Anda di halaman 1dari 8

Nama : Daru Zaith Zain

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Hukum

Semester : 1 B2

Dosen Penguji : Dr. Hanuring Ayu, SH., MH

1. Kaedah, sebagaimana dijelaskan oleh Purbacaraka dan Soekanto adalah patokan


atau ukuran ataupun pedoman untuk berperikelakuan atau sikap tindak dalam
hidup.Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur
prilaku manusia dan perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat.

Sebagai jenis kaidah yang mengatur tingkah laku masyarakat, maka hukum
merupakan hanya satu di antara jenis kaidah lainnya. Gustav Radbruch)
membedakan kaidah atas Kaidah alam dan Kaidah Kesusilaan.Kaidah alam
merupakan kaidah yang menyatakan tentang apa yang pasti akan terjadi. Contohnya
semua orang yang hidup pasti akan meninggal. Jadi kaidah alam merupakan
kesesuaian dengan kenyataan yang mengemukakan sesuatu yang memang demikian
adanya.Kaidah kesusilaan merupakan kaidah yang menyatakan tentang sesuatu yang
belum pasti terjadi atau sesuatu yang seharusnya terjadi. Contohnya manusia
seharusnya tidak membunuh, ini berarti ada dua kemungkinan, manusia bisa
membunuh atau manusia bisa juga tidak membunuh.

Namun jenis diatas merupakan jenis secara umum yang perlu kita kembangkan
lagi, karena sejatinya sebuah pemikiran tentang kajian ilmu khususnya ilmu sosial
masih terus mengalami perubahan seiring sifatnya yang dinamis.

Achmad Ali membagi atas kaidah kesusilaaan atau moral, kaidah kesopanan,
kaidah agama dan kaidah hukum

 1.Kaidah Kesusilaan
Sudikno Mertokusumo “kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia
sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia”.

Sebagaimana layaknya manusia, kehidupan pribadi merupakan hal yang


sangat diproteksi dari dalam diri, hingga untuk mengetahui isi hati seseorang hanya
pribadi orang tersebutlah dan TuhanNya yang mengetahui akan kesalahan yang telah
diperbuatnya. Maka dari itu kaidah kesusilaan bersifat otonom, artinya sebuah
aturan tingkah laku apakah itu mau diikuti atau tidak tergantung dari kehendak sikap
batin manusianya.

 Kaidah Agama

Kaidah agama adalah kepercayaan manusia akan tingkah lakunya yang


berhubungan dengan dunia dan akhirat yang bersumber dari Tuhan. Manakala
perbuatan yang dilakukan tersebut menyimpang dari sebuah ajaran-ajaran agama
maka manusia tersebut akan menanggung dosanya di akhirat kelak.

Achmad Ali membedakan atas dua kaidah tersebut, yakni kaidah agama yang
khusus mengatur hubungan manusia dengan Tuhan; dan kaidah agama yang umum
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Salah satu contoh dapat
dilihat pada agama islam dimana sanksinya ada sanksi di dunia dan di akhirat kelak.

Namun kedua sanksi tersebut baik yang secara khusus maupun yang secara
umum kedua-duanya termasuh kaidah sosial karena meskipun ada yang mencakup
sanksi di akhirat kelak, tetapi sebab dari perbuatannya dilakukan di dunia.

 Kaidah Kesopanan

Adapun yang dimaksud kaidah kesopanan menurut Sudikno Mertokusumo


adalah sesuatu hal yang didasarkan atas kebiasaan, kepatutan, atau kepantasan yang
berlaku dalam masyarakat. Salah satu perbedaan yang paling mendasar dimana
kaidah kesopanan ditujukan pada sikap lahir manusia, demi penyempurnaan dan
ketertiban dalam masyarakat.

Sanksi daripada kaidah ksopanan berwujud teguran, cemoohan, celaan,


pengucilan, dan sejenisnya yang tidak dilakukan oleh masyarakat secara terorganisir,
melainkan dilakukan sendiri-sendiri.

4. Kaidah hukum

Kaidah hukum adalah kaidah yang berhubungan antara manusia sebagai


individu serta manusia yang menyangkut hidup manusia secara umum untuk
mengatur sebuah hubungan. Kaidah hukum lebih dititikberatkan pada perbuatan
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan yang apabila dilanggar akan
mendapatkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari segi sanksi bisa kita mengacu pada KUHP tentang jenis-jenis sanksi,
apakah itu hukuman mati, penjara, kurungan, atau denda.

Tugas kaidah hukum, yaitu pemberian kepastian hukum yang tertuju pada
ketertiban, dan pemberian kesebandingan hukum yang tertuju pada ketenangan atau
ketenteraman. Ketertiban tersebut ditandai dengan ciri – ciri, sebagai berikut:
1. Voorspelbaarheid (dapat diproyeksikan sebelumnya);
2. Cooperatie (kerjasama);
3. Controle van geweld (pengendalian terhadap kekerasan);
4. Consistentie (konsistensi);
5. Duurzaamheid (tahan lama);
6. Stabiliteit (stabilitas);
7. Hierarchie (hirarki);
8. Conformiteit (konformitas);
9. Afwezigheid van conflict (tidak adanya konflik);
10. Uniformiteit (uniformitas);
11. Gemeenschappelijkheid (gotong – royong);
12. Relegmaat (teratur);
13. Bevel (didasarkan kepatuhan);
14. Volgorde (berpegang pada tahapan yang telah ditentukan);
15. Uiterlijke stijl (sesuai dengan pola);
16. Rangschikking (susunan; tersusun);
(Catatan: Sumber referensi dari buku karangan Purnadi Purbacaraka, SH. dan
DR. Soerjono Soekanto, SH., MA. berjudul Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, tahun 1979)

2. Menurut pendapat saya, pandangan Austin yang memberikan batasan yang sempit
terhadap hukum sebagaimana pernyataan diatas kurang bisa diterima. Di dalam
hukum, aspek-aspek seperti moral, masyarakat, kebiasaan tidak bisa
dipisah-pisahkan. Hukum haruslah mencerminkan moral, agar suatu produk hukum
itu tidak bertentangan dengan hakikat kemanusiaan.

Selain itu, aspek-aspek intern seperti masyarakat dalam suatu wilayah hukum
juga harus diperhatikan karena esensi hukum yang sebenarnya adalah penerimaan
masyarakat.

3. Kepastian hukum merujuk pada keadilan komutatif, yang memandang semua orang
sama di mata hukum. Sedangkan keadilan merujuk pada keadilan distributiva, yang
memandang setiap orang tidak sama di mata hukum, bersifat proporsional. Oleh
karena itu, antara kepastian hukum dan keadilan tidak dapat diterapkan secara
bersama-sama. Jika kita mengedepankan kepastian hukum, maka tergeserlah
keadilan, begitu juga sebaliknya.

Contoh : Penggusuran terhadap PKL yang berjualan diatas trotoar. Berdasarkan rasa
keadilan rakyat, adanya para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar tentu
merupakan suatu hal yang dapat dimaklumi oleh masyarakat, karena walaupun
mereka telah berjualan di tempat yang bukan semestinya, namun adanya mereka
tetap berjualan adlah tidak lebih oleh suatu keterpaksaan yaitu memenuhi kebutuhan
hidup yang besar di tengah beban kemiskinan yang begitu berat. Namun
dikarenakan apa yang dilakukan para PKL tersebut melanggar peraturan
perundang-undangan , maka tetap saja harus digusur.

4. Pengaturan yang adil terkait dengan pernyataan diatas merujuk kepada konsep
keadilan distributif menurut Aristoteles, menuntut bahwa setiap orang mendapat apa
yang menjadi haknya. Hak ini tidak sama untuk setiap orang tergantung pada
kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan, dsb. Bersifat proporsional.

Contoh : Gaji seorang buruh pabrik yang hanya mengenyam pendidikan sampai
SMA berbeda dengan gaji seorang manager yang lulusan Strata-1.

5. Esensi aturan hukum adalah adalah pencerminan dari moral maksudnya adalah yang
menentukan bahwa suatuaturan itu merupakan aturan hukum atau bukan adalah isi
aturan itu yaitu adakah aturan itu memancarkan prinsip moral atau tidak. Tidak
peduli apakah aturan itu dibuat oleh penguasa/tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat/merupakan kreasi hakim, sepanjang isi aturan itu memancarkan
prinsip-prinsip moral, aturan itu dapat dikatakan sebagai hukum. Pancaran
prinsip-prinsip moral itu dalam kerangka fungsi eksistensial manusia.

6. – Sumber hukum : sumber tempat orang-orang mengetahui hukum atau


tempat dimana suatu hukum diambil.

– Asas hukum : nilai-nilai yang mendasari kaidah-kaidah hukum.

– Aturan hukum : bentuk dari suatu pernyataan, bisa tertulis maupun tidak
tertulis.

– Norma hukum : arti dari suatu pernyataan.

Contoh : pasal 1 ayat 1 KUHP Þ aturan hukum ( dalam bentuk tertulis )


Norma hukum Þ norma larangan. Dilarang memidana orang tanpa aturan hukum
terlebih dahulu.

Asas hukum Þ asas legalitas.

Sumber hukum Þ KUHP.

7.Karena dalam interpretasi ekstentif masih tetap berpegang pada aturan hukum,
sedangkan argumentum per analogiam tidak berpegang pada aturan yang ada,
melainkan pada inti, rasio dari aturan hukum. Oleh karena itu bertentangan dengan
asas legalitas ( pasal 1 ayat 1 KUHP ), sebab asas ini mengaharuskan adanya suatu
aturan sebagai dasar.

Larangan untuk menggunakan penafsiran secara analogi dalam hukum pidana


dimaksudkan untuk mencegah timbulnya suatu ketidakpastian hukum bagi
masyarakat.

8.Pandangan historical jurisprudence (Von Savigny) terhadap pembaharuan atau


perubahan hukum tidak membutuhkan legal drafter. Sebab legal drafter yang dalam
pembentukan undang-undang tidak menggali jiwa rakyat, sehingga produk hukum
yang dihasilkan berpeluang besar akan bertentangan dengan kehendak rakyat.
Pembaharuan/perubahan hukum seharusnya dilakukan oleh seorang ahli hukum,
yang tetap berlandaskan jiwa rakyat dalam bangsa tersebut.

9. – Asas hukum tidak berkarakter “ alles of niets” ( semua atau tidak sama
sekali ). Bahwa terhadap kejadian yang sama dapat diterapkan berbagai asas hukum,
yang semuanya memainkan peranan pada interpretasi aturan-aturan yang dapat
diterapkan.

– Norma hukum berkarakter alles of niets. Bahwa norma atau kaidah hukum
tidak membuka kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan terdapat suatu
aturan hukum lain yang dapat diterapkan terhadap kejadian itu. Contoh : pasal 362
KUHP yang memiliki unsur-unsur :

Mengambil barang milik orang lain, dsb.

Apabila tidak memenuhi satu unsur, tidak berarti melanggar.

10. Menurut R. Soeroso subjek hukum adalah :

1. sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan


hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum;
2. sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak
menjadi pendukung hak (rechtbevoegd heid);
3. segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.

Subjek hukum dapat dibedakan atas dua macam apabila dilihat dari segi
hakikatnya, yaitu :

1. Manusia/orang (natuurlijke persoon)

Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara
kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai
subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan
ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa
dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang
menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang
sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain,
seperti anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan
orang yang berada dalam pengampunan seperti orang yang sakit
ingatan, pemabuk, pemboros.

2. Badan hukum (rechts persoon)


Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi
status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan
hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.
Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para
anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai
pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat
diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

Anda mungkin juga menyukai