Anda di halaman 1dari 9

RESUME BUKU GAGALNYA HISTORIOGRAFI INDONESIA ?!

MILITER INDONESIA DAN LEGITIMASI HISTORIOGRAFIS

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Historiografi Indonesia

Dosen pengampu :

Dr. Putri Agus Wijayati, M.hum

Disusun oleh :

Istikharoh (3101417071)

Romanti Silva P.N (3101417072)

Anis Rohmawati (3101417073)

Nafa Muzarodikoh (3101417074)

PRODI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
BAGIAN 6

MILITER INDONESIA DAN LEGITIMASI HISTORIOGRAFIS

A. Sipil dan Militer dalam Wacana Historis

Secara teoretis, keterlibatan militer di dalam birokrasi tidak hanya mempengaruhi struktur
birokrasi pemerintahan dan struktur organisasi kemiliteran, melainkan juga berpengaruh terhadap
wacana dan budaya birokrasi serta perilaku politik sehari-hari, khususnya yang berhubungan
dengan demokrasi.

Dalam sejarah Indonesia, keberadaan militer dalam struktur birokrasi, koalisi sipil militer
dalam politik, dan adanya tradisi militerisme sebenarnya dapat dirunut jauh ke belakang sampai
pada kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang dipengaruhi unsur Hindu-Buddha maupun Islam.
Adanya ketidakstabilan dan suksesi kekuasaan melalui pemberontakan akibat konflik internal
yang sering terjadi menyebabkan kerajaan-kerajaan itu menempatkan militer sebagai bagian yang
integral dalam struktur birokrasi dan pemerintahan, seperti posisi Panglima Sagi di kerajaan Aceh
atau Senopati di Jawa.

Dalam berbagai sumber yang tersedia sampai saat ini, dapat disimpulkan bahwa hampir
seluruh penguasa pada masa kerajaan-kerajaan itu berpikir bahwa keberlanjutan kekuasaan mereka
harus didukung oleh kemampuan militer yang kuat. Adanya kekuatan militer yang kuat itu tidak
hanya memiliki fungsi pertahanan untuk menahan serangan dari kuar atau bagian dari perluasan
kekuasaan, melainkan juga fungsi keamanan yang dikaitkan dengan ancaman dari dalam.

Berdasarkan sebuah kajian historis tentang militer dan revolusi sejak abad XII sampai abad
XX di negara-negara Eropa Barat yang memiliki tradisi demokrasi, Katharine Chorley
menunjukkan bahwa realitas historis ternyata tidak selalu berbentuk dikotomi kaku. Disamping
sikap partisan tentara dalam kehidupan politik, keinginan untuk melakukan tindakan militerisasi
tidak selalu berasal dari tentara itu sendiri. Militer secara politik juga sangat dipengaruhi atau
diperalat oleh masyarakat, khususnya para penguasa sipil. Secara struktural dan kultural,
militerisme yang terbentuk didalam bukan hanya dikehendaki oleh tentara melainkan juga nilai
yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri sebagian dari praktik kekuasaannya.
Bukti-bukti lain menunjukkan adanya orientasi politik yang berbeda di dalam institusi
militer karena pola rekrutmen yang didasarkan pada kelas sosial dan orientasi ideologis di dalam
masyarakat, seperti yang tercermin dalam kasus sejarah Citizen Army di Inggris dan National
Guard di Prancis. Berdasarkan sejarah tentara di Inggris dan Prancis itu, juga nampak bahwa
tentara bergerak ke kiri dan ke kanan tergantung pada kepintaran masing-masing kelompok
penguasa sipil memanfaatkannya. Sebaliknya, tentara tidak selalu memihak pada pemerintah yang
sedang berkuasa ketika terjadi konflik antar kekuatan politik sipil.

Kajian historis juga menunjukkan bahwa sipil juga memerlukan keberadaan militer yang
kuat untuk mendukung kekuasaannya, yang terjadi tidak hanya pada masa ketika militer masih
berbentuk citizen army melainkan juga ketika militer telah diubah menjadi tentara karier
profesional yang bertugas dalam waktu yang panjang. Netralitas ideologi dan kelas sosial yang
dilakukan melalui pola rekrutmen yang baru dan rasionalisasi struktur birokrasi militer tidak begitu
saja menghilangkan kepentingan penguasa sipil terhadap tentara. Dalam tradisi politik negara
Barat yang demokratis sekalipun, konsesi termasuk konsesi ekonomis bagi militer menjadi begitu
penting dalam upaya penguasa sipil mendapat dukungan militer yang kuat dan memisahkan militer
dari praktik politik sehari-hari.

Ketika Eropa Barat dan Amerika Serikat mengalami proses industrialisasi yang luar biasa
khususnya sejak abad XX. Perkembangan industri besar, seperti elektronika, komputer,
perkapalan, penerbangan dan persenjataanyang memberikan keuntungan finansial yang sangat luar
biasa, sebenarnya tidak lepas dari konsesi yang dapat memberi keuntungan ekonomis yang
diberikan penguasa sipil kepada militer. Akibatnya, militer menjadi institusi yang makmur dan
terhormat serta mampu membangun dirinya sesuai dengan tuntutan profesionalisme yang
disandangnya. Dari kajian historis itu tergambar, stabilitas sosial dan politik yang berbasis pada
tentara yang kuat itu telah memungkinkan para penguasa sipil membenagun sistem dan struktur
politik yang demokratis.

Dapat disimpulkan, secara historiografis persoalan militer dan kekuasaan merupakan


sesuatu yang kompleks dan tidak dapat di generalisasi secara sederhana.

B. Historiografi dan Terbentuknya Dominasi Wacana Militer


Berbeda dengan masa penjajahan Belanda, ketika mobilitas sosial horizontal sebagian
besar penduduk bumuputera harus dilakukan melalui prosespempriyayian yang didukung oleh
pendidikan Barat, struktur birokrasi kolonial dan ekonomi kapitalistik. Masa pendudukan Jepang
menawarkan pola mobilitas sosial baru bagi penduduk bumiputra dengan jalurpensatriaan,
melalui pembentukan kelompok-kelompok militer dan semi militer. (199).

Persepsi historis yang mengandung nilai militerisme itu terus hidup sampai sekarang, yang
dibuktikan dalam polemik tentang penggagas umum Serangan Umum 1 maret 1949.
Menempatkan serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai sesuatu yang teramat istimewa dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. (202).

Dalam konteks itu, nasionalisme Indonesia dianggap akan terus terancam jika tanpa keikut
sertaan militer. Padahal dalam konteks teoritis mengenai evolusi perkembangan nasionalisme,
penggunaan prinsip-prinsip militer untuk menyatukan sebuah negara bangsa merupakan tahap
nasionalisme yang paling primitif. (203).

C. Logika Historiografis dan Legitimasi

Sejak awal keberadaannya, ABRI atau TNI berpendapat bahwa dirinya tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan sosial dan politik disamping fungsinya untuk menjaga pertahanan dan
keamanan. Cara pandang tentang potret diri TNI itu kemudian diperkuat oleh perkembangan
historiografis sejarah nasional Indonesial, yaitu kehilangan sikap kritis karena mewarisi syndrome
kolonial. Eksistensi peran TNI selalu dianggap sebagai kehendak sejarah, karena sejarah selalu
menjadi kata kunci untuk melegistimasi peran ganda yangdimainkan oleh TNI. Tidak terjadi
proses politisasi oleh TNI, karena sebagai pejuang sejak lahir TNI telah berjiwa politisi. Sejak
awal TNI tidak pernah bercita- cita untuk menjadi tantara professional. TNI muncul secara
spontan, dalam membela tanah air. oleh karena itu, TNI adalah tantara rakyat, tantara nasional dan
tantara revolusi, bukan alat pemerintah.

Interpretasi secara historis secara kritis terhadap awal pembentukan organisasi bersenjata
di Indonesia merupakan salah satu untuk memahami identitas TNI, kedudukan TNI, dan hubungan
sipil-militer dalam sejarah Indonesia yang sebenarnya. Setelah Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia disahkan serta presiden dan wakil presiden ditetapkan oleh panitia persiapan
kemerdekaan Indonesia (PPKI). Para pemuda mengusulkan agar dibentuk tantara nasional
Indonesia yang bertugas untuk menjaga keamanan negara.

Para anggota PPKI dan beberapa orang pimpinan nasional terkemuka yang melakukan
pertemuan pada tanggal 19 agustus 1945 menyetujui untuk agar dibentuk tantara nasional. Akan
tetapi pada tanggal 20 agustus 1945, diputuskan pembentukan sebuah Lembaga yang bernama
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan bagian dari Badan Penolong Korban Perang
(BPKKP), Sebagai pengganti keinginan para pemuda. menurut laporan pada tanggal 22 agustus
1945 BKR bertugas memelihara keamanan rakyat dan jawatan pemerintah lainnya dibawah
koordinasi Komite Nasional Indonesia (KNI). Perubahan sikap PPKI tentu saja mengecewakan
para pemuda yang masih menginginkan adanya tantara. Oleh karena itu disamping BKR, para
pemuda juga membentuk kekuatan bersenjata lainnya.

Kehadiran tantara sekutu pada akhir September 1945 dan kemudian diikuti oleh kekuatan
militer belanda, menimbulkan fenomena baru didalam masyarakat dan pemerintah Indonesia yang
sedang berbenah diri. Berbagai insiden dengan tantara sekutu diakhir September dan awa oktober
1945, telah menyadarkan para pemimpin RI tentang arti penting memiliki angatan perang secara
formal. Hasilnya, berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 oktober 1945 dibentuk Tantara Keamanan
Rakyat (TKR), yang berfungsi sebagai tantara nasional.

Berdasarkan identifikasi historis, dua legitimasi historiografis TNI itu sebenarnya lebih
cocok ditempatkan pada keberadaan BKR. Diberbagai lain sangat sulit membedakan antara BKR
dengan badan- badan perjuangan atau laskar serta anggota KNI yang menjalankan roda
pemerintahan sipil.disamping bertidak sebagai tantara , para anggota BKR juga laskar juga terlibat
dalam kegiatan sosial, politik, administrative maupun ekonomi. Hal ini berarti menghubungkan
peran sipil dan peran militer dari seorang prajurit sebagai perjuang telah dimulai sejak masa BKR
ataupun bahkan laskar dari pada TKR.

Sementara itu kalau melihat perkembangan BKR ditingkat daerah, seperti yang dilakukan
Soedirman di Banyumas, A.K. Gani di Sumatera Selatan, atau Dahlan Jambek di Sumatera Barat,
sangat sulit untuk mengatakan bahwa BKR merupakan organisasi bersenjata yang tidak teratur
tanpa garis komando. BKR dibanyak daerah tidak hanya sekedar organisasi yang menjaga
keamanan melainkan juga mempertahankan diri dari musuh asing yang telah diperkirakan akan
segera datang.
Namun, kenyataan historis lain yang perlu diperhatikan. Secara rasional TKR hanya
merupakan transformasi dari BKR yang diberi tanda pangkat dan penetapan unsur tertentu sesuai
dengan organisasi militer professional. Karena hamper seluruh unit TKR didaerah yang dibentuk
setelah 5 oktober 1945. Dalam konteks yang sama, problematika ini terus berkembang, jika
dihubungkan dengan legitimasi historiografis yang menyatakan bahwa TNI melahirkan dirinya
sendiri dari rakyat yang berjuang. Jika BKR dijadikan dasar untuk menunjukkan awal organisasi
bersenjata Indonesia, secara historis terbukti bahwa BKR dibentuk oleh PPKI dan diselenggarakan
oleh KNI. Baik BKR maupun TKR pada dasarnya merupakan Lembaga pembentuknya melibatkan
institusi kenegaraan formal, disamping rakyat yang menjadi sumber daya manusianya.

Problematik kedudukan TNI itu lebih jauh dapat dihubungkan dengan pernyataan M. Hatta
dzlam memoarnya. Didalam buku tersebut M. Hatta menyatakan, pengangkatan Mayor Oerip
Soemohardjo sebagai kepala staff umum dan pemerintah untuk membentuk markas besar dan
seluruh organisasinya yang dilakukan oleh M. Hatta sebagai bwakil residen. Sementara ada
sekelompok masyarakat masyarakat merasa telah membentuk tantara sebelum 5 oktober 1945 dan
penentuan markas besar beserta organisasi awal TKR tidak doitentukan oleh pemerintah , sangat
sulit untuk menyatakan secara historis bahwa pembentukan TNI yang berawal dari TKR sekedar
dilakukan oleh rakyat.

D. Bersembunyi di Balik Kedaruratan

TNI menjadi bagian struktur dan sistem kekuasaan sejak masa Demokrasi Terpimpin.
Hampir sepertiga anggota Kabinet Kerja, terdiri dari para perwira TNI. Penerapan konsep
dwifungsi, tidak hanya terbatas pada keterlibatan TNI dalam Lembaga eksekutif dan birokrasi.
Keterlibatan TNI, khususnya Angakatan Darat semakin meluas dalam kenegaraan dan
pemerintahan diperkuat melalui penyesuaian doktrin dan reorganisasi birokrasi. TNI secara jelas
menyatakan adanya tanggung jawab anggota TNI untuk aktif di semua bidang pemerintahan.
Prinsip Pembinaan Wilayah dan Doktrin Perang Wilayah, menunjukkan keterlibatan TNI di dalam
masyarakat. Dibentuknya bagian yang mengurus aktivitas TNI yang bekaitan dengan masalah
kewilayahan dan fungsional. Penyesuaian struktur TNI dengan struktur pemerintahan daerah
untuk menjalankan fungsi sosial politik TNI. Struktur TNI dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
strategi perang gerilya. TNI khususnya Angkatan Darat memiliki Lembaga Komando Daerah
Militer (Kodam) pada setiap provinsi dan Komando Resot Militer (Korem) di setiap karesidenan.
Pada tingkat kabupaten dan kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) dan Komando Rayon
Militer (Koramil). Penyesuaian struktur juga sampai ke desa, Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Birokrasi militer digabungkan dengan birokrasi sipil Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida)
dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika), dipimpin oleh komandan tantara di setiap
tingkatan.

A.H. Nasution menempatkan perwira Angkatan Darat menjadi pengelola perusahaan. Pada
mulanya aktivitas ekonomi tersebut digunakan untuk kepentingan TNI sebagai institusi,
perkembangannya telah memberikan keuntungan individual. Sebuah jejaring telah terbentuk dari
tamtama sampai perwira, melibatkan unsur sipil. Sejarah mencatat bahwa banyak perwira
menginginkan terus diberlakukannya undang-undang keadaan darurat, yang secara legal memberi
kekuasaan kepada TNI. Kegiatan ekonomi telah diinstitusionalkan menjadi bagian yang integral
dalam struktur birokrasi militer yang terus berkembang dan sistem nilainya. Akibatnya, sulit untuk
membedakan kebijakan institusinal yang berkaitan kesejahteraan sosial-ekonomis dengan fungsi
militernya serta kepentingan pribadi. Keberadaan hak-hak istimewa politik membuat para anggota
TNI, terutama para perwiranya terbiasa dengan keuntungan-keuntungan ekonomis. Akibatnya,
mulai muncul presepsi bahwa menjadi tantara merupakan jalur mobiltas sosial yang paling
memberi harapan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak calon anggota bersedia
membayar sejumlah uang tertentu untuk dapat diterima sebagai keluarga besar TNI. Di dalam TNI,
fungsi sosial politik yang seharusnya terintegrasi dengan fungsi teritorial dalam konteks
pertahanan dan keamanan dalam arti formal, secara historis realisasinya telah diinterprestasi sesuai
dengan kepentingan sosial dan personal.

Sejak akhir tahun 1950-an, sebenarnya para elite TNI telah menemukan ekses-ekses
negative dari keterlibatan TNI dalam aktivitas ekonomi. Pengaruh itu mulai mempengaruhi TNI
sebagai institusi. Namun usaha A.H. Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan untuk
mengatasi persoalan secara internal tidak berhasil, karena Panitia Retuling Aparatur yang
berfungsi memeriksa tindak korupsi yang dilakukan TNI dibubarkan pada tahun 1964. Biarpun
sejak tahun 1966 A.H. Nasution telah berbicara tentang perlunya pemurnian peran sosial politik
TNI dan menyatakan bahwa secara politik partisipasi aktif tantara hanya sampai MPR, bukti-bukti
sejarah mengungkapkan bahwa yang terjadi merupakan dampak dari struktur dan sistem nilai yang
telah dibangun oleh A.H. Nasution baik sebagai pribadi maupun Bersama Angakatan Darat
sebagai intitusi. Keterlibatan TNI dalam kabinet, parlemen, birokrasi dan aktivitas ekonomi bukan
hanya kehendak Presiden Sukarno atau akibat persaingan antara partai politik, melainkan
konsekuensi dari tuntutan politis TNI. Para ptajurit sudah terlanjur menikmati hak-hak sosial,
politik dan ekonomi istimewa yang mereka dapatkan. Berbagai jejaring tidak mampu lagi dikontrol
oleh TNI secara institusional karena sudah menjadi bagian dari sistem sosial di luar TNI, termasuk
individu-individu tantara. Pemerintah Orde Baru yang sejak awal telah didominasi oleh militer,
khususnya Angkatan Darat merupakan penerus dan penyempurna prinsip dasar dwifungsi yang
telah terbentuk dan dijalankan, sehingga militerisme dan militerisasi berkembang semakin luas di
dalam masyarakat.

Konseptualisasi peran sosial politik militer di Indonesia yang diwujudkan dalam doktrin
ternyata tidak didasarkan pada pemahaman historiografi yang tepat. Berdasarkan cara berpikir
yang telah dikemukakan oleh Eric Hobsbawn, ditarik kesimpulan telah terjadi mitologisasi
terhadap sejarah Indonesia dan sejarah ABRI/TNI baik pada tingkat substantive maupun nilai yang
berimbas pada penggunaan sejarah sebagai ideologi untuk melegitimasi peran sosial politik
militer. Rekonstuksi atas masa lalu perjuangan bangsa Indonesia lebih banyak menghasilkan
mitos, dan bahkan cenderung tidak didasarkan realitas sejarah sebagai dampak dari anakronisme
historis. Cakupan peran sosial politik militer didasarkan pada persepsi adanya kedaruratan politik
yang berlangsung terus menerus dan kebenaran sejarah semu, sehingga jika dilihat dari perspektif
sejarah, telah terjadi silang pendapat yang tidak dilandasi oleh argument yang kuat antara para
pendukung dan penentang diteruskan atau tidaknya peran sosial politik militer.

Berbagai fenomena menunjukkan belum berakhirnya peran sosial politik yang telah lama
dimainkan TNI. Kebiasaan para politisi sipil untuk mencari dukungan legistimatif dari militer
untuk mempertahankan atau menggapai kekuasaan terus berlanjut, bersamaan ketika mereka
berupaya menghilangkan pengaruh institusionalisasi militer di dalam kehidupan politik sehari-
hari. Hiruk pikuk pemilihan kepala daerah secara langsung dianggap sebagai wujud dari demokrasi
sipil tetap menyisakan warisan peran sosial politik militer di masa lalu. Hal serupa juga dapat
dilihat pada konflik internal yang terjadi pada seluruh partai politik. Biarpun secara resmi
kebijakan kekaryaan sudah berakhir, namun tidak ada yang bisa menahan keikutsertaan baik
tantara aktif maupun pension untuk bersaing dalam pemilihan kepala daerah dan menjadi elite
partai dengan restu pimpinan. Sementara itu kampanye perang melawan terorisme global yang
berkembang, dapat dengan mudah dimanipulasi menjadi usaha yang mengembalikan kejayaan
peran sosial politik militer jika tidak ada perubahan structural dalam paradigma berfikir seluruh
komponen bangsa, terutama institusi militer dan individu-individu yang berhubungan dengan
tantara. Ironisnya bibit itu telah muncul kembali, melalui pembentukan Komunitas Intelijen
Daerah yang menggantiakn Badan Koodinasi Intelijen Daerah dan usaha untuk menghidupkan
kembali Pamswakarsa. Biarpun para pejabat terkait menyatakan kebijakan itu bertujuan untuk
memerangi terorisme, jika sejarah bangsa ini dapat dijadikan pelajaran, tidak ada yang bisa
menjamin bahwa kebijakan itu tidak akan digunakan sebagai alat terror dengan memanfaatkan
militer baik sebagai institusi maupun perorangan.

Ungkapan Kuntowijoyo yang berbunyi “selamat tinggal mitos dan selamat detang
realitas”, nampaknya masih memerlukan waktu yang panjang untuk dapat diwujudkan jika tidak
terjadi dekonstruksi terhadap tradisi historiografi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai