Perilaku, minat, dan aktivitas anak dengan autisme sangat terbatas (stereotipik) dan sifatnya
berulang (repetitif). Dalam berbicara atau interaksi dengan benda, anak biasanya menggerakan
anggota tubuh tertentu berulang-ulang, menderetkan mainan, menumpuk kaleng, mebalik-balik
benda atau lembaran buku, atau mengulangi perkataan orang (ekolalia). Anak cenderung
melakukan rutinitas seperti ritual dan kaku dan anak hanya menyukai benda atau mainan
tertentu.
Selain reaksi yang kurang terhadap rangsangan luar, anak dengan autisme dapat memberikan
reaksi berlebihan atau reaksi yang tidak wajar terhadap rangsangan nyeri, suhu, suara, atau
tekstur benda. Gejala-gejala ini sampai mengganggu interaksi sosial, aktivitas sekolah,
bermain, atau fungsi kehidupan anak sehari-hari.
Waspada red flags Autisme
Sangatlah penting bagi orang tua, pengasuh, guru, atau masyarakat awam untuk
mewaspadai red flags (tanda bahaya). Red flags adalah tanda atau gejala yang apabila masih
terlihat pada usia tertentu, harus segera dilakukan intervensi. Red flags tersebut antara lain:
1. Tidak ada babbling (ocehan), tidak menunjuk, atau tidak menunjukkan mimik wajah yang
wajar pada usia 12 bulan
2. Tidak ada kata-kata berarti pada usia 16 bulan
3. Tidak ada kalimat terdiri dari 2 kata yang bukan ekolalia pada usia 24 bulan
4. Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan sosial pada usia berapa pun
5. Anak tidak menoleh atau sulit menoleh apabila dipanggil namanya pada usia 6 bulan - 1
tahun.
Apabila menemukan salah satu red flags, anak harus segera dibawa ke dokter spesialis anak
untuk selanjutnya dilakukan skrining dan pemeriksaan lebih lanjut sehingga diagnosis dapat
ditegakkan sedini mungkin dan intervensi dapat dilakukan atau anak dirujuk ke dokter spesialis
saraf anak dan/atau disiplin ilmu lainnya.
Sebaiknya anak dibawa ke dokter spesialis anak untuk dilakukan skrining perkembangan rutin
mulai usia 9 bulan, 18 bulan, dan 30 bulan. Pada usia 18 bulan dan 24 bulan, atau pada usia
berapapun anak ditemukan red flags, anak dilakukan skrining khusus untuk autisme.
Tata laksana autisme
Setelah anak didiagnosis autisme, anak membutuhkan konsultasi kepada ahli dari berbagai
disiplin ilmu. Tidak semua anak dengan dengan autisme memerlukan terapi obat, tetapi semua
anak dengan autisme harus mendapatkan intervensi non-obat, diikuti dengan sekolah dan
pembinaan kemampuan mandiri serta kemampuan bekerja. Penilaian kebutuhan intervensi
dilakukan oleh dokter saraf anak dan dokter rehabilitasi medis bersama terapis yang sudah
berpengalaman. Penentuan intervensi ini berdasarkan dari usia anak, beratnya gejala, dan
kemampuan intelektual anak.
Beberapa program dan teknik intervensi telah terbukti kuat secara ilmiah untuk menatalaksana
autisme. Beberapa intervensi tersebut antara lain: sensory integration, sensory-based
intervention, intervensi perilaku (program verbal behaviour), intervensi wicara, dan sekolah.
Intervensi dilakukan oleh terapis yang ahli dan berpengalaman di tempat-tempat pelayanan
autisme. Pelatihan terhadap orang tua sesuai dengan intervensi yang didapat anak juga perlu
dilakukan, sehingga orang tua tahu apa yang harus diperbuat dan secara tidak langsung
mengurangi stres.
Disarikan dari buku pidato pengukuhan guru besar Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro,
Sp.A(K) berjudul "Autisme: Cahaya dalam Kegelapan" - dr. Kartika Novieka Wirawan