Permalink Tanggapi
Sehubungan dengan terbitnya PerPres No. 16 Tahun 2018, pada pasal 93 isebutkan
bahwa dinyatakan bahwa semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan ketentuan
dalam Peraturan Presiden ini.
Pertanyaan:
1. Untuk mempermudah memahami ketentuan PBJ, apa perbedaan yang paling mendasar
antara PerPres No. 16 Tahun 2018 dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
2. Ruang lingkup pemberlakuan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 apakah termasuk
BUMN, BUMD, dan BHMN yang menggunakan/mendapat bantuan dana (termasuk penyertaan
modal) dari APBN/APBD ?
b. Agen Pengadaan
Dalam Perpres Baru akan diperkenalkan Agen Pengadaan yaitu Perorangan, Badan Usaha atau UKPBJ
(ULP) yang akan melaksanakan sebagian atau seluruh proses pengadaan barang/jasa yang
dipercayakan oleh K/L/D/I.
Mekanisme penentuan Agen Pengadaan dapat dilakukan melalui proses swakelola bilamana
pelakananya adalah UKPBJ K/L/D/I atau melalui proses pemilhan bilamana dilakukan oleh perorangan
atau badan usaha.
Agen Pengadaan akan menjadi solusi untuk pengadaan yang bersifat kompleks atau tidak biasa
dilaksakan oleh suatu satker, sementara satker tersebut tidak memiliki personil yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan proses pengadaan sendiri.
e. Perubahan Istilah
Perpres PBJ Baru akan memperkenalkan istilah baru dan juga mengubah istilah lama sebagai
penyesuaian dengan perkembangan dunia pengadaan. Istilah baru tersebut diantaranya adalah Lelang
menjadi Tender, ULP menjadi UKPBJ, Pokja ULP menjadi Pokja Pemilihan dan K/L/D/I menjadi
K/L/SKPD.
i. Jaminan Penawaran
Jaminan penawaran yang dihapus oleh Perpres No. 4 Tahun 2015 kembali akan diberlakukan khusus
untuk pengadaan konstruksi untuk pengadaan diatas Rp.10 Milyar.
j. Jenis Kontrak
Jenis kontrak akan disederhanakan menjadi dua jenis pengaturan saja, yaitu untuk
barang/konstruksi/jasa lainnya hanya akan diatur kontrak lumpsum, harga satuan, gabungan, terima
jadi (turnkey) dan kontrak payung (framework contract). Sedangkan untuk konsultansi terdiri dari kontrak
keluaran (lumpsum), waktu penugasan (time base) dan Kontrak Payung.
sumber : https://www.pengadaan.web.id/2018/03/10-poin-penting-perbedaan-perpres-no-16-
tahun-2018-dengan-perpres-no-54-tahun-2010.html
Dalam PP nomo16 (Pasal 4 huruf a), disebutkan bahwa tujuan dari pengadaan adalah untuk
menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek
kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia.
Apakah pasal tersebut untuk mereduksi pemahaman umum yang berkembang di masyarakat atas
ketentuan lama tentang pengadaan barang/jasa yang masih saja terjebak pada harga terendah atau
harga paling murah dalam pengadaan bukan kualitas dari barang tersebut?
Terimakasih
pertama:
pasal 4 huruf a tersebut tidak secara spesifik untuk mereduksi pemahaman ttg bahwa pbj hrs hg
terendah.
dari perpres yang dulu pun (p54) juga sudah jelas kerangkanya juga bukan untuk hg terendah,
salah satu buktinya di beri opsi metode evaluasi penawara sistem nilai dan sistem penilaian biaya
selama umur ekonomis.
pasal 4 huruf a tersebut merupakan penguatan akan kejelasan "tujuan" PBJP yaitu value for
money
uang yang dibelanjakan harus dpt memperoleh manfaat optimal untuk memenuhi kebutuhan dlm
rangka meraih tujuan organisasi.
pasal tersebut juga menegaskan bhw komitmen penyedia juga harus kuat dalam pelaksanaan pbj.
jk fenomena pinjam bendera terjadi maka salah satu tujuan pbp (tepat penyedia) gagal.
Saya mau bertanya pak, bahwa di Tahapan Perencanaan Audit PBJ ada sub Tahapan Identifikasi
Risiko, pertanyaannya :
1. Bagaimana jika auditan tidak memiliki Risk Register atas PBJ? Apakah auditor dapat
intervensi merumuskan / mengidentifikasi Risiko atas PBJ tersebut? Dan jika auditan tidak
memiliki Risk Register atas PBJ, bagaimana mungkin auditor dapat menguji efektifitas
rancangan pengendalian terpasang dan pengendalian yang masih diperlukan?
2. Jika dikaitkan dengan teori AIBR (Audit Internal Berbasis Risko), dimana pada tahapan
Perencanaan Audit Individual, auditor harus menilai terlebih dahulu Tingkat Maturitas Risiko
auditan, jika tidak berada pada level 3 ke atas, maka peran yang dilakukan oleh Auditor Internal
adalah peran consulting, bukan peran assurance, sedangkan audit masuk pada peran asuurance.
Pertanyaannya, bagaimana kaitan AIBR dengan kasus pada point 1 di atas, apakah audit tetap
diteruskan? Atau bagaimana ya?
sesuai standar audit (SAAIPI 2014), auditor mendpt mandat untuk :identifikasi risiko dan
penilaian risiko serta evaluasi pengendalian
jika risk register sudah ada, maka auditor menilai apakah sudah wajar ; baik uraian risiko
maupun levelnya
jika risk register belum ada, maka auditor dapat mengidentifikasi faktor risiko; lalu
melakukan: prioritas dari nilai faktor risiko yang tertinggi
evaluasi pengendalian juga dapat dilakukan berupa menguji praktik pengendalian yang control
based (berbasis regulasi perpres 16/2018 dan aturan teknis dan atau turunannya). jadi, lebih pada
menguji risiko pengendalian (risk control).
2. jika dikaitkan dgn teori AIBR, maka untuk yg maturity risknya sama atau dibawah 3; idealnya
tidak dilakukan audit , tp dilakuka consulting. atau, msh bisa audit tp jenis audit ketaatan.
Berarti Modul Audit PBJP kita ini untuk kondisi ideal bahwa auditan telah memiliki Risk
Register kan pak?, sehinga nyambung dengan konsep AIBR.
kondisi ideal utk AIBR memang idealnya auditi sdh praktik MR dan sdah punya risk register
tp jika AIBR mau dipraktikkan tapi auditi blum pnya risk register, maka masih bisa juga AIBR
dg opsi:
1. consulting
Terkait dengan audit PBJ dengan berbasis risiko, seentara auditi belum punya risk register nya...
Kita bisa menggunkan faktor risiko.
Faktor risko dalam pengadaan barang/jasa pemerintha ini apa saja yang dominan di setiap
tahapan pengadaan barang/jaya ?
misal:
3. nilai anggaran
4. penggunaan IT
7. Jumlah pengaduan
8. dll.
1. Masih terkait tahapan identifikasi dan penilaian risiko, sebagaimana sudah dijelaskan diatas
yaitu,
- Jika risk register sudah ada, maka auditor menilai apakah sudah wajar ; baik uraian risiko
maupun levelnya
- jika risk register belum ada, maka auditor dapat mengidentifikasi faktor risiko; lalu
melakukan: prioritas dari nilai faktor risiko yang tertinggi
dari pengamatan selama ini terutama di pemda, kelihatannya daftar/register risiko utamanya
terkait PBJ yang diaudit kemungkinan besar belum ada.
Artinya bila ini harus dilakukan oleh auditor maka yang dilakukan adalah mengidentifikasi
faktor risiko. Permasalahannya juga tidak mudah karena kemungkinan tidak semua auditor
memiliki pengetahuan/pemahaman yang baik terkait risiko. Selain karena proses penyusunan
risk register dengan basis faktor risiko setahu saya tidak jauh berbeda, yg tentunya membutuhkan
alokasi waktu yg tidak sedikit.
Pertanyaannya, apakah ada perubahan (fokus atau langkah) terhadap tahapan lanjutannya yaitu :
1) penyusunan rencana pengujian; dan 2) penyusunan PKA;
2. Terkait audit PBJ di desa yang menggunakan Dana Desa, mohon penjelasan hal sebagai
berikut :
- Bila ditemukan Kepala Desa/Aparat Desa juga sebagai Penyedia PBJ di desa, apa yang harus
dilakukan.
- Apakah secara regulasi Kepala Desa/Aparat Desa dapat menjadi Penyedia PBJ (misalnya :
Kepala Desa/Aparat Desa telah punya toko/usaha yang menyediakan material/bahan bangunan
sebelum menjadi kepala desa).
jika ada risk register, maka tujuan pengujian auditor adalah meyakini apakah pengendalian
atas risiko telah memadai
jika faktor risiko, maka tujuan pengujiannya BUKAN; meyakini apakah pengendalian atas
faktor risiko, tapi
faktor risiko digunakan untuk penentuan : a. auditi, b. bagian dari auditi yg akan diaudit
lebih rinci (bisa menggunakan
faktor risiko yg sama saat penentuan auditi, ataupun bisa menggunakan faktor risiko lain yg
memang butuh
dikembangkan.
tujuan pengujiannya: meyakini apakah kegiatan telah efektif dll (seperti biasanya)
2) penyusunan PKA
Jika ada risk register, maka langkah PKA sesuai tujuan diatas (poin 1 tsb); membuktikan
apakah ada keterjadian risiko dan apa dampak dari keterjadian risiko tsb
jika faktor risiko, maka langkah PKA sesuai tujuan diatas (poin 1 tsb); membuktikan:
b) telaah praktik khas di desa (karena bisa berbeda antar desa walau di 1 kabupaten)
2) aturan "menghindari konflik interest" di PBJ desa harus mengacu ke perbup/perwal nya
Pada kesempatan ini kami mohon pencerahan terkait PBJ di daerah dimana para pelaksana
PBJ selalu dalam tekanan dalam pelaksanaan kegiatan PBJ. (keluhan pelaksana PBJ)
Dalam pelaksanaan PBJ instansi Aparat Penegak Hukum (APH) sering memanggil PPK dan
UKPBJ secara informal dan formal baik saat pelelangan maupun pelaksanaan PBJ, yang
akhirnya membuat mereka ketakutan dalam melaksanakan pekerjaan. Jika panggilan ftersebut
tidak dipenuhi mereka akan mencari cari permasalahan terhadap kegiatan tersebut dengan dalil
pengaduan masyarakat., apalagi ada ancaman pemecatan terhadap ASN yang terkait masalah
TPK.
banyak para pelaku PBJ hanya berbekal perpres 16/2018, sedangkan bertata kelola PBJ tidak
bisa lepas dari sistem dan lingkungan internal dan eksteralnya yang PASTI berlaku beberapa
regulasi selai perpres 16/2018. hampir mayoritas para pelaku PBJ belum peduli pada praktik
kelola RISIKO dg baik.
Disisi auditor, tidak sedikit yang terjebak pada praktik yg kurang inovasi, baik dari segi telaah
risiko maupun dari segi pengembangan pengendaliannya. tidak sedikit auditor yg memandang
SPIP sbg ritual prosedural. padahal PP 60/2008 ttg SPIP merupakan sumber inovasi.
contoh:
arogansi dari APH adalah bagian dari RISIKO eksternal (risiko ini harus dieksplisitkan dlm risk
register)
Pengendalian atas RISIKO Arogansi APH dapat diinovasi berupa (sekedar contoh):
1. MOU dg APH
2. bangun komunikasi cepat dan hemat (misal WAG) yg diformalkan sbg turunan dari MOU
itu semua dg catatan memang para pelaku PBJ tulus dalam berPBJ
Tp jika masih ada praktik ijon/manipulatif/fee dsb, maka tdk ada manfaatnya langkah2 semua
diatas.
Permalink Tampilkan induk Tanggapi
1. Perpres 16 th 2018, mengatur bahwa POKJA Pemilihan ditetapkan oleh UKPBJ, bukan
PA/KPA.
Sepengetahuan saya, di BPKP tidak punya UKPBJ (mohon dikoreksi kalau salah). Trus kalau di
BPKP tidak punya UKPBJ, Apakah SK. POKJA diperwakilan BPKP, boleh ditetapkan oleh
KPA (Kaper) ?
Atas pertimbangan KPA/PPK agar tugas akhir PPHP lebih efektif (terkait batas waktu kontrak),
Apakah KPA boleh menugaskan PPHP untuk melakukan administrasi dalam rangka pra BAST ?
Sehingga tugas PPHP nantinya ada di masa Pra dan Pasca BAST.
1. Modul halaman 48-49, di bagian d & e. Titik kritis adanya Post Bidding, menurut saya
perlu ada penjelasan tambahan untuk dibandingkan dengan Reverse Auction yang
ditetapkan dan diberlakukan POKJA Pemilihan
Definisi Reverse Auction, memang sudah dijelaskan di halaman 32, hanya saja “Titik Kritis”
terjadinya Post Bidding dalam Reverse Auction, perlu diberikan tambahan penjelasan di modul
kita halaman 48-49.
1. Modul halaman 49, di bagian f. titik kritis pada evaluasi penawaran ; “Format penawaran
yang seragam antar penawaran, menurut saya itu sudah tidak relevan (tidak menjadi titik
kritis). Kalau boleh usul pak…. ke depan modulnya bisa disesuaikan lagi.
Kenapa ?
- Format penawaran harga, sudah diupload oleh POKJA Pemilihan dalam file exel (harga
dikosongkan dan hanya mencantumkan jenis item pekerjaan dan volume). Kalau format exelnya
(B/Q) sudah ditayang POKJA, tentulah format harga yang ditawar calon penyedia, seragam
bentuknya.
- Gambar rencana, time schedule dan speksifikasi pekerjaan yang dibutuhkan Satker, juga
ditayang ke SPSE.
1. Modul hal. 49; g. Titik Kritis pada tahap Pengumuman pemenang (ada 5 butir), itu juga
banyak yang tidak relevan, barang kali perlu disesuaikan lagi.
Kenapa ?
Karena untuk versi SPSE yang sekarang, apa saja yang sudah input diawal oleh POKJA
Pemilihan, baik itu terkait jadwal waktu pengumuman tender, jadwal penawaran, jadwal
evaluasi, jadwal pengumuman, sanggah, dst, termasuk perubahan jadwal oleh POKJA (jika ada),
maka secara otomatis durasi waktu tender di setiap tahapan, sudah dikunci secara elektonik (by
system).
Suka tidak suka, dalam proses tender, Pokja bekerja mengikuti durasi waktu yang diatur aplikasi
SPSE secara by system.
Sedangkan poin-poin titik Kritis yang disajikan dalam modul kita (hal. 49), adalah versi manual
sebelum memasuki era SPSE.
1. Modul kita perlu juga ditambah pengayaan materi, terkait Kontrak Kritis berikut contoh-
contoh kasus kontrak kritis.
Kata “Kontrak Kritis” tidak pernah ditemukan dalam Perpres 54 th 2010 maupun Perpres
penggantinya (Perpres 16 Th 2018).
Dalam regulasi, kata “Kontrak Kritis” hanya ditemukan dalam Perlem.LKPP No. 9 Th 2018.
Saat kontrak memasuki masa Kontrak Kritis, maka perlu diberlakukan SCM dan surat peringatan
kpd Penyedia. Menurut Perlem.LKPP tersebut, jika situasi ini berlanjut, PPK dapat
mempertimbangkan Pemutusan Kontrak secara sepihak.
Seandainya penugasan audit PBJ dilakukan pada proyek/pekerjaan Konstruksi yang sedang
berjalan, bagaimana cara Auditor mengidentifikasi bahwa kontrak yang sedang berjalan itu,
sudah memasuki masa kontrak kritis atau masa pelaksanaannya masih berjalan normal?
Untuk menambah wawasan bagi Auditor, saya rasa perlu ada tambahan contoh kasus dan
treatment nya dalam Modul kita karena nantinya berkaitan dengan rekomendasi Auditor;
Kalau dikatakan kritis, tentu ada data atau dokumen (realisasi vs. target) yang diperbandingkan,
sehingga ada deviasi (itu kata Perlem.LKPP No. 9 th 2018, butir 7.10), hanya saja nama
dokumennya berbentuk apa, Perlem.LKPP No. 9 Th 2019, mengatur lebih spesifik. Deviasinya
minus berapa persen atau berapa angka, tidak dijelaskan lebih spesifik.
Demikian pak Mustofa, mohon maaf jika ada chat saya yang tidak berkenan.
Ada 2 kelompok feedback pak luat, yaitu pertanyaan dan masukan untuk revisi modul.
2 pertanyaan berupa :
1. Apakah SK. POKJA diperwakilan BPKP, boleh ditetapkan oleh KPA (Kaper) ?
2. Apakah KPA boleh menugaskan PPHP untuk melakukan administrasi dalam rangka pra
BAST ? Sehingga tugas PPHP nantinya ada di masa Pra dan Pasca BAST.
Sedangkan ada 4 masukan pak luat terkait usulan revisi modul, yaitu; 3 terkait informasi “titik
kritis PBJP” yang ada di modul dan 1 terkait “kontrak kritis” yang belum terakomodir di modul
APBJ.
3 titik kritis di modul yang perlu disesuaikan yaitu tentang “post bidding di reverse auction”,
“format penawaran yg seragam”, dan “di tahap pengumuman”.
Atas feedback berupa masukan untuk modul APBJ akan kita bicarakan lebih lanjut di
pusdiklatwas BPKP.
Atas feedback berupa 2 pertanyaan tersebut diatas, kita coba respon sbb:
UU 1/2004 tentang perbendaharaan negara dinyatakan bahwa PA/KPA bertanggung formal dan
material atas pengeluaran anggaran. Jadi semua yang ada dibawah PA/KPA menjalankan tugas
dalam rangka mendukung optimalisasi pertanggungjawaban formal dan material secara
transparan dan akuntabel. Hal ini mempunyai konsekuensi yang berhak membentuk tim dg surat
penugasan atau surat keputusan tetap ada di PA/KPA.
Nah khusus di BPKP, sepengetahuan saya belum ada LPSE (bentuk layanannya) dan UKPBJ
(bentuk organisasi), SK Pokja masih bisa oleh Kepala Perwakilan sbg KPA.
2. KPA menugaskan PPHP untuk melakukan administrasi dalam rangka pra BAST.
1. program/penganggaran,
2. surat penetapan PPK,
3. dokumen perencanaan pengadaan,
4. RUP/SIRUP,
5. dokumen persiapan pengadaan,
6. dokumen pemilihan Penyedia,
7. dokumen Kontrak dan perubahannya serta pengendaliannya, dan
8. dokumen serah terima hasil pekerjaan”
jadi PPHP memang HARUS memeriksa dokumen pra kontrak, kontrak, dan pasca kontrak.
butir 1) Apabila masa pelaksanaan kontrak sudah berakhir, namun hasil penilaian prestasi
pekerjaan belum tercapai 100%, maka PPK melakukan penilaian terhadap kemampuan penyedia.
Jika PPK menilai penyedia mampu menyelesaikan pekerjaan, PPK memberikan kesempatan
penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan dengan pengenaan sanksi denda keterlambatan sesuai
ketentuan kontrak.
Hasil penilaian PPK atas kemampuan penyedia tersebut, tentunya harus dinyatakan tertulis oleh
PPK terlebih dahulu, dan setelah itu baru adendum kontrak untuk pemberian kesempatan
ditandatangani kedua belah pihak.
Situasi ini bisa saja menimbulkan perdebatan antara Auditor dg PPK (Auditi), karena kriteria
yang akan digunakan masing-masing pihak adalah “menurut saya” atau “persepsi”.
Formulasi ukuran penilaian/parameter yang harus digunakan PPK untuk menilai kemampuan
penyedia, tidak secara spesifik diatur dalam Perpres No. 16 Th 2018 maupun Perlem. LKPP.
Terutama untuk pekerjaan konstruksi dlm kontrak harga satuan.
Ada yang berpendapat, untuk menilai kemampuan penyedia, PPK cukup menggunakan hasil
pengukuran (opname) bersama atas fisik pekerjaan (pasal 27 ayat 4. b Perpres 16 th 2018)
diakhir masa kontrak yang dituangkan dlm Berita Acara.
Ada juga yang bependapat, bahwa berita acara hasil pengukuran (opname) bersama tsb, hanya
media/bukti/instrument adalah untuk menyatakan bahwa fisik pekerjaan tidak selesai atau
selesai, yang nantinya dokumen tersebut dijadikan sebagai bukti dasar PPK untuk melakukan
penilaian kemampuan penyedia (dlm bentuk tertulis).
Contoh, dlm berita acara hasil pengukuran bersama di akhir masa kontrak, realisasi fisik hanya
mencapai 60%. Pertanyaannya:
1. Bagaimana cara PPK mengukur atau menilai kemampuan penyedia untuk
menyelesaikan sisa pekerjaan dalam waktu 50 hari kalender? Berdasarkan
dokmen berita acara opname fisik, bisa saja PPK menggunakan “perasaan/logikanya
sendiri” utk menyimpulkan bahwa penyedia dianggap mampu atau tidak mampu untuk
menyelesaikan sisa pekerjaan selama 50 hr kalender.
2. Apa saja formulasi ukuran penilaian/parameter yang harus digunakan PPK untuk
menilai/mengukur kemampuan penyedia?
Perlem. LKPP No. 9 th 2018 pada sub bagian 7.17.1 (h) menyatakan bahwa Pejabat
Penandatangan Kontrak melakukan pemutusan kontrak apabila “berdasarkan penelitian
Pejabat Penandatangan Kontrak, Penyediatidak akan mampumenyelesaikan keseluruhan
pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak
masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan”.
Hanya saja formulasi ukuran penilaian/parameter yang harus digunakan PPK untuk menilai
kemampuan penyedia, tidak secara spesifik diatur dalam Perlem. LKPP No. 9 th 2018.
Dengan demikian, hasil penilaian atau pun penelitian PPK tersebut menyimpulkan 2 alternatif
pilihan:
Narasi diatas, bukanlah sebuah pertanyaan, tetapi sebagai bahan masukan/pertimbangan yang
mungkin saja bermanfaat untuk pengayaan Modul Audit PBJ kita. Jika dimungkinkan, praktik-
praktik terbaik (best practice) yang sudah pernah diterapkan di kementerian PUPR/kementerian
lainnya atau pun dari LKPP, khususnya yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang
berhubungan dg pumutusan kontrak, dapat dijadikan contoh-contoh kasus dalam modul kita ini.
Salam pengadaan
masukan pak luat menurut saya sudah jadi masalah nasional yang sd detik ini belum ada
ukurannya
atau
atas data apa, PPK menilai penyedia layak atau tidak diberi kesempatan.
perpres 16/2018 telah eksplisit memunculkan tugas baru untuk PPK yaitu huruf O, berupa
MENILAI KINERJA PENYEDIA.
tugas inilah yg jadi dasar untuk memutuskan apakah ada waktu tambahan atau tidak? apakah
penyedia berprestasi atau wanprestasi. arti kinerja adalah prestasi kerja.
nah, sampai detik ini ukuran kinerja penyedia belum ada panduan yg jelas, namun ide2 nya sdh
ada di perpres 16/2018, yaitu ada pasal TANGGUNG JAWAB PENYEDIA.
Dan,
akan kita pertimbangkan untuk menjadi informasi tambahan dlm upaya revisi modul
Puji pernah dapet penjelasan terkait dengan pilihan metode pengadaan ..alternatif akhir adalah
dengan tender, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut dengan terkait tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, untuk lebih mendapatkan gambaran dalam melakukan Auditi PBJ,
urutan penggunaan/pemilihan metode pengadaan seperti apa atau bagaimana?
betul pak,
era perpres 16/2018 memang diharapkan lebih simplikasi proses namun tetap akuntabel.
krn tender membutuhkan waktu yg cukup lama, maka sebenarnya kurang optimal dari aspek
efisien waktu.
maka upayakan tender adalah jalan terakhir. beda banget dengan perpres 54/2010 yg "upayakan
lelang umum".
mungkinkah masuk ke keadaan tertentu sehingga bisa penunjukan langsung, jika tidak
sudahkah jenis dan penyedianya sudah terdata di SIKAP (Sistem informasi kinerja penyedia),
agar bisa tender cepat.