Anda di halaman 1dari 36

PENDIDIKAN KARAKTER

DI PESANTREN

RIDWAN ABDULLAH SANI

CIPTA PUSTAKA MEDIA PERINTIS


BANDUNG
ISBN: 978-602-3770-01-9

1
PENGANTAR

Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Unimed) telah


melakukan penelitian untuk memetakan good practices pendidikan
karakter di pondok pesantren (ponpes). Penelitian didanai oleh
Kementerian Agama dengan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam
No. Dj.I/638/2010 tanggal 23 September 2010. Penelitian yang
dilakukan termasuk kategori penelitian kualitatif dan studi literatur.
A da beberapa alasan mengapa pendekatan kualitatif dianggap lebih
tepat digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini. Pertama,
penelitian ini dimaksudkan untuk me ma h a mi sebuah proses
pendidikan karakter bangsa yang berbasis pesantren dan kitab kuning
dalam setting alamiahnya, dan menginterpretasikan fenomena ini
berdasarkan pengamatan dan pemaknaan yang diberikan informan.
Kedua, realitas yang bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari
kompleksitas situasi yang beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap
sebuah fenomena dilakukan dengan menganalisa konteks yang
mengitarinya, dan ini hanya mungki n dilakukan dengan pendekatan
kualitatif.

Dalam penelitian dilakukan penjaringan data tentang pem-


bentukan karakter yang dilaksanakan di pesantren sedangkan
penelitian studi literatur yaitu mendata buku-buku teks (kitab kuning)
yang di gunakan oleh pesantren dal am me mbe nt uk karakter bangsa.
Metode penelitian yang digunakan untuk studi literatur (penelitian
teks), yaitu bertumpu pada analisis konten (teks) dengan mengi-
dentifikasi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dan menganalisis
muatannya. Dengan menggunakan pendekatan analisis harafiah dan
makna, nilai-nilai tertentu terkait dengan nilai-nilai yang mengandung
pembentukan karakter akan dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan
arti harfiah, m a k n a yan g tersurat da n tersirat, dan ba gai man a cara
pengajarannya. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
1. Apakah pesantren melakukan pendidikan karakter kebangsaan ?
2. Atribut karakter apa yang paling dominan dibentuk dalam
proses pendidikan di pesantren ?
3. Faktor apa saja yang paling dominan mempengaruhi karakter
santri dalam proses pendidikan di pesantren ?
4. Bagaimana strategi/model/metode/teknik pesantren dalam
membentuk karakter santri ?
5. Bagaimana peran dan tanggung jawab ustadz dalam membentuk
karakter santri ?

1
6. Bagaimana kedudukan dan fungsi kitab kuning dalam
pembentukan karakter santri ?
7. Bagaimana bentuk pendidikan (sistem, strategi, model, dan
metode) yang dapat diimplementasikan untuk membentuk
karakter siswa dalam pendidikan secara umum ?

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian di pesantren terkait dengan


pendekatan dan metode pembentukan karakter adalah bahwa sangat
banyak faktor yang mempengaruhi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem dan kondisi pendidikan di pesantren yang terkontrol dan hanya
sedikit dipengaruhi lingkungan akan dipelajari dalam upaya
pengembangan tahapan/ prosedur baku yang dapat dimanfaatkan
dalam pendidikan karakter secara umum.

Penelitian dilakukan di beberapa pesantren yang berada di


propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi
Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera
Selatan. Pesantren yang diteliti adalah sebagai berikut: Ponpes
Madrasatul ‘ Ulum (Padang Sumatera Barat), Ponpes Darul Ikhwan
(Lhokseumawe, Aceh), Ponpes Itihadul Mubalighin (Sumatera Barat),
Ponpes Syekh Burhanuddin (Kampar Riau), Ponpes Putra Ruhul Fata &
Ruhul Fatayat Putri (Aceh Besar), Ponpes Rubath Al-Muhibbien (Musi
Banyuasin, Sumatera Selatan), Ponpes Nurul Huda Al-Islami
(PekanBaru Riau), Ponpes Al-Munawwarah (Riau), Ponpes As’ad
(Jambi), Ponpes Darussalam (Labuhan Haji, Aceh Selatan), Ponpes
Musthafawiyah (Purba Baru Madina, SUMUT), Ponpes Darussalam
(Pematang Siantar, SUMUT), Ponpes Babussalam (Langkat Sumatera
Utara), Ponpes Uswatun Hasanah (Labuhan Batu Sumatera Utara),
Ponpes Al-Kautsar Panei Tongah (Simalungun Sumatera Utara), Ponpes
Hidayatullah (Tanjung Morawa Sumatera Utara), Ponpes Darus Sa’adah
(Langkat Sumatera Utara), Pesantren Tahfizul Qur'an Utsman bin Affan
(Sumatera Utara), Ponpes Nurul Haki m (Sumatera Utara), Pesantren
Saifullah (Sumatera Utara), Ponpes Darul Mukhlisin (Sumatera Utara),
Ponpes Mawaridussalam (Sumatera Utara), Ponpes Daar Al Ulum
(Sumatera Utara), Ponpes Al Kautsar (Sumatera Utara), Pesantren TPI
Darul Hikmah (Sumatera Utara), Ponpes Ulumul Qur’an (Langsa,
Aceh), Ponpes Al Husna (Sumatera Utara), Ponpes Bina Ulama
(Sumatera Utara), Ponpes Raudah (Sumatera Utara Ponpes Al-
Mukhlishin (Sumatera Utara), Ponpes Darul Arafah Raya (Sumatera
Utara), Ponpes At-Toyyibah (Rantau Parapat SUMUT).

P e n gu mp u l a n data d a l a m penelitian ini dil akukan den gan 2


(dua) tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian
2
kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Observasi
dilakukan secara non-partisan, dimana peneliti berperan hanya sebagai
pengamat fenomena yang sedang diteliti. Selama penelitian
berlangsung, mengamati kegiatan-kegiatan para pengurus, guru (ustadz)
dan santri Pondok Pesantren, melihat bagaimana proses belajar
mengajar, khususnya berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa
berbasis pesantren dan kitab kuning berlangsung. Sedangkan
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth
interview dengan pola semi-structured interview. Wawancara
dilaksanakan terhadap pimpinan pesantren dan pengurus yayasan
sekaligus pemrakarsa pendirian Pondok Pesantren untuk mengetahui
latar belakang pendirian Pesantren serta hambatan yang dihadapi mulai
dari pendirian sampai saat ini. Wawancara juga dilakukan kepada
pengelola (kepala sekolah) dan guru (ustadz) yang berperan dan
bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di Pondok Pesantren.
Wawancar a ya n g dilakukan terhadap pengurus yayasan (kiyai) dan
guru (ustadz), peneliti memperoleh informasi tentang perkembangan
pesantren dan bagaimana proses pembelajarannya berlangsung. Peneliti
juga diminta untuk mendapatkan informasi tentang pandangan
beberapa tokoh pesantren (kiyai maupun ustadz) mengenai beberapa
tema-tema karakter kebangsaan melalui kasus-kasus yang diangkat.
Untuk studi penelitian kualitatif ini sangat ditekankan pada wawancara
tentang nilai-nilai pembentukan karakter di pesantren. Wawancara
dilakukan pada pimpinan pondok pesantren, pada ustadz dan
santrinya. Lebih lanjut dilakukan juga observasi (pengamatan) tentang
aplikasi yang dilakukan oleh para santri dalam membentuk nilai-nilai
kepribadian yang berhubungan dengan pembentukan karakter bangsa.
Kemudian juga dilakukan studi tokoh, yaitu dengan metode indepth
interview dengan para tokoh (ustadz), santri, pengasuh, dan orang-orang
di sekitar lingkungan pesantren.

Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa


langkah. Pertama, membuat proceeding lengkap secara tertulis dan
catatan pinggir (berupa resume) dari semua informasi yang diperoleh
dari kegiatan observasi dan interview. Kedua, melaksanakan seleksi atau
validasi informasi dengan menggunkan teknik trianggulasi sehingga
diperoleh data yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan
dilakukan coding data. Ketiga, klasifikasi data ke dalam beberapa
kategori data sesuai topik bahasan penelitian. Selanjutnya, dalam proses
analisis data digunakan pendekatan analisis kualitatif. Data yang
diperoleh melalui instrumen pengumpulan data disusun secara teratur
dan sistematis serta selanjutnya dianalisis secara kualitatif, karena kajian

3
ini dapat juga dikategorikan dan disebut sebagai penelitian kualitatif.
Penarikan kesimpulan didasarkan pada pemikiran logis dari data yang
diperoleh setelah diberi penjelasan dalam bentuk uraian. Data disajikan
sekaligus menganalisisnya (deskriptif analisis), dengan kata lain, agar
tidak kehilangan relevansinya, penyajian data tidak dipisahkan dari
analisisnya, tetapi dilakukan secara bersamaan. Kompilasi dan
pengolahan data penelitian dari semua pesantren dilakukan oleh ketua
peneliti ( Ri dwan Abdullah Sani) bersama tim khusus pengolah data
yang sekaligus mengembangkan model pendidikan dan manual
prosedur berdasarkan best practices yang ditemukan serta mengkaji teori
yang relevan. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengem-
bangkan met ode pembelaj aran ya n g dapat digunakan unt uk
membentuk karakter mulia siswa.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada peneliti yang telah


melakukan wawancara dan observasi ke pesantren, terutama kepada
bapak: Mussadad Lubis, M Yafiz, Ayi Darmana, Zulkifli Matondang,
Zulkarnaen, Majda, Arif Wahyudi, Syaukani, Ansari Yamamah,
Purwanto, Adenan, Al-Khafi, Ibnu Hajar Damanik, Abdul Hakim
Daulay, Sakholid, Sudiran, Septian Prawijaya, dan Eddiyanto.
Penghar gaan d a n terima kasih j uga di sampai kan pada nara sumber
yang u mu mn ya merupakan ustadz di pesantren yang diteliti. Terima
kasih juga disampaikan kepada adik-adik mahasiswa dan semua pihak
yang telah membantu dalam mengumpulkan dan mengolah data.

4
PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Pendidikan Karakter
Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendi-
dikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik
itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis
mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior
(Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup
moral judgment and moral behavior baik yang bersifat prohibition-oriented
morality maupun pro-social morality. Secara pedagogik, pendidikan
karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic
approach, dengan pengertian bahwa “effective character education is not
adding a program or set of programs, rather it is a transformation of the culture
and life of the school” (Berkowitz, 2010). Sementara itu Lickona (1992)
menegaskan bahwa: “In character education, it’s clear we want our children
are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do
what they believe to be right-even in the face of pressure form without and
temptation from within.” Eleanor Roosevelt istri mantan presiden
Amerika mengemukakan bahwa karakter itu dibentuk, dan bukan
merupakan sifat bawaan lahir, dalam pernyataannya: “People grow
through experience if they meet life honestly and courageously. This is how
character is built”.

Istilah pendidikan karakter yang digunakan di Amerika meru-


pakan transformasi dari pendidikan moral, atau pendidikan nilai-nilai
(di Inggris) 1 . Istilah pendidikan moral lebih disukai di beberapa negara.
Permasalahannya, pendidikan moral pada u mumn ya bersifat teoritis
menggunakan pendekatan liberal, konstruktivistik, dan kognitif.
Sedangkan pendidikan nilai-nilai menggunakan pendekatan empiris
(praktek) dan tingkah laku. Pendidikan moral umumnya dititipkan
pada mata pelajaran moral pancasila (PMP pada masa lalu) atau
pelajaran kewarganegaraan (PPKn). Pendidikan karakter dapat
dititipkan pada semua mata pelajaran, bahkan sebaiknya merupakan
program sekolah secara umum.

Pendidikan karakter menurut Ryan dan Bohlin (1999) adalah


upaya mengembangkan karakter (virtues) yang mencakup kebiasaan

1 MW Berkowitz dalam Damon (2002). Bringing a New Era in Character Education,


Stanford : Hoover Institution Press, hal 44.
5
dan semangat yang baik, sehingga siswa menj adi pribadi yang
bertanggung jawab dan dewasa 2 . Sedangkan Anne Lockwood (1997) 3
mendefinisikan pendidikan karakter (character education) sebagai: “any
school-instituted program, designed in cooperation with other community
institutions, to shape directly and systematically the behaviour of young people
by influencing explicitly the non-relativistic values believed directly to bring
about that behavior”. Berdasar pada pendapat tersebut dapat dikatakan
bahwa pembentukan karakter seharusnya dilakukan secara terprogram
oleh sekolah dalam upaya membentuk pribadi siswa yang bertanggung-
jawab. Terkait dengan pendekatan dalam pembentukan karakter,
Berkowitz dan Bier (2005) 4 mengemukakan praktek yang sangat perlu
dilakukan, yakni: 1) problem solving, 2) empati, 3) keterampilan social, 4)
pemecahan konflik, 5) upaya mendamaikan, dan 6) keterampilan hidup
(life skills).

Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia


berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat
istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana
untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginter-
nalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan
kamil. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Pendidikan karakter bukanlah semata-mata tanggung jawab
pemerintah, melainkan juga orangtua, institusi pendidikan, organisasi
agama, dan masyarakat. Unt uk memper kuat pentingnya pendidikan
karakter, kita ingat akan sabda Rasulullah saw, yaitu : “Innamaa bu’itstu
liutammima makaarimal akhlaaq”, artinya Sesungguhnya aku dibang-
kitkan di bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq”. Ini menegaskan
bahwa betapa pentingnya akhlaq itu bagi kehidupan baik di mata
manusia maupun Tuhan. Juga ditegaskan lagi Rasulullah, yaitu “hubbul
wathan minal iimaan”, artinya cinta tanah air adalah sebagian daripada

2 Contemporary Definitions of Character Education dalam Handbook of Moral and


Character Education, Larry P Nucci dan Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008,
hal 90.
3 Anne Lockwood dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci
dan Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 90.
4 Berkowitz, M. V., & Bier, M. C. (2005). What works in character education? A
research-driven guide for educators, Washington, D.C.: Character Education
Partnership.
6
iman. Hal ini menegaskan bahwa setiap warga negara wajib
menjunjung tinggi bangsa dan negaranya, tidak bersifat merusak
apalagi menghancurkan.

Karakter berkaitan dengan tingkah laku manusia. Definisi


tentang karakter dinyatakan oleh Berkowitz (dalam Damon, 2002)
sebagai: an individual’s sets of psychological characteristics that affects that
person’s ability and inclination to function morally. Apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut
memanifestasikan watak yang buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifes-
tasikan karakter mulia. Istilah karakter juga erat kaitannya dengan
‘personality’, Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’
apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Ima m Ghozali
menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu
spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang
telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu
dipikirkan lagi. Sembilan indicator pendidikan karakter yang u m u m
ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya


2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian
3. Kejujuran/Amanah dan Arif
4. Hormat dan Santun
5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras
7. Kepemimpinan dan Keadilan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan

Berdasarkan penelitian oleh ahli psikologi, ada atribut 8 variabel yang


sering diteliti terkait karakter, yakni: orientasi sosial, kontrol diri,
kepatuhan, percaya diri, empati, kesadaran, pema h a man moral, dan
rasa kemanusiaan/toleransi (Berkowitz, 2002).

Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter


dal am diri individu mer upakan fungsi dari seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks
interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Atribut karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan
dalam: Olah Hati (spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (physical and

7
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (affective and creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut :

FATHONAH OLAH HATI : SIDDIK

JUJUR &
OLAH BERTANGGUNG
PIKIR: JAWAB
CERDAS

Nilai-
nilai
luhur

OLAH RASA &


KARSA :
PERDULI & KREATIF
OLAH RAGA:
BERSIH & SEHAT

AMANAH TABLIGH

Gambar 1. Atribut karakter (sumber: Kementerian Koordinator


Kesejahteraan Rakyat RI, 2010 dengan dimodifikasi)

Bagan atribut karakter tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Atribut karakter yang dideskripsikan dalam grand design


pendidikan karakter oleh Kemendiknas

8
Elemen moral yang perlu dicapai dengan pelaksanaan
pendidikan moral menurut Durkheim (1925) adalah: 5 1) semangat
disiplin, 2) semangat membantu orang lain, dan 3) kebebasan.
Berdasar pada pendapat Durkheim tersebut, Damon (1996)6
mengemukakan cara membentuk karakter bermoral sebagai berikut:
a. Gur u dan orang tua memodel kan karakter individu yang
diinginkan.
b. Siswa dilibatkan dalam aktivitas social membantu masyarakat.
c. Siswa dihadapkan pada contoh aspirasi moral, wewenang moral,
dan perilaku dalam literature, sejarah, dan budaya.
Pendekatan untuk proses belajar mengajar yang sesuai dengan
pendapat di atas telah dikembangkan oleh Kohlberg 7 , yaitu:
a. Interaksi dengan individu teladan (adult role model)
b. Interaksi dengan teman sejawat melalui “diskusi dilema”
c. Interaksi dengan komunitas sekolah (program pendidikan
karakter oleh sekolah)

Urgensi Pendidikan Karakter


Komit men nasional tentang perlunya pendidikan karakter,
secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
me mb e nt u k wat ak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem-
bangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”

Merunut secara historis, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar


Dewantara, menyatakan secara filosofis bahwa pendidikan merupakan
daya upaya untuk memaj ukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu
tidak boleh dipisahkan agar pendidikan m a m p u me maj ukan
kesempurnaan hidup anak sebagai peserta didik. Hakikat, fungsi, dan
tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui

5 Durkheim dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan
Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 56-57.
6 Damon dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan Darcia
Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 57.
7 Kohlberg dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan
Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 67.

9
pendidikan hendak diwuj udkan peserta didik yang secara utuh
memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional,
sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional
mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap individu peserta didik.

D a l a m instrumentasi da n praksis pendidikan nasional sudah


dikembangkan program rintisan, walaupun belum menyeluruh, dengan
fokus dan muatan yang cukup beragam, misalnya : (1) pengembangan
nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen:
1989 s/d 2007); (2) pengembangan nilai dan ethos demokratis dalam
konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan
bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 s/d 2007); (3) pengembangan
nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 2001-2005); dan (4)
pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil,
berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana, dan
disiplin (Dikdasmen dan KPK: 2008-2009); serta pengembangan nilai
dan prilaku keimanan dan ketaqwaan dalam konteks tauhidiyah dan
religiositas-sosial (Dikdasmen: 1998-2009). Selain itu, banyak pula
sekolah-sekolah unggulan yang telah berupaya mengembangan
pendidikan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya.
Banyak pondok pesantren di daerah pedesaan yang ma mp u
menumbuhkembangkan karakter peserta didik. Budaya beajar melalui
pembiasaan dalam kehidupan keseharian di dalam lingkungan pondok
menempatkan teladan guru (ustadz/Kiyai/pengasuh) sebagai kunci
sukses. Dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa, di Hotel Bumikarsa, Jakarta pada tanggal 14
Januari 2010, diketahui ba hw a ternyata banyak sekolah yang sudah
mengembangkan pendidikan karakter dan berdampak pada
peningkatan prestasi belajar siswa (Balitbang Diknas, 2010). Tantangan
ke depan adalah bagaimana berbagai kesuksesan dan praktek baik (best
practice) dapat didesiminasikan untuk membangun pendidikan karakter
yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di
seluruh Indonesia.

Menurut Lickona: Throughout history, and in cultures all over the


world, education rightly conceived has had two great goals: to help students
become smart and to help them become good 8 . Kebutuhan akan pendidikan
karakter ternyata terjadi juga di U S A pada saat me masu ki abad 21,
karena mulai tampak tanda zaman sebagai berikut (Lickona):

8 Thomas Lickona & Matthew Davidson dalam 11 Principles of Effective Character


Education, Character Education Partnership website, www.character.org diakses pada
2011
10
a. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;
b. penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk;
c. pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan;
d. meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba; alkohol dan seks bebas;
e. semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
f. menurunnya etos kerja;
g. semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
h. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
i. membudayanya kebohongan/ketidakjujuran;
j. adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.

Beranjak dari situasi tersebut, pendidikan nilai/moral sangat


diperlukan atas dasar argument: adanya kebutuhan nyata dan
mendesak, serta peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital
pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Tantangan
globalisasi yang semakin kuat dan beragam, serta proses pendidikan
yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan (knowledge)
dan hampir mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan
alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan
melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu
adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhinneka tunggal ika
dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan
moral, merupakan alasan filosofik-ideologis sekaligus sosial-kultural
tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan
dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan


bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara
legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, harus dimiliki peserta didik agar m a m p u menghadapi
t ant angan hi dup p a d a saat ini da n di ma s a m e ndat an g. K a r en a itu,
pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter
bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat,
anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul
seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini,
secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan
pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar
me mber i pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi j uga menyent uh
tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa
Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui
11
karena kondisi jaman yang berubah dengan cepat, maka upaya-upaya
tersebut ternyata belum ma mp u mewadahi pengembangan karakter
secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena
itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang d a n dikemas kembali
dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan
karakter perlu direformulasikan dan direoperasionalkan melalui
transformasi b uda ya da n dimensi kehidupan. U n t u k itu, di pandang
perlu untuk melakukan Pemetaan Best Practices dan Potensi Pendidikan
Karakter Bangsa di Tingkat Dasar di Lingkungan Pondok Pesantren
mengingat kondisi sosial kultural Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal
Ika.

Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat


mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations)
dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non-
cetak (televisi, jaringan maya, dan lain-lain) yang memuat fenomena
dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan
seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis
kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa
diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan
tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan
karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak
pendi di kan a n a k usia dini da n pa da tahap pendi di kan dasar secara
holistik dan berkesinambungan.

Desain Pendidikan Karakter


Urgensi dari implementasi komitmen nasional pendidikan
karakter, secara kolektif telah dinyatakan pada Sarasehan Nasional
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai
berikut :

1. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian


integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional yang
utuh,

2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan


secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena
itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu
diwadahi secara utuh,

3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung


jawab bersama antara Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang

12
tua. Oleh karena itu, pelaksanakan budaya dan karakter bangsa
harus melibatkan keempat unsur tersebut,

4. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter


bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat
kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Untuk memenuhi keperluan tersebut di atas, Kementerian


Pendidikan Nasional telah menyusun Desain Induk Pendidikan
Karakter, yang merupakan kerangka paradigma implementasi
pembangunan karakter bangsa melalui sistem pendidikan. Secara
keseluruhan pendidikan karakter dalam Desain Induk Pendidikan
Karakter tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga


tahap, yakni : perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada
tahap perencanaan, dikembangkan perangkat karakter yang digali,
dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai
sumber, antara lain pertimbangan : 1) filosofis-agama, Pancasila,
U U D 1945, dan U U No. 20 Tahun 2003 beserta ketentuan
perundang-undangan turunannya, 2) pertimbangan teoretis, teori
tentang otak (brain theories), psikologis (cognitive development
theories, learning theories, theories of personality), pendidikan (theories
of instruction, educational management, curriculum theories), nilai dan
moral (axiology, moral development theories), dan sosio-kultural (school
culture, civic culture), dan 3) pertimbangan empiris berupa
pengalaman dan praktek terbaik (best practice) dari antara lain :
tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kel ompok
cultural, dan lain-lain.

2. Pada tahap implementasi, dikembangkan pengalaman belajar


(learning experience) dan proses pembelajaran yang bermuara pada
pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini
dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pembelajaran
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penye-
lenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga
pilar pendidikan yakni dal am satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua
jenis pengalaman belajar (learning experience) yang dibangun
melalui dua pendekatan, yakni : intervensi dan habituasi. Dalam
intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembe-
lajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pem-
bentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur

13
(structured learning experiences). Agar proses pembelajaran tersebut
berhasil guna, peran guru sebagai sosok anutan (role model) sangat
penting dan menentukan. Sementara itu, dalam habituasi
diciptakan situasi dan kondisi (persistent life situation), dan
penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada
satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masya-
rakatnya, membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai dan
menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari
dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan
pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran,
pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sitematik,
holistic, dan dinamis.

3. Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara


Indonesia, pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen
seluruh sector kehidupan, bukan hanya sector pendidikan nasional.
Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya,
khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan,
komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi
manusia, serta pemuda dan olah raga.

4. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk


perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan
unt uk mendeteksi aktualisasi karakter dal a m diri peserta didik
sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan
karakter itu berhasil dengan baik.

Pada tahap mikro, pendidikan karakter ditata sebagai berikut :


1. Secara mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam
empat pilar yakni: kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan
keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school
culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta
pada keseharian di rumah dan dalam masyarakat,

2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan


nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
integrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus,
untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengem-
bangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter
harus menj adi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai
strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk
kedua mata pelajaran tersebut, nilai/karakter dikembangka
14
sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga
dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu, untuk mata
pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain
pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang
memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya
nilai/karakter dalam diri peserta didik.

3. Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar ling-


kungan fisik dan sosio-kultural satuan pendidikan memungkinkan
para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan
lainnya terbiasa me mbangun kegiatan keseharian di satuan
pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.

4. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas


ya n g terkait langsung p a d a suatu mat eri dari suatu ma t a
pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan
pendidikan yang bersifat u mu m dan tidak terkait langsung pada
suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah
Remaja, Pecinta Alam, dan lain-lain, perlu dikembangkan proses
pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka
pengembangan nilai/karakter.

5. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi


proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh
masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulai yang dikem-
bangkan di satuan pendidikan menj adi kegiatan keseharian di
rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

Desain pendidikan karakter secara mikro tersebut sesuai dengan


pendapat Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) yang mengemukakan
tentang pentingnya melibatkan orang tua dan anggota komunitas dalam
pembentukan karakter siswa. Lickona, Schaps, dan Lewis menge-
mukakan:

A school’s character education mission statement should state explicitly


what is true: Parents are the first and most important moral educators
of their children. Next, the school should take pains at every stage to
communicate with parents about the school’s goals and activities
regarding character development—and how families can help….
Finally, schools and families will enhance the effectiveness of their
partnership if they recruit the help of the wider community—

15
businesses, religious institutions, youth organizations, the government,
and the media—in promoting the core ethical values9

Secara diagram, Pendidikan Karakter Bangsa pada tataran mikro


tersebut digambarkan sebagai berikut:

Integrasi ke dalam KBM Pembiasaan dalam kehidupan


pada setiap Mapel keseharian di satuan pendidikan

BUDAYA SEKOLAH: KEGIATAN


(KEGIATAN/KEHIDUPAN KESEHARIAN
KESEHARIAN DI DI RUMAH
SATUAN PENDIDIKAN)

Penerapan pembiasaan
Integrasi ke dalam kegiatan kehidupan keseharian di
Ektrakurikuler Pramuka, Olahraga, rumah yang sama dengan di
Karya Tulis, dan sebagainya. satuan pendidikan

Gambar 3. Desain pendidikan karakter secara mikro

D a l a m pendidikan karakter perlu dilakukan pendekatan dan


metode yang relevan, efektif, dan efisien. Pendekatan terkait dengan
proses, perbuatan atau cara untuk mendekati suatu aktivitas tertentu.
Pendekatan mungkin cocok dipergunakan untuk kalangan tertentu,
namun belum tentu sesuai untuk kalangan lain. Pendekatan lebih
menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan
sesuatu. Sedangkan, metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja
yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan kegiatan. Penentuan
pendekatan yg tepat dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)

9
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. (2007). Eleven principles of effective character
education. Eleven principles of effective character education. Cortland, NY: Center for
the 4th and 5th Rs: Respect and Responsibility. Dapat diakses pada
http://www.cortland.edu/character/arti cles
16
seharusnya memperhatikan 1) pengetahuan tentang belajar dan
perkembangan anak, 2) pengetahuan tentang kekuatan, minat, dan
kebutuhan setiap individu anak di dal am kelompoknya, dan 3)
pengetahuan tentang konteks sosial kultural dimana anak hidup.

Esensi dal am menentukan pendekat an yang tepat adalah


pengetahuan tentang teknik membentuk tingkah laku anak dalam
upaya membangun karakter adalah sebagai berikut:

• Memahami : Tingkah laku anak harus dipahami guru dengan


sewajarnya walaupun tampak mengesalkan (misal: berteriak)
• Mengabaikan: Tingkah laku yang tidak pantas, dihilangkan dengan
cara mengabaikan (misal: merengek)
• Mengalihkan perhatian: Caranya dengan mengajukan pertanyaan ke
arah lain, mengajak melakukan sesuatu dan menyuruh melakukan
kegiatan lain
• Keteladanan: Keteladanan lebih efektif dari kata-kata, anak lebih
memerlukan teladan daripada kritik
• Hadiah: Caranya dengan memberitahu secara langsung dan secara
tidak langsung
• Perjanjian: Tuntutan akan lebih jelas dan berisi syarat tingkah laku
dan hadiah
• Membentuk: Mengubah tingkah laku anak yang cukup kompleks
(misalnya: anak memakai seragam sendiri dengan rapi)
• Memuji : Dorongan yang cukup kuat pada setiap orang adalah ingin
dianggap penting (misalnya: warna lukisanmu bagus dan serasi)
• Mengubah lingkungan rumah: Mencegah tingkah laku negatif lebih
efektif daripada memperbaikinya (misal: menambah/mengurangi
dan merapikan kembali lingkungan di sekitar anak)
• Mengajak: Caranya mempengaruhi anak untuk melakukan sesuatu
yang membangkitkan perasaan, dorongan, cita-cita. Strategi yang
dapat dilakukan dengan menghimbau, dramatisasi.
• Menantang: Bila anak tidak mengalami benturan dengan
lingkungan ma ka tidak ada motivasi dan perkembangannya tidak
maju, kalah bersaing tidak perlu malu
• Menggunakan akibat yang wajar dan alamiah: Membiar kan anak
untuk belajar mengalami sendiri konsekuensi wajar dari kesalahan
mereka
• Sugesti: Memasukkan sesuatu pikiran ke dalam jiwa anak. Sugesti
positif akan mengarahkan pada tingkah laku positif dan sebaliknya
bila sugesti negatif.

17
• Meminta: Menghimbau anak untuk melakukan sesuatu bagi orang
tua. Orang tua yang bijak akan lebih sedikit menggunakan perintah
dan lebih sering menggunakan permintaan, sugesti atau ajakan.
• Peringatan atau isyarat: Biasanya berupa verbal atau non verbal.
Peringatan bersifat objektif, sedangkan omelan bersifat emosional
• Kerutinan dan kebiasaan: Merupakan penanaman disiplin sehari-
hari. Harus dilaksanakan konsisten, dan penyimpangan terhadap
aturan jangan ditolerir
• Menghadapkan suatu problem: Beritahu anak secara jelas bahwa
tingkah laku mereka menimbulkan masalah yang tidak menye-
nangkan orang lain
• Memecahkan perselisihan: Penyelesaian konflik lebih efektif dengan
argumentasi yang logis, daripada dengan berkelahi. Mintakan
argumentasi terhadap poin masalah dan cari penyebab yang lebih
mengena
• Menentukan batas-batas aturan: Jangan terlalu banyak pembatasan.
Batasan harus jelas dan spesifik
• Menimpakan hukuman: Terdiri dari hukuman saat melakukan
perbuatan yang tidak menyenangkan, pencabutan suatu kesenangan
dan menimpakan kesakitan baik kejiwaan maupun fisik.
• Penentuan waktu dan jumlah hukuman: Hukuman lebih baik segera
dijatuhkan bila anak melakukan kesalahan.

• Menggunakan pengendalian secara fisik: Digunakan jika segala


teknik yang telah dilakukan menemui kegagalan

Pembentukan karakter sangat terkait dengan pembentukan


moral anak. Seiring perkembangan kognitif anak yang dapat dilihat dari
perkembangan bahasanya, anak pada usia tersebut diharapkan mulai
memahami aturan dan norma yang dikenalkan oleh orang tua melalui
penjelasan-penjelasan verbal dan sederhana. Orang tua atau orang
dewasa di sekitarnya sudah mulai mengenalkan, mengajarkan, dan
membentuk sikap dan perilaku anak. Komunikasi dan interaksi antara
orang tua dan anak dalam hal ini menjadi sangat penting
keberadaannya. Upaya penanaman dan pengembangan perilaku moral
yang dilakukan orang tua pada anak tidak dapat dipisahkan dari
proses sosialisasi yang terjadi antara mereka. Minat anak untuk
berhubungan dengan orang lain mulai terlihat sejalan dengan
perkembangan fisik, motorik, dan bahasanya. Setelah anak berusia 2
tahun ruang geraknya sudah luas. Pada saat itulah kebutuhan untuk
menjalin hubungan dengan orang lain mulai berkembang, tidak hanya
sebatas orang tuanya saja, tetapi juga dengan orang lain. Saat inilah
orang tua mulai mengaj ar kan aturan, nilai, nor ma yang berlaku di

18
masyrakat sekitar agar anak dapat menjalin hubungan dan dapat
diterima oleh lingkungan sosial sekitar dengan baik. Orang tua
mengaj arkan nilai moral tersebut dengan penjelasan verbal dan
sederhana, sambil memberi contoh secara nyata. Keterbatasan anak
dalam perkembangan bahasa menyebabkan ia masih selalu butuh
contoh-contoh nyata agar ia dapat lebih memahami maksud
pembicaraan orang tua. Apabila anak tidak melakukan apa yang
dikatakan maka orang tua perlu melakukan koreksi atas perilaku anak.
Koreksi sebaiknya disampaikan dengan cara yang baik, dengan
pendekatan yang lebih bersifat persuasif (membujuk) karena perilaku
tidak pantas yang ditunjukan anak mungkin tidak disadarinya. Perlu
proses da n wa kt u unt uk p e mb ent u ka n dan pembi asaan sikap, serta
perilaku moral pada anak. Untuk itu dibutuhkan kesabaran pendidik
(orang tua dan guru) dalam memberikan penjelasan dan contoh pada
anak. Pendidik harus banyak memberikan penjelasan dan contoh nyata
tentang apa yang harus dilakukan anak dan bagaiamana cara ia
melakukan sesuatu tersebut. Pendidik harus mampu menunjukkan
sikap taat asas (konsisten) terhadap anak untuk me m u d a h ka n anak
mempelajari dan memahami apa yang diharapkan darinya. Pentingya
pujian d a n cont oh dal am m e m b e n t u k perilaku mo r al sangat sesuai
dengan apa yang disampaikan Kohlberg dan pandangan aliran perilaku
(behaviorist). Menurut Kohlberg pada awalnya anak berperilaku baik
agar ia mendapatkan pujian dan terhindar dari hukuman, dan agar ia
diterima oleh lingkungan sekitar dan terhindar dari kecaman orang lain.
Menurut aliran behaviorist perilaku moral adalah hasil dari pemberian
reinforcement (penguatan), berupa hukuman dan model dari orang tua.
Pada anak yang lebih m u d a usia (2 atau 3 tahun) h u ku ma n sedapat
mungkin tidak diberikan, kalaupun orang tua perlu melakukan koreksi
terhadap perilaku anak yang tidak pantas, dianjurkan dengan cara yang
lebih persuasif mengi n gat p a da usia itu anak bar u mulai me n genal
aturan, nilai dan nor ma. Kekeliruan ya n g dibuat anak pada usia itu
dilakukan bukan karena disengaja tetapi karena ia tidak atau bel um
tahu cara yang diharapkan oleh lingkungannya. Bila orang tua
menghukumnya, ia belum mengerti mengapa orang tua
menghukumnya. Tetapi apabila kekeliruan terjadi berulang kali, boleh
saja or ang tua me n ghuku mn ya , da l a m arti memb e r i ka n reaksi atau
sikap yang membuat anak mengerti bahwa perilaku yang ia lakukan
tidak diharapkan oleh orang tuanya. Seiring dengan bertambahnya usia
anak hukuman yang diberikan dapat bervariasi dan proporsional.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa sikap dan


perilakunya merugikan atau menyakitkan orang lain sehingga
mengambat kelancaran hubungannya dengan orang lain. Pada dasarnya
19
hal itu dipengaruhi oleh sikap egois dan acuh tak acuh terhadap
kepentingan orang lain. Banyaknya berbagai kasus yang dipengaruhi
oleh faktor egoisme ini membuktikan pentingya penanaman moral anak
sejak dini. Seiring dengan perkembangan berbahasa dan berpikirnya,
berbagai informasi yang dilihat dan didengarnya dapat merupakan
pelajaran bagi anak. Perilaku anak uisa dini yang mengarah kepada
perilaku mor al ya n g k u r an g baik, dapat kita lihat p ada kehi dupan
sehari-hari. Kemajuan di bidang teknologi merupakan nara sumber
yang jauh lebih sarat informasi bagi anak dibandingkan informasi yang
diperoleh dari orang tua atau gurunya. Mas u kn ya informasi kepada
anak sudah sulit dibendung dan dibatasi, apalagi dengan
berkembangnya media telekomunikasi dan siaran televisi. Salah satu
cara untuk menghindari dampak negatif dari berbagai informasi
tersebut adalah dengan menanamkan moral secara lebih intensif dan
efektif. Pendidik harus mampu bersikap lebih terbuka dalam memberi
informasi dan menanggapi pertanyaan anak, dan dalam setiap
kesempat an yang tepat berusaha me ma s u ka n nilai dan no r ma yang
dapat mengarahkannya kepada perilaku positif. Pendidik dituntut
untuk me mbe kal i dirinya dengan berbagai informasi yan g luas dan
dapat dipertanggungjawabkan. Pendidik juga harus lebih banyak
melakukan pendekatan yang bersifat demokratis, dengan memberi
peluang bagi anak untuk berdiskusi dengan tetap memperhatikan
tatakrama dan sopan santun. Pendidik yang masi h bersikap otoriter
yang cender ung me maks a kan pendapat dan kehendak kepada anak
akan kehilangan kesempatan untuk membina hubungan yang baik
dengan anaknya, bahkan akan menj auhkannya dari anak. Bila anak
menjadi jauh dari pendidik maka ia akan mencoba mencari nara sumber
lain untuk mendapat kan informasi melalui me di a dan teman -teman
sebaya yang masih dangkal pengetahuan dan cara berpikirnya.
Penanaman moral kepada anak sejak dini seharusnya menggunakan
pendekatan yang bersifat individual, persuasif, dan informal (santai dan
penuh keakraban).

Pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik. Pendidikan


holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter,
yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi emosional,
potensi intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi sosial, dan potensi
jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu harus dimulai
sedini mun gki n, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan
secara terus menerus dan terfokus. Pendidikan holistik juga untuk
membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (lifelong
learners). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan
semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal
20
ini, perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya
maupun segi sosial dan emosinya. Pendidikan selama ini hanya
memberi penekanan pada aspek akademik saja dan tidak
mengembangkan aspek social, emosi, kreatifitas, dan bahkan motorik.
" Ana k ha n ya dipersiapkan un t u k dapat nilai bagus, n a m u n me r e ka
tidak dilatih untuk bisa hidup”.

Contoh metode pembentukan karakter melalui pendidikan


adalah sebagai berikut:
1. Curiousity : timbulkan rasa ingin tahu anak
2. Share : ajak berdiskusi
3. Planning : apa yang akan dilakukan
4. Action : anak melakukan rencana yang disusun
5. Reflection : anak mengevaluasi apa yang telah ia lakukan

Upaya memunculkan rasa ingin tahu anak harus diikuti dengan diskusi
dalam upaya menanamkan konsep moral (kognitif) berupa kesadaran
moral, pengetahuan nilai moral, penalaran moral, pandangan ke depan.
Penanaman konsep moral dapat dilakukan melalui metode diskusi
partisipatoris, jajak pendapat, ungkapan pemikiran tentang suatu kasus,
dan sebagainya. Tahapan selanjutnya berupa rencana aksi dan
pelaksanaan aktivitas untuk melatih mor al adalah aj ang pembi naan
karakter. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa aktivitas yang
dilakukan sebaiknya terkait dengan kegiatan social kemasyarakatan
yang dapat menumbuhkan rasa toleransi dan rasa kemanusiaan. Proses
refleksi dilakukan sebagai tahapan integrasi karakter, dimana anak
melakukan introspeksi diri, menyadari pentingnya memiliki karakter
mulia, merasakan kepercayaan diri, dan memperoleh kepuasan.

Dalam upaya membentuk karakter, anak harus memahami,


merasakan, dan mengaplikasikan perilaku moral yang dilatihkan.
Tahapan yang dapat dilakukan dal am pembentukan karakter adalah
sebagai berikut:
1. Ajak anak melihat di sekitarnya dan ajak ia berpikir
2. Tanyakan kepada anak jika ia berada dalam situasi sebagai pelaku
sesuai dengan apa yang dilihatnya
3. Manfaatkan kesempatan emas (golden opportunity)
4. Ajari anak keahlian yang menunjang karakter
5. Minta anak untuk melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan sesuai
kemampuannya
6. Biasakan anak melakukan perbuatan atau pekerjaan tersebut secara
konsisten

21
7. Kadang-kadang orang tua atau pendidik perlu terlibat dalam
kegiatan anak
8. Berikan teladan yang baik setiap waktu

Kevin Ryan dan Thomas Lickona (1987) mengajukan model


pembentukan karakter yang mencakup tiga elemen dasar, yakni:
pengetahuan, afektif, dan tindakan 10 . Lickona mengacu pada pemikiran
filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa watak atau karakter
seseorang dibentuk melalui tiga aspek, yaitu: Konsep moral (moral
Knowing), sikap moral (moral feeling), perilaku moral (moral behavior).
Bagan keterkaitan ketiga konsep tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

KONSEP MORAL SIKAP MORAL


Kesadaran moral Kata hati
Pengetahuan nilai moral Simpati
Pandangan ke depan Empati
Penalaran moral Cinta kebaikan
Pengambilan keputusan Toleransi
Kasih sayang

KARAKTER

PERILAKU MORAL
Kemampuan
Kebiasaan

Gambar 4. Keterkaitan aspek kognitif, konatif, dan psikomotor dalam


karakter

10 Ryan, K. and Lickona, T. (1987), ‘Character education: the challenge and the
model’, dalam K. Ryan and G.F. McLean (eds), Character Development in
Schools and Beyond, New York: Praeger
22
Lickona menekankan pada pentingnya menanamkan aspek afektif
sebelum siswa melakukan tindakan moral. Ryan dan Bohlin (1999)
memperkuat pendapat Lickona dengan mendeskripsikan pendekatan
pendidikan karakter sebagai proses: knowing the good, loving the good, and
doing the good11.

Lickona (dalam Arthur, 2003) 12 mendeskripsikan 8 prinsif yang


diadopsi oleh Character Education Partnership di USA untuk
memberikan penghargaan pada institusi pendidikan yang menyeleng-
garakan pendidikan karakter, sebagai berikut:

a. schools should be committed to core ethical values;


b. character should be comprehensively defined to include thinking, feeling
and behaviour;
c. schools should be proactive and systematic in teaching character
education and not simply wait for opportunities;
d. schools must develop caring atmospheres and become a microcosm of
the caring community;
e. opportunities to practise moral actions should be varied and available to
all;
f. academic study should be central;
g. schools need to develop ways of increasing the intrinsic motivation of
pupils who should be committed to the core values;
h. schools need to work together and share norms for character education;
i. teachers and pupils should share in the moral leadership of the school;
j. parents and community should be partners in character education in
the school;
k. evaluate the effectiveness of character education in both school, staff and
pupils.

11 Ryan, K. and Bohlin. K.E. 1999, Building Character in Schools, San Francisco:
Jossey-Bass Publishers
12 Arthur, J. 2003, Education with Character, London: Routledge Falmer

23
24
KITAB KUNING SEBAGAI LANDASAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi prioritas dan
merupakan ciri khas pembelajaran di pesantren Salafiyah. Kitab kuning
tidak hanya menj adi pusat orientasi, tetapi telah mendomi nasi studi
keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai
dimensi kehidupan umat Islam. Karena lengketnya dengan kitab
kuning, kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan
menjawab hampir seluruh persoalan yang muncul dan berkembang di
masyarakat. Kitab kuning yang dikaji di pesantren, kebanyakan kitab-
kitab kar ya para empat ma zh a b dan yang terutama karangan I m a m
Syafii, dan Malik, dan ada juga mazhab yang lain digunakan selama
tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan norma agama Islam.
Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil
ijtihad Imam terdahulu. Masalah yang mereka gali dan dijadikan bahan
ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual. Unt uk hal-hal
yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak lagi
dijadikan bahan ijtihad.

K H Ali Yafi mendefenisikan kitab kuning sebagai kitab yang


ditulis dengan huruf Arab, dal am bahasa Ar ab atau Mel ayu, Jawa,
Sunda, dan sebagainya. Huruf-hurufnya tidak diberi tanda baca
(harakat atau syakl). Karenanya disebut juga kitab gundul dan pada
u mu m n y a dicetak di atas kertas yang ber warna kuning berkualitas
murah; lembaran-lembarannya terlepas (tidak berjilid), sehingga mudah
diambil bagian-bagiannya (kuras) saja tanpa seutuhnya”. 13 Karena tidak
mempunyai harakat, maka kitab kuning tidak mudah dibaca terutama
bagi mereka yang tidak menguasai nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab).

Jika kitab kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang


begitu akrab dan familiar, lain halnya bagi khalayak di luar pesantren
dimana kitab kuning bahkan tak pernah terlihat, apalagi dibaca. Maka
jangan heran kalau tak sedikit kalangan yang mencibir dan menanyakan
otentisitas kitab kuning dalam tradisi intelektual Islam, khususnya
dalam pemecahan masalah umat terkait hukum Islam. Referensi
penggalian hukum itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadist. Ada banyak
nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di
pesantren ini. Disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang

13 Ali Yafi, KH., Menggagas Fiqih Sosial, Mizan, Bandung, hlm. 51-52
25
digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja,
istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut.
Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia, ada juga yang
menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per
kata dalam kitab yang tidak berharkat, bahkan tidak ada tanda bacanya
sama sekali. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning, sebutan
ini mengemu ka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak
kemunculannya dibanding sekarang. Atas dasar rentang waktu yang
begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).

Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan


sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran
para ulama pada masa l ampau (al-salaf) ya n g ditulis dengan format
khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an masehi. Kitab kuning dapat
dikelompok dalam tiga bagian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-
ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang
dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama
Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Ketiga, ditulis ulama
Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama
asing.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah,


dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah
berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut
kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua
disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-`ashriyah). Perbedaan yang
pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya
yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca, dan kesan bahasanya
yang berat, klasik, dan tanpa syakl (harakat). Kitab kuning (kitab
qadimah) yang beredar dan dibaca di Indonesia kususnya di pesantren-
pesantren ialah kitab fiqh, aqa’id, tasawuf, tafsir, hadis dan tarekh.
Kesemuanya masuk dalam kelompok ilmu syari’ah. Sedangkan yang
non syari’ah adalah seperti nahwu, sharaf, mantiq, balaghah dan ‘arudh,
ma s u k dalam ilmu alat. K e dua jenis kitab tersebut dipelajari secara
seimbang di pesantren, mulai dari kitab yang tipis sampai kepada kitab
yang berjilid-jilid banyaknya. Kitab kuning yang disebut kitab al-
qadi mah tadi telah memb e nt u k khazanah perpustakaan dunia Islam
lebih dari sepuluh abad yang silam, merupakan modal utama Islam dan
oleh dunia barat dijadikan sebagai rujukan dalam kajian-kajian
orientalisnya untuk mendalami ajaran Islam. bahkan kitab-kitab penting
dal am bentuk manuskr ip (al-makhthuthat) tertentu hanya dapat
ditemukan di perpustakaan barat sedangkan di dunia Islam tidak
ditemukan lagi. Dengan demikian maka jelas kitab kuning merupakan
26
suatu kekayaan kultural yang amat berharga yang bisa diwariskan buat
kepentingan kehidupan dan kemanusiaan.

Dalam pandangan Islam, mencari ilmu merupakan kewajiban


personal yang tidak bisa diabaikan sehingga kewajiban itu melekat pada
diri setiap muslim baik laki-laki maupun wanita, (wujub ta’allum wat
ta’lim). Hal inilah yang mendorong tumbuhnya kultur belajar dan
mengajar di dunia Islam. K emudi an menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari peradaban Islam, bahkan kelembagaan yang ada
dimasa awal menjadi inspirasi tumbuhnya semangat perubahan dan
renaisance di dunia barat. Maka dalam sejarah keilmuan Islam apada
abad ke 8 (delapan) telah berkembang sejumlah imu yang bermanfaat
bagi dunia saat itu, diantaranya : Ilmu tafsir, Qiraat, Ilmu Hadis, Fiqih,
Pertanian,Teologi, Numerologi, Faraidh, Kalam, Tasawuf, Matematika,
Aljabar, Perbintangan, Logika, Kedokteran, Kimia, Astronomi, Musik
dan Falak. Pada dasarnya ilmu pengetahuan yang ditawarkan Al-
Qur’an kepada umat manusia ialah ilmu mengenal Allah, manusia dan
alam semesta. Dari tetiga hal itu lahirlah berbagai macam ilmu dan terus
berkembang sejalan dengan usaha dan gerakan dinamis manusia
mengembangkannya. Al-Qur’ah ibarat sumber ilmu pengetahuan dan
s u mber informasi i l mu ya n g terus-menerus d apat digali isinya dan
dikembangkan.

Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak dalam formatnya


(layout), ya n g terdiri dari d ua bagian: ma t an (teks asal) dan syarh
(komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini,
matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan
maupun kiri, sementara sharih, karena penuturannya jauh lebih banyak
dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap
halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya
yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat
berdasarkan kel ompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang
secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab
kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu
atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika
berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya me mbawa
korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang Kiyai.

Selain itu, yang me mbe dakan kitab kuning dari yang lainnya
adalah metode mempelajarinya. Dikenal dua metode yang berkembang
di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning seperti yang
dijelaskan di atas yaitu: metode sorogan dan metode bandongan. Cara
pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan Kiyai yang
27
langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks
makna maupun bahasa (nahwu dan sharaf). Sementara itu, pada cara
kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang
Kiyai sambil masing-masing memberi kan catatan pada kitabnya.
Catatan itu bisa berupa syakal atau makna mufradat atau penjelasan
(keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren,
terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang
dikenal dengan cara pendekatan gr a mmar ( nahwu dan sharaf) yang
ketat. Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha
kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa
ini telah berkembang metode jalsah (diskusi partisipatoris) dan halaqah
(seminar). K edua metode ini lebih sering digunakan di tingkat Kiyai
atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu
kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab
kuning.

Meski menjadi fakta sejarah dan begitu dekat dengan


masyarakat, na mu n asal-usul keberadaan kitab kuning masih
diperdebatkan, dan para ahli punya versi yang berbeda-beda. Sangatlah
mungkin untuk mengatakan, kitab kuning menjadi buku teks, referensi,
dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita
kenal sekarang, baru dimulai pada abad ke-18 masehi. dan cukup
realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran kitab kuning secara
massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M
ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari
program belajarnya di Makkah. Perkiraan di atas tidak berarti bahwa
kitab kuning, sebagai produk intelektual, belum ada dalam masa-masa
awal perkembangan keilmuan di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa
sekurang-kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah kitab kuning, baik
dengan menggunakan bahasa Arab, bahasa Melayu, maupun bahasa
jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai
Islam di Nusantara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan
corak keilmuan yang dicerminkan kitab kuning, tidak dapat dilepaskan
dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang, kira-kira sejak
lima abad sebelum pembakuan kitab kuning di pesantren-pesantren.
Memang, sejarah kitab kuning merupakan bagian dari sejarah
intelektual Islam Indonesia. Meski begitu, kitab kuning tidak bisa
semata-mata diklaim sebagai tradisi khas Nusantara, sebab kitab kuning
sendiri sejatinya berakar dari khazanah intelektual di Timur Tengah,
khususnya di Mekkah.

Kalau ditelisik, tradisi kitab kuning jelas bukan berasal dari


Nusantara. Sebagian besar kitab klasik yang dipelajari di Indonesia
28
berbahasa Arab, dan ditulis sebelum islamisasi Nusantara. Demikian
juga banyak syarah bukan berasal dari Indonesia, meski pun j umlah
syarah yang ditulis ulama Nusantara makin banyak. Bahkan pergeseran
perhatian ulama dalam tradisi itu mengikuti pergeseran serupa di
sebagian besar dunia Islam. Sementar a sejumlah kitab kuning yang
ditulis pasca Islamisasi Nusantara, juga sebagian besar tak berasal dari
Indonesia, tapi dari M akka h atau Madinah meski pun pengarangnya
orang Indonesia.

Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab


kuning di kalangan pesantren, setidaknya ada beberapa abstraksi yang
perlu dicermati. Pertama, cara pandang masyarakat terhadap pesantren.
Pesantren jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘sub-kultur’ yang
mengembangkan pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau
katakanlah unik. Di samping faktor kepemimpinan Kiyai-ulama, kitab
kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub-kultur itu.
Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab
yang terus ‘diwariskan’ turun temurun dari generasi ke generasi,
sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup
luas. Dengan demikian, hal ini merupakan bagian dari sebuah proses
berlangsungnya pembentukan dan pemeliharaan sub-kultur yang unik
tersebut.

Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren


sebagai ‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan
kehidupan. Karena itu, bagai manapun perubahan dalam tata
kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami
sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga
pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat. Makanya,
memutuskan mat a rantai kitab kuning, sama artinya me mbuan g
sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar
sebuah hadist yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “Al-ulama
warosatul anbiya”, ulama adalah pewaris para Nabi. “Apapun
masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning”, adalah ungkapan untuk
menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning seperti
dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat
terselesaikan olehnya. Ini dimantapkan dengan beberapa cerita tentang
keampuhan kitab kuning dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan,
berbeda pendapat, menghargai orang lain dan lain-lain.

Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning, ternyata


adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih-sufistik yang
didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu
29
humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih
kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa
keluar dari kemelut sufi-ekstrim dan fikih-ekstrim. Pesantren yang
akrab dengan khazanah klasik kitab kuning inilah yang membedakan
dengan pesantren-pesantren lain yang lebih cenderung pada adopsi
terhadap keilmuan Barat. Melalui ini pula, pesantren melahirkan sikap-
sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i'tidal
(adil). Dengan begitu, sulit diramalkan akan terjadinya sikap ekstrim
atau radikal yang saat ini tengah menjadi hantu menakutkan bagi
dunia. Menurut K H Ah ma d Junaidi tidak ada isi kitab kuning yang
mengaj arkan me musuh i a ga ma lain, atau sikap permusuhan apabila
terjadi perbedahan pah a m dan pandangan, atau melegalisasikan
perbuatan anarkis, apalagi mer usak r u ma h ibadah atau me n ga n ggu
kerukunan hidup umat beragama 14 .

Keempat, pemilihan kitab kuning sebagai referensi ut ama di


pesantren, tentu terkait dengan perkembangan tradisi intelektual Islam
Nusantara. Sej ak periode paling dini, bersamaan dengan proses
internasionalisasi, yang berarti Arabisasi, dokumentasi tentang ajaran-
ajaran Islam selalu ditulis dalam bahasa Arab, sekurang-kurangnya
dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti ini menempatkan
keislaman di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses seperti
ini terus berlanjut sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa
Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara, dan pesantren tampaknya
hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai mo me nt u mn ya
ketika pesantren berada dal am tekanan kekuatan asing, dan ia
melakukan gerakan defensif non kooperatif. Pemasok utama nilai dan
penget ahuan ya n g dapat dipercaya d a l a m situasi seperti itu adal ah
kitab kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka.

Kitab kuning mer upakan faktor penting dal am pembent ukan


tradisi keilmuan yang yang didukung penguasaan ilmu-ilmu
instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab)-nya. Tanpa kitab
kuning dalam pengertian yan g lebih kompleks, tradisi intelektual di
Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut ya n g terjadi
pada sekarang ini. Apa yang dicapai oleh penulis kitab kuning melalui
karya-karyanya, merupakan contoh prestasi intelektual yang
mengandalkan kitab kuning. Kiyai di pondok pesantren harus piawai
dalam mengkombinasikan kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama
secara tuntas dan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam
segi kehidupan seorang muslim.

14 Wawancara dengan KH Ahmad Junaidi di pesantren Syekh Burhanuddin


30
Keempat abstraksi di atas paling tidak memberikan gambaran
luas bagaimana sesungguhnya pergumulan kitab kuning di kalangan
pesantren. Dengan begitu, usai mencermati beberapa gambaran di atas,
setidaknya ada dua poin penting yang dapat menjelaskan posisi dan
signifikansi kitab kuning di pesantren. Pertama, otentisitas kitab kuning
bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah
tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab kuning yang
ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunj ukkan
bahwa kitab tersebut sudah teruji kebenarannya dalam sejarah. Kitab
kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah
sedemikian rupa dirumuskan oleh para ulama dengan bersandar pada
Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Menjadikan kitab kuning sebagai referensi
tidak berarti mengabaikan Al-Quran-Hadis, melainkan justru pada
hakikatnya mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua
kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan pengertian bahwa Al-
Qur’an dan Hadis Nabi tidak boleh diperlakukan d a n dipahami
sembarangan. Cara paling aman untuk memahami kedua sumber utama
itu agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang
dibuatnya sendiri adalah mempelajari dan mengembangkan khazanah
kitab kuning. Sebab, kandungan kitab kuning merupakan penjelasan
dan pengejawantahan yang siap pakai dan rumusan ketentuan hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang dipersiapkan oleh
para mujtahid di segala bidang. Kedua, kitab kuning sangatlah penting
bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan
yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar
tetapi tidak historis mengenai ajaran Islam, Al-Qur’an, dan Hadis Nabi.
Kitab kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan
berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan
pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, pemeliharaan dan
bahkan pengayaan kitab kuning harus tetap menj adi ciri utamanya.
Termasuk dalam proses pengayaan ini adalah penanganan kitab kuning
dalam bidang dan waktu yang luas, termasuk yang lahir belakangan.
Hanya dengan penguasaan kitab kuning seperti inilah kreasi dan
dinamika pemikiran Islam yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Dua sikap yang diajarkan dalam kitab kuning dan sangat terkait
dengan aspek toleransi dalam diri santri adalah:
1. Tawassuth, sikap pertengahan, netralitas dan tidak ekstrim dalam
pemikiran dan tindakan.
2. Tasamuh, yaitu sikap toleransi terhadap perbedaan cita-cita dan
kehendak yang berbeda diantara warga masyarakat. Sikap toleransi
ini sangat dirasakan dalam kehidupan pesantren, artinya pesantren

31
dan ko mp o n e n yan g a da didalamnya terbuka kepada dunia luar
yang ingin tahu atau ingin meni mba ilmu disini tanpa membeda -
bedakan suku, etnis, dan status soiall lainnya. Semua infut pesantren
yang sangat beragam itu larut dalam sistem yang terbangun mapan
sehingga merupakan entitas yang terintegrasi dengan baik dalam
perlakuan yang sama dimata pimpinan pesantren. Oleh karena
itulah maka ikatan moral terus terjaga dengan baik, antara alumni
dengan pimpinan pesantren.

32
DAFTAR REFERENSI
Arthur, J. 2003, Education with Character, London: Routledge Falmer

Azra, A. 2001, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru, Penerbit Kalimah, Jakarta.

Berkowitz, M. V., & Bier, M. C. 2005, What works in character


education? A research-driven guide for educators, Washington,
D.C.: Character Education Partnership.
Damon (2002). Bringing a New Era in Character Education, Stanford :
Hoover Institution Press,

Dhofier, Z. 1985, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup


Kiyai, LP3S.

Hannah & Michaelis. 2005, Frameworks for Thinking, A Handbook for


Teaching and Learning (Moseley ed), Cambridge University Press,
Cambridge.

Hasbullah . 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan


Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, P T Raja Grafindo
Persada, Jakarta .

Koellhoffer, T.T. 2009. Character Education: Being fair and honest, New
York: Chelsea House, hal 108-109.

Lickona, T. & Davidson, M. dalam 11 Principles of Effective Character


Education, Character Education Partnership website,
www.character.org diakses pada 2011

Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. 2007 , Eleven principles of effective
character education. Eleven principles of effective character
education. Cortland, NY: Center for the 4th and 5th Rs: Respect
and Responsibility. Dapat diakses pada http://www.cortland .
edu/character/articles

Murphy, M. 1998, Character Education in America’s Blue Ribbon Schools:


Best Practices for Meeting the Challenge, Lancaster, PA: Technomic
Pub. Co. Inc.

Nucci, L.P. dan Narvaez, D. 2008, Handbook of Moral and Character


Education, Routledge, 2008.

33
Ryan, K. and Lickona, T. 1987, ‘Character education: the challenge
and the model’, dalam K. Ryan and G.F. McLean (eds),
Character Development in Schools and Beyond, New York:
Praeger
Ryan, K. dan Bohlin. K.E. 1999, Building Character in Schools, San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.

The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Volume 3, New


York, Oxford University Press, 1995.

Walsh, M. 2000, Pondok Pesantren dan Aliran Golongan Islam Ekstrim


(Studi Kasus di Pondok Pesantren Modern Putri “Darur Ridwan”
Parangharjo, Banyuwangi.

34

Anda mungkin juga menyukai