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan

lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam

badan juga mengalami perubahan misalnya, berat hati,

limpa, kelenjar adrenal dan thymus berkurang

dibandingkan bayi prematur dengan berat yang sama.


16

Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai dengan

masa gestasinya.

Menurut Siti & Asrining (2003), beberapa faktor yang

merupakan predisposisi terhadap terjadinya bayi dismatur

yaitu :

a) Faktor ibu

b) Faktor uterus dan plasenta

c) Faktor janin

d) Keadaan ekonomi yang rendah

e) Tidak diketahui

Menurut Proverawatih (2010), stadium pada bayi

dismatur yaitu:

a) Stadium pertama : bayi tampak kurus dan relatif lebih

panjang

b) Stadium kedua : terdapat tanda stadium pertama

ditambah warna kehijauan pada kulit plasenta

B. Perawatan BBLR Di Rumah Sakit

Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) memerlukan perawatan

lebih intensif karena sebenarnya bayi masih membutuhkan lingkungan

yang tidak jauh berbeda dari lingkungannya selama dalam kandungan.

Maka dengan demikian di Rumah Sakit bayi dengan BBLR biasanya

akan mendapatkan perawatan (Maulana, 2008) .


17

Maturasi fungsi organ merupakan syarat bagi bayi untuk mampu

untuk beradaptasi dengan lingkungan luar rahim. Bayi risiko tinggi

mengalami gangguan pada salah satu atau lebih fungsi organ sehingga

dapat menghambat kemampuan bayi untuk beradaptasi dengan

lingkungan di luar rahim. Bayi prematur atau berat sangat rendah, fungsi

sistem organnya belum matur sehingga dapat mengalami kesulitan untuk

beradaptasi dengan lingkungan. Oleh karena itu, bayi risiko tinggi sangat

membutuhkan perhatian dan perawatan intensif untuk membantu

pengembangan fungsi optimum bayi (Proverawatih, 2010).

Menurut Siti & Asrining (2003), tindakan perawatan pada bayi

resiko tinggi yaitu :

1. Bantuan pernafasan

Setelah lahir jalan nafas orofaring dan nasofaring dibersihkan

dengan isapan yang lembut. Bila pengisapan menggunakan alat, lama

setiap pengisapan menggunakan alat, lama setiap pengisapan tidak

boleh dari 10 detik. Bila setelah pembersihan jalan nafas masih

menunjukkan tanda kesulitan pernafasan segera laporkan ke dokter,

mungkin bayi membutuhkan tindakan ventilasi bantuan dan terapi

oksigen. Pemberian terapi oksigen harus hati–hati dan diikuti dengan

pemantauan terus menerus tekanan drah arteri. Hal ini dilakukan

karena pemberian oksigen dapat menimbulkan hiperoksigen yang

dapat menyebabkan fibroplasia retrolental dan fibroplasias paru.


18

2. Mengupayakan suhu lingkungan netral

Untuk mencegah akibat buruk dari hipotermi karena suhu

lingkungan yang rendah atau dingin harus dilakukan upaya untuk

merawat bayi dalam suhu lingkungan netral yaitu suhu yang

diperlukan agar komsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal.

keadaan dapat dicapai bila suhu inti bayi (suhu tubuh tanpa

berpakaian) dapat dipertahankan 36,6°C – 37,5ºC. Kelembaban relatif

sebesar 40 – 60% yaitu dengan cara :

a. Mengurangi kehilangan panas pada suhu lingkungan yang

rendah

b. Mencegah kekeringan dan iritasi pada selaput lender jalan nafas,

terutama saat mendapat terapi oksigen dan selama pemasangan

intubasi endotrakhea atau nasotrakea

c. Mengencerkan sekresi yang kental serta mengurangi kehilangan

cairan insensibel dari paru

Suhu lingkungan yang netral dapat diupayakan melalui

berbagai cara. Inkubator ada berbagai macam, yang canggih

dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban agar bayi

dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam batas normal, suplai

oksigen dapat diatur dan alat perlengkapan lainnya untuk memantau.


19

Inkubator pada umumnya ada dua macam yaitu inkubator tertutup

yang semua perawatan dan pengobatannya diberikan melalui lobang

lengan yang tersedia, dibuka bila diperlukan.

Inkubator berfungsi menjaga suhu bayi supaya tetap stabil.

Akibat sistem pengaturan suhu dalam tubuh bayi belum sempurna,

maka suhunya bisa naik atau turun secara drastis. Hal ini tentu bisa

membahayakan kondisi kesehatannya. Otot-ototnya juga relatif lebih

lemah, sementara cadangan lemaknya juga lebih sedikit

dibandingkan bayi yang lahir normal.

Menurut Proverawatih (2010), hal–hal yang perlu diperhatikan

dalam penggunaan inkubator yaitu :

a. Suhu inkubator ditentukan berdasarkan berat badan bayi, agar

suhu lingkungan memungkinkan bayi dapat mempertahankan

suhu tubuhnya dalam batas normal (36,6ºC – 37,5 ºC).

b. Bagian luar inkubator dibersihakan setiap hari, bagian dalam

bila terkena muntahan atau feses segera bersihkan dengan

menggunakan zat desinfektan misalnya saflon 1 : 100. Bila

inkubator dibersihkan bayi dipindahkan pada inkubator lain yang

sudah dihangatkan terlebih dahulu.

c. Bayi yang dirawat didalam inkubator tertutup dengan control

tidak berpakaian (telanjang).


20

Menurut Siti & Asrinig (2003), bila tidak ada inkubator,

lingkungan bayi dapat dihangatkan dengan cara yaitu:

a. Membungkus bayi dengan kain atau selimut yang lembut dan

hangat

b. Meletakkan bayi dalam kotak atau keranjang yang sama

dindingnya ditutup rapat untuk mencegah aliran udara. Panas

dan kelembaban kamar dapat diupayakan dalam menempatkan

kompor dan ceret berisi air mendidih, jika panas dalam kamar

tidak dapat dipertahankan

c. Bila ada sarana listrik untuk memberi lingkungan yang hangat

dilakukan dengan menempatkan lampu pijar dekat keranjang

atau tempat tidur bayi pada tiga sisi dan ditempatkan

sedemikian rupa sehingga dapat dimatikan dan dinyalakan

secara terpisah

3. Pencegahan infeksi

Mudahnya bayi BBLR terinfeksi menjadikan hal ini salah satu

fokus perawatan salama di Rumah Sakit. Pihak Rumah Sakit akan

terus mengontrol dan memastikan jangan sampai terjadi infeksi karena

bisa berdampak fatal (Maulana, 2008) .

Menurut Siti & Asrining (2003), tindakan pencegahan infeksi

sangat penting karena infeksi akan memperburuk keadaan bayi yang

bermasalah. Bayi prematur dan berat badan lahr rendah mudah


21

menderita sakit. Hal ini karena imunitas seluler dan hormonal masih

kurang. Bayi risiko tinggi lain juga mudah menderita sakit karena

keterbatasan dan gangguan fungsi organ yang sudah ada pada

mereka. Hal yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi yaitu :

a. Petugas dan orang tua yang mengunjungi bayi harus mencuci

tangan sebelum dan sesudah memegang bayi untuk keperluan

apapun

b. Petugas yang berpenyakit infeksi tidak boleh memasuki unit

perawatan bayi sampai mereka dinyatakan sembuh atau

diisyaratkan memakai pelindung yang cocok seperti masker,

sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi

c. Setiap orang yang memasuki unit perawatan bayi selain memakai

pakaian bersih harus menggunakan pakaian penutup khusus

yang disediakan

d. Setiap bayi menggunakan alat perawatan individual, peralatan

yang digunakan harus dibersihkan secara teratur sesuai

ketentuan pabrik pembuat

e. Setiap bayi yang masuk kembali dari rumah atau bayi dengan

proses kelahiran yang tidak steril atau bayi yang dicurigai

memiliki penyakit menular ditangani sesuai ketentuan institusi,

bayi tersebut harus diisolasi secara fisik dari bayi yang rentan

dan berisiko tinggi


22

4. Pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi

Bagi bayi, susu adalah sumber nutrisi yang utama. Untuk itulah

selama dirawat, pihak Rumah Sakit harus memastikan bayi

mengkonsumsi susu sesuai kebutuhan tubuhnya. Selama belum bisa

mengisap dengan benar, minum susu digunakan menggunakan pipet.

Kebutuhan bayi untuk pertumbuhan yang cepat dan pemeliharaan

harian harus disesuaikan dengan tingkat kematangan anatomi dan

fisiologi. Koordinasi mekanisme mengisap dan menelan belum

sepenuhnya baik pada usia kehamilan 36–37 minggu. Refluks muntah

sampai usia kehamilan 36 minggu belum berkembang sehingga

mudah terjadi aspirasi. Pemberian cairan yang cukup sangat penting

untuk bayi prematur karena kadar air ekstrasel pada bayi prematur

lebih tinggi dari pada bayi normal (70 % pada bayi normal ,90 % pada

bayi prematur).

Pemantauan yang perlu dilakukan setiap hari adalah berat

badan, jumlah pengeluaran air kemih, berat jenis urin serta kadar

nitrogen urea serum dan elektrolit. Bayi prematur memerlukan nutrisi

selain untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari juga memenuhi

kebutuhan perkembangan. Pemberian nutrisi yang dianjurkan adalah

kalori 140-150 kal / kg BB / hari, karbohidrat 8–22 g/kg BB/hari, protein

3-4 g/kg BB/hari, lemak 4–9 g/kg BB/hari, air untuk bayi kurang bulan

yang sehat dapat meneriman cairan 150–200 cc/kg BB/hari sedangkan


23

bayi yang sakit diberikan 120-130 cc/kg BB/hari. Selain nutrisi

tersebut, bayi juga membutuhkan nutrisi lain dan vitamin

(Proverawatih, 2010).

BBLR dapat tetap diberi ASI sesuai kebutuhannya dan

perubahan suhu tubuh secara ketat karena setiap saat dapat menjadi

hipotermi. Ibu juga perlu mendapatkan dukungan untuk melanjutkan

komitmen karena asuhan ini melelahkan dan membatasi

kebebasannya dalam bergerak dalam melakukan aktivitas (Siti &

Asrining, 2003).

Menurut Siti & Asrining (2003) pemberian minum bayi berat

lahir rendah (BBLR) menurut berat badan lahir dan keadaan bayi

adalah sebagai berikut :

a. Bayi lahir 1750 – 2500 gram

1) Bayi sehat

a) Biarkan bayi menusu pada ibu semau bayi

b) Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan

untuk menilai efektifitas menyusui

2) Bayi tidak sehat

a) Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan

cairan IV berikan minum seperi pada bayi sehat.

b) Apabila bayi memerlukan cairan intrevena


24

(1) Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam

pertama

(2) Mulai berikan minum per oral pada hari ke 2 atau

segera bayi stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila

ibu ada dan bayi menunjukkan tanda–tanda siap

untuk menyusu.

c) Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui

(gangguan nafas, kejang) berikan ASI peras melalui pipa

lambung

b. Berat lahir 1500 – 1749 gram

1) Bayi sehat

a) Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok .Bila jumlah

yang dibutuhkan tidak dapat diberikan menggunakan

cangkir atau sendok, berikan minum dengan pipa

lambung

b) Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam)

c) Apabila bayi telah mendapatkan minum baik

menggunakan cangkir atau sendok, coba untuk

menyusui ulang

2) Bayi sakit

a) Berikan cairan intravena hanya selam 24 jam pertama


25

b) Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke 2

dan kurangi jumlah cairan IV secara perlahan

c) Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal tiap 3 jam)

d) Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir atau

sendok, coba untuk menusui langsung

c. Berat lahir 1250–1499 gram

1) Bayi sehat

a) Beri ASI peras melalui pipa lambung

b) Beri minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam)

c) Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir atau

sendok

d) Apabila bayi telah meggunakan cangkir atau sendok,

coba untuk menyusui langsung

2) Bayi sakit

a) Beri cairan intravena hanya dalam 24 jam pertama

b) Beri ASI peras melalui pia lambung mulai kali ke 2 dan

kurangi jumlah cairan intravena secara perlahan

d. Berat lahir (tidak tergantung kondisi)

1) Berikan cairan intravena hanya selama 48 jam pertama

2) Berikan ASI melalui pipa lambung mulai pada hari ke 3

kurangi pemberian cairan intravena secara perlahan

3) Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam)


26

4) Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir atau

sendok

5) Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan

cangkir, coba untuk menyusui langsung

5. Penghematan listrik

Salah satu tujuan utama perawatan bayi risiko tinggi adalah

menghemat energi. Oleh karena itu bayi prematur ditangani seminimal

mungkin. Bayi yang dirawat dalam inkubator tidak membutuhakan

pakaian tetapi hanya dibaringkan diatas popok atau alas.

6. Perawatan kulit

Kulit bayi prematur belum matang dibanding kulit bayi normal.

Lemak subkutan sedikit atau tidak ada, struktur kulitnya masih longgar,

rapuh dan tipis dengan serat yang lebih sedikit. sehubungan dengan

kondisi kulit bayi yang demikian perlu dilakukan perawatan untuk

melindungi dan mencegah terjadinya kerusakan integritas kulit.

Penggunaan pelindung kulit akan melindungi kulit yang sehat dan

membantu penyembuhan kulit yang terkelupas. Bagi tubuh yang

sering ditekan terutama tumit, bokong, bahu, siku dan bagian

belakang kepala harus selalu dibersihkan.

7. Pemberian obat

Mekanisme detoksifikasi bayi prematur belum matang sehingga

tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk menunjukkan gejala


27

keracunan. Kondisi ini mengaharapakan perawat waspada terhadap

tanda reaksi yang berlawanan. Pemberian obat–obatan seperti salep,

cairan intravena dan oksigen membutuhkan perhatian dan

penanganan yang teliti.

C. Konsep Stres

1. Defenisi

Stres adalah stimulasi yng merupakan situasi dan kondisi yang

mengurangi kemampuan kita untuk merasa senang, nyaman, bahagia,

produktif (Zaam, 2012).

Definisi stres yang paling sering digunakan adalah definisi

Lazarus dan Launier (dalam Yuliadi, 2010) yang menitikberatkan pada

hubungan antara individu dengan lingkungannya. Stres merupakan

konsekuensi dari proses penilaian individu, yakni pengukuran apakah

sumber daya yang dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan dari

lingkungan.

Stres dibedakan menjadi dua yaitu stres yang merugikan dan

merusak yang disebut distress dan stres yang positif dan

menguntungkan yang disebut eustres. Setiap individu mempunyai

reaksi yang berbeda terhadap jenis stres dalam kenyataannya stres

menyebabkan sebagian individu menjadi putus asa tetapi bagi individu

lain justru dapat menjadi dorongan baginya untuk lebih baik. Stres

akan berpengaruh negatif apabila kemampuan adaptasinya kurang


28

atau stresor yang ada terlalu besar atau melampaui batas kemampuan

adaptasinya (Rasmun, 2004 ).

2. Sumber stres

Menurut Rasmun (2004) sumber stres dapat berasal dari dalam

tubuh dan di luar tubuh, sumber stres dapat berupa bilogik /fisiologik,

kimia, psikologik, sosial dan spiritual, terjadinya stres karena stressor

tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu

ancaman sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda

umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis. Tidak

hanya stressor negatif yang menyebabkan stres tetapi stressor positif

pun dapat menyebabkan stres misalnya kenaikan pangkat, promosi

jabatan, tumbuh kembang, menikah, mempunyai anak, semua

perubahan yang terjadi sepanjang daur kehidupan. Adapun sumber

stressor lain menurut Sriati (2008) yaitu:

a. Kegagalan mencapai tujuan

Keterbatasan diri menghambat kita dalam mecapai tujuan

seperti cacat fisik, sakit, kurang kemampuan intelektual, kurang

kemampuan social akan berpeluang sebagai stressor.

b. Konflik tujuan

Konflik tujuan dilema atau kebingungan yang disebabkan

oleh dua keinginan atau lebih yang disukai tetapi yang

bersangkutan sulit, tidak bisa mengambil keputusan memilih tujuan


29

c. Perubahan gaya hidup

Orang yang mengalami banyak perubahan dalam

kehidupan dalam waktu yang relatif singkat mungkin menjadi

frustasi, tension, marah dan kecewa. Riset membuktikan bahwa

perubahan–perubahan yang dramtis dalam bidang teknologi,

sosial atau faktor sosial dapat memicu stres.

3. Derajat stres

Menurut Hawari dalam Sriati (2008) stres timbul secara lambat

dan tidak disadari kapan munculnya. Adapun derajat stres dibagi

kedalam 6 tingkatan, yaitu:

a. Stres tingkat I

Merupakan tahap ringan, biasanya disertai semangat yang

besar, penglihatan tajam tidak seperti biasanya, gugup yang

berlebihan. Pada tahap ini biasanya menyenangkan namun tanpa

disadari cadangan energinya menipis.

b. Stres tingkat II

Pada tahap ini mulai muncul keluhan karena cadangan

energi tidak cukup lagi untuk sepanjang hari. Keluhannya antara lain

letih pada waktu pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang

sore serta ada gangguan otot dan pencernaan.


30

c. Stres tingkat III

Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami

gangguan tidur dan rasa ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya

penderita berkonsultasi dengan dokter.

d. Stres tingkat IV

Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh

kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, konsentrasi

menurun, sulit tidur dan ada rasa takut yang tak terdefinisikan.

e. Stres tingkat V

Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tahap IV, gejala yang

muncul makin berat.

f. Stres tingkat VI

Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU, karena

gejalanya sangat membahayakan seperti jantung berdebar sangat

keras karena zat adrenalin yang dihasilkan karena stres cukup

tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin dan berkeringat,

tenaga tidak ada sama sekali bahkan tak jarang pingsan.

4. Gejala stres

Gejala–gejala stress mencakup sisi mental, sosial dan fisik. Hal –

hal ini meliputi kelelahan atau meningkatnya nafsu makan, sakit

kepala, sering menangis, sulit tidur dan tidur berlebihan. Perasaan


31

was–was, frustasi atau kelesuan dapat mucul bersamaan dengan stres

(Mumpuni, 2010).

Menurut Rasmun (2004) reaksi terhadap stres dibagi menjadi

empat bagian yaitu:

a. Reaksi fisik

Reaksi ini adalah reaksi yang paling terlihat, contohnya

adalah sakit kepala, jantung berdebar–debar lebih kencang dari

kondisi normal, lidah menjadi kelu, kehilangan nafsu makan,

insomnia atau sulit tidur dan masih banyak lagi.

b. Reaksi emosi

Reaksi ini contohnya marah–marah, cemas, mudah

tersinggung, menjadi pesimis. Kondisi ini dipicu karena

ketidakstabilan hormon dalam tubuh penderita stres.

c. Reaksi kognitif

Contohnya adalah berfikir negatif, sulit konsentrasi, sulit

berfikir dan masih banyak lagi. Orang yang mengalami stres tidak

sama dengan orang tanpa stres. Itulah sebabnya reaksi

kognitifnya juga tidak sama dengan orang yang normal.

d. Reaksi tingkah laku

Contohnya adalah menarik diri dari lingkungan, tidur

berlebihan, jadi pendiam, jadi jutek. Ini bergantung pada kondisi

masing–masing individu dan lingkungannya .


32

Stres tidak selamanya negatif, ada dua pandangan tentang

stres. Stres yang tidak menyenangkan adalah distres, distres

adalah kerusakan atau stres yang tidak menyenangkan. Sedangkan

stres yang positif adalah eustres yaitu stres yang menyenangkan,

suatu frase dalam kehidupan seseorang yang kadang–kadang

digunakan untuk menggambarkan hal baik yang berasal dari stres

(Mumpuni, 2010).

Menurut Sriati (2008), adapun respon stres yaitu meliputi :

a. Aspek Fisiologis

Aspek psikologis memberikan deskripsi mengenai

bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang

mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-

fight respons karena respon fisiologis mempersiapkan individu

untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam

tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan individu dapat

berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan

tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat

membahayakan kesehatan individu. Ia mengembangkan istilah

General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian

tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:


33

1) Fase reaksi yang mengejutkan (alarm reaction)

Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan

adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar

keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak

cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal

orang terkena stres.

2) Fase perlawanan (Stage of Resistence )

Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan

pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan

membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres

dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut,

tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena

tubuh sedang melakukan kerja keras. Tahapan penilaian ini

dibagi menjadi dua, yaitu :

a) Primary cognitive appraisal

Adalah proses mental yang berfungsi

mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut

implikasinya terhadap individu yaitu apakah

menguntungkan, merugikan atau membahayakan

individu tersebut.
34

b) Secondary cognitive appraisal

Adalah evaluasi terhadap sumber daya yang

dimiliki individu dan berbagai alternatif cara untuk

mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh

pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi

individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya

serta berbagai sumber daya pribadi dan lingkungan.

c) Stage of searching for a coping strategy

Konsep coping diartikan sebagai usaha-usaha

untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan

tuntutan internal serta mengelola konflik antara berbagai

tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan

oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika

individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau

menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan

strategi coping yang tepat. Strategi yang akan digunakan

ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang

dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres

tersebut berlangsung.

d) Stage of the stress response

Pada tahap ini individu mengalami kekacauan

emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah dan


35

panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan

menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi

kurang terorganisasikan dengan baik dan pola-pola

neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu

aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya

pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk

menghadapi stres yang berkepanjangan. Dampak dari

keadaan ini adalah bahwa individu mengalami

disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.

b. Aspek psikologis

Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi:

1) Kognisi

Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan

ingatan dan perhatian dalam aktifitas kognitif.

2) Emosi

Emosi cenderung terkait stres.individu sering

menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi

stres dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap

stress yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan

sedih dan marah.


36

3) Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang

lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif.

Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku

sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat

menimbulkan perilaku agresif (Nasir & Muhith, 2011).

D. Konsep Koping

1. Definisi Koping

a. Koping

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam

menyelesaikan situasi stressful. Koping tersebut adalah merupakan

respon individu terhadap situasi yang mengancam darinya baik fisik

maupun psikologik (Rasmun, 2004).

Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu

sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam

menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan

untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan

masalah yang sedang dihadapi atau dirasakan (Rasmun, 2004)

b. Koping keluarga (orang tua)

Koping keluarga merupakan respon yang positif, sesuai

dengan masalah, afektif, persepsi dan respon perilaku yang

digunakan keluarga dan subsistemnya untuk memecahkan suatu


37

masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh masalah

atau peristiwa. Dengan mengubah dari tingkat koping individu

menjadi koping keluarga, koping menjadi jauh lebih rumit. Respon-

respon atau perilaku koping keluarga merupakan tindakan-tindakan

pengenalan yang digunakan keluarga sedangkan pola–pola dan

strategi koping respon–respon sama yang membentuk set–set

homogen. Strategi–strategi koping keluarga berkembang dari

waktu ke waktu sebagai respon terhadap tuntutan atau stressor

yang dialami (Stuart , 2005).

2. Sumber koping

Sumber–sumber tersebut terdiri dari asset ekomoni,

kemampuan dan bakat, tehnik pertahanan, dukungan social dan

motivasi. Sumber koping lainnya adalah keseimbangan energi,

dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah,

kemampuan social, kesehatan fisik, sumber materi dan sosial

(Stuart, 2005).

Kemampuan pemecahan masalah termasuk kemampuan untuk

mencari informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang suatu pilihan

dan implementasi rencana tindakan. Kemampuan social memudahkan

pemecahan masalah termasuk orang lain, meningkatkan kemungkinan

kerja sama dan dukungan dari lainnya dan memberikan kontrol sosial

terbesar pada individu tersebut. Aset materi menunjukkan uang,


38

barang dan jasa dimana uang dapat membeli segalanya. Jelas sekali

bahwa sumber keuangan sangat meningkat pada pilihan koping

seseorang dimana hampir dalam situasi stres apapun (Rasmun, 2004).

Pengetahuan dan kecerdasan adalah sumber koping lainnya

ynag membolehkan orang–orang untuk melihat perbedaaan cara

dalam menghadapi stress. Sumber–sumber koping juga termasuk

komitmen kekuatan identitas ego kepada jaringan social,

keseimbangan budaya, sistem yang stabil dari nilai dan kepercayaan,

orientasi pencegahan kesehatan dan genetik atau kekuatan gerak

badan (Stuart 2005).

3. Macam – macam koping

1. Koping psikologis

Menurut Rasmun (2004), pada umumnya gejala yang

ditimbulkan akibat stres psikologis tergantung pada 2 faktor yaitu:

a. Bagaimana persepsi atau penerimaan, artinya seberapa

berat ancaman yang dirasakan oleh individu tersebut

terhadap stresor yang diterimanya

b. Keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu;

artinya dalam menghadapi stresor, jika strategi yang

digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan

menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika


39

sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik

maupun psikologis.

2. Koping psiko-sosial

Koping psiko-sosial adalah reaksi terhadap reaksi psiko-

sosial terhadap adanya stimulus stres yang diterima atau dihadapi

oleh seseorang.

4. Mekanisme koping

Mekanisme koping adalah perilaku yang diperlukan atau usaha

untuk mengurangi stres dan kecemasan. Tipe perilaku atau koping

untuk kecemasan ringan antara lain meliputi menangis, tertawa, tidur

dan memaki, aktivitas fisik dan latihan, merokok dan minum-minum,

kontak mata kurang, membatasi persahabatan dan menarik diri

(Sachari, 1995).

Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam

menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan

situasi yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Nasir

dan Munith, 2011).

Mekanisme koping berdasarkan penggolongan menjadi 3

menurut Stuart (2005) yaitu :

a. Koping yang berpusat pada masalah (Problem Fokused Coping

Mechanisme)
40

Mekanisme koping berpusat pada masalah yang diarahkan

untuk mengurangi tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau

mengembangkan sumber daya untuk mengatasinya. Hal–hal yang

berhubungan dengan mekanisme koping yang berpusat pada

masalah :

1) Koping konfrontasi adalah menggambarkan usaha–usaha

untuk merubah keadaan atau masalah secara agresif, juga

menggambarkan tingkat kemarahan serta pengambilan resiko.

2) Isolasi adalah individu berusaha menarik diri dari lingkungan

atau tidak mau tahu masalah yang dihadapi

3) Kompromi menggambarkan usaha untuk merubah keadaan

secara hati–hati, meminta bantuan dan kerja sama dengan

keluarga dan teman kerja atau mengurangi keinginanya lalu

memilih jalan tengah

b. Koping yang berpusat pada kognitif (Cognitively Fokused Coping

Mechanisme)

Dimana seseorangan berusaha untuk mengontrol masalah

dan menyelesaikannya. Contohnya termasuk perbandingan positif,

ketidaktahuan memilih, penggantian penghargaan dan dievaluasi

dari keinginanan akan tujuan.


41

c. Koping yang berpusat pada emosi (Emotion Fokused Coping

Mechanisme)

Koping ini mengarah pada usaha reduksi, pembatasan atau

menghilangkan atau toleransi stres subjektif (somatif, motorik dan

afektif) dari stres emosional yang muncul karena adanya transaksi

dari lingkungan yang menyulitkan (Natsir & Munith, 2011).

Menurut Nasir & Munith (2011), jenis–jenis mekanisme

koping yang berpusat pada emosi yaitu :

1) Denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut

tidak terjadi pada dirinya

2) Rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh

akal dan dapat diterima oleh orang lain untuk menutupi

ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi kita tidak hanya

dapat membenarkan apa yang kita lakukan tetapi juga merasa

sudah selayaknya berbuat demikian secara adil

3) Kompensasi, menunjukkan tingkah laku untuk menutupi

ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik karena

frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara

berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul karena

adanya perasaan kurang mampu


42

4) Represi yaitu melupakan masa–masa yang tidak

menyenangkan dari ingatan dan hanya mengingat waktu-

waktu yang menyenangkan

5) Sublimasi yaitu mengekspresikan atau menyalurkan perasaan,

bakat atau kemampuan dengan sikap positif

6) Identifikasi yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku

orang lain

7) Regresi yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau

bersikap seperti anak kecil

8) Proyeksi yaitu menyalahkan orang lain atas kesulitannya

sendiri atau melampiaskan kesalahannya kepada orang lain

5. Mekanisme koping keluarga

Menurut Stuart (2005), ada 2 mekanisme koping keluarga (orang

tua), yaitu :

a. Mekanisme koping yang konstruktif yang meliputi: mencari

dukungan sosial, mengkaji ulang stres (reframing), mencari

dukungan spiritual dan menggerakkan keluarga untuk mencari atau

meminta bantuan.

b. Mekanisme koping yang destruktif berupa penampilan secara

positif. Koping bisa saja destruktif atau konstruktif, dikatakan

sebagai koping yang konstruktif apabila kecemasan dianggap

sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu


43

sebagai tantangan untuk diselesaikan. Koping yang konstruktif

membentuk pengalaman masa lalu untuk memenuhi kebutuhan di

masa yang akan datang, sedangkan koping yang destruktif, apabila

seseorang lebih memilih menghindari kecemasan, memecahkan

suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi.

6. Strategi Koping Keluarga

Ada fungsional dan disfungsional. Strategi koping keluarga

fungsional ada 2 tipe dalam Stuart (2005) yaitu:

a. Strategi koping keluarga internal

1) Mengendalikan kelompok keluarga

2) Penggunaan humor

3) Pengungkapan bersama yang semakin meningkat (memelihara

ikatan)

4) Mengontrol arti atau makna dari masalah, pembentukan kembali

kognitif dan penilaian pasif

5) Pemecahan masalah keluarga secara bersama-sama

6) Fleksibilitas peran

7) Normalisasi

b. Strategi koping keluarga eksternal

1) Mencari informasi

2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas

3) Mencari dukungan sosial


44

BAB III

PARADIGMA

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka paradigma dalam

penelitian ini adalah :

BBLR

Ruang perawatan bayi

Stres pada
ibu

Koping

Mekanisme Koping

Gambar 1. Paradigma
45

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif dipilih karena penelitian berusaha untuk memahami

dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia

dalam situasi tertentu menurut perspektif sendiri (Saryono, 2011).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan fenomenologis yaitu penulis menaruh perhatian dengan

menekankan pada aspek subjektif perilaku manusia dengan berusaha

masuk ke dalam dunia konseptual subjek agar dapat memahami

bagaimana dan makna apa yang mereka konstruksi di sekitar peristiwa

dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan yang digunakan pada

penelitian ini adalah fenomenologi yang berfokus pada penemuan fakta

yaitu mengenai koping Ibu memiliki Bayi BBLR yang menjalani

perawatan di Ruang Perawatan Bayi. Pendekatan fenomenologi tidak

berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang

yang diteliti. Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak di

permukaan, termasuk pola perilaku manusia hanyalah gejala atau

fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala“ sang pelaku

(Saryono,2011).
46

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak

Pertiwi Makassar. Diharapkan penelitian ini dapat mewakili pengalaman

Ibu yang memiliki Bayi BBLR yang menjalani perawatan di Ruang

Perawatan Bayi. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari

sampai Maret tahun 2013.

C. Populasi dan Partisipan

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang

cirri– cirinya akan diduga. Populasi juga diartikan keseluruhan individu

yang menjadi acuan hasil–hasil penelitian akan berlaku (Subari,

2009).

Populasi dapat bersifat terbatas dan tidak terbatas, dikatakan

terbatas apabila jumlah individu atau objek dalam populasi tersebut

terbatas dalam arti dapat dihitung. Sedangkan bersifat tidak terbatas

dalam arti tidak dapat ditentukan jumlah individu atau objek dalam

populasi tersebut (Hidayat, 2009).

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian peneliti

dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang ditentukan (Zuriah, 2009).
47

Pada penelitian ini populasinya adalah ibu yang memiliki bayi

berat badan lahir rendah (BBLR) yang dirawat di ruangan perawatan

bayi Rumah Sakit Anak dan Ibu Pertiwi Makassar Tahun 2013.

2. Partisipan

Partisipan adalah merupakan bagian dari populasi yang akan

diteliti atau sebagain jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputi

inklusi dan ekslusi, dimana kriteria menentukan dapat dan tidaknya

sampel yang tersebut digunakan (Hidayat, 2009).

Partisipan adalah sebagian dari populasi yang mana ciri-cirinya

diselidiki atau diukur (Subaris, 2009). Pengambilan partisipan

dilakukan dengan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan

non probability sampling (Purposive). Penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dimana teknik untuk menentukan sampel adalah purposive

sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih

sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti,

sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang

telah dikenal sebelumnya. Purposive sample digunakan dengan

tujuan untuk merinci kekhususan yang ada dalam sekelompok

populasi dan juga menggali informasi yang menjadi dasar dari

rancangan dan teori yang muncul. Sampel yang memenuhi kriteria


48

yang telah ditetapkan peneliti untuk selanjutnya disebut partisipan

(Saryono, 2011).

Teknik ini adalah teknik penentuan sampel dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam

penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan

informasi yang berharga bagi peneliti dengan harapan terjadi saturasi

data dengan jumlah partisipan sudah mewakili. Partisipan kecil

merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan

kualitatif penekanan pemilihan partisipan diharapkan kualitasnya

bukan jumlahnya (Sarwono, 2006).

Fokus penelitian kualitatif adalah kedalaman dan proses

sehingga pada penelitian ini jumlah partisipan yang sedikit (5-8

partisipan). Pada penelitian ini yang menjadi partisipan penelitian

yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Hal ini

yang dikemukakan oleh Dukes (1984) yang merekomendasikan

jumlah partisipan yang relatif kecil (kurang dari 10 partisipan) untuk

studi fenomenologi dengan mempertimbangkan kemampuan peneliti

untuk menggali secara mendalam pengalaman hidup individu

dimungkinkan optimal dengan partisipan yang relatif kecil (Saryono,

2011).

Penentuan partisipan dalam penelitian ini berdasarkan

beberapa pertimbangan yaitu pertama karena penelitian ini berbentuk


49

kasus, partisipan penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat

mendukung kedalaman hasil penelitian yang tidak terlalu besar di

samping itu pertimbangan keterbatasan kemampuan, waktu dan

dana. Kedua, partisipan penelitian dipilih secara purposive sesuai

dengan tujuan penelitian dan berdasarkan parameter–parameter

penarikan partisipan yang terdiri atas latar, pelaku, pertistiwa, proses.

Ketiga penentuan jumlah partisipan dianggap telah mencapat saturasi

(Saryono, 2011).

Penelitian kriteria partisipan sangat membantu peneliti untuk

mengurangi bias hasil penelitian. Kriteria partisipan dapat dibedakan

menjadi dua bagian yaitu : inklusi dan eksklusi (Nursalam, 2009).

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian

pada populasi target dan pada populasi terjangkau dan akan

diteliti. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah:

1) Ibu yang memiliki bayi dengan berat badan kurang dari 2500

gram yang menjalani perawatan intensif di ruang perawatan

bayi BBLR di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar.

2) Ibu yang memiliki bayi dengan BBLR yang memiliki lama

rawat 2 hari di ruang perawatan bayi Rumah Sakit Ibu dan

Anak Pertiwi Makassar.


50

3) Bersedia menjadi partisipan dengan cara mengisi pernyataan

dan menandatangani lembar persetujuan, setelah dibaca dan

dijelaskan mengenai tujuan penelitian oleh peneliti.

b. Kriteria ekslusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan / mengeluarkan

subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai

sebab . Kriteria eksklusinya adalah:

1) Ibu yang pernah memiliki bayi BBLR yang dirawat di ruang

perawatan bayi

2) Ibu yang tuli dan bisu

Adapun tehnik pengambilan partisipan yang digunakan dalam

penelitian ini selain purposive sampling yaitu teknik pengambilan

partisipan dengan menggunakan snowball sampling. Tehnik ini

ditambahkan dalam penelitian ini untuk mengurangi adanya hasil

yang didapatkan secara berulang.

D. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang diungkapkan dalam penelitan ini adalah bersifat

skematik, narasi dan uraian juga penjelasan data dari partisipan baik

lisan maupun dokumen yang tertulis, perilaku subjek yang diamati di

lapangan juga menjadi data dalam pengumpulan hasil penelitian ini dan

berikutnya dideskripsikan sebagai berikut :


51

1. Rekaman Audio

Dalam melakukan penelitian ini, maka peneliti merekan

wawancara dengan menggunkan alat bantu berupa tape recorder

(alat perekam) yaitu handphone yang mempunyai perekam suara

yang dilakukan pada beberapa ibu yang memiliki Bayi BBLR yang

menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi yang diangggap

perlu untuk dikumpulkan datanya, dari data hasil rekaman tersebut

maka dideskripsikan dalam bentuk transkip wawancara (Satori &

Aan, 2010).

2. Catatan lapangan

Dalam membuat catatan lapangan, maka peneliti melakukan

prosedur dengan mencatat seluruh peristiwa yang benar–benar

terjadi di lapangan penelitian dan hal ini berkisar pada isi catatan

lapangan, model dan bentuk catatan lapangan, proses penulisan

catatan lapangan. Salah satu cara merekam data lapangan yang

lengkap adalah dengan menyiapkan buku catatan atau lembar

observasi dengan mencatat kata–kata penting dari partisipan (Satori

& Aan, 2010).

E. Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti sebagai instrumen penelitian serasi

untuk penelitian serupa karena peneliti sebagai alat peka dan dapat

bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus


52

diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. Dan Peneliti sebagai

alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat

mengumpulkan aneka ragam data sekaligus Instrumen atau alat dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Hal ini dikarenakan peneliti

menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian, sebagai

perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan juga

pelapor hasil penelitiannya (Saryono , 2011).

Sebagai “Key instrument” peneliti membuat sendiri seperangkat

alat bantu berupa tape recorder (alat perekam) untuk merekam informasi

dari partisipan, pedoman wawancara untuk membantu peneliti dalam

mengajukan pertanyaan yang berorientasi pada tujuan penelitian, serta

catatan lapangan yang dibuat pada saat wawancara dan yang dibuat

sesudah atau di luar wawancara (Satori & Aan, 2010).

F. Metode Pengumpulan Data

Perolehan data penelitian yang luas serta mendalam, maka

upaya yang dilakukan melalui:

1. Observasi tak berstruktur

Observasi tak berstruktur adalah instrument observasi tidak

dipersiapkan secara sistematis dari awal karena peneliti belum tahu

pasti apa yang akan terjadi, jenis data apa yang akan berkembang

dan dengan cara apa data baru itu paling sesuai untuk dieksplorasi

(Satori & Aan,2010).


53

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu

oleh dua belah pihak yaitu pewawancara (interviewer) sebagai

pengaju atau pemberi jawaban atas pernyataan dan yang

diwawancarai (interviewer) sebagai pemberi jawaban atas

pertanyaan itu (Basrowi, 2008).

Teknik wawancara yang akan digunakan adalah secara

tidak berstandar (unstructured interview) dimana pelaksanaanya lebih

bebas dan termasuk dalam kategori indepth interview yaitu

wawancara mendalam dengan menggunakan tape recorder dan

catatan lapangan. Di mana partisipan mendapatkan kebebasan dan

kesempatan untuk mengajukan pikiran, pandangan dan perasaan

secara natural. Tujuan wawancara jenis ini adalah untuk menemukan

permasalahan lebih terbuka (Satori & Aan, 2010).

Wawancara akan dilakukan sekitar 30 menit-45 menit, hasil

wawancara akan direkam sesegera mungkin akan ditulis dalam suatu

transkip wawancara selesai dilakukan.

G. Analisa Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan

dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti


54

yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari

hubungan di antara dimensi-dimensi uraian (Sugiono, 2008).

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan

dan bahan-bahan lain, sehingga dapat dipahami dan temuannya dapat

diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang

akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada

orang lain (Sugiono, 2008).

Analisa data diartikan sebagai proses pencandraan (description)

dan menyusun transkrip interview serta material lain yang telah

terkumpul. Analisa data dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik

analisa kualitatif. Teknik ini menggunakan proses berpikir induktif, artinya

dalam pengujian hipotesis bertitik tolak dari data yang terkumpul

kemudian disimpulkan. Biasanya teknik ini digunakan untuk menganalisa

data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan diskusi kelompok

(Sugiono, 2008).

Proses analisa data dilakukan secara simultan dengan proses

pengumpulan data. Menurut Saryono (2011), adapun proses analisa

data menggunakan langkah–langkah adalah sebagai berikut:


55

1. Memiliki gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti yaitu

koping ibu yang memiliki Bayi BBLR yang manjalani perawatan di

Ruang perawatan Bayi.

2. Mengatur data yang diperoleh yaitu hasil wawancara dengan

partisipan mengenai koping ibu memiliki Bayi BBLR yang menjalani

perawatan di Ruang Perawatan Bayi, transkripsi dilakukan dengan

cara merubah dari rekaman suara menjadi bentuk tertulis secara

verbatim dan hasil catatan lapangan yang dibuat selama proses

wawancara terhadap partisipan sebagai tambahan untuk analisa

selanjutnya. Proses transkripsi dibuat setiap selesai melakukan

wawancara dengan satu partisipan dan sebelum wawancara dengan

partisipan yang lain.

3. Membaca hasil transkripsi secara berulang–ulang sebanyak 4–5 kali

dari semua partisipan agar peneliti lebih memahami pernyataan–

pernyataan partisipan tentang koping ibu yang memilki Bayi BBLR

yang menjalani perawatan di Ruang perawatan Bayi.

4. Membaca transkip untuk memperoleh ide yang dimaskud partisipan

yaitu berupa kata kunci dari setiap pernyataan partisipan yang

kemudian diberi garis bawah pada pernyataan yang penting agar bisa

dikelompokkan.

5. Menentukan arti setiap pernyataan yang penting dari semua

partisipan dan pernyataan yang berhubungan dengan koping ibu


56

yang memiliki Bayi BBLR yang menjalani perawatan di Ruang

Perawatan Bayi.

6. Melakukan pengelompokan data ke dalam berbagai kategori untuk

selanjutnya dipahami secara utuh dan menentukan tema–tema

utama yang muncul .

7. Peneliti mengintegrasikan hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk

deskripsi naratif mendalam tentang koping ibu yang memiliki Bayi

BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan bayi .

8. Peneliti kembali ke partisipan untuk mengklarifikasi data hasil

wawancara berupa transkip yang telah dibuat kepada partisipan

untuk memberikan kesempatan kepada partisipan menambahkan

informasi yang belum diberikan pada saat wawancara pertama atau

ada informasi yang tidak ingin dipublikasikan dalam penelitian.

9. Data baru yang diperoleh saat dilakukan validasi kepada partisipan

digabungkan kedalam transkip yang telah disusun peneliti

berdasarkan persepsi partisipan, pada langkah ini peneliti

mendapatkan data baru yang digabungkan pada hasil wawancara.

H. Tingkat Kepercayaan Data

Karena yang dicari adalah kata–kata, maka tidak mustahil ada

kata–kata yang keliru yang tidak sesuai antara yang dibicarakan dengan

kenyataan sesungguhnya. Hal ini bisa dipengaruhi oleh kredibilitas

partisipannya, waktu pengungkapan, kondisi yang dialami dan


57

sebagainya. Maka peneliti perlu melakukan trianggulasi data yaitu

pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu.

Sehingga ada trianggulasi dari sumber atau partisipan, trianggulasi dari

teknik pengumpulan data dan trianggulasi waktu (Satori & Aan, 2010).

1. Trianggulasi sumber

Cara meningkatkan kepercayaan penelitian ini adalah

dengan mencari data dari sumber yang beragam yang masih terkait

satu sama lain. Peneliti perlu mengecek kebenaran data dari sumber

yang beragam. Pengujian ini dilakukan pada partisipan dan

keluarganya.

2. Trianggulasi teknik

Trianggulasi teknik adalah penggunaan beragam teknik

pengungkapan data yang dilakukan kepada sumber data. Menguji

kreadibilitas data dengan trianggulasi teknik yaitu mengecek data

kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Pengujian

penelitian ini dilakukan dengan data yang telah diungkapkan tentang

koping ibu yang memiliki Bayi BBLR yang menjalani perawatan di

Ruang Perawatan Bayi dengan teknik wawancara lalu dicek dengan

observasi tidak berstruktur. Bila ternyata diperoleh situasi yang

berbeda maka peneliti perlu melakukan diskusi lebih lanjut dengan

sumber data atau yang lain untuk memastikan data yang dianggap

benar.
58

3. Trianggulasi waktu

Peneliti dapat mengecek konsistensi, kedalaman dan

ketepatan atau kebenaran suatu data dengan melakukan trianggulasi

waktu. Menguji kredibilitas data dengan trianggulasi waktu dilakukan

dengan cara mengumulkan data pada waktu yang berbeda. Peneliti

yang mewawancarai partisipan disore hari, mengulangi kembali

dipagi hari dan mengecek kembali di siang hari dan dikontrol lagi sore

atau malam hari (Satori & Aan, 2010).

I. Masalah Etika

Dalam hal ini peneliti menggunakan subjek penelitian pada ibu

yang memiliki bayi BBLR yang mengalami perawatan di ruangan

perawatan bayi Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar. Setelah itu

peneliti menemui subjek yang akan dijadikan partisipan. Menurut Hidayat

(2010) ada empat etika penelitian yaitu :

1. Lembar Persetujuan menjadi partisipan

Lembar persetujuan ini diberikan pada partisipan yang akan

diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian

dan mafaat penenlitian, partisipan mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi.
59

2. Anonimity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan

kode.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang telah didapat peneliti dari

responden dan dijamin kerahasiaannya.

4. Protection from discomport

Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang

menjadi partisipan, baik risiko maupun psikis. Selama pengambilan

data, peneliti akan berusaha menjaga kenyamanan partisipan

dengan melakukan wawancara di tempat yang di inginkan partisipan

dan waktu yang ditentukan oleh partisipan .


60

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Peneliian ini dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar

Sulawesi Selatan yang dilakukan selama 29 hari dari tanggal 14 Februari

2013 sampai 14 Maret 2013. Penelitian ini diawali dengan pengambilan data

partisipan dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi Makassar yang hendak

dijadikan partisipan sesuai dengan kriteria inklusi. Setelah didapatkan data,

peneliti mencari ruangan partisipan tempat mereka mengalami perawatan,

sehingga peneliti dapat bertemu dengan partisipan untuk selanjutnya dapat

membuat kontrak dengan partisipan untuk melakukan wawancara mendalam

(in-depth interview). Pelaksanaan wawancara dilakukan di Rumah Sakit,

wawancara dilakukan dengan mempersiapkan alat perekam, alat tulis,

kamera dan pedoman wawancara yang telah disusun oleh peneliti sesuai

tujuan penelitian. Wawancara dengan partisipan dilakukan selama 30-45

menit.

Jumlah partisipan yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 8

partisipan, tetapi karena didroup uot sebanyak 3 orang dengan alasan tidak

lancar dan tidak terbuka dalam menceritakan pengalamannya. Jadi yang

dijadikan partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 5 partisipan.

Partisipan ini betul–betul menyatakan yang sebenar–benarnya karena


61

penelitian ini mempunyai tingkat kepercayaan data yaitu peneliti

menggunakan trianggulasi yang terdiri atas trianggulasi sumber atau

partisipan, trianggulasi teknik pengumpulan data dan trianggulasi waktu.

Bab ini menjelaskan berbagai pengalaman ibu yang memiliki bayi

BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi. Hasil penelitian

ini menghasilkan 4 tema utama yang menggambarkan suatu fenomena

pengalaman ibu yang memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan di

Ruang Perawatan Bayi. Pada bab ini terdapat dua bagian, yaitu bagian

pertama menceritakan secara singkat gambaran karakteristik partisipan yang

terlibat dalam penelitian ini. Bagian kedua membahas analisis tematik

tentang pengalaman ibu yang memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan

di Ruang Perawatan Bayi.

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Karakteristik Partisipan

Semua partisipan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki

Bayi BBLR. Penelitian ini dilakukan terhadap 5 orang ibu yang

selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai partisipan (P-1, P-2,

P-3, P-4 dan P-5). Partisipan dalam penelitian ini memiliki

pengalaman yang pertama dalam memiliki bayi yang dirawat di Ruang

Perawatan Bayi. Partisipan dalam penelitian ini sudah memenuhi


62

saturasi data. Penelitian ini dilakukan terhadap 5 orang ibu dengan

kriteria khusus sebagai berikut :

P1

Initial nama NW, 30 tahun, agama islam, suku bugis Makassar,

pendidikan S1, pekerjaan Guru, sudah menikah dan alamat di

Toddopuli Makassar Sulawesi Selatan.

P2

Initial nama FT, 26 tahun, agama islam, suku bugis Makassar,

pendidikan SMA, pekerjaan IRT sudah menikah dan alamat

Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

P3

Initial nama PN, 30 tahun, agama islam, suku bugis Makassar,

pendidikan S1, pekerjaan Guru, sudah menikah dan alamat Baji

Minasa Makassar Sulawesi Selatan.

P4

Initial nama BT, 31 tahun, agama islam, suku bugis Makassar,

pendidikan SMA, pekerjaan IRT, sudah menikah dan alamat Antang

Makassar Sulawesi Selatan.

P5

Initial nama HS, 24 tahun, agama islam, suku bugis Makassar,

pendidikan S1, pekerjaan IRT, sudah menikah dan alamat Malakaji

Makassar Sulawesi Selatan.


63

Tabel 5. 1 Karakteristik Partisipan

Karakteristik Partisipan
P-I P-2 P-3 P-4 P-5

Inisial NW FT PN BT HS

Umur 26 31 30 tahun 31 tahun 24 tahun

Agama Islam Islam Islam Islam Islam

Status Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah


perkawinan
Pendidikan S1 SMA S1 SMA S1
terakhir
Pekerjaan Guru IRT IRT IRT IRT

BB bayi 1700 Kg 2300 Kg 2400 Kg 1850 Kg 2100 Kg

Lama Rawat 2 hari 2 hari 2 hari 2 hari 2 hari

Waktu bayi Februari Februari Februari Februari Februari


dirawat 2013 2013 2013 2013 2013

2. Analisis Tema

Penelitian menemukan 4 tema utama yang memaparkan

berbagai pengalaman ibu yang memiliki Bayi BBLR yang menjalani

perawatan di Ruang Perawatan Bayi . Tema – tema tersebut (1) Sumber

Stres, (2) Respon Stres, (3) Sumber Koping , (4) Mekanisme Koping.

Tema-tema ini dihasilkan dari penelitian ini dibahas secara

terpisah untuk mengungkapkan makna atau arti dari berbagai

pengalaman partisipan. Namun tema-tema tersebut saling berhubungan


64

satu sama lainnya untuk menjelaskan suatu esensi pengalaman ibu yang

memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi

Sakit.

1. Sumber Stres

Sumber stres dalam hai ini adalah sumber stres ibu yang

memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan

Bayi. Semua partisipan menyatakan bahwa ada beberapa hal yang

dianggap sebagai penyebab timbulnya stres selama bayi dari

partisipan dirawat di Ruang Perawatan Bayi. Penyebab timbulnya

stres ini yang biasanya dianggap sebagai sumber stres yaitu:

a. Kondisi bayi selama masa perawatan

Kondisi bayi selama masa perawatan menjadi salah satu

sumber stres partisipan yang memiliki bayi BBLR yang menjalani

perawatan di Ruang Perawatan Bayi. 5 partisipan yaitu P-1, P-2,

P-3, P-4, P-5 menyatakan bahwa kondisi bayi selama masa

perawatan membuat partisipan merasa cemas. Pernyataan

partisipan dapat dilihat sebagai berikut :

“ sudah kecilmi badannya , lemaski juga kuliat ” (P-1)


“nabilang orang bayi yang prematur itu susah naik berat
badannya itumi yang kasi takutka karena tidak kutau apami nanti
itu kulakukan untuk anakku” (P-1)

“ ….yang saya pikirkan kalau saya pulang jelas tidak pulang dia
toh, apakah naikji berat badanya setelah itu atau menurun dan
saya baru mau merawat anak yang kayak begini”(P-2)
65

“takut kalau keluar nanti na tidak naik-naik berat badannya” (P-2)

“ liat ada selang dimulutnya, tidak tegaka liatki de” (P-2)

“bayinya kayak lemas sekali” (P-2)

“sedih de,.kah ini anak pertama kami jadi belum tau apa-apa
tentang merawat bayi apalagi ini berat badannya rendah jadi
pikirannya itu bertanya – tanya bagaimanmi ini apami yang
harus saya lakukan …. “ (P-3)

“…. Ditambah lagi bayinya harus pisah dengan saya” (P-3)

“ ….iya de, maunya itu janganki dipisah kah masih kecil sekali
“ (P-4)

“ kalau kuliat bayiku kayak mau jatuh air mataku, kecilki baru
belumpi bisa menete” (P-4)

“ semoga bayinya tidak kenapa – kenapa” (P-4)

“ bayinya itu kecil sekali “ (P-5)

“ belum lagi kalau bayinya menangis kasianka liatki” (P-5)


b. Lingkungan di dalam Ruang Perawatan

Sumber stres para partisipan juga datang dari lingkungan.

Partisipan 1 (P-1) menyatakan merasa aneh pada lingkungan

didalam perawatan bayi dan merasa takut terhadap peralatan yang

begitu banyak. Partisipan 2 (P-2) menyatakan bahwa merasa takut

karena ada selang dimulutnya sehingga tidak bisa makan atau

minum. Partisipan 3 (P-3) mengatakan juga kalau ruangan itu

masih asing bagi dia, partisipan 4 (P-4) mengatakan kalau ruangan

itu yang selalu membuatnya takut akan keadaan anaknya

sedangkan partisipan 5 (P-5) juga mengatakan hal yang sama yaitu


66

takut dengan keadaan ruangan tempat bayinya sekarang karena

banyak peralatan didalam. Pernyataan partisipan dapat dilihat

sebagai berikut :

“ Ya takut karena peralatannya banyak ” (P-1)


“Takutlah juga, didalam ruangan itu banyak peralatan-peralatan
aneh, takut bayi kenapa-kenapa ” (P-2)
“ …..takut juga karena ada selang dimulutnya takutnya gara –gara
itu tidak bisa makan atau minum” (P-2)
“ saya belum terlalu tau itu de ruangan tempat anak saya dibawah
banyak alat –alat yang aneh “ (P-3)
“aduh de, itu kalau pulangka dari liat bayiku diatas selaluka pikirki
karena disamping-sampingnya banyak alat-alat tapi selaluja juga
bilang tidak apa-apaji itu karena banyakji bidan “ (P-4)
“ karena baruka juga masuk diruangan itu jadi takutka liat anakku
disampingnnya ada tabung-tabung, kabel ditambah lagi kalau kulitki
menangis anakkku“ (P-5)
c. Keinginan bersama dengan bayi

Sumber stress ketiga partisipan adalah keinginan bersama

dengan bayinya. Partisipan yaitu P-1, P-4 dan P-5 menyatakan

bahwa selama bayi dirawat di Ruang Perawatan Bayi timbul

perasaan ingin untuk dapat menggendong dan mendekap bayi

mereka tetapi tidak bisa karena bayi harus menjalani perawatan

di Ruang Perawatan Bayi. Pernyataan partisipan dapat dilihat

sebagai berikut:
67

“ ya begitulah de, biasanya kan kalau sudah melahirkan orang


maunya ketemu dengan bayinya dan menggedongnya seperti ibu-
ibu yang lainnya tapi karena begini saya hanya bisa ketemu dengan
bayiku kalau sudah masuk siang ” (P-1)

“ mauku itu saya janganki dipisah “ (P-4)

“ kalau saya masuk didalam ruangan itu tidak mauka kurasa keluar
mauka disitu terus sama dia, gendongki, pelukki juga “ (P-4)

“….ini anak pertamaku de ,pertama lagi harus dipisah tapi begitumi


mauka juga gendongki lama – lama kalau perlu cepatmi keluar dari
ruangan itu dan pulang kerumah “ (P-5)

2. Respon Stres

Individu akan menunjukkan respon terhadap stres yang

dialaminya, baik secara fisiologis maupun psikologis. Respon stres

yang dialami partisipan itu adalah reaksi emosi.

Reaksi emosi

1) Perasaan takut

Respon stres pertama yang dialami partisipan adalah

perasaan takut, partisipan yaitu P-1, P-2, P-3, P-4 dan P-5

menyatakan bahwa merasa takut karena kondisi bayi selama

masa perawatan di Ruang Perawatan Bayi yang tidak pasti.

Pernyataan partisipan dapat dilihat sebagai berikut :

“Takut kalau bayi kenapa-kenapa de, samping kiri kananya


banyak alat – alat aneh” (P-1)

“…setiap kali kalau sudah waktu jam jenguknya untuk ke


bawah itu selalu deg-degkan , apa bayinya bertambah baik
atau tidak” (P-2)
68

“takut nanti de kalau berat badannya itu tidak naik-naik ” (P-3)

“ setiap ibu yang punya bayi dirungan itu pastimi takut, bayinya
itu berbedaki sama bayinya ibu–ibu yang lain. Apalagi didepan
ruangan itu tertulis ruang bayi sakit ” (P-4)

“takut juga de, kalau bayinya kenapa – kenapa apalagi dia


belum bisa menyusu toh ” (P-5)

2) Perasaan sedih

Respon stres lain yang ditunjukkan oleh partisipan

yaitu adanya reaksi emosi berupa rasa sedih saat

melihat kondisi bayi dan penyesalan karena telah

melahirkan bayi yang memiliki BB kurang dari normal,

hal ini dinyatakan oleh partisipan 1 dan partisipan 2 (P-1

dan P-2). Selain itu partisipan P-3, P-4, P-5 menyatakan

bahwa sedih melihat anaknya dalam keadaan seperti itu

dan menyesal tidak melakukan yang terbaik sebelum

anaknya dilahirkan. Pernyataan partisipan dapat dilihat

sebagai berikut :

“.sempat menyesal karena itu hari nabilang mamaku jangami


itu terlalu sibuk apalagi buka lest privat tapi kubilang biarmi
begitu tidak apa-apaji itu tapi jadinya begini saya melahirkan
tapi bulannya tidak cukup de ” (P-1)

“ dokter saya memang sudah bilang begitu jadi sebelum lahir


memang sudah tahu kalau berat badan nanti bayinya ini
kurang jadi di suruh oleh dokter untuk mengkomsumsi gizi
yang banyak dan minum susu tetapi pas lahir berat badannya
tetap kurang jadi maumi diapa. Pasrah saja ” (P-2)
69

“sedih sekali , itu juga salah saya tidak mejaga baik-baik


kesehatannku waktu hamil …. banyak kuurus ” (P-3)

“ibu mana de yang tidak sedih melihat anaknya yang seperti


itu ,apalagi ini bayi pertamaku ” (P-4)

“sedih sih sedih tapi kita juga tidak bisa menyalahkan siapa-
siapa apalagi yang diatas , cukup sabar saja” (P-5)

“kalau masukka itu de didalam kasianka liatki , tidak bisapi


kuliat apa-apa bayiku” (P-5)
3. Sumber Koping

Partisipan menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat

membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi pada saat

bayinya di Rumah Sakit baik dukungan internal dan dukungan

eksternal.

a. Dukungan eksternal

1) Suami

Suami merupakan pemberi dukungan yang utama, hal

ini diungkapkan oleh semua partisipan. Partisipan 1 yaitu P-1

menyatakan bahwa suaminyalah yang selalu sibuk mengurus

untuk keperluan anaknya, partisipan 2 (P-2) menyatakan bahwa

suami juga berperan membantu partisipan untuk pengambil

keputusan, partisipan 3, 4 dan 5 (P-3, P-4 dan P-5) mengatakan

pula kalau suaminyalah yang memberikan dukungan penuh

sampai harus menunggu bayi di Ruang Perawatan setiap hari.

Pernyataan partisipan dapat dilihat sebagai berikut :


70

“ pemberi dukungan pertama itu pastilah suami de, diami itu


kodong pergi urus sana sini untuk anaknya. Trus namanjakan
sekalika ” (P-1)

“ suamikumi itu de penyemangatku, sampe- sampe dia rela tiap


hari didepan ruangan anaknya takutnya ada apa-apa . Diami juga
yang kalau ada apa-apa dia yang langsung bertindak ” (P-2)

“ suamilah yang kasi dukungan sampe saya bisa tegar de, diami
itu tidak mau makan kalau belummpi naliat anaknya ” (P-3)

“ meskipun ada orang lain de disampngku tapi kalau adaki


suamiku beda mentongki rasanya kayak bagaimana di …begitulah
… dia itu pagipi baru nyenyak tidur kodong kah malam begadangki
diatas tunggui anaknya ” (P-4)

“ suamilah de, diami itu yang selalu kasikka dukungan, na bilang


insyaallah bisaji itu sehat anakta janganmi khawatir . Diami juga
yang selalu tunggui anaknya kalau saya naik lagi kesini ” (P-5)

2) Dukungan keluarga

Partisipan menyatakan bahwa selain dari suami juga

mendapatkan dukungan dari keluarga. Partisipan P-1

menyatakan bahwa selain suami, ada bapak dan kakak yang

selalu memberi support, partisipan P-2, P-3, P-4, P-5 menyatakan

mendapatkan support juga dari keluarga besarnya ada ibu,bapak,

mertua, saudara dan sepupu. Pernyataan partisipan dapat dilihat

sebagai berikut :
71

“.katanya bapak sama adik bilang kalau sudah jadi ibu itu harus
tegar ” (P-1)

“ mau tiap hari de datang keluargaku dari bulukumba ta’ satu-


satuki datang . Dia hanya pesan istrahatki yang cukup janganki
terlalu pikirkanki bayita insyaallah cepatji itu keluar ” (P-2)

“semua kelurgaku bilang sabar, ikhlas dan banyak – banyak


berdoa ” (P-3)

“ semua keluarga lah de terutama ibu keduaku diami itu yang


selalu singgah disini liatka kalau pulangki dari kantornya ”

(P-4)

“keluarga juga de…. na bilang bapak, ibu sama mertuaku


sabarki na’ , insyaallah tidak apa-apaji itu, dua atau tiga hari
sudah naikmi beratnya itu anakmu” (P-5)

b. Dukungan internal

Motivasi partisipan itu sendiri

Hal yang dapat membantu untuk mengurangi adanya

stres juga dapat berasal dari dalam diri individu yang mengalami

stres. Adanya motivasi dari dalam diri individu juga sangat

membantu apabila terjadi kondisi stres. Partisipan yaitu P-3,

P-4, P-4 menyatakan bahwa motivasi dari dalam dirinya yaitu

berusaha untuk berdoa dan pasrah. Pernyataan partisipan

dapat dilihat sebagai berikut :

“ kan ini anak pertamaku kodong jadi saya akan lakukan apapun
itu demi anak saya masa dia rela bertahan hidup di bawah baru
saya juga tidak berusaha tegar, semoga bisaja bawaki cepat
pulang, sabarmi saja sama turuti apa yang na bilang bidan
dibawah” (P-3)
72

“ serahkan semunya pada yang diatas, kita harus tetap berdoa


jangan putus asa ” (P-4)
“pasrah saja de sama berdoa yang jelas segala sesuatunya itu
pasti ada jalan keluarnya toh de ” (P-5)
4. Mekanisme koping

Partisipan menyatakan ada beberapa cara untuk

mengurangi rasa sedih dan stres. Cara mengatasi stres partisipan

sebagai berikut :

a. Bercanda dengan suami, menonton dan mengobrol

Cara semua partisipan hampir sama mereka

menyatakan bahwa bercanda dengan suami, nonton TV dan

mengobrol dengan sesama orang di Ruangan Perawatan Bayi

dapat mengurangi rasa sedihnya sedikit demi sedikit atau

mengurangi rasa stres yang dialaminya. Pernyataan partisipan

dapat dilihat sebagai berikut :

“ ya kalau lagi di ruangan ini de biasanya cerita- cerita sama


ibu – ibu yang ada disampingku yang memiliki nasib yang
sama dengan saya ” (P-1)
“ kalau lagi sedih biasanya cerita sama suami terus bahas
yang lucu-lucu ” (P-2)
“ biasanya bercanda sama suami , saling gombal – gombal
begitu…..” (P-3)
“ paling nonton TV kalau lagi sendiri kerana suami lagi keluar,
atau bicara dengan ibu – ibu disamping saya ” (P-4)
“ kalau lagi sedih biasanya maunya sama suami terus cerita
atau bercanda” (P-5)
73

b. Upaya partisipan untuk bayinya

Selama bayi menjalani perawatan di Ruang Perawatan

Bayi, partisipan menyatakan bahwa akan melakukan apa saja agar

bayi mereka dapat selamat dan sehat serta cepat keluar dari

Ruangan perawatan Bayi itu. Semua partisipan menyatakan

bahwa selalu terfokus dengan kesembuhan bayi dan tidak perduli

dengan hal lain. Pernyataan partisipan dapat dilihat sebagai

berikut :

“saya akan melakukan apapun itu supaya anakku cepat pulang ke


rumah dan berat badannya naik, semoga dia bisa tumbuh jadi
anak yang bisa merubah nasib keluarganya ” (P-1)
“ sebagai seorang ibu de pasti akan berusaha sebisa mungkin
untuk kebaikan anaknya ” (P-2)
“ tidak ada ibu yang tidak mau melihat anaknya tumbuh besar dan
sehat , pasti mau semua , kalau bisa diganti sayama yang sakit
janganmi dia , masih kecil kodong ” (P-3)
“ apapun itu de kami akan melakukannya untuk kesehatan anak
kami biarpun pembayarannya mahal atau bagimanayang jelas
bisa keluar cepat anakku ” (P-4)
“serahkan semunya pada yang diatas, kita harus tetap berdoa
jangan putus asa” (P-4)
“ kami akan melakukan yang terbaik untuk anak kami, semoga
nanti dia bisa tumbuh jadi anak yang bisa berbakti kepada orang
tua ” (P-5)
74

B. PEMBAHASAN

1. Sumber Stres

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima partisipan

yaitu P-1, P-2, P-3, P-4 dan P-5 dapat disimpulkan bahwa ibu

memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan di Ruang Perawatan

bayi memiliki banyak sumber stres. Sumber stres itu berasal dari

kondisi bayi selama perawatan, lingkungan dan keinginan bersama

dengan bayi.

Sumber stres yang pertama dalam penelitian ini adalah kondisi

bayi selama perawatan. Semua partisipan mengatakan kalau kondisi

bayilah yang menyebabkan stres itu muncul yaitu karena berat badan

bayinya yang rendah, ukuran bayinya yang kecil, kondisi bayi yang

lemah, ditambah lagi dengan adanya pemasangan alat–alat di tubuh

bayi (pemasangan sonde di mulut bayi) yaitu pada bayi partisipan 2

(P-2), hal ini disebabkan karena reflex mengisap dan menyusu bayi

tersebut belum sempurna. Kondisi inilah yang mengharuskan bayi

BBLR tersebut dimasukkan dalam inkubator.

Hasil penelitian ini selaras dengan teori Siti & Asrining yaitu

selama bayi BBLR dirawat di ruang perawatan bayi mungkin bayi

akan mendapatkan banyak prosedur kesehatan, oleh karena itu akan

banyak peralatan, seperti monitor, inkubator dan kabel-kabel yang

dikenakan pada tubuh bayi. Hal ini membuat kondisi bayi dapat
75

sering berubah, kondisi bayi dapat membaik atau memburuk.

Masalah kondisi dan kemampuan bayi BBLR seringkali menimbulkan

rasa cemas dalam diri kebanyakan orang tua. Para orang tua

khawatir jika kondisi bayi menjadi memburuk dan bahkan khawatir

jika bayinya meninggal (Siti & Asrining, 2003).

Sumber stres yang kedua dalam penelitian ini adalah

lingkungan, dimana dalam penelitian ini semua partisipan

mengatakan bahwa karena ketidaktahuan mereka, lingkungan yang

baru mereka lihat dan baru mengalami hal yang seperti ini yang

menjadi alasan kenapa lingkungan dijadikan sebagai sumber stres.

Kondisi asing pada ruangan tersebut dapat menimbulkan ketakutan

tersendiri bagi para partisipan. Banyaknya alat pemantau, berbagai

tabung dan kabel yang mungkin terpasang pada tubuh bayi

memberikan rasa takut tersendiri bagi para partisipan. Ada partisipan

yang menyatakan bahwa dengan begitu banyaknya peralatan yang

terpasang membuat partisipan tidak tega melihat bayinya.

Hasil penelitian ini selaras dengan pernyataan Kaplan bahwa

orang yang berada di tempat asing ternyata lebih mudah mengalami

stres (Kaplan,1998).

Sumber stres yang ketiga adalah karena adanya keterpisahan

antara ibu dan bayinya dalam penelitian ini partisipan mengatakan

bahwa keinginannya bersama dengan anaknya atau penolakan


76

mereka jika harus dipisah dengan bayinya, kemauan untuk

menggendongnnya serta membawa bayinya cepat pulang ke rumah.

Dari semua keinginan-keinginan yang tidak tercapai merupakan

penyebab timbulnya stres pada partisipan.

Hasil penelitian selaras dengan pernyataan Potter bahwa

adanya perawatan bagi bayi membuat bayi terpisah dengan

partisipan. Banyak ibu yang membayangkan adanya banyak hal yang

menyenangkan ketika bayi telah lahir, seperti menggendong dan

mendekap bayi. Orang tua mungkin akan merasakan kesedihan atas

hilangnya masa pasca melahirkan yang manis, ketika orang tua

lainnya bisa dekat dengan bayinya sendiri (Potter & Patricia, 2005).

Hasil yang didapat dari penelitian ini juga hampir sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Lee di Taiwan tentang pengalaman

wanita Taiwan menjadi ibu dari BBLSR preterm juga menyebutkan

bahwa memiliki bayi preterm merupakan pengalaman krisis yang

tidak terduga (Lee, 2008).

2. Respon Stres

Dari hasil wawancara dari kelima partisipan yaitu partisipan P-1,

P-2, P-3, P-4 dan partisipan P-5 mengatakan bawah adanya sumber

stressor seperti kondisi bayi, lingkungan dan keinginan bersama

dengan bayi menyebabkan respon stres pada partisipan yaitu respon

emosi, dimana respon emosi disini adalah adanya perasaan takut


77

terhadap kondisi bayi partisipan, persaan sedih dimana partisipan

melihat bayinya dirawat di Ruang Perawatan Bayi dan partisipan juga

merasakan penyesalan karena telah melahirkan bayi yang memiliki

berat badan rendah dan kurang sehat sehingga harus menjalani

perawatan .

Hasil penelitian ini selaras dengan pernyataan yang disebutkan

oleh Iscaas bahwa cemas atau ansietas adalah reaksi emosi yang

timbul oleh penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat

menimbulkan perasaan tidak nyaman. Cemas dapat berupa perasaan

khawatir, perasaan tidak enak, tidak pasti, atau merasa sangat takut

sebagai akibat dari suatu ancaman atau perasaan yang mengancam

dimana sumber nyata dari kecemasan tersebut tidak dapat diketahui

dengan pasti (Iscaas,1996).

Stres sifatnya universality yaitu umum semua orang sama dapat

merasakannya tetapi cara pengungkapannya yang berbeda. Sesuai

dengan karakteristik individu maka responnya terhadap stres

berbeda-beda untuk setiap orang. Respon stres dapat berupa

fisiologis dan psikologis (Rasmun, 2004).

Respon stres dapat berupa fisiologis dan psikologis. Ketika

terjadi stres, seseorang menggunakan energi fisiologis dan psikologis

untuk berespon dan mengadaptasi. Adanya stres yang

berkepanjangan, mekanisme tubuh dilengkapi untuk mempertahankan


78

tubuh, tetapi akibatnya adalah apa yang dimanifestasikan dengan

melemahnya resisten terhadap penyakit dan infeksi. Pola respon

fisiologis ini timbul tanpa memandang sumber stres contohnya

kedinginan hebat, penyakit dan konflik emosional (Kus, 1999).

Ketika stres terjadi secara fisiologis tubuh akan berespon

dengan melibatkan beberapa sistem tubuh, terutama sistem saraf

otonom dan sistem endokrin. Hormon sering meningkat ketika stres

terjadi adalah hormon epinefrin dan norepinefrin. Peningkatan hormon

ini pada awalnya dapat menyebabkan adanya peningkatan frekuensi

jantung dan jika stres berlangsung lebih lama maka akan muncul

respon fisiologis yang lain (Rasmun, 2004).

Rasa tidak percaya, merasa bersalah, marah, takut, frustrasi

dan depresi adalah reaksi yang mungkin muncul pada orang tua saat

memiliki bayi yang sakit. Beberapa orang tua akan menyalahkan diri

sendiri karena keadaan buruk yang terjadi pada bayinya (Peate,

2006).

Hasil penelitian yang sama tentang pengalaman ibu yang

memiliki bayi prematur di Swedia juga mendapatkan hasil bahwa

memiliki bayi prematur adalah peristiwa yang membuat cemas

(Lindberg & Ohrling, 2008). Hasil peneltian ini selaras dengan hasil

penelitian Margaretta meneliti tentang model teoritis pengalaman

ketakutan orang tua dengan kelahiran preterm di Swedia yaitu selama


79

ibu tinggal di Rumah Sakit, pengalaman yang membuat cemas adalah

ketika ibu berkonsentrasi pada bayinya namun terpisah dari keluarga.

Orang tua bersedia untuk mengatasi situasi dengan beradaptasi

bersama satu sama lain (Margaretta, 2006).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Potter &

Patricia bahwa depresi memiliki ciri-ciri psikologis yaitu sedih, susah,

murung, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, tidak ada harapan,

putus asa dan penyesalan (Potter & Patricia, 2005).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penjelasan dari

instrument kunci bahwa ibu-ibu yang memiliki bayi yang menjalani

perawatan di ruang perawatan bayi sakit ketika pertama kali masuk

dan melihat anaknya di ruangan bayi sakit semuanya kelihatan

cemas, gelisah dan sering bertanya tentang keadaan anaknya.

3. Sumber Koping

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima partisipan

yaitu partisipan yaitu P-1, P-2, P-3, P-4 dan P-5 dapat disimpulkan

bahwa sumber koping yang didapatkan partisipan selama melewati

masalah yang dihadapinya terdapat dua sumber koping yaitu

dukungan internal . Dukungan internal disini berasal dari diri partisipan

itu sendiri sedangkan dukungan eksternal disini adalah dukungan

suami, motivasi–motivasi dari suami serta dukungan dari semua

keluarga.
80

Dukungan internal itu berasal dari dalam diri partisipan itu

sendiri dimana partisipan mengatakan bahwa mereka pasrah

terhadap masalah yang dihadapinya dan berusaha meyakinkan

dirinya kalau masalah ini bisa diatasi, tidak boleh berputus asa karena

setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.

Lima sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi

dengan stresor yaitu ekonomi, keterampilan dan kemampuan, teknik

pertahanan, hubungan sosial dan motivasi (Rasmun, 2001).

Dukungan sosial adalah sumber daya eksternal utama. Sifat

dukungan sosial dan pengaruhnya pada penyelesaian masalah telah

diteliti secara ekstensif dan telah terbukti sebagai moderator stres

kehidupan yang efektif (Smeltzer, 2001).

Pierce dalam Kail and Cavanaug (2000) mendefinisikan

dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau

pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu

untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-

hari dalam kehidupan.

Hasil penelitian ini selaras pernyataan Smeltzer bahwa

penilaian dan koping dipengaruhi oleh karakter internal seseorang,

meliputi kesehatan dan energi, begitu juga sistem kepercayaan

seseorang termasuk kepercayaan eksistensial (iman, kepercayaan

agama), komitmen atau tujuan hidup (property motivasional) dan


81

perasaan seseorang seperti harga diri, kontrol dan kemahiran,

pengetahuan, keterampilan pemecahan masalah dan keterampilan

sosial (kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang

lain) (Smeltzer, 2001).

Sumber-sumber dukungan sosial eksternal partisipan banyak

diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya. Sama halnya dengan

partisipan, pada saat partisipan merasakan adanya stres ketika

adanya perawatan bayi mereka, banyak bantuan datang dari

keluarga. Sumber dukungan sosial yang paling utama adalah suami.

Hubungan perkawinan merupakan hubungan akrab yang diikuti oleh

minat yang sama, kepentingan yang sama, saling membagi perasaan,

saling mendukung dan menyelesaikan permasalahan bersama.

Hubungan dalam perkawinan akan menjadikan suatu keharmonisan

keluarga, yaitu kebahagiaan dalam hidup karena cinta kasih suami

istri yang didasari kerelaan dan keserasian hidup bersama.

Suami dalam hal ini menjadi seseorang yang selalu memberi

dukungan dan membantu untuk menyelesaikan masalah yang sedang

dihadapi oleh partisipan. Bentuk dukungan dari suami dapat berupa

bantuan sosial emosional yaitu pernyataan tentang cinta, perhatian,

penghargaan, dan simpati dan menjadi bagian dari kelompok yang

berfungsi untuk memperbaiki perasaan negatif yang khususnya

disebabkan oleh stres. Dalam hal ini partisipan mendapat banyak


82

dukungan baik dengan kata-kata motivasi, suami menjadi tempat

untuk sharing ketika partisipan sedang stres dan membantu dalam

mengambil keputusan untuk penyelesaian masalah yang berkaitan

dengan perawatan bayi.

Dari berbagai penelitian yang dikemukakan oleh Atkinson dalam

Suhita menunjukkan bahwa orang yang memiliki banyak ikatan sosial

cenderung untuk memiliki usia yang lebih panjang. Selain itu, juga

relatif lebih tahan terhadap stres yang berhubungan dengan penyakit

daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial. Akan tetapi, selain

berpengaruh positif bagi individu, dukungan sosial dapat juga

memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi psikologis. Faktor

keintiman yang berlebihan dengan teman dan penerimaan dukungan

sosial yang lebih tinggi akan menyebabkan individu mudah menerima

informasi yang disampaikan oleh orang lain tanpa menyeleksi

informasi-informasi yang bermanfaat dan informasi yang merugikan.

Akibatnya ketika individu mendapatkan informasi yang kabur (gosip)

akan mengalami kecemasan dan stres hal ini sesuai dengan

pendapat Hofboll (Suhita, 2005).

Hasil penelitian ini selaras dengan pernyataan Sarafino bahwa

dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber yaitu pasangan

hidup, pacar, teman, rekan kerja dan organisasi komunitas (Sarafino,

2006).
83

Hasil penelitian ini juga sama halnya dengan pernyataan

Wirawan dalam Suhita bahwa hubungan perkawinan merupakan

hubungan akrab yang diikuti oleh minat yang sama, kepentingan yang

sama, saling membagi perasaan, saling mendukung dan

menyelesaikan permasalahan bersama. Sedangkan, Santi

mengungkapkan hubungan dalam perkawinan akan menjadikan suatu

keharmonisan keluarga, yaitu kebahagiaan dalam hidup karena cinta

kasih suami istri yang didasari kerelaan dan keserasian hidup

bersama (Suhita, 2005).

Dukungan sosial lainnya yang didapat oleh partisipan juga

berasal dari keluarga. Partisipan menyatakan juga mendapatkan

dukungan dari keluarga terdekat, seperti dari kakak, adik dan ayah

mertua dari partisipan. Keluarga merupakan sumber dukungan

keluarga karena dalam hubungan keluarga tercipta hubungan yang

saling mempercayai. Individu sebagai anggota keluarga akan

menjadikan keluarga sebagai kumpulan harapan, tempat bercerita,

tempat bertanya dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana

individu sedang mengalami permasalahan. Dalam hal ini partisipan

mendapatkan dukungan keluarga juga dalam bentuk sosial

emosional.

Hasil penelitian ini selaras dengan teori dukungan sosial

keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh


84

keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk

keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota

keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu

siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan

sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal,

seperti dukungan dari suami atau istri serta dukungan dari saudara

kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 2003).

Hasil penelitian ini sama dengan pernyataan Heardman dalam

Sunita (2005) bahwa keluarga merupakan sumber dukungan sosial

karena dalam hubungan keluarga tercipta hubungan yang saling

mempercayai. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan

keluarga sebagai kumpulan harapan, tempat bercerita, tempat

bertanya dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana

individu sedang mengalami permasalahan. Selain itu teman/sahabat

menurut Kail dan Neilsen dalam Suhita (2005) teman dekat

merupakan sumber dukungan sosial karena dapat memberikan rasa

senang dan dukungan selama mengalami suatu permasalahan.

Sedangkan menurut Ahmadi dalam Suhita (2005) bahwa

persahabatan adalah hubungan yang saling mendukung, saling

memelihara, pemberian dalam persahabatan dapat terwujud barang

atau perhatian tanpa unsur eksploitasi.


85

4. Mekanisme Koping

Dari hasil wawancara dari P-1, P-2, P-3, P-4 dan P-5

didapatkan hasil penelitian bahwa ada beberapa cara yang dilakukan

partisipan untuk mengurangi stres dan mengatasi masalah yang

sedang mereka hadapi. Cara yang digunakan untuk mengurangi stres

yang digunakan oleh partisipan pertama yaitu dengan bercanda

dengan suami ketika partisipan lagi sedih memikirkan bayinya atau

mengobrol dengan orang yang sama-sama memiliki bayi BBLR yang

menjalani perawatan di Ruang Perawatan Bayi Sakit tersebut yang

seruangan dengan partisipan. Beberapa hal ini dianggap oleh

partisipan dapat mengurangi rasa stres yang dialaminya. Partisipan

juga menyatakan bahwa dengan bercerita atau sharing tentang rasa

takutnya dengan suami dapat mengurangi rasa takut yang dialami

karena suami dianggap sebagi pemberi dukungan dan mampu

memberi ketenangan. Partisipan juga menyatakan bahwa mengobrol

dengan sesama ibu yang seruangan juga dianggap dapat

menghilangkan rasa sedih yang dialaminya. Teman yang dianggap

memiliki nasib sama yaitu memiliki keluarga yang sedang dirawat di

Ruang Perawatan Bayi Sakit oleh partisipan mampu digunakan oleh

partisipan sebagai teman untuk mengobrol sehingga rasa sedih

partisipan dapat berkurang.


86

Bercanda merupakan bentuk penggunaan humor untuk

mengatasi stres. Humor adalah terapi yang terkenal dalam literatur

umum. Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa

melenyapkan stres. Hipotesis fisiologis menyatakan menyatakan

bahwa tertawa melepaskan endorfin ke dalam sirkulasi dan perasaan

stres dilenyapkan (Potter & Patricia, 2005). Sesuai dengan teori

bahwa penggunaan humor memiliki pengaruh yang efektif untuk

mengurangi stres yang dialami oleh partisipan.

Cara yang selanjutnya adalah dengan ngobrol atau bercerita

atau sharing dengan suami, selain itu juga dengan teman yang

memiliki nasib sama dengan partisipan. Berbicara dengan orang lain

“curhat” (curah pendapat dari hati ke hati) dengan teman atau

keluarga tentang masalah yang dihadapi. Teknik ini merupakan salah

satu bentuk mekanisme koping yang konstruktif dan termasuk dalam

metode koping jangka panjang. Ada dua mekanisme koping yang

dikembangkan oleh Mc Bell, yaitu koping jangka panjang, sifatnya

konstruktif serta realistis dan koping jangka pendek, sifatnya bisa

destruktif dan sementara (Rasmun, 2004).

Sesuai dengan hasil penelitian bahwa partisipan melakukan

beberapa usaha untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi

oleh partisipan. Masalah utama yang dirasakan oleh para partisipan

adalah mengenai kesehatan dan keselamatan bayi mereka yang


87

sedang dirawat di Ruang Perawatan Bayi Sakit. Menurut penelitian

ini, partisipan sangat terfokus pada kondisi bayi dan bahkan sesuai

dengan hasil wawancara dapat diketahui bahwa partisipan mau

melakukan apa saja asalkan bayi mereka dapat sehat dan selamat

sehingga dapat segera keluar dari Ruang Perawatan Bayi Sakit

tersebut.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Stuart bahawa

bentuk mengatasi masalah yang dilakukan oleh partisipan merupakan

mekanisme koping yang terfokus masalah. Strategi terfokus pada

masalah merupakan strategi koping dengan cara individu akan

mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-

keterampilan baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini,

bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi (Stuart, 2005).

Hasil penelitian ini juga selaras dengan pernyataan Sachari

bahwa strategi yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah

antara lain adalah menentukan masalah, menciptakan pemecahan

alternaif, menimbang-nimbang alternatif berkaitan dengan biaya dan

manfaat, memilih salah satunya dan mengimplementasikan alternatif

yang dipilih. Dalam hal ini partisipan telah melakukan strategi koping

yang terfokus masalah dengan mengenali permasalahan,

menciptakan pemecahan masalah dan mengimplementasikan

pemecahan masalah (Sachari, 1995).


88

Hasil penelitian ini juga selaras dengan teori Stuart bahwa ada

dua mekanisme koping individu yaitu koping konstruktif dan koping

dekstuktif. Dimana koping yang digunakan oleh partisipan adalah

koping konstruktif yaitu : mencari dukungan sosial, mengkaji ulang

stres (reframing), mencari dukungan spiritual dan menggerakkan

keluarga untuk mencari atau meminta bantuan (Stuart, 2005).

Koping adalah menejemen stres yang dilalui oleh manusia dan

emosi secara umum (kognitif dan usaha perilaku untuk mengatur

tuntutan spesifik eksternal dan internal yang dinilai melebihi

kemampuan manusia). Koping dapat dihubungkan dengan lingkungan

atau seseorang atau sesuatu dan perasaan (Rasmun, 2004).

Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu

sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi

stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah

lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang

dirasakan atau dihadapi (Rasmun, 2004).


89

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menemukan beberapa

hambatan atau keterbatasan penelitian berupa partisipan dalam

penelitian ini memiliki latar pendidikan yang tidak beragam dan umur

partisipan yang tidak sama (usia produktif). Segala bentuk kekurangan

dalam penelitian ini diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk lebih

menghomogenkan karakteristik partisipan agar bisa mengurangi bias

dalam penelitian nantinya ke depan.


90

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang tentang

koping ibu yang memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan di ruang

perawatan bayi sakit adalah:

1. Masalah lingkungan, kondisi bayi dan adanya keterpisahan antara

ibu dengan bayi merupakan beberapa hal yang dianggap penyebab

timbulnya stres (sumber stres) pada ibu yang memiliki bayi BBLR

yang menjalani perawatan di ruang perawatan bayi sakit.

2. Respon stres pada ibu yang memiliki bayi BBLR meliputi respon

emosional yaitu perasaan sedih dan takut.

3. Dukungan sosial yaitu dukungan dari suami dan keluarga serta

motivasi diri sendiri merupakan beberapa hal yang dapat membantu

ibu yang memiliki bayi BBLR dalam menghadapi adanya stres

(sumber koping).

4. Mekanisme koping merupakan cara yang digunakan seseorang

untuk mengurangi stres dan mengatasi masalah. Mekanisme koping

yang digunakan ibu adalah mekanisme koping yang berpusat pada

masalah.
91

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan pada akhirnya Rumah Sakit tidak hanya berfokus

pada individu (fisik) saja tetapi biopsikososialnya juga. Sehingga

dapat meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit.

2. Bagi Perawat di ruang perawatan bayi

Perawat harus bisa memberi motivasi atau dorongan,

membantu mengatasi perasaan sedih, marah sehingga dapat

beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Selain itu, diharapkan perawat

juga dapat menjelaskan tentang peralatan-peralatan yang dikenakan

oleh bayi sehingga ibu tidak merasa asing dengan peralatan yang

ada di ruang perawatan bayi tersebut.

3. Bagi ibu yang memiliki bayi BBLR yang dirawat di ruang perawatan

bayi

Disarankan agar ibu dapat lebih aktif bertanya kepada pihak

perawat maupun dokter mengenai kondisi bayi selama dirawat di

ruang perawatan bayi. Ibu juga disarankan untuk lebih aktif bertanya

mengenai peralatan yang mungkin dikenakan pada bayi, sehingga

ibu dapat mengetahui fungsi peralatan dan tidak merasa takut

terhadap banyaknya peralatan yang dikenakan bayi.


92

4. Bagi Peneliti

Untuk penelitian selanjutnya dapat digunakan metode kuantitatif

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran ASI

pada ibu yang memiliki bayi BBLR yang dirawat di ruang perawatan

bayi dan pengaruh dukungan suami terhadap tingkat kecemasan ibu

yang memiliki bayi BBLR yang menjalani perawatan secara intensif.

5. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diupayakan dapat digunakan sebagai bahan

refrensi untuk studi lanjut tentang asuhan keperawatan.

6. Bagi Institusi Pendidikan (PSIK UMI )

Diharapkan penelitian ini dapat terus dikembangkan dan

dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya tentang keperawatan dan

penelitian tentang mekanisme koping.

Anda mungkin juga menyukai