Anda di halaman 1dari 49

PEMBANGUNAN INDUSTRI DALAM MENINGKATKAN

PERTUMBUHAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI


KABUPATEN BANYUWANGI

MAKALAH

DALAM RANGKA SEMINAR..............................

DISUSUN OLEH

BANYUWANGI
1

TAHUN 2019
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi
infrastrukur dan lainnya untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan. Proses
pembangunan memiliki tiga tujuan inti yaitu: peningkatan ketersediaan serta
perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok, peningkatan
standar hidup (pendapatan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas
pendidikan, peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan) dan
perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial (Todaro dan Smith, 2006). Oleh
karena itu strategi pembangunan didasarkan pada pembangunan yang dapat
menciptakan struktur perekonomian yang kuat dan mampu menghadapi tantangan
di masa mendatang.
Salah satu tujuan kebijakan pembangunan ekonomi adalah untuk
pencapaian target pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan potensi dan
sumberdaya yang ada. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan
produksi barang dan jasa yang dapat diukur melalui Produk Domestik Bruto
(PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada
tingkat daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota. Arsyad (2004) menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product
(GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan
itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah
perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi dan juga diyakini akan merata ke lapisan bawah (trickkle
down effect) dari output yang dihasilkan oleh suatu daerah. Selain pertumbuhan
ekonomi, ukuran keberhasilan lain dari pembangunan dapat dilihat dari struktur
ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar
daerah serta antar sektor. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari

1
2

pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses


pengelolaan potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya fisik yang ada di
suatu daerah dengan menjalin kemitraan antar pelaku-pelaku pembangunan
dengan tujuan untuk menciptakan suatu lapangan kerja, meningkatan kualitas
masyarakat, merangsang pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan pemerataan
ekonomi yang optimal serta meningkatan tarif hidup masyarakat (Arsyad, 2004).
Pada akhirnya, tercapainya pembangunan ekonomi daerah yang merata dapat
menunjang keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh
Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti
pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakat. Dimana pertumbuhan
pendapatan perkapita akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur
ekonomi suatu wilayah (Ropingi et al, 2009). Struktur ekonomi yang pada
awalnya berbasis ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor primer
beralih ke ekonomi modern dengan sektor sekunder dan tersier sebagai sektor
dominan (Agustono, 2013). Terdapat kecenderungan yang dipaparkan
Simatumpang (2000) bahwa semakin tinggi rata- rata laju pertumbuhan ekonomi
per tahun atau semakin cepat proses peningkatan pendapatan nasional per kapita
maka semakin cepat juga perubahan struktur ekonomi suatu wilayah.
Banyuwangi merupakan salah satu Kabupaten dari 38 Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi yaitu diatas rata-rata target pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi
pemerintah daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan di masa yang akan datang. Jika melihat struktur ekonomi
Kabupaten Banyuwangi yang dimana struktur tersebut didukung oleh populasi
yang tinggi dan wilayah yang luas, maka kondisi tersebut menjadikan
desentralisasi sebagai pilihan kerangka perekonomian (Kuncoro, 2004; Riadi,
2008).
Ekonomi di Kabupaten Banyuwangi semakin menunjukkan trend positif,
hal ini dikarenakan Kabupaten Banyuwangi melakukan banyak inovasi dibidang
ekonomi, terutama ekonomi kreatif. Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini, selain
dampak dari banyaknya pelaku ekonomi kreatif juga pemerintah mulai gencar
3

melakukan inovasi dibidang pariwisata yang mengangkat kearifan lokal.


Pariwisata ini lah yang meningkatkan pendapatan penduduk di Kabupaten
Banyuwangi. Untuk mencapainya, sejumlah upaya dilakukan untuk mendukung
pertumbuhan tersebut, salah satunya dengan menjaga konsumsi masyarakat dan
mendorong efektivitas belanja daerah. Perbandingan pertumbuhan ekoomi
Kabupaten Banyuwangi dengan Propinsi dna nasional disajikan Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Banyuwangi
Tahun Pertumbuhan Ekonomi (Jatim/Nas)
2010 (6,31/6,1)
2011 (6,44/6,5)
2012 (6,64/6,23)
2013 (6,08/5,78)
2014 (5,86/5,02)
2015 (5,49/4,79)
2016 (5,55/5,02)
2017 (5,.72/5.06)
Sumber : BPS Jawa Timur (2017)

Berdasarkan data Tabel 1.1 menunjukkan angka Pertumbuhan Ekonomi


Kabupaten Banyuwangi melebihi Pertumbuhan Ekonomi Nasional, pada tahun
2017 Pertumbuhan Ekonomi kabupaten Banyuwangi sebesar 5,6 lebih tinggi
daripada nasional yang mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06%
saja. Rondinelli (1984) memaparkan bahwa semakin tinggi tingkat desentralisasi
maka Pendapatan domestik akan semakin tinggi serta kemajuan industrialisasi
semakin tinggi. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa dengan adanya
desentralisasi maka struktur ekonomi suatu daerah akan mengalami perubahan
atau transformasi, dari sektor primer ke sektor sekunder atau tersier, begitu pula
sebaliknya. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDRB Kabupaten
Banyuwangi dijelaskan Tabel 1.2.
4

Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi Menurut


Lapangan Usaha Tahun 2011-2016
No Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Pertanian, Kehutanan, dan
1 4,50 7,23 5,80 4,45 4,70 2,92
Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 7,06 2,74 0,76 4,17 4,99 5,31
3 Industri Pengolahan 5,93 5,59 6,45 6,91 6,28 5,69
4 Pengadaan Listrik dan Gas 7,59 7,66 3,21 6,44 6,68 4,20
Pengadaan Air, Pengelolaan
5 Sampah, Limbah dan Daur 7,75 4,67 6,84 2,64 5,34 5,05
Ulang
6 Konstruksi 10,12 8,73 8,39 7,30 6,20 7,51
Perdagangan Besar dan
7 Eceran; Reparasi Mobil dan 9,34 9,60 11,46 6,07 7,03 6,86
Sepeda Motor
8 Transportasi dan Pergudangan 8,69 7,60 6,95 7,52 7,61 7,68
Penyediaan Akomodasi dan
9 9,08 8,39 8,07 10,33 11,07 9,50
Makan Minum
10 Informasi dan Komunikasi 8,35 10,71 9,41 7,80 7,94 6,92
11 Jasa Keuangan dan Asuransi 8,37 8,95 11,35 6,12 7,49 5,80
12 Real Estate 6,47 7,11 8,30 9,79 6,76 5,21
13 Jasa Perusahaan 6,68 5,53 7,99 6,82 6,83 5,77
Administrasi Pemerintahan,
14 Pertahanan dan Jaminan 5,91 2,03 2,16 0,86 6,56 5,54
Sosial Wajib
15 Jasa Pendidikan 13,19 10,77 3,92 5,07 6,59 6,57
Jasa Kesehatan dan Kegiatan
16 12,41 6,65 6,71 9,72 8,75 8,66
Sosial
17 Jasa lainnya 5,86 3,45 5,59 6,22 5,61 9,02
PDRB 6,95 7,24 6,71 5,72 6,01 5,38
Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi (2016)
Pada awalnya sektor primer merupakan sektor ekonomi paling dominan
bedasarkan struktur ekonomi Kabupaten Banyuwangi. Dominannya sektor primer
juga tidak kalah pentingnya dengan di dukung kondisi karakteristik wilayahnya,
dimana sektor primer tersebut didukung oleh sub sektor pertanian, sub sektor
perkebunan, sub sektor kehutannan dan sub sektor perikanan (Fabiomarta, 2004;
Capra, 2000). Ketersedian luas daerah terbesar dibandingan kabupaten/ kota lain
di Provinsi Jawa Timur merupakan peluang besar yang menjadikannya sektor
primer sebagai salah satu sektor utama pembentuk struktur ekonomi di
Kabupaten Banyuwangi.
5

Pertumbuhan ekonomi hanya mampu menjelaskan kemajuan perekonomian


secara material dan agregat. Besaran pertumbuhan tidak bias menjelaskan apakah
hasil dari pertumbuhan itu dinikmati oleh mayoritas masyarakatnya sehingga
pertumbuhan ekonomi menghasilkan ketimpangan yang makin buruk. Hal itu
berarti kualitas pembangunan ekonomi belum dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Dalam menentukan berhasil tidaknya suatu negara dalam
pembangunan ekonomi maka kita memerlukan indikator yang diperlukan sebagai
acuan kita dalam menilai. Menilai dalam hal ini adalah menilai seberapa jauh
suatu negara mencapai indikator yang telah ditetapkan. Indikator berfungsi
sebagai penjelasan tentang pola, gejala, dan pengaruh yang sedang terjadi,
berfungsi untuk menentukan hingga taraf mana negara dianggap berhasil, dimulai
dari mengukur, menganalisis hingga mengevaluasi sebuah perencanaan sampai
pelaksanaan agar terbentuk suatu kebijakan. Karena keberhasilan suatu negara
dapat dilihat apabila suatu negara mencapai indikator atau tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya. Kualitas pembangunan yang diukur dengan pendapatan
per kapita, struktur ekonomi, indeks kualitas hidup, indeks pembangunan
manusia, kesehatan dan tempat tinggal termasuk pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Banyuwangi.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini antara lain:
a. Bagaimana perkembangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Banyuwangi?
b. Bagaimana kualitas pembangunan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah
a. Untuk mengkaji perkembangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Banyuwangi.
b. Untuk mengkaji kualitas pembangunan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi.
6

1.4. Manfaat Penulisan


Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
a. Secara teoritis yaitu hasil penulisan ini dapat dipergunakan sebagai bahan
untuk memperluas wawasan dalam hal efektivitas kualitas pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.
b. Secara praktis, hasil penulisan ini akan bermanfaat bagi pemerintah, pelaku
ekonomi dan masyarakat khususnya Kabupaten Banyuwangi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bagi akademisi penulisan
ini memberikan pengetahuan yang sangat berarti dalam memahami secara
mendalam, serta memberikan ketrampilan dalam melakukan analisis terhadap
berbagai masalah yang berkenaan dengan kualitas pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi

.
7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah


Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya - sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Arsyad (2004) membedakan pengertian
daerah (region) berdasarkan tinjauan aspek ekonomi kedalam 3 kategori :
a. Daerah homogen, yakni daerah dianggap sebagai suatu ruang dimana
kegiatan ekonomi terjadi dan didalam ruangan tersebut terdapat sifat-sifat
yang sama. Kesamaan tersebut antara lain dari segi pendapatan perkapita,
sosial budaya, geografis dan lain sebagainya.
b. Daerah nodal, yakni suatu daerah di anggap sebagai ekonomi ruang yang
dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan.
c. Daerah administratif, yakni suatu ekonomi ruang yang berada dibawah satu
administratif tertentu, seperti satu propinsi, kabupaten, kecamatan dan
sebagainya. Pengertian daerah disini didasarkan pada pembagian
administratif satu negara.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yang mencakup
pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif,
perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa
yanglebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan
pengembanganperusahaan-perusahaan baru. Menurut teori ekonomi Neo Klasik,
ada 2 konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan
(equilibrium) dan mobilitas faktor produksi. Artinya, sistem perekonomian akan
mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengalir tanpa restriksi
(pembatasan). Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah
tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah (Arsyad, 2004).
8

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000).
Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu
perekonomian. Dari suatu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara
untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang
meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam
jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal dan teknologi
yang digunakan juga makin berkembang. Di samping itu tenaga kerja
bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya
pendidikan dan keterampilan mereka
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan
pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga
konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output
perkapita dalam jangka panjang. Penekanan pada ”proses”, karena mengandung
unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu pemahaman
indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu
tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisa sehingga
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong
aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya. Pertumbuhan
ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun
ke tahun. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat
kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang dicapai masa sebelumnya. Dengan
kata lain pertumbuhan akan tercipta apabila jumlah fisik barang dan jasa yang
dihasilkan dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar jumlahnya
pada tahun berikutnya. Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dengan
cara membandingkan tingkat pendapatan suatu negara dari tahun ke tahun.
9

Pendapatan suatu daerah atau regional dihitung dengan menggunakan ukuran


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan jangka
panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak
jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya (Sukirno, 2000:101).
Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian
kelembagaan serta ideologis yang diperlukan. Menurut Prof. Simon Kuznets yang
meneliti pertumbuhan ekonomi modern mengacu pada perkembangan negara
maju, terdapat enam ciri pertumbuhan ekonomi modern yang muncul dalam
analisa yang didasarkan pada produksi nasional dan komponennya, penduduk,
tenaga kerja dan sebangsanya. Keenam ciri tersebut adalah: (I) laju pertumbuhan
penduduk dan perkapita; (2) peningkatan produktivitas; (3) laju perubahan
struktural yang tinggi, mencakup peralihan dari kegiatan pertaman ke non
pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produktif dan
peralihan dari perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan hukum
serta perubahan status kerja buruh; (4) urbanisasi; (5) ekspansi negara maju; (6)
arus barang, modal dan orang antar bangsa. Keenam ciri pertumbuhan ekonomi
modern tersebut saling kait-mengkait, keenamnya terjalin dalam urutan sebab
akibat. Dengan rasio yang stabil antara tenaga kerja terhadap penduduk total, laju
kenaikan produk perkapita menjadi tinggi. Ini berarti produktivitas buruh menjadi
meningkat. Hal ini sebaliknya menyebabkan kenaikan yang tinggi dalam produk
perkapita dan konsumsi perkapita, yang belakangan ini sebaliknya merupakan
hasil dari kemajuan teknologi dan perubahan dalam skala produksi perusahaan.
Salah satu teori mengenai pembangunan ekonomi yang paling banyak
mendapat perhatian dan komentar adalah teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi
yang dicetuskan oleh Rostov, yang membedakan pembangunan ekonomi dalam
lima tahap dan setiap negara di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu dari
kelima tahap pertumbuhan ekonomi tersebut. Kelima tahap tersebut adalah
masyarakat tradisional, prasyarat untuk lepas landas, lepas landas gerakan kearah
kedewasaan dan masa konsumsi tinggi (Sukirno, 2000:101).
10

Menurut Aziz. (1994:97), kriteria utama keberhasilan pembangunan daerah


adalah dalam bentuk PDRB secara sektoral maupun perkapita. Oleh karena itu
PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan daerah tertentu dalam
menghasilkan pendapatan atau balas jasa kepada faktor-faktor yang ikut
berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut.
Ada beberapa pertumbuhan ekonomi antara lain:
a. Teori Cobb-Douglas
Beberapa fungsi produktivitas dalam suatu perusahaan sangatlah berperan
penting dalam pengembangan produktivitas. Terutama untuk menunjang proses
produksi sehingga dapat memberikan beberapa peluang yang diharapkan. Dalam
ilmu ekonomi yang disebut dengan fungsi produksi yaitu suatu fungsi
yang menunjukkan hubungan antara hasil fisik (output) dengan faktor
produksi (input), Daniel M (2002) dalam bentuk matematika sederhana, fungsi
produksi dituliskan sebagai berikut:
Y = f ( x1, x2, x3, ...........xn)
Keterangan:
Y = hasil fisik;
x1...xn = faktor-faktor produksi.
Soekartawi (2002) mendefinisikan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah
suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana
variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan (Y) dan
yang lain disebut variabel independent, yang menjelaskan (x).
Menurut Soekartawi (2002) menyatakan bahwa fungsi Cobb-Douglas lebih
banyak dipakai oleh para peneliti karena mempunyai keunggulan yang
menjadikan menarik yaitu:
a. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudahdibandingkan dengan
fungsi yang lain, karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer
ke bentuk linear dengan cara melogaritmakan;
b. Hasil pendugaan melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien
regresi yang sekaligus juga menunjukkanbesaran elastisitas;
c. Jumlah besaran elastisitas sekaligus menunjukkan tingkat besaranskala usaha
11

(return of scale) yang berguna untuk mengetahui apakah kegiatan dari


suatu usaha tersebut mengikuti kaidah skala usaha menaik, skala usaha
tetap ataukah skala usaha yang menurun.
Koefisien intersep dari fungsi Cobb Douglas merupakan indeks efisiensi
produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi penggunaan input dalam
menghasilkan output dari sistem produksi yang sedang dikaji itu.
Elastisitas produksi parsial berkenaan dengan input tertentu merupakan
ukuran perubahan proporsional output-nya disebabkan oleh perubahan
proporsional pada input-nya ketika input-input yang lain konstan.

b. Teori Harrod Domar


Teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan
yang berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, teori itu
merupakan perkembangan langsung teori ekonomi makro Keynes yang
merupakan teori jangka pendek yang kemudian menjadi teori jangka panjang.
Pada model Harrod-Domar peranan investasi sangat penting. Dalam jangka
panjang investasi mempunyai pengaruh ganda. Di satu sisi investasi
mempengaruhi permintaan agregat di sisi lain investasi juga mempengaruhi
kapasitas produksi nasional dengan menambahkan stok modal yang tersedia.
Harrod menyimpulkan agar suatu ekonomi nasional selalu tumbuh dengan
kapasitas produksi penuh yang disebutnya sebagai pertumbuhan ekonomi yang
mantap (steady-state growth), efek permintaan yang ditimbulkan dari
penambahan investasi harus selalu diimbangi oleh efek penawarannya tanpa
terkecuali. Tetapi investasi dilakukan oleh pengusaha yang mempunyai
pengharapan yang tidak selalu sama dari waktu ke waktu, karena itu
keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap hanya dapat dicapai secara
mantap pula apabila pengharapan para pengusaha stabil dan kemungkinan
terjadinya hal itu sangat kecil, seperti yang dikemukakan oleh Joan Robinson
(golden age).
Harrod juga mengemukakan bahwa sekali keseimbangan itu terganggu,
maka gangguan itu akan mendorong ekonomi nasional menuju ke arah depresi
12

atau inflasi sekular. Karena itu Harrod melambangkan keseimbangan ekonomi


tersebut sebagai keseimbangan mata pisau, mudah sekali tergelincir dan sekali
tergelincir semuanya akan menjadi hancur (jadi keseimbangan yang tidak stabil).
Teori pertumbuhan ekonomi Domar hampir mirip dengan teori Harrod walaupun
ada beberapa perbedaan yang mendasar pula antara kedua teori itu. Perbedaan itu
khususnya menyangkut mengenai tiadanya fungsi investasi pada model Domar,
sehingga investasi yang sebenarnya tidak ditentukan di dalam teorinya. Karena itu
kesulitan pencapaian keseimbangan ekonomi jangka panjang yang mantap bagi
Harrod, disebabkan oleh sulitnya kesamaan laju pertumbuhan yang disyaratkan
dengan laju pertumbuhan natural, sedang bagi Domar kesulitan itu timbul karena
adanya kecenderungan masyarakat untuk melakukan investasi yang relatif terlalu
rendah (underinvestment).
Teori Pertumbuhan Harrod-Domar menganalisis syarat-syarat yang
diperlukan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dalam jangka
panjang. Teori ini mempunyai beberapa asumsi, yaitu: (1) perekonomian dalam
keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan barang-barang modal dalam
masyarakat digunakan secara penuh, (2) terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumuh
tangga dan sektor perusahan, berarti tidak ada campur tangan pemerintah dan
tidak ada perdagangan luar negeri, (3) besarnya tabungan masyarakat adalah
proporsional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan
dimulai dari titik nol, (4) kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to
save = MPS) besarnya konstan dan MPS=APS, (5) rasio stock kapital terhadap
pendapatan konstan, (6) tidak ada penyusutan barang kapital, (7) tingkat harga
umum konstan (upah riil sama dengan pendapatan riil) dan (8) tidak ada
perubahan tingkat bunga. Dalam teori ini dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan
dari GNP (∆ /Y) ditentukan oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio capital
output nasional (k) (Todaro, 2006).

c. Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow


Teori pertumbuhan neoklasik Solow merupakan pengembangan teori Harrod-
Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan variabel independen
13

teknologi dalam persamaan pertumbuhan. Menurut Solow, pertumbuhan ekonomi


berasal dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu peningkatan dalam kuantitas dan
kualitas pekerja (labour ), kenaikan dalam kapital (melalui tabungan dan
investasi) dan peningkatan dalam teknologi. Namun, peran teknologi dalam model
ini masih eksogenous, artinya teknologi sendiri bukan merupakan hasil dari
pertumbuhan ekonomi melainkan given.
Faktor pertumbuhan stock kapital (akumulasi modal) akan terjadi apabila
sebagian besar dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan
tujuan memperbesar output dan pendapatan. Akumulasi modal ini dapat dilakukan
dengan investasi langsung terhadap stok modal secara fisik (pengadaan pabrik
baru, mesin-mesin, peralatan dan bahan baku) dan dapat juga dengan melakukan
investasi terhadap fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi dan sosial, seperti
infrastruktur (pembangunan jalan raya, penyediaan listrik, air bersih, saluran
irigrasi, pembangunan fasilitas komunikasi, dan sebagainya). Teori ini
menyatakan bahwa kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan proses
pembangunan adalah peningkatan total tabungan nasional dan luar negeri.
Semakin banyak yang dapat ditabung dan kemudian diinvestasikan, maka laju
pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat (Todaro, 2006).

2.3. Teori Pembangunan Ekonomi


Teori Pattern of Development yang dirumuskan Chenery menitikberatkan
perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan
struktur institusi dari perekonomian negara sedang berkembang, yang mengalami
proses transformasi ekonomi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri
sebagai mesin utama pertumbuhan. Teori ini disusun berdasarkan pengalaman
bahwa perubahan ekonomi negara terjadi sejalan peningkatan pendapatan per
kapita.
Chenery (1997:57), menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi
secara berkelanjutan pada dasarnya merupakan hasil dari serangkain proses yang
melibatkan perubahan-perubahan struktural sepanjang periode transisi
pembangunan. Pembangunan didefinsikan sebagai serangkaian perubahan yang
14

melibatkan proses akumulasi, proses alokasi sumber daya dan proses


pendistribusian serta trasformasi kependudukan yang mengakibatkan dua
kemungkinan, yaitu gagal atau sukses dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi
modern. Konsep pembangunan tidak dipandang dalam arti dikotomi maju atau
tidak maju, melainkan sebuah transisi dari suatu keadaan menuju suatu kedaan
lainnya.
Chenery and Sirquin (1986) mengartikan pola pembangunan adalah pola
perubahan struktural. Pola perubahan struktural adalah variasi-variasi yang
bersifat sistematis dalam beberapa aspek struktur sosial ekonomi yang berkaitan
dengan meningkatnya level pendapatan atau indeks pembangunan lainnya. Proses
pertumbuhan ekonomi secara formal didiskripsikan sebagai hasil dari perluasan
dalam sumber daya produktif dan peningkatan efisiensi penggunaannya. Selama
episode pembangunan, pertumbuhan total factor productivity (TFP) mengalami
peningkatan yang cepat. Hal ini terjadi karena akumulasi kapital berperan sebagai
tempat melekatnya perubahan-perubahan teknologi yang diperlukan untuk
merealokasi sumber daya antar sektoral. Demikian pula, pengaruh-pengaruh
embided perubahan teknologi dalam kapital memungkinkan tingkat laju investasi
yang lebih tinggi untuk menjamin kelangsungan pemenuhan permintaan agregat
dan mencegah terjadinya pengangguran kapasitas produksi.
Chenery membagi tahapan pembangunan ekonomi atas tiga tahap yaitu
tahap awal, tahap pergeseran pusat kegiatan ekonomi dan tahap perekonomian
maju. Pada tahap awal proses transformasi dicirikan oleh dominannya aktivitas-
aktivitas primer yang mana pertanian merupakan sumber utama peningkatan
output dan barang-barang yang diperdagangkan. Pada tahap ini terjadi
perlambatan pertumbuhan secara keseluruhan. Perlambatan pertumbuhan secara
agregat adalah lebih dikarenakan oleh rendahnya pertumbuhan produktivitas
dibandingkan dengan tingkat investasi. Tahap kedua proses transformasi
dicirikan oleh pergeseran pusat kegiatan ekonomi dari produksi primer menuju
manufaktur. Pergeseran ini bisa terjadi pada tingkat pendapatan per kapita yang
lebih rendah atau lebih tinggi tergantung pada sumberdaya endowment dan
kebijakan-kebijakan dalam perdagangan dengan negara lain. Tahap ketiga adalah
15

mencapai perekonomian maju yang dicirikan oleh elastisitas pendapatan untuk


barang-barang manufaktur menurun, dan pada saat bersamaan kontribusi dalam
permintaan domestik mulai jatuh. Kondisi secara mendasar tercermin dalam
penurunan kontribusi manufaktur baik dalam pembentukan GDP dan penyerapan
angkatan kerja.
Menurut Chenery (dalam Sukirno, 2006:123), transformasi struktur
produksi adalah bagian dari proses pembangunan ekonomi. Produktivitas tenaga
kerja di sektor pertanian secara signifikan lebih rendah dibandingkan seluruh
sektor ekonomi lainnya. Pada tahap awal pembangunan produktivitas sektor
pertanian tertinggal dibandingkan seluruh sektor ekonomi lainnya. Kesenjangan
produktivitas sektoral ini mencerminkan bukan saja perbedaan sifat fungsi
produksi dan tingkat perubahan teknologi melainkan juga oleh rendahnya
mobilitas sumberdaya. Realokasi sumber daya berpengaruh signifikan dalam
mempercepat pertumbuhan. Ketika migrasi dan akumulasi kapital mengurangi
kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian maka upah-upah relatif di sektor
pertanian meningkat dan sebagai hasilnya gap produktivitas sektoral semakin
berkurang.
Berdasarkan uraian tersebut teori pembangunan chenery menegaskan bahwa
perubahan struktural dibutuhkan bagi kelangsungan pertumbuhan namun
demikian selama proses berlangsung tidak selamanya berjalan mulus atau tanpa
ada suatu kekacauan-kekacauan. Disamping itu, perubahan struktural juga
mensyaratkan pemerintah dapat bertindak bijaksana dan penduduk bersedia untuk
dapat beradaptasi dalam hal perbedaan kondisi kerja dan gaya hidup dengan
sendirinya.
Hipotesis utama dari teori diatas adalah bahwa model perubahan struktural
yang terjadi pada tiap-tiap negara sebenarnya dapat diidentifikasi dan proses
perubahan secara umum dari masing-masing negara pada dasarnya memiliki
kesamaan pola. Meski demikian teori ini toleran terhadap variasi-variasi kecil
yang terjadi dalam proses perubahan struktural yang mungkin berbeda antar
negara. Perbedaan faktor endowmnent, kebijakan pemerintah, dan aksebilitas
16

terhadap modal dan teknologi, merupakan faktor penjelas penting terhadap


perubahan perbedaan variatif transformasi struktural yang terjadi.

2.4. Pengukuran Kualitas dengan Keberhasilan Pembangunan


Pembangunan ekonomi sering kali didefinisikan sebagai suatu proses
kenaikan pendapatan riil per kapita dalam jangka panjang yang disertai oleh
perbaikan sistem kelembagaan. Jadi, proses kenaikan pendapatan per kapita
secara terus menerus dalam jangka panjang saja tidak cukup bagi kita untuk
mengatakan telah terjadi pembangunan ekonomi, tetapi perbaikan struktur
sosial, sistem kelembagaan (baik organisasi maupun aturan main), dan
perubahan sikap dan perilaku masyarakat juga merupakan komponen penting
dari pembangunan ekonomi.
Berdasarkan pengertian tentang pembangunan ekonomi tersebut,
diperlukan suatu indikator untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan
ekonomi suatu negara. Manfaat utama dari indikator tersebut adalah agar dapat
digunakan untuk memperbandingkan tingkat kemajuan pembangunan atau
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah atau negara dan mengetahui
corak pembangunan setiap negara atau suatu wilayah. Indikator- indikator
tersebut dapat bersifat fisikal, ekonomi, sosial, dan politik. Berikut ini dibahas
beberapa indikator keberhasilan pembangunan yang dikelompokkan menjadi
tiga indikator yaitu: indikator moneter, indikator nonmoneter, dan indikator
campuran (Arsyad, 2004).

2.4.1. Pendapatan
Pendapatan merupakan indikator yang paling sering digunakan sebagai
tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara. Pendapatan
per kapita itu sendiri merupakan indikator atas kinerjaperekonomian secara
keseluruhan. Pendapatan per kapita adalah indikator moneter atas setiap
kegiatan ekonomi penduduk suatu negara. Salah satu kelemahan mendasar dari
pendapatan sebagai sebuah indikator pembangunan terletak pada
17

ketidakmampuannya untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat


secara utuh. Sering kali adanya kenaikan pendapatan per kapita suatu negara
tidak disertai oleh perbaikan kualitas hidup masyarakatnya. Sebenarnya, sudah
sejak lama ada keraguan pada konsep pendapatan per kapita sebagai sebuah
cerminan dari tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh seluruh anggota
masyarakat. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa tingkat pendapatan
masyarakat merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan
mereka, meskipun di samping itu ada beberapa faktor lain (nonekonomi) yang
dinilai cukup penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Ada banyak pengertian pendapatan menurut para ahli, pengertian
pendapatan menurut Kieso, Weygandt, dan Warfield (2011: 955) “Gross inflow of
economic benefits during the period arising in the ordinary activities of an entity
when those inflows result in increases in equity, other than increases relating to
contributions from equity participants”. Yang artinya adalah pendapatan adalah
arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas
selama suatu periode, jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas
yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Pendapatan memiliki banyak
nama seperti sales, fees, interest, dividends dan royalties. Pendapatan adalah arus
masuk atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi keduanya) dari pengiriman
atau produksi barang, memberikan jasa atau melakukan aktivitas lain yang
merupakan aktivitas utama atau aktivitas central yang sedang berlangsung.
Pendapatan industri merupakan suatu hasil dalam bentuk upah atau gaji
yang diperolah dari bekerja.Mayoritas industri tidak mampu memperoleh
pendapatan yang maksimal sehingga tidak sedikit dari mereka terpuruk dalam
kemiskinan.Hal tersebut terjadi karena intensitas tenaga kerja dikombinasikan
dengan produktivitas marjinal yang rendah (Nuppenau, Tanpa Tahun).Kondisi
tersebut menimbulkan pemikiran kemungkinan kombinasi produksi dengan
menggunakan faktor produksi padat karya dengan tenaga kerja lainnya yang
intensif operasi.Sistem padat karya yang luar biasa memungkinkan kelangsungan
hidup produksi bahkan jika harga tenaga kerja meningkat.
18

Kemungkinan tersebut dapat digunakan pertimbangan untuk menemukan


potensi yang menawarkan praktik usaha ramah lingkungan di mana persaingan
dari industri menghasilkan lebih rendah. Akan tetapi situasi hal seperti ini harus
disesuaikan dengan lingkungan industri ataupun usaha serta kondisi internal agar
tidak memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan usaha dan lain
sebagainya. Andaikan dalam kasus ini harga tenaga kerja (upah dan sewa) relatif
independen dari bersaing komoditas sejak permintaan dan penawaran elastisitas
yang rendah dan sebagai tambahan elastisitas pendapatan yang relatif tinggi
(Lodhi, 1997).Namun pada dasarnya peningkatan pendapatan menjadi sangat
penting bagi masyarakat pedesaan yang sangat menggantungkan keberlangsungan
hidupnya dari satu mata pencaharian.Oleh sebab itu pengusaha harus mampu
memutuskan penggunaan jasa tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi
utamanya yang tidak dapat diabaikan sehingga keuntungan usaha dapat terjaga.
Secara teoritis konsep inti teori Chayanov dalam menganalisis ekonomi
keluarga adalah keseimbangan antara konsumen dan buruh dalam keluarga, yaitu
ditunjukkan rasio antara jumlah yang mengkonsumsi(C) dan yang bekerja
mendapat gaji (W) dalam keluarga tersebut (C/W). Jika jumlah tanggungan
meningkat, maka rasio C/W akan meningkat pula. Untuk menurunkan rasio
tersebut, berarti harus menambah jumlah jam atau hari kerja keluarga yang
bekerja, selain itu juga dapat menambah jumlah anggota keluarga yang ikut
bekerja (Chayanov, 1991). Penelitian ini mengajukan perempuan sebagai pekerja,
supaya rasio C/W menurun berarti akan meningkatkan pendapatan dalam rumah
tangga petani untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Teori ini memandang
rumahtangga sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan
konsumsi, serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga
yang dianalisis secara simultan.Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam
mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan hanya ditentukan oleh barang dan
jasa yang dapat diperoleh di pasar, tetapi juga dari berbagai komoditi yang
dihasilkan dalam rumahtangga.
Jika pendapatan rumah tangga dapat mencapai stabilitas sesuai dengan
produktivitasnya maka rumah tangga akan merasakan kepuasan dalam
19

mencurahkan jam kerja dalam produksi usaha. Hal itu akan membuat tingkat
konsumsi rumah tangga meningkat karena mereka mampu meningkatkan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan barang – barang rumah tangga
(Chayanov, 1991). Bila kepuasan tersebut terus meningkat, maka rumah tangga
dapat dikatakan telah tercukupi kondisi sosialnya yaitu kesejahteraan.Dengan
demikian rumah tangga dapat disebut sebagai rumah tangga yang mampu lepas
dari kemiskinan melalui pendapatannya (Barnum dan Squire, 1979). Tingkat
kemiskinan yang dapat ditekan juga akan memberikan dampak positif akan
motivasi masyarakat melakukan migrasi. Sebab telah begitu banyak masyarakat
yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya atau yang sering disebut dalam
masyarakat miskin karena beberapa hal berikut:
a. ukuran angkatan kerja keluarga yang terus bertambah akibat pertambahan
jumlah penduduk;
b. harga output usaha/produksi berfluktuatif karena meningkatnya produk
subtitusi dengan harga yang kebih rendah;
c. penggunaan teknologi dalam produksi menekan biaya produksi sehingga
memaksa produsen mengurangi jasa tenaga kerja;
d. tingkat upah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga.

2.4.2. Indikator Sosial


Indikator sosial tingkat kesejahteraan dari setiap negara ditentukan oleh
beberapa indikator berdasarkan pada tingkat konsumsi atau jumlah persediaan
beberapa jenis barang tertentu yang datanya dapat dengan mudah diperoleh di
NSB. Data tersebut adalah:
a. Jumlah konsumsi baja dalam satu tahun (kg).
b. Jumlah konsumsi semen dalam satu tahun dikalikan 10 (ton).
c. Jumlah surat dalam negeri dalam satu tahun.
d. Jumlah persediaan pesawat radio dikalikan 10.
e. Jumlah persediaan telepon dikalikan 10.
f. Jumlah persediaan berbagai jenis kendaraan.
g. Jumlah konsumsi daging dalam satu tahun (kg).
20

Usaha lain dalam menentukan dan membandingkan tingkat kesejahteraan


antar negara dilakukan pula oleh United Nations Research Institute for Social
Development (UNRISD), sebuah badan PBB yang berpusat di Jenewa pada tahun
1970. Dalam studinya, UNSRID (1970) menggunakan 18 indikator yang terdiri
dari 10 indikator ekonomi dan 8 indikator sosial yaitu Tingkat harapan hidup,
Konsumsi protein hewani per kapita, Persentase anak-anak yang belajar di sekolah
dasar dan menengah, Persentase anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan,
Jumlah surat kabar, Jumlah telepon, Jumlah radio, Jumlah penduduk di kota-kota
yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebihi, persentase laki-laki dewasa di
sektor pertanian, persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air,
kesehatan, pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi dan produk pertanian
rata-rata dari pekerja laki-laki di sektor pertanian serta Pendapatan per kapita
Produk Nasional Bruto (PNB).

2.4.3. Indeks Kualitas Hidup


Pada tahun 1979, Morris D. Morris memperkenalkan satu indikator
alternatif dalam mengukur kinerja pembangunan suatu negara yaitu Indeks
Kualitas Hidup (IKH) atau Physical Quality of Life Index. Ada tiga indikator
utama yang dijadikan acuan pada indeks ini yaitu tingkat harapan hidup pada usia
satu tahun, tingkat kematian bayi, dan tingkat melek huruf. Berdasarkan setiap
indikator tersebut dilakukan pemeringkatan terhadap kinerja pembangunan suatu
negara, kinerja tersebut diberi skor antara 1 sampai 100, angka 1 melambangkan
kinerja terburuk dan angka 100 melambangkan kinerja terbaik. Untuk indikator
harapan hidup, batas atas (upper limit) 100 ditetapkan 77 tahun (harapan hidup
tertinggi pada saat studi tersebut dilakukan dicapai oleh Swedia). Sedangkan
batas bawah (lower limit) adalah 28 tahun (tingkat harapan hidup terendah di
Guinea-Bissau pada tahun 1950). Antara batas atas dan batas bawah itulah,
tingkat harapan hidup suatu negara diperingkatkan dengan skor antara 1 sampai
100. Demikian pula untuk tingkat kematian bayi, batas atasnya 9 kematian per
1.000 kelahiran (juga dicapai Swedia pada tahun 1973), sedangkan batas
21

bawahnya adalah 229 kematian per 1.000 kelahiran (tingkat kematian bayi
tertinggi, di Gabon).

2.4.4. Indikator Susenas Inti


Biro Pusat Statistik (BPS) mengembangkan suatu indikator kesejahteraan
rakyat yang disebut Indikator Susenas Inti (Core Susenas). Indikator Susenas
Inti ini merupakan indikator "campuran" karena terdiri indikator sosial dan
ekonomi. Indikator Susenas Inti ini meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Pendidikan, dengan indikator: tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, dan
tingkat partisipasi pendidikan.
b. Kesehatan, dengan indikator: rata-rata hari sakit dan fasilitas kesehatan yang
tersedia.
c. Perumahan, dengan indikator: sumber air bersih dan listrik, sanitasi, dan
kualitas tempat tinggal.
d. Angkatan Kerja, dengan indikator: partisipasi tenaga kerja, jumlah jam
kerja, sumber penghasilan utama, dan status pekerjaan.
e. Keluarga Berencana dan Fertilitas, dengan indikator: penggunaan ASI,
tingkat imunisasi, kehadiran tenaga kesehatan pada kelahiran, dan
penggunaan alat kontrasepsi.
f. Ekonomi, dengan indikator: tingkat konsumsi per kapita.
g. Kriminalitas, dengan indikator: angka kriminalitas per tahun.
h. Perjalanan wisata, dengan indikator: frekuensi perjalanan wisata per tahun.
i. Akses ke media massa, dengan indikator: jumlah surat kabar, jumlah radio,
dan jumlah televisi.

2.4.5. Indeks Pembangunan Manusia


Sejak tahun 1990, United Nations for Development Program (UNDP)
mengembangkan sebuah indeks kinerja pembangunan yang kini dikenal sebagai
Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (Human DevelopmentIndex). Nilai IPM
ini diukur berdasarkan tiga indikator sebagai acuannya yaitu tingkat harapan
22

hidup, tingkat melek huruf, dan pendapatan riil per kapita berdasarkan paritas
daya beli.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit
tunggal yang walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan
manusia, tetapi mengukur tiga dimensi pokok pembangunan manusiayang dinilai
mampu mencerminkan status kemampuan dasar penduduk. BPS (2016)
menyebutkan bahwa IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup,
diukur dengan harapan hidup saat lahir; tingkat pendidikan, diukur dengan
kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk usia 15 tahun ke atas (dengan
bobot dua pertiga) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot sepertiga); dan
tingkat kehidupan layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah
disesuaikan Purchasing Power Parity (PPP rupiah).
a. Lamanya Hidup/ Angka Harapan Hidup
Pembangunan manusia harus lebih mengupayakan agar penduduk dapat
mencapai “usia hidup” yang panjang dan sehat. Sebenarnya banyak indicator
yang dapat digunakan untuk mengukur usia hidup tetapi dengan
mempetimbangkan ketersediaan data secara global. Usia hidup diukur dengan
indicator harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) yang biasa
dinotasikan dengan e0. Karena Indonesia tidak memiliki sistem vital registrasi

yang baik maka e0 dihitung dengan metode tidak langsung. Merode ini
menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan
hidup (live-births) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) per
wanita usia 15-49 tahun menurut kelompok umur lima tahunan.
b. Tingkat Pendidikan
Selain usia hidup, pengetahuan juga diakui secara luas sebagai unsure
mendasar dari pembangunan manusia. Seperti halnya UNDP komponen IPM
tingkat pendidikan diukur dengan dua indikator yaitu angka melek huruf
(literacy rate) dan rata-rata lama sekolah (mean-years of schooling). Angka
melek huruf adalah persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa
membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya, terhadap jumlah
penduduk usia 15 tahun atau lebih. Indicator ini diberi bobot dua pertiga.
23

Bobot sepertiganya diberikan pada indikator rata-rata lamanya sekolah yaitu


rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke
atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani.
c. Standar Hidup Layak (Purchasing Power Parity /PPP)
Standar hidup layak merupakan komponen ketiga selain dua komponen di
atas yang juga diakui secara luas sebagai unsur dasar pembangunan manusia.
Banyak indikator alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur unsur ini.
Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional UNDP
memilih GDP (Gross Domestic Product) per kapita riil yang telah
disesuaikan (Adjusted Real GDP Per capita) sebagai indikator hidup layak.
Berbeda dengan indikator untuk kedua unsur IPM lainnya indikator standar
hidup layak diakui sebagai indikator input, bukan indikator dampak, sehingga
sebenarnya kurang sesuai sebagai unsur indeks pembangunan manusia.
Walaupun demikian UNDP tetap mempertahankannya karena indikator lain
yang sesuai tidak tersedia secara global. Selain itu, dipertahankannya
indikator input juga merupakan argumen bahwa selain usia hidup dan
pengetahuan masih banyak variabel input yang pantas diperhitungkan dalam
penghitungan IPM. Dilemanya, memasukkan banyak variabel atau indikator
akan menyebabkan indikator komposit menjadi tidak sederhana. Dengan
alasan itu maka GDP riil perkapita yang telah disesuaikan dianggap mewakili
indikator input IPM lainnya.
Konsep pembangunan manusia berbeda dengan pembangunan yang
memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi bahwa
pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan menguntungkan manusia.
Pembangunan manusia memperkenalkan konsep yang lebih luas dan lebih
komprehensif yang mencakup semua pilihan yang dimiliki oleh manusia di semua
golongan masyarakat pada semua tahap pembangunan. Pembangunan manusia
merupakan perwujudan tujuan jangka panjang dari suatu masyarakat dan
meletakkan pembangunan di sekeliling manusia, bukan manusia di sekeliling
pembangunan.
24

Titik berat pembangunan nasional Indonesia sesungguhnya adalah


pembangunan yang menurut konsep pembangunan manusia. Konsep
pembangunan yang seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan
kualitas hidup penduduk, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Bahkan
secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan menitikberatkan
pada pembangunan sumber daya manusia seiring dengan pembangunan di bidang
lainnya.
Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI)
digunakan untuk mengukur keberhasilan atau kinerja (performance) suatu negara
dalam bidang pembangunan manusia. Mengingat manusia sebagai subyek dan
obyek pembangunan maka manusia di dalam kehidupannya harus mampu
meningkatkan kualitas hidupnya sebagai insan pembangunan. Empat hal pokok
yang perlu diperhatikan untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan
manusia.adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan
(UNDP, 1995:12). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-
prinsip secara berikut:
a. Produktivitas
Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktivitas dan untuk
berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan lapangan kerja.
Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari model
pembangunan manusia.
b. Pemerataan
Setiap orang harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk
mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan social. Semua
hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut
harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari kesempatan
yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan
kualitas hidup.
c. Kesinambungan
25

Pembangunan harus dilakukan oleh semua orang, bukannya semata-mata


(dilakukan) untuk semua orang. Semua orang harus berpartisipasi penuh dalam
pengambilan keputusan dan proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
d. Pemberdayaan
Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan
menentukan (bentuk) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan
mengambil manfaat dari proses pembangunan, karenanya pembangunan
harus dilakukan oleh masyarakat bukan hanya untuk masyarakat.

BAB III. PEMBAHASAN

3.1. Perkembangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Di


Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi dengan luas wilayah 5,782.50 km², pada tahun
2018 terdiri atas 25 Kecamatan, 28 Kelurahan dan 189 desa, 87 Lingkungan dan
751 Dusun, 2,839 Rukun Warga (RW) dan 10,569 Rukun Tetangga (RT). Tahun
2018 penduduk Kabupaten Banyuwangi sebanyak 1,735,845 jiwa, terdiri dari
864,124 jiwa perempuan dan 871,721 jiwa laki-laki, dengan sex ratio 100.9%.
Penduduk tersebar di 25 Kecamatan yaitu Kecamatan Pesanggaran, Bangorejo,
Purwoharjo, Tegaldlimo, Muncar, Cluring, Gambiran, Srono, Genteng, Glenmore,
Kalibaru, Singojuruh, Rogojampi, Kabat, Glagah, Banyuwangi, Giri, Wongsorjo,
Songgon, Sempu, Kalipuro, Siliragung, Tegalsari, Licin serta Kecamatan Baru
yakni Kecamatan Blimbingsari. Penduduk Kabupaten Banyuwangi sebagian besar
berada di daerah perdesaan. Mata pencaharian yang dominan adalah wiraswasta
dengan persentase 32,33% dari keseluruhan jumlah penduduk. Secara rinci jumlah
penduduk yang dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian, terurai dalam
Tabel 3.1
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan Mata
Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah %
1 Belum/Tidak bekerja 326.517 18,81
2 Pelajar/Mahasiswa 201.916 11,63
26

3 Pertanian/Peternakan/Perikanan 259.611 14,96


4 Perdagangan 332.093 19,13
5 Industri 48.357 2,79
6 Jasa Kemasyarakatan 3.021 0,17
7 Konstruksi 4.818 0,28
8 Pemerintahan 2.799 0,16
9 Swasta 39.441 2,27
10 Wiraswasta 233.805 13,47
11 Lainnya 283.041 16,31
Jumlah 1.654.175 426
Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Banyuwangi
(per 31 Desember 2018)

Gambar 3.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan Mata


Pencaharian
Sumber: BPS Banyuwangi, Tahun 2018
Kondisi perekonomian daerah secara makro di Kabupaten Banyuwangi
dari tahun 2010 hingga 2018 menunjukkan pergerakan yang stabil. Hal ini dapat
ditunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat seperti Gambar 3.2.
27

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten


Banyuwangi
PE

6.95 7.24
6.38 6.71
5.91 6.01 5.6 5.7
5.38

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Gambar 3.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi


Sumber: BPS Banyuwangi, Tahun 2018
Berdasarkan trend dari tahun 2010 hingga tahun 2018, pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Banyuwangi memiliki trend positif dari tahun ke tahun
(LKPD Kabupaten Banyuwangi, 2018). Namun pada tahun 2018 pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Banyuwangi mengalami penurunan yang tidak begitu jauh,
hal tersebut di indikasikan Kabupaten Banyuwangi terkena imbas atas lemahnya
perekonomian nasional sebagai akibat dari membaiknya perekonomian negara
maju. Pertumbuhan ekonomi nasional melambat dan volume perdagangan
nasional hingga tahun 2013 mengalami penurunan. Kelesuan perekonomian
nasional juga memberikan dampak pada perlambatan perekonomian di Kabupaten
Banyuwangi. Hal ini disebabkan bahwa perekonomian di Kabupaten Banyuwangi
lebih banyak ditopang oleh sektor primer Perkembangan perekonomian di
Kabupaten Banyuwangi juga dapat ditunjukkan oleh perkembangan Produk
Domestik Regional Bruto Angka Dasar sebagaimana Gambar 3.2.
28

PDRB ADHK Kabupaten Banyuwangi


PDRB

6.95 7.24
6.71
5.91 6.01 5.7
5.38 5.6

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Gambar 3.2 PDRB ADHK Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2018


Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi (2018)

Kabupaten Banyuwangi dalam rentang tahun 2010 hingga tahun 2018,


pergerakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
tahun 2000 terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Peranan sektor pertanian
dalam perekonomian Kabupaten Banyuwangi hingga tahun 2018 masih
sangat dominan. Fenomena ini terlihat dari relatif besarnya sektor pertanian
dalam PDRB Kabupaten Banyuwangi dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Besaran PDRB sektor Pertanian menjadi penyumbang terbesar dalam PDRB
Kabupaten Banyuwangi tahun 2018. Kedudukan sektor pertanian sebagai
leading sektor masih sulit digeser oleh sektor-sektor lainnya, antara lain
disebabkan karena sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian di
sektor pertanian, khususnya pada tanaman pangan dan perkebunan. Sektor lain
yang juga turut memberikan kontribusi besar dalam perekonomian daerah
adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang memberikan kontribusi
pada tahun 2016, kedudukan sektor perdagangan sebagai sektor terbesar kedua
masih menjadi andalan dibandingkan oleh sektor lainnya.
Jika di lihat dari sisi kenaikan PDRB Kabupaten Banyuwangi dari
tahun 2010 hingga 2018 mengakibatkan besar tiap sektor mengalami
29

peningkatan dari sisi jumlah yang diterima. Hal ini disebabkan, perkembangan
sektor yang terus mengalami pertumbuhan membawa dampa bagi perekonomian
sektor lain, dampak yang dapat dilihat dari adanya kontribusi sektor dalam
menyumbang besaran PDRB secara keseluruhan. Sektor pertanian serta sektor
pertambangan dan penggalian mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga
tahun 2018. Sektor pertanian mengalami penurunan yang diakibatkan karena
sektor ini tergantung dari ketersediaan luas lahan pertanian yang semakin
menurun luasnya, hal ini diakibatkan karena adanya alih fungsi lahan pertanian
yang berubah menjadi kawasan industri, pemukiman penduduk dan sebagainya.
Selain itu, dalam perekonomian daerah juga dilihat dari inflasi dan indek daya
beli masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Inflasi di Kabupaten Banyuwangi
kembali berhasil mencetak angka terendah se-Jawa Timur seperti Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Laju Inflasi di Kabupaten Banyuwangi


Sumber : Tahun 2014-2018 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur

Gambar 3.3 menjelaskan pada sejumlah periode dalam beberapa tahun


terakhir, inflasi Banyuwangi juga pernah tercatat terendah di Jatim. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, inflasi di Banyuwangi pada tahun 2018
mencapai 2.04%, tercatat lebih rendah dari inflasi Jatim yang mencapai 2.86%.
30

Inflasi Banyuwangi ini juga di bawah rata-rata nasional yang sebesar 3.13% pada
periode yang sama.
Berdasarkan kondisi geografis tersebut, Kabupaten Banyuwangi memiliki
potensi-potensi alam yang dapat diolah dan dikembangkan, dengan demikian
Kabupaten Banyuwangi akan menjadi kabupaten yang memiliki sektor unggulan,
seperti perkebunan dan perikanan. Meskipun demikian sektor-sektor lain patut
dilirik seperti sektor pariwisata yang akhir-akhir ini sering dipromosikan oleh
pemerintah dengan program-programnya sehingga pertumbuhan ekomomi yang
ada di Kabupaten Banyuwangi mulai meningkat pesat. Selain sektor pariwisata
yang menjadi seltor unggulan terbaru, terdapat dampak yang ditimbulkan dari
adanya trend promosi pariwisata ini. Pariwisata di Banyuwangi berkembang mulai
dari pariwisata religi, alam, pendidikan, budaya, kuliner. Tempat wisata di
Banyuwangi banyak menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara.
Tempat-tempat wisata yang saat ini banyak diminati oleh wisatawan lokal
maupun mancanegara adalah segitiga berlian yakni kawah Ijen, Plengkung, dan
Sukomade.

3.2. Kualitas Pembangunan Ekonomi di Kabupaten Banyuwangi


Dalam menentukan berhasil tidaknya suatu daerah dalam pembangunan
ekonomi maka kita memerlukan indikator. Indikator diperlukan sebagai acuan kita
dalam menilai. Menilai dalam hal ini adalah menilai seberapa jauh suatu negara
mencapai indikator yang telah ditetapkan. Indikator berfungsi sebagai penjelasan
tentang pola, gejala, dan pengaruh yang sedang terjadi, berfungsi untuk
menentukan hingga taraf mana negara dianggap berhasil, dimulai dari mengukur,
menganalisis hingga mengevaluasi sebuah perencanaan sampai pelaksanaan agar
terbentuk suatu kebijakan. Karena keberhasilan suatu negara dapat dilihat apabila
suatu negara mencapai indikator atau tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya. Untuk menentukan indikator keberhasilan sebuah pembangunan,
maka diperlukan ruang lingkup yang jelas. Indikator pembangunan ekonomi dapat
dijabarkan sebagai berikut:
31

3.2.1. Pendapatan Per Kapita da Pendapatan Daerah Kabupaten Banyuwangi


Besarnya kontribusi antar sektor terhadap PDRB Kabupaten Banyuwangi,
juga berimbas kepada pendapat perkapit ayang diterima masyarakat dari
melakukan kegiatan ekonomi dalam beberapa sektor tersebut. Gambar 4.5
mengambarkan besarnya PDRB yang diterima tiap tahun sehingga berdampak
pada pendapatan per kapita masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Pendapatan per
kapita juga merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian untuk
mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan per-
kapita dapat diartikan semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pendapatan per-kapita dijelaskan Gambar 3.4
30
P 25.5
e 25 22.52
n
d 19.87
a 20 17.12
p 14.97
a 15
t
a
10
n

Gambar 3.4 Tingkat Pendapatan per Kapita Kabupaten Banyuwangi.


Sumber: Bappeda Kabupaten Banyuwangi 2015, diolah.

Pendapatan per kapita dihitung sebagai rasio antara jumlah produk


domestik regional bruto (dengan memperhitungkan penyusutan). Pendapatan per
kapita masyarakat Kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatan yang stabil.
Perkembangan dinamika pendapatan per kapita Kabupaten Banyuwangi dimulai
sebesar Rp. 14.97 Juta pada tahun 2012 dan terus mengalami peningkatan sampai
pada tahun 2016 mencapai Rp. 25.5 Juta (Bappeda Kabupaten Banyuwangi,
2016).
32

Pendapat perkapita masyarakat dapat diketahui besarnya tiap kecamatan


yang berkontribusi. Selama tahun 2012 dan 2013, laju pertumbuhan ekonomi
terendah berada di kecamatan di wilayah barat Kabupaten Banyuwangi.
Kabupaten Banyuwangi. Laju pendapatan perkapita tertinggi pada tahun 2013
merupakan kecamatan Banyuwangi sebesar 12,01. Sedangkan pada tahun 2011
dan tahun 2012, kecamatan Banyuwangi menjadi kecamatan yang laju
pendapat perkapita tertinggi. Hal tersebut di karenakan kecamatan Banyuwangi
merupakan kecamatan yang berada pada pusat pemerintahan dan perekonomian
Kabupaten Banyuwangi, sehingga arus modal dan arus barang dapat
meningkatkan pendapat perkapita Kabupaten Banyuwangi.
Kondisi pendapatan daerah Kabupaten Banyuwangi dapat dijelaskan
dengan menggunakan data realisasi APBD dari tahun 2010. Komposisi
pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Dilihat dari proporsinya,
perkembangan masing-masing komponen pendapatan daerah selama lima tahun
terakhir menunjukkan trend yang relatif stabil. Peningkatan pendapatan
Kabupaten Banyuwangi dan realisasinya melampaui proyeksi yang ditargetkan
dalam APBD. Kenaikan pendapatan Kabupaten Banyuwangi berbanding lurus
dengan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari pos pendapatan asli daerah
dan dana perimbangan dari tahun ke tahun. Kecenderungan kenaikan pendapatan
daerah ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Bondowoso, sebagai
daerah terdekat Kabupaten Banyuwangi. Pendapatan Kabupaten Banyuwangi
pada tahun 2012 sebesar Rp.1,14 triliyun; pada tahun 2013 sebesar Rp.1,20
trilyun; dan pada tahun 2014 naik menjadi Rp.1,45 trilyun. Selanjutnya pada
tahun 2015dan 2016 6 yakni sebesar Rp 1,69 triliyun dan Rp 1,91 triliyun.
Penyumbang terbesar pendapatan dalam struktur Pendapatan APBD
Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun terakhir salah satu bersumber dari pos
dana perimbangan. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten/ kota lain yang
pendapatannya ditopang hampir 80% bersumber dari dana perimbangan.
Kabupaten Banyuwangi, dana perimbangan selalu mengalami kenaikan dari tahun
2011 hingga tahun 2016 seperti Tabel 3.2
33

Tabel 3.2 Komponen Pendapat Asli Daerah Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 -
2016 (Miliar Rupiah)

Jenis Penerimaan 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Pendapat Asli Daerah 86,97 90,66 113,36 140,31 183,23 283,48


Pajak Daerah 21,48 26,13 32,45 40,77 65,94 91,11
Retribusi Daerah 30,77 20,81 21,62 24,81 28,65 32,49
Hasil Pengelolaan
7,99 8,79 9,98 14,50 14,54 14,58
Kekayaan
Lain-lain PAD 26,73 34,93 49,31 60,23 74,10 87,97
Sumber : LKPJ Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011-2016
Kontribusi pendapatan asli daerah Kabupaten Banyuwangi belum
maksimal. Dilihat dari komponen pembentuk PAD di Kabupaten Banyuwangi
yang terdiri dari pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, dapat diketahui
bahwa komponen terbesar penyumbang PAD berbeda-beda dalam beberapa tahun
terakhir. Jika pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 lain-lain PAD yang sah
berkontribusi terbesar dalam pembentukan PAD, sedangkan pada tahun 2009
retribusi daerah menyumbang proporsi terbesar dalam PAD. Di sisi lain
konstribusi pajak daerah cenderung mengalami peningkatan meskipun
peningkatannya relatif kecil tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pajak
daerah belum digali secara optimal melalui langkah ekstensifikasi maupun
intensifikasi.
Komponen pendapatan daerah selanjutnya adalah lain-lain pendapatan
yang sah yang terdiri dari pendapatan hibah, bagi hasil pajak dari propinsi, dana
penyesuaian dan otonomi khusus, bantuan keuangan dari propinsi, dan
sumbangan pihak ketiga. Proporsi dana perimbangan Kabupaten Banyuwangi
setiap tahun mengalami fluktuasi. Dana alokasi umum merupakan komponen
terbesar dalam dana perimbangan di Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan dana
alokasi khusus pada lima tahun terakhir menunjukan persentase yang relatif
meningkat. Disisi lain, Kabupaten Banyuwangi tidak mendapat dana perimbangan
dari propinsi. Besarnya dana alokasi umum yang cenderung meningkat
34

menunjukan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat Pada


masa yang akan datang, diperlukan berbagai langkah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah sehingga dapat meningkatkan kemandirian fiskal daerah.

3.2.2. Indek Pembangunan Manusia


Pembangunan di Kabupaten Banyuwangi tetap menempatkan pengentasan
kemiskinan pada prioritas utamanya dalam menghadapi kondisi kemiskinan.
Selain itu, langkah ini juga sebagai bentuk dukungan untuk menyukseskan
pembangunan nasional, yang sejak awal tahun 2000 mengadopsi konsep
Millenium Development Goals (MDGs). Dalam mengukur tingkat kesejahteraan
masyarakat Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melalui
terbitan serialnya sejak awal tahun 1990-an mengukur kesejahteraan masyarakat
secara lebih komprehensif dengan menggunakan tingkat pendapatan perkapita,
usia harapan hidup dan tingkat pendidikan yang dikonstruksi menjadi Indeks
Pembangunan Manusia atau Human Development Index = HDI. Adapun data IPM
di Kabupaten Banyuwangi selama tahun 2016-2017 dijelaskan Tabel 3.3
Tabel 3.3. IPM Kabupaten Banyuwangi
Komponen Tahun 2016 2017
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 69 (69,74) 69.64 (70,27)
Umur Harapan Hidup 70.11 (70.74) 70.19 (70.80)
Harapan Lama Sekolah 12.55 (12.98) 12.68 (13.09)
Rata-Rata Lama Sekolah 6.93 (7.23) 7.11 (7.34)
Pengeluaran Perkapita 11.171 (70.715) 11.438 (10.973)
Penduduk Miskin (%) 8,79% 8,64%
Sumber; BPS Banyuwangi (2017)
Tabel 3.3 menunjukkan IPM Kabupaten Banyuwangi menunjukkan
peningkatan yang semakin tinggi dari 63,35 tahun 2002 sampai 71,02 di tahun
2013. Peningkatan IPM tersebut menunjukkan adanya tingkat kemiskinan yang
semakin tinggi di Kabupaten Banyuwangi. Hal itu disebabkan adanya penurunan
di pengukuran IMP dan pendapatan per kapita.
Sedangkan IPM seluruh Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dijelaskan
Tabl 3.4 berikut.
35

Tabel 3.4 Indeks IPM Seluruh Kecamatan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2016
Indeks- Indeks Indeks
No Kecamatan IPM
Kesehatan Pendidikan PPP
1 Pesanggaran 73,55 69,71 58,27 67,18
2 Siliragung 70,22 78,02 53,66 67,3
3 Bangorejo 72,63 77,2 63,45 71,1
4 Purwoharjo 72,23 80,56 62,06 71,62
5 Tegaldlimo 70,82 77,98 63,53 70,77
6 Muncar 67,72 75,15 67,57 70,15
7 Cluring 75,27 73,89 65,84 71,67
8 Gambiran 74,83 78,57 67,27 73,56
9 Tegalsari 75,9 71,04 65,04 70,66
10 Glenmore 66,88 69,6 66,26 67,58
11 Kalibaru 73,97 69,5 56,78 66,75
12 Genteng 76,18 78,88 74,21 76,42
13 Srono 72,08 78,47 66,72 72,42
14 Rogojampi 66,98 72,82 72,47 70,76
15 Kabat 61,78 70,94 61,32 64,68
16 Singojuruh 72,02 70,46 58,35 66,94
17 Sempu 67,38 72,67 60,8 66,95
18 Songgon 72,83 67,19 61,13 67,05
19 Glagah 75,8 66,04 64,56 68,8
20 Licin 75,8 65,18 57,37 66,12
21 Banyuwangi 85,53 80,78 75,2 80,5
22 Giri 73,98 78,52 69,39 73,97
23 Kalipuro 62,53 77,81 66,4 68,92
24. Wongsorejo 69,37 65,63 64 66,33
Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2016
Tabel 3.4 menjelaskan tingkat kemiskinan yang diukur dengan IPM di
seluruh Kecamatan di Banyuwangi. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan
bahwa tingkat IPM Kabupaten Banyuwangi rata-rata masih di bawah standar IPM
tahun 2016 sebesar 70,00. Rata-Rata IPM bBanyuwangi masih berkisar 69,64.
Upaya pembangunan dalam pengentasan kemiskinan perlu dilakukan lebih
optimal.
Kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi masih merupakan permasalahan
yang harus di atasi oleh pemerintah. Hal itu dikarenakan taraf kemiskinan masih
tergolong tinggi seperti tambap pada Tabel 3.5.
36

Tabel 3.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan ( P1 ), Indeks Kedalaman Kemiskinan


(P2 ), 2013-2017

GK Penduduk P0 P1 P2
Tahun Rp./kap/bln Miskin % % %
(000)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

2013 276.648 151,6 9,57 1,54 0,37

2014 285.004 147,70 9,29 1,38 0,33

2015 295.185 146,00 9,17 1,02 0,20

2016 311.722 140,45 8,79 1,41 0,34

2017 319.236 138,54 8,64 1,15 0,24

Sumber Data; BPS Banyuwangi Tahun 2017


Keterangan : GK : Garis Kemiskinan dalam Rupiah/kapita/bulan
P0 : Prosentase Penduduk Miskin
P1 : Tingkat Kedalaman kemiskinan
P2 : Tingkat Keparahan Kemiskinan

Berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf diperoleh bahwa
Kecamatan Glagah, Bangorejo dan Benculuk merupakan wilayah yang paling
tertinggal pendidikannya. Sedang wilayah yang paling berhasil di bidang
37

pendidikan berada di Wilayah Kecamatan Glagah Banyuwangi dan Genteng.


Kinerja di bidang kesehatan. Berdasarkan Angka Harapan Hidup (AHH) di
masing-masing wilayah Kecamatan Glagah, diperoleh bahwa keberhasilan
pembangunan di bidang kesehatan tercapai di Kecamatan Glagah, Banyuwangi
dan Genteng serta sebaliknya ketertinggalan pembangunan di bidang kesehatan
terjadi di Wilayah Kecamatan Glagah Bangorejo dan Benculuk. Kinerja di bidang
daya beli. Secara umum daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi dari tahun
2015 hingga 2016 menjadi lebih baik meskipun masih berada di bawah angka
rata-rata Provinsi Jawa Timur. Apabila setiap tahunnya selalu menunjukkan pola
yang menurun, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan kemampuan
daya beli penduduk Kabupaten Banyuwangi akan semakin tertinggal bila
dibandingkan dengan kemampuan daya beli rata-rata penduduk Provinsi Jawa
Timur
Orientasi SDGs pada pembangunan manusia sebagai wujud konsep
pembangunan yang berkualitas. Dengan berorientasi pada pembangunan manusia,
maka strategi pengentasan kemiskinan yang digunakan adalah menempatkan
masyarakat miskin sebagai aktor utama dalam pembangunan nasional, yang
terlibat langsung dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari proses perencanaan,
pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai
kebutuhan paling prioritas di wilayahnya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan
pelestarian. Gran dan Korten (dalam Surjono dan Nugroho, 2007:22), bahwa
model pembangunan berpusat pada manusia memberi peran kepada individu
bukan hanya sebagai subyek, melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan,
mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang memengaruhi
kehidupannya.

3.2.3. Tingkat Pendidikan


Tolak ukur keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari
beberapa indikator tersebut antara lain Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka
Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS), Rata- rata Lama
sekolah (RLS), Angka Harapan Sekolah (HLS) dan Indeks Pendidikan.
38

Tabel 3.6 Realisasi Indikator Urusan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi

No Keterangan Tahun
1 APK (%) 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
- SD/MI/Paket A 102,91 104,93 109,02 103,60 104 107,28 103,33

- SMP/MTs/ Paket B 101,44 103,26 100,67 101,14 101,21 97,81 104,64

- SMA/SMK/MA/ Paket C 76,68 76,71 76,75 83,32 66,29 77,13 -


2 APM (%) - - - - - - -
- SD/MI 99,18 98,48 99,65 99,38 99,21 97,19 99,97

- SMP/MTs 93,26 94,57 96,55 95,33 97,32 85,14 93,21

- SMA/SMK/MA 58,98 66,75 77,17 67,92 74,32 63,17 -


3 Angka Putus Sekolah (%) - - - - - - -
- SD/MI 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,02 0,01
- SMP/MTs 0,44 0,42 0,39 0,33 0,29 0,22 0,20
- SMA/SMK/MA 0,94 0,83 0,84 0,39 0,27 0,56 -

4 Angka Melek Huruf (%) 88,08 88,44 94,99 91,36 92 99,3 99,31
Sumber : Bapedda Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2018
Tabel 3.6 dijelaskan bahwa tingkat pendidikan dilihat dari APK, APM dan
HLS sebagai berikut.
1. Angka Partisipasi Kasar (APK)
Tabel 3.5 menjelaskan bahwa nilai APK bisa lebih dari 100%. Hal ini
disebabkan karena jumlah murid yang bersekolah pada jenjang pendidikan
tertentu mencakup anak berusia di luar batas usia sekolah pada jenjang
39

pendidikan yang bersangkutan. Sebagai contoh, banyak anak-anak usia diatas


15 tahun, tetapi masih sekolah di tingkat SMP atau juga banyak anak-anak
yang belum berusia 12 tahun tetapi telah masuk SMP. Adapun capaian
kinerja indikator Angka Partisipasi Kasar (APK) Tahun 2012-2018 pada
jenjang pendidikan SD/MI mengalami kondisi yang fluktuatif,yaitu terjadi
kenaikan pada tahun 2012-2014 dan kemudian mengalami penurunan pada
tahun berikutnya. Pada tahun 2018 APK SD/MI sebesar 103,33 yang berarti
pada tahun 2018 terdapat penduduk di luar usia 7-12 tahun yang masih
bersekolah pada jenjang SD/MI. Untuk capaian pada jenjang SPM/MTS dari
tahun 2012-2018 cenderung stabil, namun mengalami penurunan di bawah
100 % pada tahun 2017 yaitu sebesar 97,81 yang berarti pada tahun 2017
jumlah murid SMP/MTS merupakan penduduk yang berusia antara 13-15
tahun. dan kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2018 yang melebihi
100 % yaitu 104,64 yang berarti masih banyak penduduk diluar usia 13-15
tahun yang bersekolah pada jenjang SPM/MTS.
2. Angka Partisipasi Murni (APM)
Capaian kinerja indikator APM pada jenjang pendidikan SD/MI tahun 2012-
2018 cenderung stabil. Pada tahun 2018 mencapai 99,97 %, angka tersebut
merupakan capaian tertinggi dari tahun 2012-2018 yang berarti sebesar 99,97
% penduduk usia 7-12 tahun bersekolah pada jenjang SD/MI. Pada jenjang
pendidikan SMP/MTs capaian APM pada tahun 2012-2018 cenderung
fluktuatif. Capaian tertinggi pada tahun 2016 yaitu 97,32 dan capaian
terendah pada tahun 2017 sebesar 85,14%,untuk capaian APM tahun 2018
sebesar 93,21% yang berarti sebanyak 93,21% penduduk usia 13-15 tahun
bersekolah pada jenjang SMP/MTS.
3. Angka Harapan Lama Sekolah (HLS)
Angka Harapan Lama Sekolah didefinisikan lamanya sekolah (dalam tahun)
yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa
mendatang. Diasumsikan bahwa peluang anak tersebut akan tetap bersekolah
pada umur-umur berikutnya sama dengan peluang penduduk yang bersekolah
per jumlah penduduk untuk umur yang sama saat ini. Angka Harapan Lama
40

Sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. HLS dapat


digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di
berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam
tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak.

Tabel 3.7. HLS Kabupaten Banyuwangi

Tahun (%)

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

11,04 11,22 11,.25 11,39 11,81 12,20 12,55 12,68 12,69

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur, (2018)


Tabel 3.7 dapat dilihat perkembangan angka harapan lama sekolah (HLS)
Kabupaten Banyuwangi terus meningkat, dan pada tahun 2018 dari BPS
Angka Harapan Lama Sekolah akan menyentuh angka 12,69 tahun.
4. Angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS)
Rata-rata Lama Sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan
oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Diasumsikan bahwa
dalam kondisi normal rata-rata lama sekolah suatu wilayah tidak akan turun.
Cakupan penduduk yang dihitung dalam penghitungan rata-rata lama sekolah
adalah penduduk berusia 25 tahun ke atas. Dan pada tahun 2018 angka rata-
rata lama sekolah naik menjadi 7,12
5. Indeks Pendidikan
Indeks pendidikan di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2018 sebesar 0,59
sama seperti tahun sebelumnya yakni pada tahun 2017. Untuk indeks
Pendidikan Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2018 masih dibawah Provinsi
Jawa Timur yaitu 0,61.
41

Berdasarkan pemaparan jumlah penduduk kabupaten Banyuwangi


sebelumnya, hal tersebut berimplikasi terhdap pembangunan pendidikan
diperiorataskan di Kabupaten Banyuwangi. Sekurang kurangnya sebagian
penduduk Kabupaten Banyuwangi berpendidikan pada tingkat sekolah menengah
pertama (SMP) dan sederajat. Namun seiring meningkatnya Jumlah penduduk
Kabupaten Banyuwangi dari tahun ke tahun tidak sebanding dengan sebaran
angka partisipasi kasar (APK). APK merupakan partisipasi penduduk yang sedang
mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Dilihat dari
perkembangan APK kabupaten Banyuwangi antara tingkat SD sampai dengan
SMA mengalami perbedaan. Partisipan pada jenjang SD lebih banyak dari pada
jenjang SMA. Hal tersebut mengindikasikan bahwa selisih partisipan tersebut
lebih mengutamakan untuk bekerja daripada untuk meningkatkan kualitas pribadi.
Untuk itu alokasi anggran pada sektor prioritas pendidikan merupakan hal yang
sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi kabupaten Banyuwangi.

3.2.4. Tingkat Kesehatan Masyarakat


Tingkat kesehatan masyarakat dilakukan dengan melakukan penyediaan
fasilitas sehingga pemerintah perlu membangun fasilitas kesehatan yang memadai
untuk masyarakat. Pembangunan di bidang kesehatan di kabupaten Bayuwangi
terlihat dari data jumlah fasilitas kesehatan untuk masyarakat seperti berikut.
Tabel 3.8. Jumlah fasilitas kesehatan Kabupaten Banyuwangi
Klinik/Balai
Tahun Rumah Sakit Rumah Bersalin Puskesmas Posyandu
Kesehatan
2010 6 1 30 2 170 36
2011 11 18 45 2 184 37
2012 11 18 45 2 224 37
2013 14 2 45 2 250 36
2014 13 2 45 2 250 29
2015 13 1 45 2 265 45
2016 12 1 45 2 265 35
Sumber : BPS Banyuwangi Tahun 2018
42

Tabel 3.8 menjelaskan kualitas kesehatan dilihat dari jumlah pembangunan


fasilitas masih cenderung stagnan sehingga diperlukan pembangunan yang lebih
baik lagi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.
Kualitas pembangunan dari sisi pelayanan kesehatan berdasarkan pemberian
layanan kesehatan dijelaskan pada Tabel 3.9 berikut.

Tabel 3.9 Indikator Kesehatan Kabupaten Banyuwangi


No Laki-laki + Perempuan
Indikator Kesehatan
. 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Persentase penduduk yang
mengalami keluhan
1 31,34 32,55 34,70 38,15 37,00 35,67 38,50
kesehatan sebulan yang
lalu
% Balita yang pernah
2 95,87 93,65 97,46 98,14 92,26 90,37 94,21
mendapat imunisasi BCG
% Balita yang pernah
3 93,95 91,56 93,69 95,25 99,19 84,71 87,44
mendapat imunisasi DPT
% Balita yang pernah
4 92,88 92,86 91,26 93,16 99,37 86,66 89,41
mendapat imunisasi Polio
% Balita yang pernah
5 mendapat imunisasi 79,34 82,74 78,40 78,13 78,15 78,95 75,51
Campak
% Balita yang pernah
6 mendapat imunisasi 87,51 89,14 90,27 94,85 95,92 81,46 89,39
Hepatitis B
Persentase penduduk yang
7 65,41 69,04 61,68 60,90 67,86 62,74 74,85
mengobati sendiri
Persentase penduduk yang
8 berobat jalan sebulan yang 47,09 46,69 51,76 50,97 55,92 55,84 44,68
lalu
Persentase penduduk yang
9 rawat inap setahun 2,32 1,73 2,42 2,47 3,89 3,58 3,87
terkahir
Sumber : BPS Banyuwangi Tahun 2018
43

Tabel 3.9 menjelasakan bahwa pelayanan yang diberikan dalam bidang


kesehatan semakin tahun semkain meningkat. Hal ini merupakan keberhasilan
pembangunan Kabupaten Banyuwangi terhadap masyarakat sehingga
pembangunan tetap terus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Kabupaten Banyuwangi.
Pelayanan pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat, dan
tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraaan
masyarakat, maka Pemerintah Daerah berkomitmen, untuk tidak membebani
pengeluaran-pengeluaran yang menjadi hak dasar masyarakat terhadap layanan
pendidikan. Memang benar bahwa PP 17 tahun 2010 memberikan ruang adanya
peran serta masyarakat, namun demikian insan pendidikan harus mempunyai
common sense terhadap kapan dan dimana peran serta diterapkan, melakukan
rasionalisasi dan verifikasi terhadap RAPBS, sehingga tidak membebani
masyarakat. Bukan sesuatu yang luar biasa, ketika sarana prasarana lengkap, input
baik dan memperoleh hasil yang baik, tetapi justru menjadi luar biasa bahwa di
tengah keterbatasan sarana prasarana, keterbatasan input, namun menghasilkan
lulusan-lulusan yang berprestasi.
Berdasarkan beberapa indikator yang menjadi ukuran atau standart suatu
pembangunan ekonomi sedang berlangsung. Semua indikator terpadu dalam
sebuah siklus dimana semua saling mempengaruhi antara satu sama lain sehingga
keberhasilan pembangunan dapat diukur dengan hasil yang dicapai pembangunan.
44

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal berikut.
a. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi mengelami
pertumbuhan yang meningkat secara fluktuatif sehingga laju perekonomian
Kabupaten Banyuwangi semakin berkembang dan maju.
b. Pembangunan ekonomi sendiri berkaitan dengan rata tidaknya kesejahteraan
masyarakat yang berada pada negara tersebut. Bukan itu saja dengan adanya
pembangunan ekonomi diharapkan dapat menaikkan taraf kehidupan dalam
suatu negara, diantaranya mulai dari pendapatan, pendidikan, teknologi,
kesempatan kerja, dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat diketahui tingkat
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dengan berkembangnya
taraf hidup masyarakatnya dan berbagai hal yang disebutkan sebelumnya.
Secara keseluruhan kualitas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatkan yang signifikan sehingga
perlu dilakukan pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahterana masyarakat.

4.2 Saran
45

Saran yang dapat diajukan dalam penulisna makalah ini antara lain:
a. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi bersama stakeholder terkait harus terus
menjaga trend positif pertumbuhan ekonominya, dengan cara
mempertahankan sektor unggulan dengan mengembangkan potensi dalam
bentuk UMKM agar dapat memacu kontribusi dan pertumbuhan sektornya
terhadap PDRB.
b. Meningkatkan iklim investasi yang telah berjalan di Kabupaten
Banyuwangi agar dapat menciptakan multiplier effect khususnya dalam
membuka lapangan kerja dan peluang usaha demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
c. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tetap terus melakukan penguatan
kebijakan yang berorientasi jangka panjang, yang mengedepankan insentif
bagi investasi lokal seperti yang selama ini dilakukan, sehingga apabila
dilihat dari kebijakan fiskalnya akan menciptakan keunggulan komparatif
daerah untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Peningkatan sektor yang
mendominasi perekonomian hendaknya ditingkatkan supaya mendukung
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi.
d. Dalam rangka menghadapi otonomi daerah khususnya disarankan agar terus
memperkuat paradigma berorientasi jangka panjang yaitu peningkatan PAD
melalui peningkatan PDRB, bukan melalui perbanyakan Perda yang sering
kontra produktif bagi dunia usaha
46

DAFTAR PUSTAKA

Agustono. 2013. Analisis Sektor Pertanian Ditinjau Dari Peran Terhadap


Pertumbuhan Dan Stabilitas Produk Domestik Regional Bruto Di Provinsi
Jawa Tengah. SEPA : Vol 9 No. 2. Ekonomi dan Bisnis Volume 1 Nomer 1
Maret 2013.

Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta:


STIE YKPN.

Aziz, Iwan Jaya, 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di.
Indonesia. LPFE-UI. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2016. Booklet Indeks Pembangunan Manusia.


Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro di Indonesia. Jakarta: BPS

Barnum, Howard N. dan Squire, Lyn. 1979. An Econometric Application of


TheTheory of The Farm-Household. Journal of Development Economics 6
(1979) 79-102. North-Holland Publishing Company.

Chayanov, A.V. 1991 Sustainable Rural Livelihood: Practical. Concepts for 21st
Century, IDS Discussion Paper 296 : IDS

Fabiomarta, W. 2004. Tranformasi Struktural Perekonomian Indonesia dan Faktor


yang Mempengaruhinya. Tidak Dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor.

Chapra, M. Umer, 2000. Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema

Kieso, Weygandt, Jerry J, dan Warfield, Teery D. 2011. Intermediate. Accounting,


Edisi 12 Jakarta: Erlangga
47

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Lodhi¸A. Haroon Akram. 1997. The Unitary Model of The Peasant Household: an
Obituary?. Eeonomic Issues, vol. 2, Part 1 March 1997.

Riadi, Mukti. 2008. Analisis Sektor Ekonomi Potensial Kabupaten Ogan


Komering Ulu Timur Provinsi Sumatera Selatan. Institut Pertanian Bogor:
Departemen Ilmu Ekonomi.

Rondinelli, Dennis A, 1984, “ Decentralization and. Development”, Sage


Publication, Inc. Hamdani

Ropingi, Agustono, Catur TBJP. 2009. Analisis Potensi Ekspor Komoditi


Pertanian Unggulan dalam Kerangka Kemandirian Perekonomian Daerah
Di Kabupaten Boyolali. Caraka Tani Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol XXIV
No 1. Maret 2009. Fakultas Pertanian UNS.

Simatupang et al. 2000. Kelayakan Pertaniansebagai Sektor Andalan


PembangunanEkonomi Nasional. Pusat penelitianSosial Ekonomi Pertanian
Bogor.

Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia. Jilid I Edisi Kesembilan.


Haris Munandar (penerjemah). Erlangga, Jakarta.

UNDP, 1995.Human Development Report 1995. New York: Oxford University

UNDP. 1990. Human Development Report 1990. Oxford University Press. New
York

Situs Website

banyuwangikab.go.id
48

Anda mungkin juga menyukai