DI PESANTREN
1
PENGANTAR
1
6. Bagaimana kedudukan dan fungsi kitab kuning dalam
pembentukan karakter santri ?
7. Bagaimana bentuk pendidikan (sistem, strategi, model, dan
metode) yang dapat diimplementasikan untuk membentuk
karakter siswa dalam pendidikan secara umum ?
3
ini dapat juga dikategorikan dan disebut sebagai penelitian kualitatif.
Penarikan kesimpulan didasarkan pada pemikiran logis dari data yang
diperoleh setelah diberi penjelasan dalam bentuk uraian. Data disajikan
sekaligus menganalisisnya (deskriptif analisis), dengan kata lain, agar
tidak kehilangan relevansinya, penyajian data tidak dipisahkan dari
analisisnya, tetapi dilakukan secara bersamaan. Kompilasi dan
pengolahan data penelitian dari semua pesantren dilakukan oleh ketua
peneliti ( Ri dwan Abdullah Sani) bersama tim khusus pengolah data
yang sekaligus mengembangkan model pendidikan dan manual
prosedur berdasarkan best practices yang ditemukan serta mengkaji teori
yang relevan. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengem-
bangkan met ode pembelaj aran ya n g dapat digunakan unt uk
membentuk karakter mulia siswa.
4
PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Pendidikan Karakter
Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendi-
dikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik
itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis
mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior
(Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup
moral judgment and moral behavior baik yang bersifat prohibition-oriented
morality maupun pro-social morality. Secara pedagogik, pendidikan
karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic
approach, dengan pengertian bahwa “effective character education is not
adding a program or set of programs, rather it is a transformation of the culture
and life of the school” (Berkowitz, 2010). Sementara itu Lickona (1992)
menegaskan bahwa: “In character education, it’s clear we want our children
are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do
what they believe to be right-even in the face of pressure form without and
temptation from within.” Eleanor Roosevelt istri mantan presiden
Amerika mengemukakan bahwa karakter itu dibentuk, dan bukan
merupakan sifat bawaan lahir, dalam pernyataannya: “People grow
through experience if they meet life honestly and courageously. This is how
character is built”.
7
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (affective and creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut :
JUJUR &
OLAH BERTANGGUNG
PIKIR: JAWAB
CERDAS
Nilai-
nilai
luhur
AMANAH TABLIGH
8
Elemen moral yang perlu dicapai dengan pelaksanaan
pendidikan moral menurut Durkheim (1925) adalah: 5 1) semangat
disiplin, 2) semangat membantu orang lain, dan 3) kebebasan.
Berdasar pada pendapat Durkheim tersebut, Damon (1996)6
mengemukakan cara membentuk karakter bermoral sebagai berikut:
a. Gur u dan orang tua memodel kan karakter individu yang
diinginkan.
b. Siswa dilibatkan dalam aktivitas social membantu masyarakat.
c. Siswa dihadapkan pada contoh aspirasi moral, wewenang moral,
dan perilaku dalam literature, sejarah, dan budaya.
Pendekatan untuk proses belajar mengajar yang sesuai dengan
pendapat di atas telah dikembangkan oleh Kohlberg 7 , yaitu:
a. Interaksi dengan individu teladan (adult role model)
b. Interaksi dengan teman sejawat melalui “diskusi dilema”
c. Interaksi dengan komunitas sekolah (program pendidikan
karakter oleh sekolah)
5 Durkheim dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan
Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 56-57.
6 Damon dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan Darcia
Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 57.
7 Kohlberg dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan
Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 67.
9
pendidikan hendak diwuj udkan peserta didik yang secara utuh
memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional,
sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional
mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap individu peserta didik.
12
tua. Oleh karena itu, pelaksanakan budaya dan karakter bangsa
harus melibatkan keempat unsur tersebut,
13
(structured learning experiences). Agar proses pembelajaran tersebut
berhasil guna, peran guru sebagai sosok anutan (role model) sangat
penting dan menentukan. Sementara itu, dalam habituasi
diciptakan situasi dan kondisi (persistent life situation), dan
penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada
satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masya-
rakatnya, membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai dan
menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari
dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan
pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran,
pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sitematik,
holistic, dan dinamis.
15
businesses, religious institutions, youth organizations, the government,
and the media—in promoting the core ethical values9
Penerapan pembiasaan
Integrasi ke dalam kegiatan kehidupan keseharian di
Ektrakurikuler Pramuka, Olahraga, rumah yang sama dengan di
Karya Tulis, dan sebagainya. satuan pendidikan
9
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. (2007). Eleven principles of effective character
education. Eleven principles of effective character education. Cortland, NY: Center for
the 4th and 5th Rs: Respect and Responsibility. Dapat diakses pada
http://www.cortland.edu/character/arti cles
16
seharusnya memperhatikan 1) pengetahuan tentang belajar dan
perkembangan anak, 2) pengetahuan tentang kekuatan, minat, dan
kebutuhan setiap individu anak di dal am kelompoknya, dan 3)
pengetahuan tentang konteks sosial kultural dimana anak hidup.
17
• Meminta: Menghimbau anak untuk melakukan sesuatu bagi orang
tua. Orang tua yang bijak akan lebih sedikit menggunakan perintah
dan lebih sering menggunakan permintaan, sugesti atau ajakan.
• Peringatan atau isyarat: Biasanya berupa verbal atau non verbal.
Peringatan bersifat objektif, sedangkan omelan bersifat emosional
• Kerutinan dan kebiasaan: Merupakan penanaman disiplin sehari-
hari. Harus dilaksanakan konsisten, dan penyimpangan terhadap
aturan jangan ditolerir
• Menghadapkan suatu problem: Beritahu anak secara jelas bahwa
tingkah laku mereka menimbulkan masalah yang tidak menye-
nangkan orang lain
• Memecahkan perselisihan: Penyelesaian konflik lebih efektif dengan
argumentasi yang logis, daripada dengan berkelahi. Mintakan
argumentasi terhadap poin masalah dan cari penyebab yang lebih
mengena
• Menentukan batas-batas aturan: Jangan terlalu banyak pembatasan.
Batasan harus jelas dan spesifik
• Menimpakan hukuman: Terdiri dari hukuman saat melakukan
perbuatan yang tidak menyenangkan, pencabutan suatu kesenangan
dan menimpakan kesakitan baik kejiwaan maupun fisik.
• Penentuan waktu dan jumlah hukuman: Hukuman lebih baik segera
dijatuhkan bila anak melakukan kesalahan.
18
masyrakat sekitar agar anak dapat menjalin hubungan dan dapat
diterima oleh lingkungan sosial sekitar dengan baik. Orang tua
mengaj arkan nilai moral tersebut dengan penjelasan verbal dan
sederhana, sambil memberi contoh secara nyata. Keterbatasan anak
dalam perkembangan bahasa menyebabkan ia masih selalu butuh
contoh-contoh nyata agar ia dapat lebih memahami maksud
pembicaraan orang tua. Apabila anak tidak melakukan apa yang
dikatakan maka orang tua perlu melakukan koreksi atas perilaku anak.
Koreksi sebaiknya disampaikan dengan cara yang baik, dengan
pendekatan yang lebih bersifat persuasif (membujuk) karena perilaku
tidak pantas yang ditunjukan anak mungkin tidak disadarinya. Perlu
proses da n wa kt u unt uk p e mb ent u ka n dan pembi asaan sikap, serta
perilaku moral pada anak. Untuk itu dibutuhkan kesabaran pendidik
(orang tua dan guru) dalam memberikan penjelasan dan contoh pada
anak. Pendidik harus banyak memberikan penjelasan dan contoh nyata
tentang apa yang harus dilakukan anak dan bagaiamana cara ia
melakukan sesuatu tersebut. Pendidik harus mampu menunjukkan
sikap taat asas (konsisten) terhadap anak untuk me m u d a h ka n anak
mempelajari dan memahami apa yang diharapkan darinya. Pentingya
pujian d a n cont oh dal am m e m b e n t u k perilaku mo r al sangat sesuai
dengan apa yang disampaikan Kohlberg dan pandangan aliran perilaku
(behaviorist). Menurut Kohlberg pada awalnya anak berperilaku baik
agar ia mendapatkan pujian dan terhindar dari hukuman, dan agar ia
diterima oleh lingkungan sekitar dan terhindar dari kecaman orang lain.
Menurut aliran behaviorist perilaku moral adalah hasil dari pemberian
reinforcement (penguatan), berupa hukuman dan model dari orang tua.
Pada anak yang lebih m u d a usia (2 atau 3 tahun) h u ku ma n sedapat
mungkin tidak diberikan, kalaupun orang tua perlu melakukan koreksi
terhadap perilaku anak yang tidak pantas, dianjurkan dengan cara yang
lebih persuasif mengi n gat p a da usia itu anak bar u mulai me n genal
aturan, nilai dan nor ma. Kekeliruan ya n g dibuat anak pada usia itu
dilakukan bukan karena disengaja tetapi karena ia tidak atau bel um
tahu cara yang diharapkan oleh lingkungannya. Bila orang tua
menghukumnya, ia belum mengerti mengapa orang tua
menghukumnya. Tetapi apabila kekeliruan terjadi berulang kali, boleh
saja or ang tua me n ghuku mn ya , da l a m arti memb e r i ka n reaksi atau
sikap yang membuat anak mengerti bahwa perilaku yang ia lakukan
tidak diharapkan oleh orang tuanya. Seiring dengan bertambahnya usia
anak hukuman yang diberikan dapat bervariasi dan proporsional.
Upaya memunculkan rasa ingin tahu anak harus diikuti dengan diskusi
dalam upaya menanamkan konsep moral (kognitif) berupa kesadaran
moral, pengetahuan nilai moral, penalaran moral, pandangan ke depan.
Penanaman konsep moral dapat dilakukan melalui metode diskusi
partisipatoris, jajak pendapat, ungkapan pemikiran tentang suatu kasus,
dan sebagainya. Tahapan selanjutnya berupa rencana aksi dan
pelaksanaan aktivitas untuk melatih mor al adalah aj ang pembi naan
karakter. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa aktivitas yang
dilakukan sebaiknya terkait dengan kegiatan social kemasyarakatan
yang dapat menumbuhkan rasa toleransi dan rasa kemanusiaan. Proses
refleksi dilakukan sebagai tahapan integrasi karakter, dimana anak
melakukan introspeksi diri, menyadari pentingnya memiliki karakter
mulia, merasakan kepercayaan diri, dan memperoleh kepuasan.
21
7. Kadang-kadang orang tua atau pendidik perlu terlibat dalam
kegiatan anak
8. Berikan teladan yang baik setiap waktu
KARAKTER
PERILAKU MORAL
Kemampuan
Kebiasaan
10 Ryan, K. and Lickona, T. (1987), ‘Character education: the challenge and the
model’, dalam K. Ryan and G.F. McLean (eds), Character Development in
Schools and Beyond, New York: Praeger
22
Lickona menekankan pada pentingnya menanamkan aspek afektif
sebelum siswa melakukan tindakan moral. Ryan dan Bohlin (1999)
memperkuat pendapat Lickona dengan mendeskripsikan pendekatan
pendidikan karakter sebagai proses: knowing the good, loving the good, and
doing the good11.
11 Ryan, K. and Bohlin. K.E. 1999, Building Character in Schools, San Francisco:
Jossey-Bass Publishers
12 Arthur, J. 2003, Education with Character, London: Routledge Falmer
23
24
KITAB KUNING SEBAGAI LANDASAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi prioritas dan
merupakan ciri khas pembelajaran di pesantren Salafiyah. Kitab kuning
tidak hanya menj adi pusat orientasi, tetapi telah mendomi nasi studi
keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai
dimensi kehidupan umat Islam. Karena lengketnya dengan kitab
kuning, kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan
menjawab hampir seluruh persoalan yang muncul dan berkembang di
masyarakat. Kitab kuning yang dikaji di pesantren, kebanyakan kitab-
kitab kar ya para empat ma zh a b dan yang terutama karangan I m a m
Syafii, dan Malik, dan ada juga mazhab yang lain digunakan selama
tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan norma agama Islam.
Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil
ijtihad Imam terdahulu. Masalah yang mereka gali dan dijadikan bahan
ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual. Unt uk hal-hal
yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak lagi
dijadikan bahan ijtihad.
13 Ali Yafi, KH., Menggagas Fiqih Sosial, Mizan, Bandung, hlm. 51-52
25
digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Maklum saja,
istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut.
Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia, ada juga yang
menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per
kata dalam kitab yang tidak berharkat, bahkan tidak ada tanda bacanya
sama sekali. Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning, sebutan
ini mengemu ka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak
kemunculannya dibanding sekarang. Atas dasar rentang waktu yang
begitu jauh, ada yang menyebutnya kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Selain itu, yang me mbe dakan kitab kuning dari yang lainnya
adalah metode mempelajarinya. Dikenal dua metode yang berkembang
di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning seperti yang
dijelaskan di atas yaitu: metode sorogan dan metode bandongan. Cara
pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan Kiyai yang
27
langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks
makna maupun bahasa (nahwu dan sharaf). Sementara itu, pada cara
kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang
Kiyai sambil masing-masing memberi kan catatan pada kitabnya.
Catatan itu bisa berupa syakal atau makna mufradat atau penjelasan
(keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren,
terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang
dikenal dengan cara pendekatan gr a mmar ( nahwu dan sharaf) yang
ketat. Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha
kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa
ini telah berkembang metode jalsah (diskusi partisipatoris) dan halaqah
(seminar). K edua metode ini lebih sering digunakan di tingkat Kiyai
atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu
kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab
kuning.
Dua sikap yang diajarkan dalam kitab kuning dan sangat terkait
dengan aspek toleransi dalam diri santri adalah:
1. Tawassuth, sikap pertengahan, netralitas dan tidak ekstrim dalam
pemikiran dan tindakan.
2. Tasamuh, yaitu sikap toleransi terhadap perbedaan cita-cita dan
kehendak yang berbeda diantara warga masyarakat. Sikap toleransi
ini sangat dirasakan dalam kehidupan pesantren, artinya pesantren
31
dan ko mp o n e n yan g a da didalamnya terbuka kepada dunia luar
yang ingin tahu atau ingin meni mba ilmu disini tanpa membeda -
bedakan suku, etnis, dan status soiall lainnya. Semua infut pesantren
yang sangat beragam itu larut dalam sistem yang terbangun mapan
sehingga merupakan entitas yang terintegrasi dengan baik dalam
perlakuan yang sama dimata pimpinan pesantren. Oleh karena
itulah maka ikatan moral terus terjaga dengan baik, antara alumni
dengan pimpinan pesantren.
32
DAFTAR REFERENSI
Arthur, J. 2003, Education with Character, London: Routledge Falmer
Koellhoffer, T.T. 2009. Character Education: Being fair and honest, New
York: Chelsea House, hal 108-109.
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. 2007 , Eleven principles of effective
character education. Eleven principles of effective character
education. Cortland, NY: Center for the 4th and 5th Rs: Respect
and Responsibility. Dapat diakses pada http://www.cortland .
edu/character/articles
33
Ryan, K. and Lickona, T. 1987, ‘Character education: the challenge
and the model’, dalam K. Ryan and G.F. McLean (eds),
Character Development in Schools and Beyond, New York:
Praeger
Ryan, K. dan Bohlin. K.E. 1999, Building Character in Schools, San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
34