Anda di halaman 1dari 13

Belajar Membangun Karakter dari Pahlawan

Jenderal Soedirman
Kerasnya penjajahan di zaman belanda menjadikan Indonesia berdarah-darah dan kehilangan para
pejuang kemerdekaan, banyak nenek moyang kita mati diterpa peluru panas, keringat bercucuran di
tengah terik matahari karena menahan beban berat yang dipikul, sedangkan mereka yang ditangkap
di pecut, di pukul bertubi-tubi bahkan ditembaki sampai mati. Sebuah potret kejahatan yang dilakukan
pada masyarakat Indonesia oleh penjajah yang kejam tidak mengenal prikemanusiaan dan keadilan,
hal ini menjadi catatan sejarah kesedihan yang diderita bangsa Indonesia.
Perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan tanah air Indonesia dan rakyat dari penjajahan
dilakukan dengan menyerahkan segala yang dimilikinya, harta, jiwa bahkan nyawa sebagai
taruhannya, mereka para pahlawan kita, di setiap detik nadi dan denyut jantungnya selalu berkobar
semangat untuk melawan penjajah, selalu memikirkan bagaimana agar supaya bangsa Indonesia
terbebas dari belenggu penjajahan.
Sudirman nama yang sangat fenomenal, anak muda yang gagah perkasa dan pemberani, pemuda
yang tidak takut mati. Masa mudanya menemukan momentum yang sangat sulit dalam
kehidupannya, namun kondisi saat masyarakat Indonesia dan tanah air terjajah, di sana Soedirman
bangkit dengan cita-cita dan harapan mulia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saat itu
Soedirman muda yang berumur sekitar 29 tahun, di saat Indonesia menangis dan masyarakatnya
terjajah, dengan serangan dan jajahan para penjajah yang sangat menyakitkan dan ganas bahkan
mematikan, Soedirman dengan keyakinannya dan kedekatannya yang menciptakannya, ia terpanggil
untuk melawan dan tidak diam begitu saja, Soedirman berdiri tegak melakukan perlawanan terhadap
penjajah bersama sahabat-sahabatnya.
Seperti yang kita kenal, Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Jenderal Soedirman merupakan
salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi.
Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI yang
pertama dan termuda. Saat usia Sudirman 31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal.
Karakter yang dimiliki Soedirman menjadikan dia mampu menumpas dan memukul mundur serta
mengalahkan penjajah bangsa Indonesia, dia dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan
pribadinya yang memiliki keyakinan yang dalam, ibadahnya rajin, teguh pada prinsip, memiliki
keilmuan dalam mengatur strategi peperangan dalam melawan penjajahan, dan tidak takut mati
dalam berjuang, dalam sejarah juga kita mengenal Soedirman lebih mengedepankan kepentingan
masyarakat dan bangsanya dari pada kepentingan pribadinya, Soedirman adalah orang yang selalu
konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Karakter Berkorban menjadi potret besar Soedirman, terlihat pada sebuah kejadian, pada saat itu
Jenderal Sudirman masih sakit, yang sebelumnya telah menjalani operasi mengakibatkan sebuah
paru-parunya tidak berfungsi lagi. Panglima Besar berangkat ke Istana untuk menerima instruksi dari
Presiden. Presiden menasihati agar Soedirman kembali ke rumah karena masih sakit, ketika
Presiden mengajak untuk tinggal di dalam Kota, Soedirman menjawab dengan kata “saya tidak mau
tetap dalam kota. Buat saya yang penting adalah anak-anak buah saya, tempat saya yang terbaik
adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh
prajurit”. Sungguh luar biasa, sebuah bentuk kesatuan keyakinan bahwa, dengan persatuan dan
kesatuan yang utuh antar anggota akan mampu menghadirkan kekuatan yang besar walau di badan
terdapat luka yang berat.
Karena prestasi Soedirman, hari ini kita mampu menikmati indahnya sebuah ketenangan dan
kedamaian, berbagai prestasi yang dapat kita rasakan hari ini oleh seluruh lapisan masyarakat, di
mana pemuda Soedirman memiliki segudang prestasi, prestasi pertamanya sebagai tentara setelah
keberhasilannya merebut senjata pasukan jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah.
Di samping itu pula dalam perjalanan hidup Soedirman, ia pernah terpilih menjadi Panglima Besar
Panglima Angkatan Perang RI melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945.
Potret ketangguhan Soedirman terlihat pada saat ia menderita penyakit yang begitu berbahaya bagi
dirinya, tapi walaupun demikian, beliau tetap terjun langsung dalam beberapa kampanye perang
gerilya melawan pasukan NICA Belanda, di samping itu juga, dalam perjalanan perang yang di jalani
oleh Soedirman, salah satu perang yang sangat dahsyat yaitu perang palagan Ambarawa, Perang
besar pertama yang dipimpin Soedirman melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda berlangsung
dari bulan November sampai Desember 1945. Perang ini di pimpin Soedirman, di mana pada tanggal
12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan musuh
sampai musuh terkalahkan oleh Soedirman.
Begitulah karakter seorang pahlawan Indonesia yang kini jarang ditemukan lagi dari pemuda-pemuda
Indonesia, pemuda Indonesia hari ini banyak tertipu oleh kemewahan, kesenangan sementara,
pergaulan bebas sampai perbuatan tidak bermoral, jauh sungguh sangat jauh dari karakter pemuda
Soedirman yang dibanggakan.
Potret pemuda dan pemerintah menjadikan para pahlawan menangis, pemuda dan pemerintah
terkesan berpura2 dalam mengenang perjuangan para pahlawan Indonesia, di mana seharusnya kita
harus belajar membangun dan memiliki karakter-karakter mulia para pahlawan Indonesia, tidak
sekadar kata-kata.
Di momentum hari pahlawan ini, mari kita miliki keyakinan yang benar terhadap tanggung jawabnya
pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, karena kitalah yang akan melanjutkan estafet perjuangan
bangsa dari perang dan penjajahan yang lebih bahaya dari bahaya peperangan yang dilakukan oleh
Soedirman dan para pahlawan yang lainnya, perang terhadap keyakinan yang salah, perang
terhadap kebodohan, perang terhadap kerusakan moral, perang terhadap ketergantungan pada
orang lain, memerangi kemiskinan mental, memerangi kemiskinan karakter, yang telah hilang dari
kehidupan kita.
Belajar memiliki karakter pemuda Soedirman yang memiliki keyakinan yang kuat, keilmuan yang
universal, ketangguhan fisik dan jiwa dalam melanjutkan nilai-nilai luhur para pahlawan dan karakter
mulia para pahlawan Indonesia.

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2012/11/13/24098/belajar-membangun-karakter-dari-pahlawan-
jenderal-soedirman/#ixzz4uRev2AeS
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

JENDRAL SOEDIRMAN –
PANGLIMA MUDA YANG TAK
SELALU SEJALAN
Soedirman adalah Peletak pertama fondasi bagi kultur ketentaraan Indonesia. Seorang Jendral
yang sederhana, berkharisma, tegas dan dicintai bawahannya. Dia juga seorang yang kritis
dan berani namun juga seorang yang berjiwa besar.

Kisah Soedirman menginspirasi kita, bagaimana dia mencurahkan pandangan dan sikapnya
demi menegakkan Republik ini. Namun dia juga menunjukkan kebesaran jiwanya sebagai
seorang prajurit dan Abdi Negara dengan mengedepankan semangat kesatuan di atas
perbedaan sikap dalam perjuangannya. Sikap ini menjadikan namanya besar dan menjadi
inspirasi bagi generasi-generasi setelahnya.

MEMULAI ABDI

Soedirman terlahir sebagai anak yang periang, gemar bermain sepak bola dan sangat luwes
bergaul. Dia dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Desa Bantar Barang, Kecamatan
Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Setelah lulus HIS, dia masuk MULO (Meer Uitgebreid
Larger Onderwijs) – setara dengan sekolah menengah pertama - ditahun 1935. Di sekolah
inilah dia mendapatkan banyak hal mengenai Nasionalisme dari para guru yagn kebanyakan
aktif di BOEDI OETOMO.

Dalam keorganisasian, di usia 17 tahun, di Hizbul Wethan (HW) Soedirman didapuk


menjadi Menteri Daerah (Setara dengan Kwartir Daerah) untuk Banyumas. HW adalah
organisasi Kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Soedirman hanyalah seorang Guru di sekolah


Muhammadiyah. Keinginannya menjadi tentara sempat terhambat karena keraguann akibat
kakinya pernah terkilir pada saat bermain sepak bola, yang membuat sambungan tulang lutut
kirinya bergeser.

Namun pada akhirnya pada 10 Agustus 1944 di Bogor , Soedirman dilantik sebagai
seorang daidancho dari Angkatan Kedua pendidikan perwira PETA. Daidancho adalah
jabatan setingkat komandan batalion. Dia dan perwira lainnya diberi pedang samurai dan
disebar ke 55 daidan (batalion). Soedirman sendiri ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah. Saat
itu usianya 26 Tahun.

Saat Jepang menyerah kepada sekutu ditahun 1945, sebagai Komandan Batalion Kroya dia
berhasil meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara
Indonesia. Hal ini sangat membantu sebagai sumber pasokan senjata bagi Tentara Indonesia
saat itu di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mulai saat itu namanyapun mulai bersinar.

Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,


pada tanggal 5 Oktober 1945 dibentuklah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) – 5 Oktober
dirayakan sebagai HUT TNI. Seluruh elemen tentara – Eks PETA, KNIL dan Laskar -
berbaur dalam TKR. Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai Kepala Staff Umum. Tugas
utamanya adalah membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Dimana saat itu para
pejuang dari berbagai kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatanpun diatur
sendiri.

12 November 1945 merupakan hari bersejarah bagi TKR. Pada hari itu, di Markas Tinggi
TKR di Gondokusuman, Yogyakarta diadakan sebuah pertemuan yang Revolusioner. Rapat
itu dihadiri oleh semua wakil tentara dan laskar. Perundingan sempat memanas, namun pada
akhirnya semua yang hadir setuju untuk melakukan pemilihan pucuk pimpinan TKR sebagai
salah satu agendanya. Pemilihan dilakukan secara sederhana namun demokratis. Nama-nama
calon dituliskan di papan tulis dan pendukungnya diminta tunjuk tangan dan dihitung.
Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis. Soedirman mendapatkan dukungan terbanyak
dan Oerip mendapat suara terbanyak kedua. Di hari itu Soedirman yang masih berusia 29
Tahun dan berpangkat Kolonel terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Oerip Soemihardjo
yang saat itu berusia 52 tahun dengan pangkat Letnan Jenderal diminta tetap sebagai Kepala
Staff Umum. Di markas Tinggi TKR,pada tanggal 18 Desember 1945 Presiden Soekarno
melantik Jendral Soedirman sebagai Panglima Besar. Generalissimo – alias jendral paling
jenderal.

Apresiasi yang setingginya terhadap kebesaran Hati seorang Oerip Soemihardjo yang
menerima tanpa keberatan keputusan para perwira tersebut yang menjatuhkan pilihan
pada Soedirman, walaupun sebenarnya Oerip jauh lebih senior jika dilihat dari usia
dan jabatan/pangkatnya.

Pada masa yang sama, pertempuran melawan Inggris meletus di berbagai daerah. Hal ini
dikarenakan kekhawatiran para pejuang terhadap Kehadiran Belanda yang
membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and Internees – badan yang didirikan
oleh sekutu untuk mengurus tawanan perang. Konflik ini menjadi tidak terkendali setelah
pemimpin tentara Inggris – Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh di Surabaya dan memicu
terjadinya pertempuran 10 November 1945.

Tak hanya di Surabaya, Malang dan Ambarawa juga memanas. Pertempuran brutal terjadi di
daerah-daerah tersebut. Perang Ambarawa yang kita kenal sebagai Palangan Ambawara,
yang dikenang sebagai salah satu kemenangan besar Soedirman. Perang 4 hari ini berakhir
tanggal 15 Desember 1945.

Peristiwa yang tak kalah pentingnya dalam karir Soedirman adalah keberhasilan Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang menguasai Yogyakarta selama 6 jam. Tujuan utamanya adalah
menunjukkan eksistensi Tentara Republik Indonesia dan demikian juga menunjukkan
eksistensi Republik Indonesia di mata Internasional – walaupun saat itu pimpinan Negara
ditawan Belanda.

PELAJARAN BERHARGA

21 Juli 1947, Belanda melakukan aksi yang berkedok Aksi Polisinil dengan sandi Operatie
Product yang mereka tafsirkan sebagai implementasi dari salah satu isi perjanjian Linggarjati
(15 November 1946). Dalam Aksi ini, Belanda juga mengerahkan Pasukan khususnya yaitu
KST (Korps Speciale Troepen) yang dipimpin Kapten Westerling – sebelumnya perwira ini
beraksi di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai peristiwa berdarah Pembantaian
Westerling (Desember 1946 – Februari 1947).

Namun sejatinya aksi ini bertujuan merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan
memiliki sumber daya alam, terutama minyak seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Sumatera Timur. Peristiwa ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I . Aksi ini
mengundang protes Internasional. Melalui Radio Republik Indonesia Soedirman meminta
seluruh rakyat Indonesia bersatu untuk menyelamatkan Negara. Namun perlawanan yang
terjadi menyebar dan masih setengah matang. Terlebih lagi para pemimpin TNI masih
dipusingkan oleh kerumitan konsolidasi laskar dan tentara – Penggabungan Milisi sipil dan
tentara yang jumlahnya sebanyak 500.000 orang. Dalam tempo 2 minggu, korban jatuh di
pihak Belanda sebanyak 6.200 orang dan Indonesia 150.000 orang.

Dari peristiwa ini Soedirman menyimpulkan bahwa pertahanan frontal tak bermanfaat. Ia
menggantinya dengan memperkuat kantong-kantong gerilya.
KEKECEWAAN TERHADAP SOEKARNO

19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan “Aksi Polisinil”nya dengan melakukan


serangan mendadak terhadap Kota Yogyakarta dengan sandi Operation Kraai atau Operasi
Gagak – yang saat itu adalah Ibu Kota Republik Indonesia. Aksi ini dikenal sebagai Agresi
Militer Belanda II. Serangan ini sangat mengejutkan para pemimpin Indonesia. Terlebih
Soedirman yang baru empat hari pulang dari rumah sakit setelah operasi paru-paru.

Hari itu juga Soedirman meminta ajudannya untuk mengantarkannya ke Gedung Agung
untuk bertemu langsung dengan Soekarno dan meminta agar Soekarno dan pejabat lainnya
meninggalkan kota Yogyakarta agar tidak ditangkap Belanda. Selain itu Soedirman juga
berniat mengingatkan langsung Soekarno akan janjinya untuk mengambil alih TNI dan
memegang komando perang gerilya jika Belanda menyerang. Soekarno menolak pergi
(keputusan yang diambil melalui sidang kabinet) dan membujuk Soedirman untuk tetap
tinggal di Yogyakarta. Soedirman menolak mentah-mentah tawaran itu. Dengan perasaan
kecewa dia memutuskan untuk angkat senjata dan bergerilya. Soedirman paham, selaku
pimpinan militer, ia tak boleh ditangkap musuh, agar menjadi salah satu pemegang komando
negara.

Perkiraan Soedirman tak meleset. Esok harinya pukul 5 sore, pasukan Belanda masuk
Gedung Agung. Soekarno, Hatta, Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa anggota kabinetnya
ditangkap dan menjadi tahanan rumah. Mereka diasingkan ke luar Jawa yakni Prapat –
Sumatera Utara dan Pulau Bangka.

Soedirman lolos dan ditandu meninggalkan kota Yogakarta bersama semua kesatuan tentara
nasional. Sejak hari itu perang gerilya atauwehrkreise dimulai. Inilah awal keretakan
hubungan antara pemimpin sipil dan militer.

Para pemimpin sipil Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, tampaknya
membiarkan dirinya untuk ditangkap dengan konsekuensi diasingkan. Mereka berharap
penangkapan ini akan memiliki kekuatan diplomatik dengan menggugah opini internasional
tentang peristiwa pendudukan militer pada Desember 1948. Di sisi lain, para pemimpin
militer Republik tidak memahami pemikiran pemimpin sipil mereka, sehingga berkomitmen
menghadapi serangan Belanda dengan perang gerilya.

Dari peristiwa ini terlihat jelas bagaimana perbedaan garis perjuangan kedua tokoh ini.
Soedirman memilih untuk masuk hutan, berjuang dengan angkat senjata dan menolak
perjuangan melalui meja perundingan. Selama bergerilya Soedirman tetap konsisten dan
menyampaikan kritik keras kepada Syarifuddin Prawiranegara – Kepala Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat. Melalui radiogram dia
mempertanyakan legitimasi Soekarno-Hatta. “Apakah pantas orang-orang yang berada dalam
tahanan atau berada di dalam pengawasan tentara Belanda berhak melakukan perundingan
dan mengambil keputusan politik buat menentukan nasib Repubilk?”. Namun walaupun
Soekarno-Hatta ditahan Belanda, Soedirman tetap tunduk dan berkoordinasi dengan PDRI
yang dipegang Syarifuddin.

Soekarno-Hatta tiba di Yogyakarta pada 6 Juli 1949, dan pemerintah Republik kembali ke
Yogyakarta. Keesokan harinya Letnan Kolonel Suharto membawa surat yang ditulis oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk Soedirman yang isinya agar Soedirman harus
kembali ke Yogyakarta agar tidak ada kesan terjadi perpecahan di dalam pucuk pimpinan
Republik.

Tiga Hari kemudian, di pagi buta Soedirman turun gunung dan disambut oleh T.B
Simatupang. Soedirman mengendarai mobil bersama Simatupang menuju Gedung Agung,
Yogyakarta.

Sore Hari, Soedirman tiba di Gedung Agung. Suasana tampak menegangkan, karena
Soedirman masih tampak marah, dia tidak mau masuk dan hanya berdiri kaku dengan tangan
kirinya memegang tongkat. Akhirnya, Soekarno dan Hatta yang sebelumnya menunggu di
beranda datang menghampiri Soedirman. Dia merangkul tubuh Sang Jendral yang ringkih itu.
- Momen ini diabadikan oleh fotografer Frans Mendur. Walau momen rangkulan ini terpaksa
diulang Soekarno karena sebelumnya tidak tertangkap oleh kamera Frans. Digambarkan
pertemuan itu laksana pertemuan antara dua kakak-adik yang lama tak bersua.

Namun setelah pertemuan ini, ketegangan antara Militer dan Sipil tetap tinggi. 2 Agustus
1949, Soedirman bertemu dengan Soekarno dan A.H Nasution. Soedirman membawa amanat
semua tentara yang masih berjuang di luar Yogyakarta yang menyatakan menolak gencatan
senjata. Namun Soekarno berpendapat gencatan senjata dibutuhkan agar Konferensi Meja
Bundar (KMB) bisa berlangsung di Den Haag, Belanda. Soedirman meminta
dibebastugaskan sebagai Panglima Besar karena dia merasa tidak bisa lagi mengikuti
kebijakan politik pemerintah. Namun Soekarno manjawab, ”Bila pemimpin TNI
mengundurkan diri, Soekarno-Hatta akan lebih dulu mengundurkan diri”. Suasana Hening.
Mata Soekarno, Soedirman dan Nasution berkaca-kaca. Mereka berpisah tanpa ada satu
keputusan.

Sore harinya Nasution bertemu dengan Soedirman yang berbaring di tempat tidur. Surat
pengunduran sudah ditulisnya dan diperlihatkan ke Nasution. Nasution berkata, ”Saya
sampaikan bahwa persatuan antara TNI dan Soekarno-Hatta lebih penting ketimbang
strategi perjuangan”. Soedirman menyetujui pemikiran itu. Dia batal mengundurkan diri.
Besoknya, Soekarno mengumumkan gencatan senjata dan meminta pasukan gerilya
mematuhi perintah tersebut.

Suatu hari, tanggal 27 Desember 1949 - sebelum pindah ke Jakarta, Soekarno menulis surat
kepada Soedirman yagn terbaring sakit di tempat tidur. Soekarno berharap Soedirman tetap
memberi bantuan dan pikiran demi meneruskan perjuangan. Soekarno juga minta maaf atas
segala kesalahan dan berharap Soedirman lekas Sembuh.

Namun pada hekekatnya keakraban antara Soekarno dan Soedirman memang bak hubungan
kakak-adik. Soekarno begitu menghormati dan menyayangi panglimanya itu. Dalam suratnya
kepada Soedirman, Soekarno menyebut dirinya Kanda dan Soedirman sebagai Adinda.
Tampak terdapat ikatan emosional yang sangat erat diantara mereka. Usia Soedirman 15
tahun terpaut dari Soekarno.
PERBEDAAN DENGAN HATTA

Tak bisa dipungkiri mengenai keakraban yang terjadi antara Hatta dan Soedirman. Soedirman
sering berdikusi politik dengan Hatta. Meskipun dalam keadaan terbaring di rumah sakit,
Soedirman tetap meladeni obrolan Hatta. Selain itu juga Hatta sangat perhatian terhadap
sehabatnya ini. Mereka adalah sahabat yang sangat dekat.

Dikisahkan bagaimana suatu ketika dimana Hatta baru kembali dari Belanda, ia langsung
mencari Jenderal Soedirman. Dia membawakan Obat yang sengaja di beli dan dicarinya di
Belanda. Namun sang Jendral saat itu sedang berada di Magelang, Jawa Tengah. Hatta
menulis surat pendek kepada keluarga Soedirman dan mendoakan kesehatan koleganya itu.

Walaupun akrab, Hatta dan Soedirman tidaklah selalu sejalan. Hatta dikenal dengan
pendapatnya yang menempatkan militer tunduk kepada pemerintah. Seperti halnya Soekarno,
Hatta juga sangat mengedepankan perjuangan melalui strategi perundingan yang sebenarnya
sangat bertentangan dengan strategi perjuangan Soedirman.

Hatta juga pernah menegur Soedirman karena memberikan keterangan pada pers tentang
tentara yang harus bersikap ofensif. Keterangan tersebut dinilai Hatta mengkhawatirkan
karena bisa di cap agresive oleh Komisi Tiga Negara (AS, Belgia dan Australia), yang sedang
mengawasi gencatan senjata. Hatta mengingatkan Soedirman agar terlebih dahulu bermufakat
dengan pemerintah sebelum memberikan keterangan sehingga sesuai dengan strategi politik.
Menurut Hatta Tentara adalah alat negara, Tentara tidak berpolitik.

Kabinet Amir Sjarifoeddin runtuh di tahun 1947, dilanjutkan oleh kabinet Hatta. Hatta tetap
melanjutkan kebijakan Amir - ReRa (Reorganisasi dan Rasionalisasi) pada Januari 1948.
Hatta mengangkat kembali Soedirman sebagai Panglima Besar - Soedirman “disingkirkan”
akibat kebijakan ReRa pada pada kabinet Amir.

Hatta memandang Soedirman sebagai tokoh militer muda yang cakap dan patut mendapat
peran dan jabatan penting. Sesudah Soedirman wafat pada tanggal 29 Januari 1950, Hatta
tidak memutus tali silahturahmi dengan keluarga sang Jenderal. Beberapa kali Hatta datang
menjenguk istri dan anak Soedirman di Yogyakarta. Bahkan Hatta menghadiri pernikahan
putri pertama dan ketiga Soedirman di tahun 1961 dan 1964.

Ketika Soedirman Wafat, Soekarno tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke India. Bung
Hatta selaku Perdana Menteri RIS mengucapkan pidato radio di Jakarta pada hari itu. Dalam
pidatonya, Bung Hatta meyatakan,”...Soedirman adalah orang yang keras hati yagn suka
membela pendiriannya dengan bersemangat. Tapi, apabila pemerintah telah mengambil
keputusan, ia selalu taat dan menjalankan keputusan itu dengan sepenuh tenaganya. Jendral
Soedirman adalah orang yang sangat disipliner yang harus menjadi contoh dan teladan bagi
tentara kita seluruhnya....Soedirman juga menjadi kampium dari semboyan bahwa suatu
negara yang ada dan modern, hanya ada satu tentara dengan segala kebijaksanaannya yang
ada padanya....”
PERTENTANGAN DENGAN SJAHRIR

Salah satu hasil rapat TKR tanggal 12 November 1945 di Gondokusuman, Yogyakarta adalah
ditunjuknya Sri Sultan Hamengkubowono IX sebagai Menteri Pertahanan. Saat itu Sultan
Hadir sebagai tamu istimewa bersama Pakubowono XII, Mangkunegoro dan Paku Alam.
Namun 2 hari setelah rapat tersebut, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan
komposisi kabinetnya. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan.
Penunjukan Amir ini menjadi pemantik ketegangan antara Soedirman dan Sjahrir.

Amir mengubah TKR menjadi TRI (tentara Republik Indonesia) pada tanggal 24 Januari
1946. Tujuannya adalah untuk melebur semua laskar bersenjata ke dalam satu wadah.

Karena gagal merangkul laskar-laskar ke TRI Amir membentuk Biro Perjuangan, yang
merupakan naungan bagi laskar-laskar tersebut. Mereka dipelihara dan dipersenjatai dengan
biaya yang ditanggung oleh Menteri Pertahanan.

Hal ini membuat jengkel Soedirman dan perwira di Markas Besar Tentara. Karena Anggaran
yang diperuntukkan bagi Biro ini jauh lebih besar dibanding dengan TRI. Selain itu
kewenangan Soedirman di TRI juga terpangkas.

Kebijakan Amir lain yang tidak disukai oleh Soedirman adalah pembinaan opsir-opsir politik
lewat Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Sebanyak 55 opsir Pepolit dilantik di bulan Mei
1946. Semuanya berasal dari Pemuda Sosialis Indonesia, pendukung Amir. Mereka lalu
disebar ke berbagai kesatuan tentara dan diberi pangkat Militer.

Tujuan pembentukan Pepolit ini didasarkan ketidakpercayaan Amir kepada TRI. Dimana TRI
dibentuk dari mantan anggota Militer bentukan penjajah – Koninklijk Nederlands Indisch
Leger (KNIL) dan Pembela Tanah Air (PETA).

Sjahrir sendiri bercita-cita tentara Indonesia harus bebas dari unsur-unsur fasisme Jepang.
Seperti halnya Soekarno dan Hatta, Perjuangan Sjahrir melalui meja perundingan ditentang
keras oleh Soedirman.

Puncaknya adalah peristiwa kudeta 3 Juli 1946 – kudeta militer pertama di Indonesia.
Diawali dengan diculiknya Perdana Menteri Sjahrir tanggal 27 Juni 1946 oleh Abdul Kadir
Jusuf, perwira yang ditugasi oleh Mayor Jendral Soedarsono yang berhaluan ke
kelompok Persatuan Perjuangan (kelompok Tan Malaka, Soebardjo dan Sukarni).
Tanggal 3 Juli 1946 Soedarsono datang ke Istana Yogyakarta, menyampaikan maklumatnya
untuk ditandatangai Soekarno dan mengklaim mendapat perintah Soedirman. Isi maklumat
tersebut antara lain adalah pembubaran Kabinet Sjahrir dan penyerahan pimpinan politik,
sosial dan ekonomi ke Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka. Maklumat ini
tidak diterima oleh Soekarno. Soedarsono dan tokoh-tokoh yang terlibat ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara. Sjahrir dibebaskan setelah Soekarno meminta Soedirman
melepaskannya. Kecurigaan mengarah ke Soedirman. Hal ini juga dikarenakan kedekatan
Soedirman dengan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan. Namun belakangan semua kecurigaan
itu tak terbukti.

Setelah peristiwa itu, hubungan Soedirman dan Sjahrir perlahan membaik. Soedirman
bersedia memenuhi undangan Sjahrir di Jalan Pegangsaan Timur 56, rumah dinas Sjahrir
pada November 1946. Dalam perbincangan 30 menit itu Sjahrir menjelaskan soal jalur
diplomasi yang lebih tepat sasaran ketimbang konfrontasi. Sjahrir menjelaskan, kekuatan
tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan Belanda. Setelah penjelasan itu,
Soedirman maklum. Dugaan selama ini bahwa Sjahrir bersekongkol dengan sekutu ternyata
tak terbukti.

Pasca pertemuan di Jakarta itu, Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir. Kepada Sultan
Hamengkubowono IX pada January 1950 dia menyatakan bahwa Sjahrir sebagai pemimpin
besar yang pantas memimpin Republik, “Sjahrir adalah tokoh Besar”.

Catatan Penulis:

Soedirman terlahir dengan kecakapan dan ambisi dengan keyakinan yang kuat. Dia didapuk
sebagai Panglima Besar TKR pada usia 29 tahun. Panglima dari sebuah Negara yang baru
saja berdiri. Terpilih pada situasi semrawutnya organisasi militer dan kacaunya situasi
ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Seorang Jendral yang wafat diusia muda – 34
tahun, namun telah mewariskan segudang inspirasi.

Dia berani dan memegang teguh pendiriannya. Keputusannya untuk masuk hutan dan
bergerilya adalah sebuah keajaiban. Dia memimpin gerilya selama delapan bulan, terus
bergerak keluar-masuk hutan dengan separuh paru-parunya.

Namun dibalik sosok yang tegas itu, Soedirman sangat penuh pertimbangan dan berjiwa
besar. Dia tetap mengikuti perintah pimpinan Negara yang dipimpin sipil. Dia bersedia
datang, bertemu dan berdiskusi dengan Soekarno ataupun Sjahrir dengan mengesampingkan
“sikap” pribadinya dan mengedepankan cita-cita perjuangan. Selain itu, selama Soekarno-
Hatta ditahan Belanda, dia pun tetap patuh pada pemerintah saat itu (PDRI) yang dipegang
oleh Sjarifuddin Prawiranegara. Ketundukan pada pemerintah sipil itulah salah satu
warisan Soedirman dan kawan seangkatannya sebagai kultur Tentara Nasional
Indonesia.

Perbedaan prinsip dan cara tidak menyebabkan perpecahan persatuan selama tujuan kita
sama. Kritik dan sikap berbeda Soedirman bukanlah karena alasan suka ataupun tidak suka,
ataupun dikarenakan alasan latar belakang pribadi atau kelompok dari tokoh-tokoh yang tak
sepaham dengannya itu. Perbedaan itu tidak menjadikan dirinya musuh bebuyutan ataupun
“musuh abadi” terhadap tokoh-tokoh tersebut. Soedirman menunjukkan pada kita bahwa
dibalik ambisi, strategi dan pengabdian harus disertai dengan kebesaran jiwa.

...
Negara ini didirikan oleh orang-orang yang memiliki perbedaan prinsip, pandangan dan latar
belakang. Namun mereka mampu meletakkan tujuan bangsa dan negara diatas perbedaan itu.
Mereka adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih, tanpa mengedepankan kepentingan
pribadi atau kelompoknya. Perbedaan itu bisa menyatu dan mewujudkan suatu Negara
Kesatuan yang kita diami sampai saat ini. Kita harus jaga Persatuan ini dari segala bentuk
apapun yang menginginkan perpecahan bangsa. Karena harga NKRI dan Pancasila adalah
selalu tetap...harga mati.

Balikpapan, 12 January 2015

JENDERAL SOEDIRMAN
Soedirman tumbuh dari persemaian
muslim yang taat, berkembang sebagai seorang guru sekolahan,
guru masyarakat, dan guru militer yang handal,”

Namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada
tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sosok pemimpin
yang menjadi inspirasi dan patut diteladani ketika kita kering dengan kehadiran pemimpin yaitu
Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia
adalah panglima TNI yang pertama, tokoh agama, pendidik, tokoh Muhammadiyah sekaligus
pelopor perang gerilya di Indonesia. Jenderal Soedirman juga salah satu jenderal bintang lima
di Indonesia. Beliau lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 1916
dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun karena penyakit
tuberkulosis dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Sosok Panglima Besar Jenderal Soedirman patut menjadi contoh bagi kalangan muda bangsa ini.
Selain memiliki rasa nasionalisme yang kuat, ia memiliki keimanan yang tinggi. Sebelum masuk
ke dunia militer, Soedirman adalah guru bagi temannya dan menjadi teladan di kalangan anak
muda karena pernah aktif dan menjadi guru di Kepanduan Muhammadiyah Hizboel Wathon
(Pembela tanah air), kemudian menjadi guru serta kepala sekolah di sekolah Muhammadiyah di
Cilacap.
Selain menjadi guru, Soedirman adalah seorang muslim yang taat, pernah menjadi muballigh-
juru dakwah. Ia dikenal sebagai juru dakwah yang mengedepankan pendekatan kultural dan
persuasif yang rajin berkeliling di pedesaan dan perkotaan, dan bahkan juga mendirikan pusat
dakwah. Pada saat telah menjadi Panglima pun Soedirman tetap suka mengaji di Pengajian PP
Muhammadiyah di gedung Pesantren Kauman Yogyakarta serta tetap tidak melupakan kegiatan
dakwah di lingkungannya,
Pengalaman aktif di Kepanduan Hizboel Wathon merupakan modal bagi Soedirman memasuki
dunia kemiliteran. Karir kemiliteranya dimulai dari menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA)
yaitu kesatuan militer yang dibentuk dan dilatih jepang.
Dalam buku Soedirman dan Sudirman terbitan Pusat Sejarah TNI (2004). Beliau digambarkan
sebagai : Pemimpin yang sederhana. Kesederhanaan yang polos memancar dari jiwa beliau,
kesederhanaan yang tidak dibuat-buat baik dalam gaya hidup maupun sikap dan perilaku.
Kesederhanaan beliau mampu membangkitkan kepercayaan seluruh anak buahnya bila mereka
dipimpin oleh jenderal yang jujur dan memiliki solidaritas terhadap nasib semuanya serta tidak
mencari kepentingan diri sendiri.

Pemimpin dengan semangat nasionalisme yang tinggi. Semangat ini merupakan penghayatan
suara hati nurani, kepekaan jiwa terhadap nasib rakyat Indonesia yang sekian lama menjadi
rakyat jajahan. Pengamatan yang cermat dan tepat dalam memahami situasi pada waktu itu
melahirkan semangat nasionalisme kebangsaan. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah
pemimpin yang sangat cerdas dan bijaksana.
Pemimpin yang demokratis. Soedirman memiliki kepekaan nurani, yang tumbuh dari suatu
lingkungan masyarakat dalam suasana kerakyatan, kegotongroyongan, kebersamaan, dan
kuatnya solidaritas kehidupan. Memahami manfaat keakraban hubungan dengan rakyat, selalu
tampil dengan figur yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya arti kebersamaan dalam suatu
perjuangan yang kekuatannya dilandasi oleh keberhasilan dalam menggalang kekuatan rakyat.
Pemimpin dengan pendirian yang teguh. 19 Desember 1948 ketika Belanda menyerang
Yogyakarta secara mendadak, para pemimpin RI memutuskan untuk tetap tinggal di Yogya
dengan konsekuensi ditawan Belanda. Tetapi Soedirman memutuskan tetap bersama prajurit dan
rakyat melanjutkan perjuangan melalui perang gerilya meskipun kondisi badannya lemah karena
hanya satu paru-parunya yang berfungsi. Pendirian yang teguh ini ditopang oleh nilai-nilai
keagamaan dan demokrasi yang kuat. Nilai keagamaan berkeyakinan bahwa kebenaran tidak
akan pernah kalah, dan berjuang untuk tanah air adalah kebenaran. Sementara nilai demokrasi
berkeyakinan bahwa rakyat adalah sumber kekuatan yang tidak akan pernah habis. Sebagai
seorang guru sejati, Soedirman berhasil menanamkan keyakinan-keyakinan tersebut dengan
sabar dan konsisten yang dilandasi ketulusan hati kepada seluruh anak buahnya. Hal ini
menjadikan Sudirman sebagai salah satu contoh terbaik seorang pemimpin yang menjalankan
prinsip satunya kata dengan perbuatan.
pandangan beberapa tokoh yang mengenal dekat Jenderal Soedirman.
Jenderal Abdul Haris Nasution :“Jenderal Soedirman sangat bijaksana karena selalu mengajak
para panglima untuk bermusyawarah. Dengan demikian terpelihara kekompakan seluruh TNI
dan kesejahteraan seluruh anak buahnya.”
Dr. Ruslan Abdulgani :“Kesederhanaan hidup dan ucapan beliau mencerminkan jiwa
manunggalnya dengan rakyat. Kharisma beliau bukan semata-mata pada ilmu kemiliterannya,
melainkan karena cara hidup dan watak kepribadiannya.”
Kolonel Gatot Subroto : “Bapak Soedirman dipandang sebagai pemimpin yang jujur, memberi
contoh dan dorongan yang kuat ke arah persatuan masyarakat, ke arah pengorbanan suci
terhadap perikemanusiaan dan perikeTuhanan.”

Jelaslah bahwa Jenderal Soedirman seorang pemimpin yang berkarakter. Jiwa kepemimpinan
yang dibangun dari pandangan hidup dan kepekaan terhadap lingkungan kehidupan merupakan
syarat utama yang harus ada dalam karakter diri seorang pemimpin. Bagaimana dengan
pemimpin “kita” saat ini? Apakah nilai-nilai keadilan, kejujuran, kebersamaan, kesederhanaan,
dan nilai lainnya yang diteladankan oleh sosok guru SD Jenderal Soedirman telah diusahakan
tegak di bangsa kita ini?
Jenderal Soedirman lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid
Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem,
adalan keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh
R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem.
Pengetahuan militernya diperoleh dari pasukan Jepang melalui pendidikan. Setelah
menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah.
Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih
menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal
memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, Ia selalu mengutamakan kepentingan
orang banyak banyak dan bangsanya di atas kepentingan pribadinya, bahkan kepentingan
kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo,
pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam
membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.Pada masa pendudukan Jepang ini,
Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong
rakyat dari bahaya kelaparan.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu. Momen
tersebut digunakan Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan
pasukannya bertempur di Banyumas, Jawa Tengah melawan Jepang dan berhasil merebut
senjata dan amunisi. Saat itu pasukan Jepang posisinya masih kuat di Indonesia. Soedirman
mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk
menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang
Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima
Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November
1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya
dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, namun dia tetap terjun dalam beberapa perang
gerilya melawan pasukan NICA Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali setelah Jepang
menyerah.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan
pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945.
Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya
pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah
kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik
sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut
tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Jendral Soedirman tetap terjun ke medan perang saat terjadi agresi militer Belanda II di Ibukota
Yogyakarta. Saat itu Ibukota RI dipindahkan ke Yogya karena Jakarta sudah dikuasai Belanda.
Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda tanggal 19
Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Kondisi kesehatan Jenderal Soedirman
sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama.
Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia
setelah Serangan Umum 1 Maret 1949.Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan
beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut,
Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang
gerilya. Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung
ke gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Soedirman
pulang dari gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk
memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh
perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda. Setelah Belanda
menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden
Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah
karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai