Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN Ny.B DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKULOSKELETAL: POST OP FRAKTUR COLLUM FEMUR
DI RUANG ICU RSUD dr. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

Oleh :
ARUM DWI HARJAYANTI
17011

AKADEMI KEPERAWATAN YAPPI


SRAGEN-JAWA TENGAH
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN Ny.B DENGAN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL: POST OP FRAKTUR COLLUM FEMUR
DI RUANG ICU RSUD dr. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

A. Definisi
Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang normal yang
terjadi karena adanya tekanan yang besar, dimana tulang tidak dapat
menahan tekanan tersebut dan disertai dengan perlukaan jaringan
sekitarnya (Brunner dan Suddrat).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh cedera (Masjoer 2000)
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang
bias terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki laki dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak menyebabkan penderitaan (FKUI,1995 :
543)
B. Etiologi
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila
tekanan kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena
dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada
kulit.
2. Akibat kelelahan atau tekanan.
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda
lain akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari
atau calon tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.
C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu
kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
3. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
4. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme
otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
6. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan.
7. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
8. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal,
dan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi
apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan
tulang (Black, J.M, et al, 1993).
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma
karena kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan
rusak atau putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan
patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang
menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian
tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas
jaringan tulang yang dapat merobek periosteum dimana pada dinding
kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul
rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut
kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II
fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema
pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan
pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat
menimbulkan nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan
jaringan yang luas pada kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang
menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam
pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian
dapat menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila
mengenai organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan
dapat menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24
sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea,
takikardi. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
perdarahan, mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan
nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat,
nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat
mengakibatkan syok hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk
mengembalikan fragmen yang hilang kembali ke posisi semula dan
mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan susunan
tulang dalam keadaan stabil atau beraturan maka akan lebih cepat terjadi
proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai letak anatominya
dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak
yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi
sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
E. Klasifikasi fraktur Femur
1. Fraktur collum femur:
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah
trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan)
ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan
exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
a. Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
b. Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
2. Fraktur subtrochanter femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi
dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya
tarikan dari otot – otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler
ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga
terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor,
dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan
mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
a. tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
b. tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas
trochanter minor
c. tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
3. Fraktur batang femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung
akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari
ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu
klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang
berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi :
a. Tertutup
b. terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan
antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat,
yaitu ;
1) Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul
luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari
dalam menembus keluar.
2) Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan
karena benturan dari luar.
3) Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor,
jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh
darah)
4. Fraktur batang femur (anak – anak)
5. Fraktur supracondyler femurFraktur supracondyler fragment bagian
distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan
karena adanya tarikan dari otot – otot gastrocnemius, biasanya fraktur
supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi.
6. Fraktur intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular,
sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
7. Fraktur condyler femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
a. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi,
panggul dan Melalui kepala femur (capital fraktur)
b. Fraktur Ekstrakapsuler;
1) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang
lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
2) Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih
dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.
F. Komplikasi
Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan
antara lain :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
1. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai
persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna
akibat cedera atau tindakan pembedahan.
H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1. Pembersihan luka
2. Exici
3. Hecting situasi
4. Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c) Pemberian antibiotika.
d) Debridement dan irigasi sempurna.
e) Stabilisasi.
f) Penutup luka.
g) Rehabilitasi.
h) Life Saving
i) Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera
ditempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat
bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total,
tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar
yaitu : airway, breath and circulation.
j) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
k) Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi.
Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany
saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan
spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
b. Seluruh Fraktur
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
3. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak
sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
4. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu
dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
5. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. ¬Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalut¬an, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR

1. Pengkajian
Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama dari
proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari
klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Adapun
pengkajian pada pasien post operasi menurut Suratun (2008:66) adalah :
a. Lanjutkan perawatan pra operatif
b. Kaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan kebutuhan rasa nyeri,
perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri
c. Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan
pembedahan: tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari
luka, suara nafas, bising usus, keseimbangan cairan, dan nyeri.
d. Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun,
konfusi dan gelisah).
e. Kaji peningkatan komplikasi paru dan jantung: observasi perubahan
frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit
paru, dan jantung sebelumnya.
f. Sistem perkemihan: pantau pengeluaran urin, apakah terjadi retensi
urin. Retensi dapat disebabkan oleh posisi berkemih tidak alamiah,
pembesaran prostat, dan adanya infeksi saluran kemih.
g. Observasi tanda infeksi ( infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya
timbul selama minggu kedua), dan tanda vital.
h. Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan,
panas, kemerahan, dan edema pada betis.
i. Kaji komplikasi embolik lemak: perubahan pola panas, tingkah laku
dan perubahan kesadaran.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:189), diagnosa keperawatan merupakan
langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penilaian
klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat
terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun potensial. Adapun
diagnosa keperawatan pada kasus post op fraktur menurut Suratun
(2008:67) adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan
imobilisasi.
b. Potensi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, dan ganguan peredaran darah.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur pembedahan, serta adanya imobilisasi, bidai, traksi, gips.
e. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak
muskuloskeletal.
f. Resiko tinggi syok hipovolemik.
g. Resiko tinggi infeksi
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:203), perencanaan adalah fase proses
keperawatan yang sistematik mencakup pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah. Adapun perencanaan keperawatan pada klien dengan
post op fraktur femur menurut Suratun dkk, (2008:66) adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan
imobilisasi.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
 Nyeri berkurang/hilang
 Klien tampak tenang
Intervensi :
1. Kaji tingkat nyeri pasien.
2. Tinggikan ekstremitas yang dioperasi.
3. Kompres dingin bila perlu.
4. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
5. Kolaborasi dalam pemberian obat analgesic.

Rasional :

a. Mengetahui skala nyeri pada pasien.


b. Membantu mengontrol edema agar nyeri berkurang.
c. Untuk mengontrol nyeri dan edema.
d. Hal ini dapat mengurangi dan mengontrol nyeri.
e. Untuk mengontrol nyeri.

b. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
Tujuan : Memelihara perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil :
 Tidak ada sianosis
Intervensi :
1. Rencana pra operatif dilanjutkan.
2. Pantau status neurovaskular, warna kulit, suhu, pengisian kapiler,
denyut nadi, nyeri, edema.
3. Anjurkan latihan otot.
4. Anjurkan latihan pergelangan kaki dan otot betis setiap jam.

Rasional :

a. Meneruskan tindakan keperawatan.


b. parastesi pada bagian yang dioperasi, dan laporkan segera pada
dokter bila ada temuan yang mengarah pada gangguan.
c. untuk mencegah atrofi otot.
d. untuk memperbaiki peredaran darah.

c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.


Tujuan : Memelihara kesehatan
Kriteria Hasil: Klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
a. Rencana pra operatif dilanjutkan.
b. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam program penanganan pasca
operatif.
c. Diet seimbang dengan protein dan vitamin adekuat sangat
diperlukan.
d. Anjurkan banyak minum minimal 2 sampai 3 liter perhari.
e. Observasi adanya gangguan integritas kulit pada daerah yang
tertekan.
f. Ubah posisi tidur dalam setiap 2-3 jam sekali.
g. Bantu klien dalam pelaksanaan hyegien personal.
h. Libatkan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan.

Rasional :

1. Melanjutkan tindakan keperawatan.


2. Membantu dalam proses keperawatan.
3. Untuk keshatan jaringan dan penyembuhan luka.
4. Memenuhi kebutuhan cairan.
5. Untuk mengetahui sedini mungkin adanya gangguan
6. Untuk mencegah adanya penekanan pada kulit.
7. Untuk menghindari adanya kerusakan pada kulit.
8. Membantu dalam pemeliharaan kesehatan pasien.

d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri,


pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya imobilisasi, (bidai,
gips, traksi).
Tujuan : Memperbaiki mobilitas fisik normal
Kriteria Hasil: Melakukan pergerakan dan pemindahan
Intervensi :
1. Kaji tingkat kemampuan mobilitas fisik.
2. Bantu pasien melakukan aktivitas selama pasien mengalami
ketidaknyamanan.
3. Tinggikan ektremitas yang bengkakanjurka latihan ROM sesuai
kemampuan.
4. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
5. Pantau daerah yang terpasang pen, skrup batang dan logam yang
digunakan sebagai fiksasi interna.
6. Anjurkan menggunakan alat bantu saat sedang pasca operasi,
sebagai tongkat.
7. Pantau cara berjalan pasien. Perhatikan apakah benar-benar aman.

Rasional :

a. Mengetahui tingkat kemampuan mobilitas klien.


b. Menambah kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
c. Untuk memperlancar peredaran darah sehingga mengurangi
pembengkakan.
d. Untuk mencegah kekakuan sendi.
e. Untuk memperbaiki tingkat mobilitas fisik.
f. Ini dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang sampai terjadi
penulangan, tetapi tidak dirancang untuk mempertahankan berat
badan.
g. Untuk mengurangi stres yang berlebihan pada tulang.

e. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak


masalah musculoskeletal.
Tujuan : Terjadi peningkatan konsep diri
Kriteria Hasil: Klien dapat bersosialisasi
Intervensi :
1. Rencana perawatan pra operatif dilanjutkan.
2. Libatkan pasien dalam menyusun rencana kegiatan yang dilakukan.
3. Bantu pasien menerima citra dirinya serta beri dukungan, baik dari
perawat, keluarga maupun teman dekat.

Rasional :

1. Melanjutkan rencana tindakan keperawatan.


2. Mempercepat rencana tindakan keperawatan.
3. Stres,dan menarik diri akan mengurangi motivasi untuk proses
penyembuhan.

f. Resiko tinggi komplikasi (syok hipovolemik)


Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemi
Kriteria Hasil : Klien tampak tenang
Intervensi :
1. Pantau dan catat kehilangan darah pada pasien ( jumlah,warna).
2. Pantau adanya peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan
darah.
3. Pantau jumlah urin.
4. Pantau terjadinya gelisah, penurunan kesadaran dan haus.
5. Pantau pemeriksaan laboratorium, terutama penutunan HB dan HT.
Segera lapor ke ahli bedah ortopedi untuk penanganan selanjutnya.

Rasional :

1. Memantau jumlah kehilangan cairan.


2. Ini merupakan tanda awal syok.
3. Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu merupakan tanda syok.
4. Rasa haus merupakan tanda awal syok.
5. Mengetahui terjadinya hemokosentrasi dan terjadinya syok
hipovolemik.

g. Resiko tinggi infeksi


Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
Intervensi :
1. Pemberian antibiotik intra vena jangka panjang.
2. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic.
3. Ganti balutan luka dengan teknik aseptik, sesuai dengan program.
4. Pantau tanda vital.
5. Pantau luka operasi dan catat cairan yang keluar.
6. Pantau adanya infeksi saluran kemih.

Rasional :

1. Untuk mencegah osteomielitis.


2. Menilai adanya alegi dengan pemberian antibiotic.
3. Mencegah kontaminasi dan infeksi nasokomial.
4. Peningkatan suhu tubuh diatas normal menunjukan adanya tanda
infeksi.
5. Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukan adanya infeksi
pada luka.
6. Laporkan ke dokter bila ada infeksi yang ditemukan, hal ini sering
terjadi setelah pembedahan ortopedik.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2, EGC, Jakarta.

Budiyanto, Aris. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi


Pemasangan Orif Pada Fraktur. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Retrived from : http://www.scribd.com/doc/20058202/fraktur
Diakses pada 06 Februari 2012.

Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2007. Nursing Outcomes Classifications


(NOC).Second Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book, Inc.
St.Louis, Missouri.

North American Nursing Diagnosis Association. 2012. Nursing Diagnosis :


Definition and Classification 2012-2014. NANDA International.
Philadelphia.

McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2007. Nursing Intervention Classifications


(NIC). Second Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book,
Inc. St.Louis, Missouri.

Anda mungkin juga menyukai