Anda di halaman 1dari 8

41

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada makalah ini dibahas sebuah laporan kasus bayi perempuan berusia 4

bulan dengan diagnosis kolestasis ec dd kolestasis intrahepatik dd kolestasis

ekstrahepatik yang dirawat di ruang anak RSUD Barabai. Pasien datang dengan

keluhan BAB hitam sejak 6 jam sebelum masuk Rumah Sakit dengan frekuensi

BAB sebanyak 2 kali. BAB tidak cair dan tidak berlendir. Sebelumnya BAB pasien

normal, tidak pernah cair dan berwarna kuning. Selain itu, ibu pasien juga

mengeluhkan bayi muntah sebanyak 2 kali. Muntah pertama berwarna kecoklatan

dan muntah yang kedua berwarna merah segar dan terdapat gumpalan. Saat ini, bayi

hanya mengkonsumsi ASI. Menurut ibu pasien, bayi mengalami demam naik turun

sejak 2 hari SMRS. Di IGD, bayi tidak ada muntah maupun BAB. BAK (+)

berwarna kuning (terakhir diganti pukul 17.00). Keluhan lain seperti batuk, pilek,

atau nafas cepat disangkal.

Melena adalah suatu kondisi dimana pasien mengalami buang air besar

(BAB) berdarah dan berwarna hitam. Melena merupakan suatu perdarahan yang

terjadi pada saluran cerna bagian atas (SCBA) dan merupakan keadaan gawat

darurat yang sering dijumpai. Melena dapat terjadi sendiri atau bersama dengan

hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml untuk

menyebabkan melena 1

Secara klinis, kolestasis merupakan akumulasi dari zat-zat yang diekskresi

ke dalam empedu (antara lain bilirubin, asam empedu dan kolesterol) didalam darah

41
42

dan jaringan tubuh. Kolestasis pada bayi biasanya terjadi pada usia tiga bulan

pertama kehidupan.6 Berdasarkan penyebab (gambar 1) yang tersering kolestasis

dibedakan atas: kolestasis ekstrahepatik (atresia bilier, kista duktus koledokus,

paucity kandung empedu, neonatal sclerosing cholangitis, inspissated bile

syndrome, batu kandung empedu, cystic fibrosis, dan Caroli disease), dan kolestasis

intrahepatik (infeksi virus, gangguan metabolik, kelainan endokrin, bahan toksik,

dan kelainan sistemik).1

Gambar 1. Etiologi kolestasis pada bayi.10

Komplikasi dari kolestasis yaitu terjadinya proses fibrosis dan sirosis hati.

Pada keadaan lanjut dapat terjadi sirosis bilier dan terjadi gagal tumbuh serta

defisiensi zat gizi. Sirosis akan menyebabkan hipertensi portal yang berakibat lanjut

terjadinya perdarahan, hipersplenisme dan asites. Terjadinya asites pada kolestasis

merupakan petanda prognosis yang kurang baik.1,8

Pada usia 2 minggu, sekitar 15% bayi masih tampak kuning. Penyebab yang

paling banyak adalah karena peningkatan bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin

indirek tersebut dapat disebabkan karena breastmilk jaundice atau ikterus fisiologis.
43

Namun, kuning pada bayi setelah usia 2 minggu dapat terjadi karena kolestasis.9

Ketika bayi baru lahir memiliki penyakit kuning, maka harus ditentukan apakah

memenuhi kriteria untuk ikterus patologis atau kolestasis, yaitu:10

 Penyakit kuning dimulai dalam 24 jam pertama kehidupan. Penyebab

ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan

dapat disusun sebagai berikut :

1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.

2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toxoplasma, dan jarang oleh bakteri).

3. Defisiensi G6PD.

 Berhubungan dengan choluria, feses berwarna terang, acholia yang

merupakan gejala kolestasis.

 Bilirubin Total meningkat lebih dari 5 mg/dl/hari.

 Bilirubin Total >13 mg/dl untuk bayi cukup bulan dan >15 mg/dl untuk bayi

premature. Produksi bilirubin yang meningkat dapat terjadi pada hemolisis

sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:

- Kelainan sel darah merah.

- Infeksi seperti malaria, sepsis.

- Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang

berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan

eritroblastosis fetalis.

 Ikterus berlangsung >14 hari pada bayi cukup bulan dan >21 hari pada bayi

prematur. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
44

biasanya disebabkan karena obstruksi, hipotiroidisme, breast milk jaundice,

infeksi, dan neonatal hepatitis.

 Bilirubin Direk >2 mg/dl atau 20% Bilirubin Total. Kerusakan sel hati

menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan

meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga

bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang

kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam

aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis

hepatic, tumor, dan bahan kimia.

Diagnosis ditegakkan melalui amannesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi

perempuan, lahir dengan berat lahir normal dan cukup bulan, serta pertumbuhan

normal pada awal terjadinya penyakit. Terdapat ikterus berkepanjangan, feses

akolik, dan apabila sudah lanjut dapat dijumpai gagal tumbuh, pruritus, dan

koagulopati. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegaly, splenomegali,

ascites dan tanda-tanda sirosis lain dapat ditemukan apabila penyakit sudah sampai

tahap lanjut.7

Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir

dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah

pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase,

dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Biliverdin yang larut dalam air

direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air. Bilirubin tak

terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin.
45

Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik

oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas

dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk

penghalang darah otak, yang dapat mengakibatkan neurotoksisitas.12

Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana

bilirubin terikat ke ligandin. Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang

tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Bilirubin direk dan konstituen

empedu lainnya dikeluarkan ke kanalikuli biliaris lalu empedu ditranspor ke duktus

biliaris untuk mencapai ke intestinum. Didalam intestinum proksimal, flora normal

mengeluarkan β-glukuronidase yang mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin

menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen direabsorpsi untuk dibawa ke

hepar (siklus enterohepatik) atau ke ginjal. Urobilinogen di ginjal diubah menjadi

urobilin yang merupakan pigmen urin. Sedangkan, urobilinogen yang tidak

direabsorpsi diteruskan ke intestinum crassum untuk diubah menjadi

sterkobilinogen dan sterkobilin yang merupakan pigmen feses. Siklus absorbsi,

konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik.

Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang

terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.9,10,12

Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit

berat, kesadaran compos mentis, nadi 101 kali/menit, pernafasan 35 kali/menit,

suhu 36.2°C. Pada pasien tampak badan kuning (kramer 3), konjungtiva didapatkan

pucat, kedua sclera ikterik. Pemeriksaan abdomen didapatkan cembung,

hepatosplenomegali (hepar teraba 5 cm BAC). Sekitar 70-80% bayi dengan


46

kolestasis pada evaluasi lebih lanjut mengarah ke diagnosis hepatitis neonatal

idiopatik atau atresia bilier ekstra hepatik.1

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap.

Pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan darah lengkap yaitu anemia

normokromik normositik (Hb 7.2), Leukositopenia (23.94 g/dl),

Hiperbilirubinemia (Bil D 3.05; Bil I 4.15; Bil T 7.2), Hipertransaminase (OT 259;

PT 150).

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting pada bayi dengan ikterus >

dua minggu ialah bilirubin direk. Jika bilirubin direk meningkat, maka harus

dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut. Bilirubin direk yang melebihi 17 μmol/L

(1 mg/dL) atau lebih 15% dari nilai bilirubin total, maka seharusnya dipikirkan

suatu keadaan yang tidak normal. Selain itu keadaan ini dapat disertai dengan

peningkatan kadar GGT, rendahnya kadar albumin, peningkatan alkalin fosfatse

dan pemanjangan nilai PT dan APTT.1,6

Gambar 2. Tes laboratorium untuk mengetahui fungsi dan permeabilitas


system hepatobilier.10
47

Gambar 3. Nilai normal serum transaminase pada anak.10

Gambar 4. Nilai normal serum GGT dan ALP.10

Gambar 5. Nilai normal serum Bilirubin Total dan bilirubin Direk.10

Gambar 6. Nilai normal serum albumin dan ammonium.10

USG masih merupakan pemeriksaan pencitraan awal yang penting pada

bayi dengan curiga Atresia Bilier (AB). Pemeriksaan ultrasonografi hati pada saat

puasa (lebih baik bayi dipuasakan 12 jam bila dicurigai AB, tetapi bayi perlu

mendapat cairan intravena) pada AB akan menunjukkan gambaran kandung

empedu yang kecil atau tidak terlihat. Pada saat setelah diberi minum, tidak tampak

kontraksi kandung empedu (ukuran kandung empedu sama dengan saat puasa).

Selain itu hilus hati tampak gambaran hiperekoik (tanda triangular cord) atau
48

tampak kista di hilus hati. Selain itu pada bayi AB dengan sindrom, dapat

ditemukan limpa multipel, vena porta preduodenal, vena kava retrohepatik tidak

tampak atau situs inversus abdominal.9

Pada pasien diberikan terapi IVFD D51/4NS (500cc/24 jam), inj. Cefotaxim

250 mg/12 jam, inj. Omeprazol 2x6 mg, inj. Ondancentron 2c0.6 mg, inj. Asam

tranexamat 250 mg, Pro transfuse PRC 2x50 cc, Po. Estazor 2x60 mg. Tatalaksana

yang tepat diperlukan pada penderita kolestasis ialah untuk mencegah terjadinya

kerusakan hati lebih lanjut, dan tumbuh kembang dapat dioptimalkan dengan

memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan hati ke dalam usus dan

melindungi hati dari zat toksis.1 Asam ursodeoxycholic adalah obat pilihan.

Diberikan PO dalam tiga per hari sebesar 10-20 mg/kg/hari. Obat ini meningkatkan

asam empedu hidrofilik, sehingga menggantikan asam hidrofobik yang bersifat

hepatotoksik, bersifat sitoprotektif dan menstabilkan membran hepatosit.

Anda mungkin juga menyukai