Anda di halaman 1dari 41

1

DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG KRONIS

Tanda Dan Gejala


Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung.
Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat gagal
jantung yang objektif dapat digali secara detail.1
Anamnesa
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan
lelah.1,5 Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak
output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-
kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada
tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin
beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya
dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial,
mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi
cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan
dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan
kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya
tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia. Keluhan
sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan
regurgitasi trikuspid.1
Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan
sesak saat aktivitas.1 Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau
dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan
dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi
tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam
hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai
2

gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk
gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas
abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang
memberat pada posisi tidur.1
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya,
biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain
batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri
bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial
paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea
dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung,
pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali
tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik
untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan
timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat
bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner
wheezing lainnya.5
Edema Pulmoner Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai
akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat
menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi
edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal
jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang
disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat
mematikan.5
Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada
gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang
rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat
respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan
PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas
3

yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali
dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau
keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat. 5
Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal
dan kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan
edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran
kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejela serebral
seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien
dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis
serebral dan berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat
memperberat keluhan insomnia.5
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas
sangatlah bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah
dan semakin berkurang dengan pengobatan jantung.1 Pada tabel dibawah ini
menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau
orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala
tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal
jantung tidak memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena
jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian
klinis untuk deteksi tepat.
4

Tabel Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien yang
dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306 pasien Penyakit
Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.

Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas Spesifitas (+) Predictive


(%) (%) Value (%)
Anamnesa
 Mudah sesak 66 52 23
 Orthopnea 21 81 2
 Nocturnal dyspnea 33 76 26
 Riwayat bengkak 23 80 22
Pemeriksaan Fisik
 Takikardi 7 99 6
 Ronkhi 13 99 6
 Edema 10 93 3
 Ventricular gallop (S3) 31 95 61
 Distensi Vena Jugularis 10 97 2
Thorax Foto (Chest X-Ray)
 Cardiomegaly 62 67 32
Anamnesa 66 52 23
 Mudah sesak 21 81 2
 Orthopnea 33 76 26
 Nocturnal dyspnea 23 80 22

Dikutip dari: Harlan WR dkk.13

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.
Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor
tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal,
PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari Framingham
untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel di bawah.
5

Tabel Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL4

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien
dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa
penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal
jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai
respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan saat
pemeriksaan fisik.4
Keadaan Umum Dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan,
kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit.
Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas
yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan
darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada gagal
6

jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang,
dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat
sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik
yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer
mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung
jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.5
Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,
dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena
jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45 o.
Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H 2O (normalnya kurang dari
8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus
sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap
awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara
abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk
hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup
trikuspid.4
Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari
rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat
didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar
(asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk
gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika pulmonary capilary
wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan
drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul
sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi
cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik
dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel
(biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian
pada rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.4
7

Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali,
titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS)
ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat
mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan
pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri.
Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex. 1
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi
dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri
(right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien
dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali
menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan
indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan disfungsi
diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung yang lanjut.4
Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan
gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan
dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul
sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena
yang berfungsi dalam drainase peritenium.4
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung
diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar
dan hipoksia hepatoselular.4
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar
pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada
8

pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang
berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang
bertambah.4
Kakeksia Kardiak
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat
badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti,
kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya
adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang
diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa penuh di abdomen,
meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya
absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia
maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.4
Test Diagnostik Pada Gagal Jantung Kronis
Seperti yang dapat dilihat pada tabel sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan
klinis baik pada anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam mendiagnosa gagal jantung
relatif rendah. Karenanya pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam
mendiagnosa gagal jantung. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang antara lain :
(1) menentukan apakah terdapat kelainan jantung baik struktural atau fungsional yang
dapat menjelaskan gejala pasien, (2) mengidentifikasi kelainan yang dapat diatasi oleh
intervensi spesifik, dan (3) menentukan berat dan prognosis gagal jantung. 4
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan
BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi
gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal
dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik).4
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang, namun dapat
menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum
kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop
9

diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan


penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara tidak
langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada
gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif
dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk
hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan
meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan, hal
ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan
bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua
pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik dan
untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP
disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung
dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang
pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP
dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada
pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya
lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan
wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus
dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.1
10

Gambar Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut kelas
fungsionalnya. Dikutip dari: Maisel AS dkk.1

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan gagal
jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate (GFR),
menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi
kelas fungsional.4
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat
memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.4
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume
urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.4
11

Pemeriksaan Foto Toraks


Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi,
selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat
dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang
lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter
dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung.
Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami
pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta
asenden. 4
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran
hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal
jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya
Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang
timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat adanya
edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan
hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan
pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah
terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang
kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak
adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri
pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai
melalui CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan implikasi
klinisnya dapat di lihat pada Tabel di bawah.
12

Tabel Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis


Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler
ventrikel kanan, atria, efusi
perikard
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi, doppler
kardiomiopati hipertropi
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non
peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal
limfatik jantung kronis
Dikutip dari : Mann DL dkk. 4

Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien
yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk gagal
jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi. 1 Temuan EKG
yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. 1 Gagal jantung
dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis,
hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle
branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan.
Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial
(AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu
menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan
nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia
seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada
monitoring holter 24- atau 48- jam.4
13

Pemeriksaan Uji Latih Beban Jantung


Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan dalam
diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien yang tidak
mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai
pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi prognosis.
Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara progresif ditingkatkan
hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal, uptake maksimal
oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan kemampuan aerobik
pasien dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan gagal
jantung.1, Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk menentukan ambang batas
metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme pasien beralih dari aerob ke
anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara praktis prinsip perhitungannya
ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi saat intensitas latihan ditingkatkan,
(2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya gejala berat seperti sesak atau letih.
Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang penting. Puncak Vo 2 <10 ml/kg/menit
dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi, >18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko
ringan. Nilai diantaranya adalah zona abu-abu dengan risiko sedang. Data prognostik
untuk puncak Vo2 pada wanita masih terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai
batasan untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung yang progresif harus
dipertimbangkan untuk menjalani transplantasi jantung. Walau demikian harus tetap
diingat bahwa puncak Vo2 max dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot,
dan status pelatihan aerobik. Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien
dengan Vo2 max yang rendah (<14 ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang
cukup baik. Karena hal tersebut beberapa peneliti telah mengusulkan angka prediksi
persentase Vo2 dibandingkan nilai absolut Vo2 max.1
Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan latihan
yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan submaksimal
atau symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes walking test menjadi
popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur jarak yang dapat ditempuh
dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana pasien dapat berjalan sesuai
kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat, atau berhenti. Test ini
14

memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan faktor independen yang berhubungan
erat dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Karena kemudahan-nya, test ini
semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk menilai efektivitas suatu
terapi.
Echocardiography
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan
untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan
mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara
cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan
penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung
echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan
aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate
imaging, dan cardiac motion analysis.4
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan perubahan
pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik
dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel di bawah mendeskripsikan
temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal jantung.
Tabel Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI
DIASTOLIK
 Ukuran dan  Ejeksi fraksi  Ejeksi fraksi
bentuk ventrikel ventrikel kiri ventrikel kiri
 Ejeksi fraksi berkurang <45% normal > 45-50%
ventikel kiri  Ventrikel kiri  Ukuran ventrikel
(LVEF) membesar kiri normal
 Gerakan regional  Dinding ventrikel  Dinding ventrikel
dinding jantung, kiri tipis kiri tebal, atrium
synchronisitas  Remodelling kiri berdilatasi
kontraksi eksentrik ventrikel  Remodelling
ventrikular kiri eksentrik ventrikel
 Remodelling LV  Regurgitasi ringan- kiri.
15

(konsentrik vs sedang katup  Tidak ada mitral


eksentrik) mitral* regurgitasi, jika ada
 Hipertrofi  Hipertensi minimal.
ventrikel kiri atau pulmonal*  Hipertensi
kanan (Disfunfsi  Pengisian mitral pulmonal*
Diastolik : berkurang*  Pola pengisian
hipertensi, COPD,  Tanda-tanda mitral abnormal.*
kelainan katup) meningkatnya  Terdapat tanda-
 Morfologi dan tekanan pengisian tanda tekanan
beratnya kelainan ventrikel* pengisian
katup meningkat.
 Mitral inflow dan
aortic outflow;
gradien tekanan
ventrikel kanan
 Status cardiac
output
(rendah/tinggi)
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari: Mann DL4

Penatalaksanaan Gagal Jantung Kronis


Tujuan Manajemen Terapi Gagal Jantung Kronis
Tujuan dalam mendiagnosa gagal jantung dan memberi terapi dini tidak
berbeda dengan kondisi kronis lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Karena angka kematian tahunan gagal jantung sangatlah tinggi, penekanan pada end-
point ini menjadi goal pada banyak tujuan uji klinis. Walau demikian pada kebanyakan
pasien, terutama orang tua, kemampuan untuk hidup mandiri, terbebas dari gejala
mengganggu yang tidak nyaman, dan menghindari perawatan adalah tujuan yang
seringkali seiring dengan keinginan untuk meningkatkan usia harapan hidup. Upaya
untuk mencegah timbulnya gagal jantung atau progresinya tetap merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari manajemen terapi. Banyak uji klinis acak gagal jantung
mengevaluasi pasien dengan disfungsi sistolik dengan LVEF 35-40%. Patokan LVEF
16

<40% ini relatif arbitrary, dan terdapat bukti yang terbatas bahwa gagal jantung dapat
simtomatik pada antara LVEF 40-50%. 15
Dapat disimpulkan bahwa tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :
a) Menurunkan mortalitas
b) Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
c) Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,
remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi
cairan, dan perawatan di rumah sakit.
Algoritma Tatalaksana Gagal Jantung Kronis
Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat pada skema tata
laksana gagal jantung kronik pada gambar di bawah.
17

Gambar Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada penatalaksanaan gagal jantung
kronis. Dikutip dari:Dickstein dkk15
18

Terapi NonFarmakologis
Perawatan Mandiri (Self Care)
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien,
kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat didefinisikan
sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala
perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter
atau perawat terlatih. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri yang perlu
dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel di bawah.15

Tabel Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal Jantung.
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-
etiologi gagal keluhan timbul
jantung
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
tanda-tanda gagal Mencatat berat badan setiap hari
jantung Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
farmakologik Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor Berhenti merokok, memantau tekanan darah
risiko Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah Melakukan olah raga teratur
raga
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat
keputusan realistik
Dikutip dari: Dickstein dkk15
19

Terapi Farmakologis
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan
mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload, meningkatkan
kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi farmakologis ini tergantung
pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin
digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas.
Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan
sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung
membaik.1
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan
gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan. Pada pasien yang
menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus dimulai sebelum pasien pulang rawat.
Dosis awal ACEI dengan target pada tdosis dapat dilihat pada Tabel di bawah. KELAS
REKOMENDASI I, TINGKAT BUKTI A.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

 LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.


 Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

 Riwayat adanya angioedema


 Stenosis bilateral arteri renalis
 Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
 Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
 Stenosis aorta berat
20

Cara pemberian ACEI :

 Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.


 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
 Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan
secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

Tabel Obat -obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis yang diinginkan
Dikutip dari: Dickstein dkk.15
21

Kemungkinan yang dihadapi saat memberikan ACEI :

 Perburukan fungsi renal – peningkatan urea dan kreatinin saat diberikan ACEI
adalah sesuatu yang diharapkan, dan tidak dianggap penting secara klinis
kecuali jika peningkatanya cepat dan bermakna. Periksa obat-obatan nefrotoxic
yang mungkin diberikan bersamaan seperti obat anti inflamasi non steroid
(OAINS). Jika diperlukan turunkan dosis ACEI atau jangan teruskan. Jika
terdapat peningkatan kreatinin lebih dari 50% dari baseline atau hingga
konsentrasi absolut 265 mmol/L (~3 mg/dL). Jika konsentrasi kreatinine
meningkat hingga 310 mmol/L (~3.5 mg/dL) atau diatasnya stop ACEI
secepatnya dan monitor kimia darah secara erat.
 Hiperkalemia – periksa penggunaan agen lain yang dapat menyebabkan
hiperkalemia, misalnya suplementasi kalsium, diuretik hemat kalsium, dan
hentikan penggunaannya. Jika kadar kalsium meningkat diatas 5.5 mmol/L,
turunkan dosis ACEI setengahnya dan monitor kima darah secara erat. Jika
kalisum naik diatas 6 mmol/L stop penggunaan ACEI secepatnya dan monitor
kimia darah secara erat.
 Hipotensi simtomatik (misal : pusing) adalah hal yang umum terjadi – hal ini
seringkali membaik seiring waktu, dan pasien perlu diyakinkan. Jika
mengganggu pertimbangkan untuk mengurangi dosis diuretik dan agen
hipotensif lainnya (kecuali ARB/ β-blocker/antagonis aldosteron). Hipotensi
asimtomatik tidak memerlukan intervensi.

Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)


Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap
simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali
telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel
dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan gagal jantung.
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
22

Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.


Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada
pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB
mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat
perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus dimulai
sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien
dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.
Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang
tidak toleran terhadap ACEI.14
Pasien yang harus mendapatkan ARB :

 Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%


 Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
 Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun sudah
mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan beta blocker.

Memulai pemberian ARB:

 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


 Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
 Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan secara
cepat sangat mungkin pada pasien yang monitoring ketat.
23

β-blocker / Penghambat Sekat-β


Alasan penggunaan beta blocker (BB) pada pasien gagal jantung adalah
adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk
kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus
diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat
akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika memungkinkan
pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai secara hati-hati
sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Manfaat beta blocker dalam gagal jantung melalui:

 Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga


memperbaiki perfusi miokard.
 Meningkatkan LVEF
 Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

 LVEF < 40%


 Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan
disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
 Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
 Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien
yang baru saja masuk rawat karena GAGAL JANTUNG AKUT, selama pasien
telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik
intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah
dimulainya terapi BB.
24

Kontraindikasi :

 Asthma (COPD bukan kontranindikasi).


 AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker),
sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

 Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg, metoprolol


CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi jika
diberikan dalam setting rawat jalan.
 Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum
pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

 Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB


(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien
degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat
perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih
(<50x/menit).
 Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat
tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-
50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau dosis
yang bisa ditoleransi maksimal.
25

Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai
tanda dan gejala kongesti. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda
dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan
biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus
disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang
cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun
harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia,
atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan
kreatinine dipanantau secara berkala.14
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

 Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko


hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.
 Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan
bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.
 Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk
antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan
diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis
aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

 Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.


 Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
 Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan
klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian dapat
dilihat pada tabel di bawah.
26

 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah
tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai
hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin. Keadaan yang
mungkin terjadi pada penggunaan diuretik dapat dilihat pada tabel kedua di
bawah.
 Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong
pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan
edukasi pasien.

Tabel Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis
yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diuretic
Dikutip dari: Dickstein dkk.15
27

Tabel Keadaan yang mungkin terjadi pada pemberian diuretik jangka panjang, dan
tindakan yang disarankan. Dikutip dari: Dickstein dkk.15

Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi yang
sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

 LVEF < 35%


 Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
28

Memulai pemberian spironolakton :

 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


 Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide Dinitrat


Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-ISDN
dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan ARB.
Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala
yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau Aldosteron
Antagonis. Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat :
Mengurangi risiko kematian.9
Mengurangi angka kembali rawat untuk perburukan gagal jantung.
Memperbaiki fungsi ventrikel dan kemampuan latihan. Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti A
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah :

 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.


 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi.
 Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-
amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal berat
(pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

 Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.


 Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan bila
terdapat hipotensi simtomatik.
29

 Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan
pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari,
atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

 Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu, pertimbangkan


untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi (kecuali
ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak
membutuhkan intervensi.
 Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –
pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA),
jangan teruskan H-ISDN.

Glikosida Jantung (Digoxin)


Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat digunakn
untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan LVEF <
40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol tekanan
darah. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,
terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan
gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka mortalitas.
Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B.
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel
akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium
melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
30

 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi


ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan saat
aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta blocker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.

Antikoagulan (Antagonis Vitamin K)


Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada
pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal tanpa
adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus disesuaikan
dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke. Kelas Rekomendasi I, Tingkat
Bukti A
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus intrakardiak
yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya tromboembolisme sistemik.
Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :

 Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat
mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
 Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
31

 Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada
mereka yang memiliki katup prostetik.
 Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin
dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko
perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat
terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

Tatalaksana Gagal Jantung Kronis Dengan Fungsi Sistolik Baik


Pada pasien dengan fungsi sistolik baik (heart failure with preserved ejection
fraction) hingga kini masih belum terdapat terapi yang secara meyakinkan mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Diuretik dapat digunakan untuk mengontraol retensi natrium
dan cairan dan mengurangi keluhan mudah sesak dan edema. Terapi yang adekuat
untuk mengontrol tekanan darah dan respon ventrikel pada atrial fibrilasi juga dianggap
penting. Pada dua uji klinis skala kecil (melibatakan 30 orang), telah ditunjukkan bahwa
pasien dengan kontrol heart rate dengan CCB Verapamil dapat memperbaiki
kemampuan saat latihan dan gejala pada banyak pasien dengan disfungsi diastolik.

Tindakan Operatif / Prosedur Pada Gagal Jantung Kronis


Pada gagal jantung kronis simtomatik, kondisi yang dapat dikoreksi melalui tindakan
operatif harus dideteksi dan dikoreksi jika diindikasikan.

Revaskularisasi Koroner Pada Pasien Gagal Jantung


Penyakit jantung koroner (PJK) adalah menyebab paling umum gagal jantung
dan kondisi ini terdapat pada 60-70% pasien dengan gagal jantung dan penurunan
LVEF. Pada disfungsi diastolik, penyakit jantung koroner lebih sedikit menjadi penyebab
gagal jantung, namun masih tetap dapat terdeteksi pada setengah pasien dengan
disfungsi diastolik. Etiologi iskemia dihubungkan dengan risiko mortalitas dan
morbiditas yang lebih tinggi.
Baik coronary artery bypass grafting (CABG) dan percutaneus coronary
intervention (PCI) harus dipertimbangkan pada pasein gagal jantung tertentu dengan
PJK. Pilihan mengenai metode revaskularisasi harus didasarkan pada evaluasi cermat
32

komorbiditas, risiko tindakan, anatomi koroner, bukti mengenai seberapa besar


miokardium yang masih viable pada area yang akan di revaskularisasi, fungsi ventrikel
kiri dan keberadaan penyakit valvular yang secara hemodinamik signifikan haruslah
diperhatikan.
Saat ini tidak terdapat data dari uji klinis multisenter yang mempelajari nilai dari
tindakan revaskularisasi untuk mengurangi gejala gagal jantung. Walau demikian,
penelitian observasional dari suatu senter mengenai gagal jantung dengan penyebab
iskemik menemukan bahwa revaskularisasi dapat mengarah pada perbaikan gejala dan
berpotensi memperbaiki fungsi jantung. Saat ini terdapat beberapa uji klinis yang
mencoba mencari tahu dampak intervensi secara klinis.
Evaluasi Penyakit Jantung Koroner pada Gagal Jantung Kronis
Angiografi koroner tidak direkomendasikan pada pasien dengan risiko rendah
PJK. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan berdasar pada hasil pemeriksaan non-
invasif sebelumnya (Treadmill Test, Stress Echo, Stress Perfusi Nuklir).
Angiografi Koroner
Direkomendasikan pada pasien dengan risiko tinggi PJK tanpa kontraindikasi
untuk memastikan diagnosis dan merencanakan strategi terapi. Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti C
Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan bukti temuan kelainan
valvular yang signifikan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung yang mengalami gejala
angina walau sudah diberikan terapi farmakologis yang optimal. Kelas Rekomendasi
IIa, Tingkat Bukti C
33

Deteksi Viabilitas Miokardium


Karena miokardium viable dapat menjadi target revaskularisasi, deteksinya
harus dipikirkan pada work-up diagnostik pasien gagal jantung dengan PJK. Beberapa
modalitas dengan akurasi diagnostik yang tak jauh berbeda dapat digunakan untuk
mendeteksi miokardium yang fungsinya terganggu namun masih dapat diselamatkan
(viable). Karenanya pemeriksaan dengan menggunakan dobutamine stress echo,
pencitraan nuklir dengan Single Positron Emission Computed Tomography (SPECT)
dan/atau dengan Positron Emission Tomography (PET), Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dengan dobutamin dan/atau kontrast, Computed Tomography (CT) dengan
kontras dapat digunakan untuk mendeteksi miokardium yang viable. Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C
Operasi Katup
Penyakit katup jantung atau valvular heart disesase (VHD) dapat menjadi
penyebab yang mendasari gagal jantung, atau menjadi faktor yang memperburuk gagal
jantung yang membutuhkan mangemen terapi spesifik.
Guideline ESC mengenai VHD dapat diterapkan pada hampir semua pasien
dengan gagal jantung. Walau penurunanLVEF merupkan faktor risiko yang penting
untuk kematian peri- dan post- operatif yang penting, tindakan operatif tetap dapat
dipertimbangkan .9
Manajemen optimal gagal jantung dan kondisi ko-morbid sebelum operasi
sangatlah penting. Operasi darurat harus dihindari sebisa mungkin.
Rekomendasi spesifik mengenai operasi untuk pasien VHD dengan gagal
jantung sulit untuk disediakan, sehingga keputusan harus didasarkan pada penilaian
klinis dan echocardiografi yang seksama dengan memperhatikan komorbidatas
kardivaskular dan non-kardiovaskular yang ada.
Keputusan untuk melakukan operasi untuk kelainan katup dengan hemodinamik
yang signifikan seperti stenosis aorta, regurgitasi aorta, atau regurgitasi mitral
membutuhkan pertimbangan dari segi motivasi pasien, usai pasien, dan profil risiko.
34

Stenosis Aorta (AS)


Terapi medis pada stenosis katup aorta dalam hal ini yang berkaitan dengan
gagal jantung harus dioptimalkan, namun tidak boleh menunda keputusan mengenai
operasi katup. Vasodilator seperti ACEI, ARB, dan nitrat dapat mengakibatkan hipotensi
yang substansial pada pasien dengan stenosis aorta berat, dan karenanya harus
digunakan secara berhati-hati.
Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien yang memenuhi syarat
dengan gagal jantung yang bergejala dan stenosis aorta berat. Rekomendasi Kelas I,
Tingkat Bukti C
Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan stenosis
aorta berat dan penurunan fungsi LVED (<50%). Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C
Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup aorta
yang jauh berkurang dan disfungsi ventrikel kiri. Rekomendasi Kelas IIa, Tingkat Bukti
C
Regurgitasi Aorta (AR)
Tindakan operatif direkomendasikan pada semua pasien dengan regirgutasi
aorta berat yang memiliki gejala gagal jantung. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B
Tindakan operatif direkomendasikan pada pasein dengan regurgitasi aorta berat
dan LVEF yang menurun. (LVEF < 50%) Kelas Rekomendasi IIa, Bukti tingkat C.
Fungsi ventrikel kiri biasanya membaik setelah operasi, dan pada suatu studi
ditunjukan bawah pada group yang menjalani operasi memiliki prognosa yang lebih baik
dibandingkan yang tidak menjalani operasi. Disisi yang lain risiko operatif semakin
tinggi seiring semakin beratnya disfungsi ventrikel kiri.15
Operasi Katup Mitral
Regurgitasi Mitral (MR)
Tindakan operatif pada pasien gagal jantung dengan regurgitasi mitral berat,
telah dilaporkan memperbaiki gejala pada kelompok pasien tertentu. Tindakan operatif
yang harus selalu dipertimbangkan pada pasien dengan regurgitasi mitral berat ketika
revaskularisasi koroner menjadi pilihan. Terapi operatif menjadi pilihan yang menarik
pada pasien dengan risiko operatif yang rendah.
35

Regurgitasi Mitral Organik


Pada pasien dengan mitral regurgitasi organik yang berat karena adanya
kelainan struktural atau kerusakan katup mitral, bertambah buruknya gejala gagal
jantung adalah indikasi yang kuat untuk operasi.
Tindakan operasi direkomendasikan pada pasien dengan LVEF < 30% (jika
memungkinkan dilakukan perbaikan katup). Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien dengan regurgitasi mitral berat
dan LVEF < 30%, terapi farmakologis tetap menjadi pilihan pertama. Hanya jika pasien
tetap refrakter terhadap terapi farmakologis dan memiliki profil risiko operasi yang
rendah operasi dapat dipertimbangkan. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C
Regurgitasi Mitral Fungsional
Tindakan operatif dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu dengan
regurgitasi mitral fungsional berat dan fungsi ventrikel kiri yang sangat menurun, yang
tetap bergejala walau terapi farmakologis telah optimal. Kelas Rekomendasi IIb, Tingkat
Bukti C
Terapi Resingkronisasi Jantung atau Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)
harus dipertimbangkan pada pasien yang memenuhi syarat karena dapat memperbaiki
geometri ventrikel kiri, disingkroni muskulus papilaris dan dapat mengurangi regurgitasi
mitral yang terjadi. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Regurgitasi Mitral Iskemik
Tindakan operatif direkomendasikan pada pasien dengan MR yang berat dan
LVEF < 30% jika direncanakan CABG. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Tindakan operatif juga harus dipikirkan pada pasien dengan MR moderate yang
akan CABG jika perbaikan katup memungkinkan . Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti
C
36

Regurgitasi Trikuspid (TR)


Regurgitasi Trikuspid fungsional sangat umum ditemukan pada pasien gagal
jantung dengan dilatasi biventrikel, disfungsi sistolik dan hipertensi pulmonal. Gejala
yang menyertai terutama gejala gagal jantung kanan dengan kongesti sistemik dan
respon yang buruk terhadap terapi agresif diuretik yang dapat memperburuk gejala
seperti lelah dan intoleransi saat latihan. Tidak terdapat indikasi operatif untuk TR
fungsional.14
Aneurismektomi Ventrikel Kiri
Tindakan aneurysmectomy (reseksi aneurisma) dapat dipertimbangkan pada
pasien simtomatik dengan aneurisme ventrikel kiri yang besar dan jelas. Kelas
Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C
Kardiomioplasty
Kardiomioplasty dan ventrikulotomy ventrikel kiri parsial (operasi Batista) tidak
direkomendasikan untuk terapi gagal jantung atau sebagai terapi alternatif gagal
jantung. Kelas Rekomendasi III, Tingkat Bukti C.
Restorasi Ventrikel Eksternal
Restorasi ventrikel eksternal tidak direkomendasikan untuk terapi gagal jantung. Kelas
Rekomendasi III, Tingkat Bukti C.
Alat Pacu Jantung
Indikasi konvensional untuk pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang normal juga
dapat diterapkan pada pasien dengan gagal jantung. Pada pasien dengan gagal
jantung dan irama sinus, upaya untuk memperthankan respon kronotropik normal dan
koordinasi atrial dan ventrikel yang normal dengan pacu jantung DDD dapat menjadi
sesuatu yang penting.15
Pada pasien gagal jantung dengan indikasi pemasangan alat pacu jantung
permanen (implant pertama atau mengganti pacemaker konvensional) dan NYHA kelas
II-IV, ejeksi fraksi yang rendah (<35%), atau dilatasi ventrikel kiri. Pemasangan CRT
harus dipertimbangkan untuk memilih CRT yang memiliki fungsi pacu jantung (CRT-P).
Pada pasien–pasien ini penggunaan alat pacu jantung ventrikel kanan dapat membawa
akibat buruk dan dapat menjadi penyebab atau memperburuk disingkroni yang terjadi.
Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C.
37

Terapi resinkronisasi jantung dengan pacu jantung (CRT-P) direkomendasikan


untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien NYHA kelas III-IV yang tetap
simtomatik meski telah diberikan terapi medikal optimal, dan mereka yang memiliki
LVEF rendah (<35%) dan pemanjangan QRS komplek (lebar QRS >120 ms). Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Terapi resinkronisasi jantung dengan defibrilator (CRT-D) direkomendasikan
untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien NYHA kelas III-IV yang tetap
simtomatik meski telah mendapat terapi farmakologis yang optimal, dan yang memiliki
LVEF rendah (<35%) dan pemanjangan QRS komplek (lebar QRS >120 ms). Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Keuntungan CRT-D vs CRT-P dari segi keberhasilan menurunkan mortalitas
masih belum diteliti secara mendalam. Karena efektivitas yang berhasil
didokumentasikan pada pemasangan implantable cardioverter defibrilator (ICD) dalam
mencegah kematian jantung mendadak, penggunaan CRT-D umumnya lebih dipilih
pada pasien yang dapat memenuhi kriteria pemasangan CRT, termasuk harapan
bertahan hidup dengan status fungsional baik untuk >1 tahun.
Implantable Cardioverter Defibrilator (ICD)
Setengah angka kematian yang diamati pada pasein dengan gagal jantung
berhubungan dengan kematian jantung mendadak (SDC). Upaya untuk mengurangi
kematian pasien akibat even aritmia karenanya menjadi penting dilakukan untuk
mengurangi angka kematian total pada populasi ini. 15

Terapi ICD untuk prevensi sekunder direkomendasikan untuk pasien yang


berhasil selamat dari episode fibrilasi ventrikel (VF) dan juga untuk pasien dengan
riwayat VT dengan hemodinamik tidak stabil dan/atau VT dengan sinkope, LVEF <40%,
yang sudah mendapat terapi farmakologis optimal, dan dengan harapan hidup dengan
status fungsional yang baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi
mortalitas pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dikarenakan infark miokard yang
dalam 40 hari setelahnya memiliki LVEF < 35%, berada di NYHA kelas fungsional II
atau III, telah mendapat terapi farmakologis optimal dan yang memiliki harapan hidup
dengan status fungsional baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A
38

Terapi ICD untuk prevensi primer direkomendasikan untuk mengurangi


mortalitas pada pasien dengan cardiomiopati non-iskemik dengan LVEF < 35%, berada
pada NYHA kelas fungsional II atau III, mendapat terapi farmakologis optimal, dan
memiliki harapan hidup dengan status fungsional baik >1 tahun. Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti B.
Transplantasi Jantung
Pasien dengan gejala gagal jantung yang berat, memiliki prognosis buruk, dan
yang tidak memiliki kemungkinan terapi lain harus dipikirkan untuk menjalani
transplantasi jantung. Pasien yang direncanakan sebagai kandidat harus diberi
informasi secara jelas, bermotivasi kuat, memiliki emosi yang stabil, dan mampu
mematuhi terapi intensif yang harus dijalani.15
Selain keterbatasan jantung donor, tantangan utama dalam transplantasi
jantung adalah prevensi rejeksi allograft yang bertanggung jawab untuk kematian pada
sebagian besar kasus pada tahun pertama setelah transplantasi. Outcome jangka
panjang telah terbatasi terutama akibat konsekuensi immunosupresi jangka panjang
(infeksi, hipertensi, gagal ginjal, keganasan, dan CAD). Transplantasi harus dipikirkan
pada pasien yang memiliki motivasi kuat dengan gagal jantung terminal, gejala yang
berat, tidak memiliki ko-morbiditas yang serius dan tidak memiliki terapi alternatif lain.
Kontraindikasi transplantasi jantung antara lain : penggunaan alkohol dan/atau
penyalahgunaan obat, kurangnya kerjasama pasien, status mental yang tidak
terkontrol, riwayat kanker dengan remisi dan <5 tahun follow-up, penyakit sistemik yang
melibatkan multiple organ, infeksi aktif, gagal ginjal yang signifikan (CrCl <50 mL/menit),
resistensi vaskuler paru irreversible (6-8 wood unit dengan gradien transpulmoner >15
mmHg), riwayat komplikasi tromboembolik baru, peptic ulser yang belum sembuh, dan
komorbiditas serius lain yang memiliki prognosis buruk.
Transplantasi jantung adalah terapi yang telah diterima untuk gagal jantung
terminal. Walau uji klinis terkonrol belum pernah dilakukan, terdapat konsesus bahwa
transplantasi, dengan seleksi kandidat yang ketat, secara signifikan menurunkan
mortalitas, meningkatkan kapasitas latihan, pasien dapat kembali bekerja, dan
meningkatkan kualitas hidup dibandingkant terapi konvensional. Rekomendasi Kelas I,
Tingkat Bukti C.
39

Ventricular Assist Device, Dan Jantung Buatan


Saat ini terdapat kemajuan yang cepat dalam pengembangan teknologi alat
bantu ventrikel kiri atau Left Ventricular Assist Device (LVAD) dan jantung buatan.
Karena terbatasnya populasi dari uji klinis acak, rekomendasi yang ada saat ini masih
terbatas. Masih belum terdapat konsensus mengenai indikasi LVAD atau populasi
pasien yang paling tepat menjadi sasaran. Karena teknogi LVAD kemungkinan besar
akan terus mengalami pengambangan cepat dimasa yang akan datang maka
rekomendasi mengenai hal ini akan terus direvisi.
Indikasi saat ini untuk pemasangan LVAD dan jantung buatan antara lain
sebagai jembatan untuk transplantasi dan pada manajemen pasien dengan miokarditis
akut yang berat. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti C.
Walau pengalaman di bidang ini masih terbatas, alat ini dapat dipertimbangakan
untuk penggunaan jangka panjang jika prosedur definitif tidak direncanakan. Kelas
Rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C.
Support hemodinamik dengan menggunakan LVAD dapat mencegah atau
mengurangi perburukan klinis dan dapat meningkatkan kondisi klinis pasien sebelum
transplantasi, atau mengurangi mortalitas pada miokarditis akut yang berat. Semakin
lama support ini digunakan, risiko komplikasi, termasuk infeksi dan emboli meningkat.
Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dipertimbangkan untuk mengurangi overload cairan (edema
paru atau perifer) pada pasien tertentu dan memperbaiki hiponatremi pada pasien
simtomatik yang refrakter terhadap diuretik. Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Prognosis Gagal Jantung Kronis
Gagal jantung modern menggunakan ACE-inhibitor (ACEi) dan Beta-
blocker(BB) saat ini dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien dengan gagal
jantung, diagnosis gagal jantung memiliki tingkat mortalitas yang tinggi, tidak jauh
berbeda dengan keganasan saluran cerna.15
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks, banyak variabel
seperti yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi progresi
gagal jantung tiap individu yang berbeda, dan hasil akhir kematian (apakah mendadak
40

atau progresif akibat gagal jantung). Dampak pengobatan spesifik gagal jantung
terhadap tiap individu pun sulit untuk diperkirakan. Variabel yang paling sering
ditemukan konsisesten sebagai faktor prediktor independen pada prognosis gagal
jantung dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel kondisi yang ditemukan berhubungan erat dengan prognosis buruk pada gagal
jantung
Demografik Klinis EKG Fungsional Laboratorik Imaging

Usia Lanjut* Hipotensi Takikardia, Penurunaan Elevasi BNP / Ejeksi fraksi


Gelombang Q kapasitas NT pro-BNP* yang rendah*
fungsional,
puncak VO2
yang rendah*
Penyebab NYHA FC III- QRS lebar Hiponatremi*
iskemia* IV*
Riwayat Riwayat Hipertrofi Peningkatan
Resusitasi* perawatan ventrikel kiri Troponin
karena gagal Aritmia Peningkatan
jantung* ventrikular aktivasi
kompleks biomarker
humoral

Komplians Takikardia Toleransi Hasil yang Peningkatan Peningkatan


buruk latihan yang buruk pada tes kreatinin / BUN volume LV
rendah jalan 6 menit
Atrial Fibrilasi
Disfungsi Rales pada paru Tingginya Peningkatan Cardiac Index
Ginjal Body Mass slope anemia bilirubin rendah
Index yang VF/VCO2
rendah
Diabetes Stenosis Aorta Nafas Periodik Peningkatan asam Tekanan
(Chayne urat pengisian
Stokes) ventrikel kiri
tinggi
41

Pola pengisian
Anemia mitral restriktif,
hipertensi
pulmonal
COPD Kelainan nafas Fungsi ventrikel
saat tidur kanan yang
terganggu
Depresi
Dikutip dari : Mann DL dkk. 4

Anda mungkin juga menyukai