Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

Laporan Kasus

TUMOR PAROTIS

Pembimbing:

Dr. dr. Kamal Basri Siregar,


Sp.B(K)Onk

PENYUSUN:

Ricky 140100213
Renaldo Markus P 140100142

Hilda Filia Fadhila 140100053


Grace Setia H. S 140100096
Natalia Stefanie 140100042
Bella Clarissa P. M 140100044

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Tumor
Parotis”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Kamal Basri Siregar,
Sp.B(K)Onk selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
menambah keilmuan dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 09 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2. Tujuan ............................................................................................. 2

1.3. Manfaat ........................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 3

2.1. Embriologi Kelenjar Saliva…........................................................... 3

2.2.Anatomi Kelenjar Tiroid ................................................................. 4

2.3. Fisiologi Kelenjar Tiroid .................................................................. 6

2.4. Patofisiologi Karsinoma Tiroid ....................................................... 8

2.5. Biomolekuler Karsinoma Tiroid....................................................... 9

2.6. Faktor Risiko Karsinoma Tiroid…………………………………... 14

2.7. Gejala dan Tanda Klinis Karsinoma Tiroid .................................... 15

2.8. Jenis Karsinoma Tiroid ............................................................... 16

2.9. Diagnosis Karsinoma Tiroid ............................................................ 17

2.10. Pembedahan Karsinoma Tiroid...................................................... 18

2.11. Peranan Radionuklear pada Karsinoma Tiroid............................... 22

ii
2.12.Terapi Pengganti Hormon Pasien Kanker Tiroxin .......................... 27

BAB 3 STATUS ORANG SAKIT........................................................ 29

BAB 4 DISKUSI KASUS...................................................................... 33

BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 38

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki kelenjar saliva yang terbagi menjadi kelenjar saliva


mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari sepasang
kelenjar parotis, submandibula dan sublingual. Kelenjar saliva minor berjumlah
ratusan dan terletak di rongga mulut. Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva
utama yang terbesar dan menempati ruangan di depan prosesus mastoideus dan
liang telinga luar. 1,2,3,4

Tumor glandula salivarius paling banyak terdapat pada glandula parotis


yaitu 85%, dan 75% merupakan tumor jinak. Sementara pada glandula salivarius
mayor yang lain seperti glandula salivarius submandibularis mempunyai isiden
50% sebagai tumor ganas/kanker, dan pada glandula sublingualis hampir
semuanya merupakan tumor ganas/kanker. Disebutkan bahwa adanya perbedaan
geografik dan suku bangsa pada orang Eskimo tumor ini lebih sering ditemukan
dengan penyebab yang belum diketahui.Sinar yang mengionisasi diduga sebagai
faktor etiologi.1,2,3,4

Keganasan pada kelenjar liur sebagian besar asimtomatik, tumbuhnya


lambat, dan berbentuk massa soliter. Rasa sakit didapatkan hanya pada 10-29%
pasien dengan keganasan pada kelenjar parotisnya.Rasa nyeri yang bersifat
episodik mengindikasikan adanya peradangan atau obstruksi akibat dari
keganasan itu sendiri. Massa pada kelenjar liur yang tidak nyeri dievaluasi dengan
aspirasi menggunakan jarum halus (Fine Needle Aspiration) atau biopsi.
Pemeriksaan radiologi menggunakan CT-Scan dan MRI sangat membantu
menegakkan diagnosis. Untuk tumor ganas, pengobatan dengan eksisi dan

1
radioterapi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50% bahkan pada
keganasan dengan derajat tertinggi.1,2,3

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan


kasus kanker parotis dan membandingkannya dengan landasan teori yang
sesuai. Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
kegiatan Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan


mengembangkan kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta
P3D untuk mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada
kasus yang dijumpai di lapangan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Kelenjar Saliva

Komponen epithelial kelenjar saliva berasal dari primitive oral


epithelium.. Tanda pertama perkembangan kelenjar adalah penebalan ephitelium
oral yang berdekatan dengan sel mesenkim. Pada penebalan ini terjadi proliferasi
dan menembus lapisan mesenkim membentuk solid epithelial cord atau yang
dinamakan prmary cord, primary cord ini akan menadi excretory duct utama yang
terdiri dari 4 sel tanpa lumen, ujung bulbus distal berasal dari primary cord
membentuk secondary epithelial cord.

Tahap-tahap terbentuk kelenjar saliva:

 Inisiation, terjadi di permukaan epithelial

 Proliferation

 Brunching

 Specialization

 Lumenization

Pembuatan percabangan baru (branching) melibatkan koordinasi fungsi


sitoskeletal dan deposisi serta resorpsi matriks ekstrakulikuler. Faktor mesenkimal
adalah faktor yang esensial terhadap diferensiasi sel epitelial. Kolagenisasi dapat
menghentikan proses branching. Sel epitel pada kumpulan sel bulbous
mengekspresikan E Cadherins dan Beta cadherins pada perlekatan sel dengan sel
tapi tidak dapat membentuk desmosom atau light function selama tahapan
prediferentiation. Dalam keadaan ini, sel epitel akan menjadi lebih plastis dan
mendesak mesenkim berdekatan. Produk gen dari dismosom dan zonula di
ekspresikan sementara itu bagian sel yang paling dalam mulai polarisasi selama

3
proses lumenization. Pada saat pertumbuhan terus terjadi / berlanjut, epithelial
parenchymal kelenjar saliva mulai terbentuk. Proses branching membutuhkan
basement membrana. Salivary epithelial cell berkontak dengan molekul matriks
melalui intergins yang mengaktifkan ekspresi gen dan signaling pathway selama
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar saliva.

Interaksi antara laminin dan syndecan membran sel dan Beta 1 Intergin
berperan dalam proses induksi diferensiasi sel asinar, epidermal growth factor dan
reseptornya juga meregulasi proses branching, fibroblast growth factor 7
(keratonycle growth factor) mengontrol perpanjangan jaringan (elongasi) Saa
aktivitas tyrosine kinase dari reseptor epidermal growth factor di blok. Aktivitas
branching semakin menurun dan perkembangan kelenjar terhenti. Epidermal
growth factor mengontrol proses branching dengan cara mengatur ekspresi alpha-
integrin laminin receptor.

Ujung proximal dari ephitelial chod utama, yang paling dekat dengan
rongga mulut berdiferensiasi menjadi excretory duct utama, beberapa cabang
pertama membentuk cabang sekunder excretory duct. Selanjutna, percabangan
akan membentuk duktus intralobular yang berdiferensiasi menjadi duktus striae,
granular dan intercalated.

Lumenizaton dimulai dari bagian tengah ke proximal terjadi secara


simultan dengan diferensiasi. Specialization lapisan yang lebih dalam melibatkan
populaitas sitoblasmik dan perkembangan apical-junctional complex, sehingga
memulai pembentukan extra cellular space (lumen)

Sel di lapisan terdalam berdiferensiasi menjadi sel khusus yaitu


intercalated, granular, striaed, dan excretory ducts. Sel di lapisan terluar pada
segmen duktal berdiferensiasi menjadi myoepithelial cells (Intercalated segment),
basal cells (striated dan granular segments) dan basal sertaa suprabasal cells
(striatifies columnar dan striatified squamous segments)

Sel mucus dan serus berdiferensiasi dari inner-layer cells pada ujung
bulbus segments dari eipthelial chords, lumenisasi secretory endpiece dan

4
spesialisasi sel sekretori terjadi setelah terbentuk lumen pada ductal. Element
yang menghubungkan terjadi setelah terbentuk lumen pada ductal. Element yang
menghubungkan ductal dengan rongga mulut sel dilapisan terlubar (outer layer)
dan bulbus terminal segment berdiferensiasi menjadi sel myoephitelal.

Pertumbuhan axonal terjadi bersamaan dengan branching epitel, kultur


organ in vitro dari epithelium kelenjar saliva dan ganglia submandibula
menunjkan bahwa pertumbuhan axonal dari ganglia searah dengan epithelium
kelenjar saliva. Perkembangan kelenjar parotid manusia diinsiasi di sudut mulut
dari 2 tempat/titik pertumbuhan epithelial yang menyatu membentuk kelenjar.
Invaginasi epitel dimulai dari 6 – 7 minggu intrauterin. Kelenjar submandibula
berkembang 6 minggi dari endoderm yang melapisi dasar mulut.

Proses branching kelenjar parotid dan submandibula dimulai pada


minggu ke 8, lumenisasi dimulai pada minggu 16 intrauterin, cytodifferensiasi
selesai lebih kurang bulan ke-6 intrauterin pada kelenjar parotid dan
submandibular. Kelenar sublingual berkembang selanjutnya, diinsiasi oleh
pertumbuhan endodermal di sulkus paralingual pada minggu ke-8 perkembangan
embrio, terus berkembang sampai minggu ke-12

5
2.2 Anatomi Kelenjar Parotis

Kelenjar parotis merupakan kelenjar terbesar dibandingkan kelenjar


saliva lainnya dengan berat sekitar 15-30 gram. Terletak di lateral wajah, yaitu
di preaurikula, sampai ke posterior mandibula. Dilewati oleh nervus fasialis
yang membaginya menjadi dua lobus, yaitu lobus profunda dan superfisial.
Lobus superficial terletak di superficial dari bagian posterior otot masseter, ke
atas, hingga ke arkus zigomatik, ke bawah mencapai margo inferior os
mandibular. Lobus profunda ke atas berbatasan dengan kartilago meatus
akustikus eksternal, terletak antara prosessus mastoideus tulang temporal dan
ramus mandibula.1- 4

Duktus Stensen dengan panjang lebih kurang 4- 7cm, muncul dari


anterior kelenjar. Duktus ini keluar dari permukaan lateral otot maseter,

6
menembus jaringan lemak pipi dan otot businator. Ujung saluran ini berada di
mukosa pipi rongga mulut, berhadapan dengan gigi molar kedua bagian atas.
Kelenjar parotis aksesorius dapat ditemukan di sepanjang bagian anterior
kelenjar dan pada duktus Stensen. Kelenjar ini dijumpai berkisar 20%.1-4

Gambar 1. Anatomi kelenjar parotis

7
Gambar 2. Percabangan nervus fasialis

Perdarahan kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksterna, dimana


arteri ini berjalan medial dari kelenjar parotis, kemudian mempercabangkan
arteri maksilaris dan arteri temporalis superior. Arteri temporalis superior
mempercabangkan arteri fasialis tranversalis yang berjalan di anterior zigoma
dan saluran parotis, kemudian memperdarahi kelenjar parotis, saluran parotis
dan otot maseter. Vena maksilaris dan vena temporalis superfisialis bersatu
membentuk vena retromandibuler yang berjalan di sebelah dalam saraf
fasialis, kemudian menyatu dengan vena jugularis eksterna. 4

Fungsi sekretomotorik dihantarkan melalui serabut saraf parasimpatis


lewat saraf glosofaringeus. Dalam perjalanan yang rumit serabut saraf ini
memasuki kelenjar parotis setelah melewati ganglion otik dan dihantarkan
melalui saraf aurikulotemporalis. 3

Lobus superfisial dari kelenjar parotis mengandung lebih kurang 3-20


kelenjar limfe, terletak diantara kelenjar parotis dengan kapsulnya. Kelenjar
limfe ini merupakan saluran dari kelenjar parotis, liang telinga luar, daun
telinga, kulit kepala, kelopak dan kelenjar air mata. Lapisan kedua terdapat

8
pada kelenjar parotis profunda dan merupakan saluran dari kelenjar parotis,
liang telinga luar, telinga tengah, nasofaring, dan palatum mole. Kedua sistem
ini mengalir ke sistem limfe servikal superfisialis dan profunda.3

Nervus fasialis sebenarnya terdiri dari serabut saraf motorik saja, namun
pada perjalanannya ke tepi, nervus intermedius bergabung dengannya. Nervus
intermedius ini tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula
salivatorius dan serabut yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3
bagian depan lidah.

Sebagai saraf motorik mutlak nervus fasialis keluar dari foramen


stilomastoideum dan memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan
venter posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya
menuju ke glandula parotis. Disitu ia bercabang cabang lagi untuk
mempersarafi otot wajah dan plastima. Cabang-cabang tersebut diantaranya
adalah cabang temporal, zigomatikus, bukalis, mandibularis dan cabang
servikalis.

2.3 Fisiologi Kelenjar Parotis

Pada kondisi basal, sekitar 0,5 mililiter saliva, hampir seluruhnya dari tipe
mucus, disekresikan setiap detik sepanjang waktu kecuali selama tidur, saat
sekresi menjadi sangat sedikit. Sekresi ini sangat berperan penting dalam
mempertahankan kesehatan jaringan rongga mulut. Saliva membantu mencegah
proses kerusakan jaringan mulut yang dapat disebabkan oleh bakteri dengan cara
membantu membuang bakteri pathogen juga partikel-partikel makanan yang
memberi dukungan metabolic bagi bakteri dan saliva juga mengandung beberapa
factor yang menghancurkan bakteri, salah satunya adalah ion tiosianat dan lainnya
adalah enzim proteolitik terutama lizozim. Terakhir, saliva juga mengandung
sejumlah besar antibodi protein yang dapat menghancurkan bakteri rongga mulut,
termasuk yang menyebabkan karies gigi.3,5,6

9
Setiap hari satu sampai dua liter air liur diproduksi dan hampir semuanya
ditelan dan direabsorbsi. Proses sekresi dibawah kendali saraf otonom. Makanan
dalam mulut merangsang serabut saraf yang berakhir pada nukleus pada traktus
solitaries dan pada akhirnya merangsang nukleus saliva pada otak tengah.
Pengeluaran air liur juga dirangsang oleh penglihatan, penciuman melalui impuls
dari kerja korteks pada nukleus saliva batang otak. Aktivitas simpatis yang terus
menerus menghambat produksi air liur seperti pada kecemasan yang
menyebabkan mulut kering. Obat-obatan yang menghambat aktivitas parasimpatis
juga menghambat produksi air liur seperti obat antidepresan, tranquillizers, dan
obat analgesik opiate dapat menyebabkan mulut kering (Xerostomia).3,5,7

Saluran air liur relatif impermeabel terhadap air dan mensekresi kalium,
bikarbonat, kalsium, magnesium, ion fosfat dan air. Jadi produk akhir dari
kelenjar air liur adalah hipotonik, cairan yang bersifat basa yang kaya akan
kalsium dan fosfat. Komposisi ini penting untuk mencegah demineralisasi enamel
gigi.7

Kelenjar parotis menghasilkan suatu sekret yang kaya akan air yaitu
serous. Saliva pada manusia terdiri atas 25% sekresi kelenjar parotis.5

2.4 Biomolekuler Kanker Parotis


2.4.1 PI3K/ATK pathway
PI3K/ATK pathway adalah jalur transduksi sinyal intracelular yang
menstimulasi metabolisme, proliferasi, survival sel, pertumbuhan dan
angiogenesus berdasarkan respon sinyal ekstraselular.
Molekul kunci yang terlibat dari pathway ini adalah
 Receptor tyrosine kinase (RTKs)
 Phospatidylinositol 3-kinase (PI3K)
 Phospatidylinositol 4,5 biphosphate (PIP2)
 Phospatidylinositol 3,4,5 biphosphate (PIP3)
 Dan ATK/ Protein kinase B

10
PI3K-ATK signaling Pathway

RTKs adalah reseptor permukaan sel dengan afinitas tinggi


terhadap berbagai growth factor polipeptida, cytokin dan hormon.
Receptor ini memiliki 3 domain funtional, yaitu domain pengikat ligan
ekstraselular, domain transmembrane, dan domain tyrosine kinase
intracelular. Ketika RTKs terikat oleh ligan seperti growth factor, 2 RTK
akan mendekat dan membentuk dimer, dimana ini akan mengakibatkan
aktivasi dari domain tyrosine kinase intracelular dan autophosphorylation
oleh masing masing monomer.

PI3K adalah kinase yang mampu memfosforilasi 3 posisi gugus


hidroksil dari phosphatidylinositol. PI3K terdiri dari 2 domain, domain
katalitik P110 dan domain regulasi P85. Aktivasi PI3K biasanya terjadi
akibat stimulasi langsung melalui subunit pengatur yang terikat pada
reseptor yang teraktivasi atau teraktivasi secara indirek melalui molekul

11
adaptor seperti insulin receptor substrate (IRS) protein. PI3K juga dapat di
aktivasi oleh protein RAS pengikat GTP

PIP2 dan PIP3 adalah komponen minor fosfolipid dari membran


sel. PIP3 biasanya berfungsi sebagai dok fosfolipid yang mengikat domain
spesifik yang mempromosikan rekrutmen protein ke membran plasma dan
aktivasi selanjutnya dari kaskade sinyal. dalam jalur PI3K-AKT,
kelompok 3 posisi fosfat PIP3 dapat mengikat protein PDK1 dan AKT dan
merekrut protein AKT pada membran plasma, memungkinkan PDK1
untuk mengakses dan memfosforilasi T308 dalam "loop aktivasi", yang
mengarah ke PKB parsial / Akt pengaktifan. Kemudian fosforilasi Akt
pada S473 dalam motif hidrofobik terminal karboksi, baik oleh mTORC2
atau oleh DNA-PK, merangsang aktivitas Akt penuh.

AKT juga disebut sebagai protein kinase B, adalah protein kinase


spesifik serin / treonin yang memainkan peran kunci dalam berbagai
proses seluler. Setelah diaktifkan, Akt mengatur fungsi melalui aktivasi
fosforilasi atau penekanan berbagai protein yang terlibat dalam
pertumbuhan sel, proliferasi, motilitas, adhesi, neovaskularisasi, dan
kematian sel.

2.4.2 Regulasi sinyal PI3K dan ATK


Jalur PI3K-Akt memiliki banyak efek downstream dan harus diatur
dengan hati-hati. Pengaturan negatif jalur PI3K-AKT dapat dicapai pada
target: level PIP3 dan inaktivasi protein AKT. Phosphatase dan tensin
homolog (PTEN) adalah protein pengaturan utama yang dapat mengubah
PIP3 menjadi PIP2. Protein fosfatase 2A (PP2A), yang mendeposforilasi
Akt pada Thr308 dan fosfatase PHLPP, dephosforilasi Akt di Ser473 juga
merupakan dua protein regulasi negatif. Selain protein regulasi ini, jalur
itu sendiri juga memiliki mekanisme umpan balik: Faktor transkripsi NF-
κB, diaktifkan oleh Akt, mengatur delta reseptor yang diaktivasi
proliferator peroksisom (PPARβ / δ) agonis dan faktor nekrosis tumor α
(TNFα), yang pada gilirannya menekan Ekspresi PTEN sebagai umpan
balik positif; Loop umpan balik negatif difungsikan oleh aktivasi

12
mTORC1 dan S6K1. S6K1 mampu memfosforilasi IRS-1 di beberapa
residu serin, mencegah pengikatan pada RTK, menghasilkan penindasan
aktivasi PI3K.

Mekanisme Negatif dan positif feedback pada PI3K-ATK pathway

2.4.3 Downstream sinyal PI3K-ATK


Setelah aktif, ATK dapat mentranslokasi dari membran plasma ke
sitoplasma dan nukleus, tempat banyak substratnya berada. Fosforilasi
oleh Akt dapat berupa penghambatan atau stimulasi, baik menekan atau
meningkatkan aktivitas protein target. Tergantung pada protein target, Akt
dapat mengatur fungsi sel yang berbeda, seperti
 Apoptosis atau kelangsungan hidup sel
Akt meningkatkan kelangsungan hidup sel dengan menghalangi
fungsi protein dan proses proapoptotik. Akt mengatur secara
negatif fungsi atau ekspresi anggota keluarga Bcl-2, protein Bax,
dan protein Bim. Akt juga menghambat ekspresi protein hanya
BH3 melalui efek pada faktor transkripsi, seperti FOXO dan p53.

13
p53 juga merupakan onkogen yang memediasi apoptosis sel. Akt
dapat mempromosikan degradasi p53 melalui fosforilasi MDM2.
Akt juga dapat memfosforilasi isoform GSK3 pada situs regulator
N-terminal yang sangat terkonservasi, dan menonaktifkan kinase,
sehingga mengatur apoptosis dan metabolisme glukosa melalui
GSK3.
 Síntesis protein dan perkembangan sel
Salah satu fungsi Akt yang paling dilestarikan adalah perannya
dalam mendorong pertumbuhan sel melalui penghambatan TSC2
dan aktivasi secara tidak langsung mTOR complex 1 (mTORC1).
mTORC1 adalah regulator penting inisiasi translasi dan biogenesis
ribosom dan memainkan peran yang dilestarikan secara evolusi
dalam kontrol pertumbuhan sel. Ini dapat mengaktifkan S6K dan
faktor inisiasi eukariotik 4E (eIF4E) yang mengikat protein 1 (4E-
BP1), S6K dapat mengaktifkan S6 ribosomal dan meningkatkan
sintesis protein dan pertumbuhan sel.
 Proliferasi dan siklus sel
Fungsi protein P21 / Waf1 / Cip1 adalah untuk mempertahankan
sel dalam keadaan diam. Dan P27 / Kip2 memiliki fungsi serupa
untuk mempertahankan sel dalam keadaan G1. Protein Akt juga
dapat memfosforilasi P21 / Waf1 / Cip1 dan P27 / Kip2, dan
menghambat efek anti-proliferatifnya dengan mempertahankannya
dalam sitoplasma. Jadi itu bisa mempromosikan sel ke dalam siklus
sel untuk proliferasi.
2.4.4 Hubungan PI3K dengan Oncogen
Karena arah pengaturan umum jalur PI3K-AKT adalah untuk
merangsang pertumbuhan dan proliferasi sel. Aktivasi berlebih dari jalur
pensinyalan ini dapat menstimulasi sel secara berlebihan dan
menghasilkan proliferasi sel abnormal, yaitu onkogenesis. Abnormalitas
pada jalur PI3K sering terjadi pada kanker dan berperan dalam
transformasi neoplastik. PI3K sendiri sering menjadi target aktivasi
mutasi.

14
2.3 Faktor Resiko

Paparan radiasi merupakan factor risiko untuk terjadinya tumor kelenjar


liur khususnya karsinoma mukoepidermoid. Tumor warthin memiliki hubungan
yang kuat dengan merokok, walaupun tumor jinak ini lebih sering ditemukan pada
pria, ternyata insidennya meningkat pada wanita yang merokok, faktor lain yang
mempengaruhi adalah infeksi HPV dan EBV, pekerjaan terutama penata rambut,
nutrisi, genetik, dan faktor lingkungan seperti paparan serbuk gergaji, pestisida,
dan bahan kimia untuk industri kulit. Beberapa faktor lain yang inkonsisten
dilaporkan adalah hormone receptor (estrogen, progesterone, androgen),
epidermal growth factor receptor (EGFR), dan human epidermal growth factor
receptor 2 (HER2).

2.2 Tumor Parotis


2.2.1 Definisi

Tumor parotis adalah massa jaringan abnormal dengan perumbuhan


berlebihan dan tidak ada koordinasi dengan pertumbuhan jaringan normal, yang
terjadi pada kelenjar parotis. Tumor parotis bisa jinak maupun ganas. Tumor
parotis akan muncul sebagai suatu massa berbentuk soliter yang berkembang
diantara sel-sel pada kelenjar yang terkena.8

2.2.2 Epidemiologi

Kemungkinan terkena neoplasma kelenjar liur pada laki-laki sama dengan


wanita. Jarang terdapat pada anak-anak tapi frekuensi keganasan lebih sering pada
anak. Sekitar 35% tumor kelenjar liur pada anak-anak adalah maligna, jenis
terbanyak adalah karsinoma mukoepidermoid. Kelenjar liur mayor yang paling
sering terkena adalah glandula parotis, yaitu 70-80%, diikuti kelenjar
submandibula (10%) sedangkan kelenjar liur minor yang sering terkena adalah
pada palatum. Mayoritas 80% tumor pada kelenjar air liur adalah jinak. Insiden
tumor ganas adalah 20-25% dari tumor parotis, 35-40% tumor submandibular,
50% tumor palatum, dan 95-100% tumor kelenjar sublingual.

15
Pleomorphic adenoma adalah tipe histologis tersering (65% dari tumor
parotis dan 50% dari tumor kelenjar liur), lebih sering diderita usia rata-rata 40
tahun dan wanita lebih sering daripada pria. Tumor ganas yang paling sering
adalah karsinoma mukoepidermoid yang meliputi 10% dari neoplasma kelenjar
liur dan 35% dari kanker kelenjar liur. Tumo Warthin lebih sering diderita pria,
10% bilateral, sering pada pool bawah parotis.

Keganasan biasanya asimtomatik, tetapi tanda dan gejala yang


menunjukkan keganasan biasanya adalah pertumbuhan tumor yang cepat
membesar, nyeri, trismus, paralisis nervus fasialis atau yang lainnya. Pemeriksaan
penunjang yang sensitivitasnya 95% pada keganasan kelenjar saliva adalah
dengan FNAB. Semua pasien dengan massa di kelenjar saliva nya harus dilakukan
pemeriksaan FNAB untuk mengetahui diagnosis histologinyadan untuk
perencanaan terapi pembedahan. Pemeriksaan CT Scan dan MRI juga sangat
membantu untuk mengetahui apakah letak tumor di lobus superfisial atau
profunda. Keganasan lebih sering terjadi pada tumor parotis yang mengenai lobus
profunda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa
tumor pada lobus profunda sebanyak 35%nya adalah maligna, dan hanya 10% nya
yang benigna.10

2.2.3 Etiologi

Penyebab terjadinya tumor kelenjar parotis masih belum jelas


karena angka kejadiannya yang masih jarang. Paparan rokok dan konsumsi
alkohol tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan tumor parotis. Sejauh ini,
paparan radiasi ion sudah ditetapkan sebagai faktor resiko terjadinya tumor
parotis. Seseorang yang pernah mengalami terapi radiasi dan terapi UV pada
kepaladan leher meningkatkan faktor risiko. Penelitian terakhir mengatakan
bahwa terjadi peningkatan angka kejadian tumor parotis, terutama di Israel dan
Inggris. Terdapat hipotesis bahwa peningkatan angka kejadian tumor parotis ini
ada hubungannya dengan meningkatnya penggunaan telepon genggam. Namun
dari penelitian yang dilakukan oleh Shu, dkk ini didapatkan hasil bahwa tidak ada
hubungan antara peningkatan penggunaan telepon genggam dengan peningkatan

16
angka kejadian tumor parotis. Faktor resiko lain yang mempengaruhi terjadinya
karsinoma kelenjar air liur adalah pekerjaan, nutrisi, dan genetik.9,11

2.2.4 Klasifikasi Tumor Parotis

WHO tahun 2005 mengklasifikasikan tumor kelenjar saliva


menjadi jinak dan ganas. Berdasarkan histopatologinya dibagi menjadi epitelial
dan non epitelial. Jenis epitelial sangat jarang terjadi, sekitar 2-5% dari kasus
tumor kelenjar saliva.

Tabel 1. Klasifikasi histopatologi WHO/AJCC

Tumor jinak Tumor ganas


plemorphic adenoma ( mixed mucoepidermoid carcinoma
benign tumor) acinic cell carcinoma
monomorphic adenoma adenoid cystic carcinoma
papillarycystadenoma adenocarcinoma
lymphomatosum (Warthin’s epidermoid carcinoma
tumor) small cell carcinoma
lymphoma
Malignant mixed tumor
Carcinoma ex pleomorphic adenoma
(carcinosarcoma)

a. Tumor jinak
1) Pleomorfik adenoma (mixed tumor jinak):
Tumor tersering pada kelenjar liur dan paling sering terjadi pada
kelenjar parotis. Dinamakan pleomorfik karena terbentuk dari sel-sel epitel
dan jaringan ikat. Pertumbuhan tumor ini lambat berupa benjolan pada depan
bawah daun telinga atau angulus mandibula yang tidak memberikan gejala.
Kondisi ini membuat luput dari perhatian pasien, sehingga pasien datang
untuk pemeriksaan ke petugas kesehatan setelah muncul benjolan setidaknya
1 tahun. Pada perabaan didapatkan massa berbentuk bulat, permukaan licin,

17
kadang berbenjol-benjol, dan konsistensinya lunak, berbatas tegas, tampak
berkapsul, dan ukuran terbesarnya jarang melebihi 6 cm, tidak nyeri tekan
dan dapat digerakkan.12,13

Secara histologi dikarakteristik dengan struktur yang beraneka


ragam.biasanya terlihat seperti gambaran lembaran, untaian atau seperti
pulau-pulau dari spindel atau stellata. Tumor ini, yang umumnya terbentuk di
parotis superfisial, menyebabkan pembengkakan tak nyeri di sudut rahang
dan mudah diraba sebagai massa diskret. Tumor biasanya sudah ada selama
beberapa tahun sebelum dibawa ke dokter. Walaupun berkapsul, pemeriksaan
histologik sering memperlihatkan tempat tumor menembus kapsul. Oleh
karena itu, diperlukan batas reseksi yang adekuat untuk mencegah
kekambuhan. Hal ini mungkin memerlukan pengorbanan saraf fasialis, yang
berjalan melalui kelenjar parotis. Secara rerata, sekitar 10% eksisi diikutioleh
kekambuhan. Penatalaksanaanya yaitu eksisi bedah dari kelenjar yang
terkena. 2,12,13

Gambar 4. Gambaran histologi adenoma pleomorfik

Adenoma pleomorfik sering mengenai wanita pada dekade umur ke-


IV, namun pada laki-laki adenoma pleomorfik bisa terjadi pada anak-anak
dan orang tua. Sehingga dapat dikatakan bahwa insidensi adenoma

18
pleomorfik dapat terjadi pada semua umur, dan kasus terbanyak terutama
terjadi pada dekade IV - V. 2,12,13

Umur rata-rata penderita adenoma pleomorfik adalah 43 tahun, dan


hampir 40% kasus yang dicatat AFIP mengenai penderita berumur kurang
dari 40 tahun. Adenoma pleomorfik 10 kali lebih sering terjadi pada kelenjar
liur mayor parotis daripada kelenjar submandibuler, jarang terjadi pada
kelenjar liur sublingual. 2,12,13

2) Warthin's tumor ( kistadenoma limfomatosum papiler, adenoma kistik


papiler).
Tumor ini tampak rata, lunak pada daerah parotis, memiliki kapsul
apabila terletak pada kelenjar parotis dan terdiri atas kista multipel. Histologi
Warthin's tumor yaitu : (1) lapisan epitel dua deret yang melapisi rongga
yang bercabag, kistik, atau mirip celah, dan (2) jaringan limfoid didekatnya
yang kadang-kadang membentuk sentrum germinativum. Angka kekambuhan
sekita 10% diperkirakan disebabkan oleh eksisi yang tidak komplet, sifat
multisentrik tumor, atau adanya tumor primer kedua. Perubahan menjadi
ganas tidak pernah dilaporkan.Lebih sering ditemukan pada kelenjar mayor.
2,8,12,13

3) Tumor monomorphic
Tumor yang tumbuh lambat ini hanya berkisar kurang dari 5% dari
seluruh angka kejadian tumor kelenjar lidah. Monomorfik adenoma
dibedakan dari pleomorfik adenoma karena tumor ini hanya memiliki satu
morfologi sel. Monomorfik adenoma memiliki subklasifikasi menjadi grup
neoplasma epitelial dan mioepitelial yang termasuk didalamnya yaitu basal
cell adenomas, canalicular adenomas, oncocytomas atau oxyphilic
adenomas, dan myoepitheliomas.2,

b. Tumor Jinak Nonepitelial


1) Hemangioma
Kebanyakan terajadi pada anak-anak biasnya pada kelenjar parotis.
Biasanya asimptomatik, unilateral dan massa yang kompresibel. berwarna

19
merah gelap, berlobus-lobus dan tidak berkapsul. Penanganan dengan
pemberian steroid 2-4 mg/kgBB/hari.40-60% hemengioma tidak berespon
terhadap steroid. 2

2) Limfangioma (higroma kistik)


Merupakan tumor bagian kepala dan leher yang paling sering pada
anak-anak, eksisi merupakan penanganan piliha bila tumor terletak pada
struktur yang vital.Limfangioma jarang menimbulkan gejala-gejala obstruksi
jalan napas dan eksisi biasanya untuk alasan kosmetik. 2

c. Tumor Ganas Kelenjar Liur


1) Mukoepidermoid karsinoma
Kebanyakan berasal dari kelenjar parotis dan biasanya memiliki
gradasi yang rendah.2

Presentasi yang paling umum adalah adanya massa di daerah pipi


posterior tanpa rasa sakit dan tanpa gejala > 80% pasien. Sekitar 30% dari
pasien mengeluhkan rasa sakit yang terkait dengan massa, meskipun
keganasan kelenjar parotis sebagian besar tidak sakit. Kemungkinan besar
rasa sakit menunjukkan adanya invasi perineural yang memungkinkan
adanya keganasan pada pasien dengan massa parotis.

Dari pasien dengan tumor ganas parotis, 70-20% terdapat adanya


kelemahan atau kelumpuhan saraf wajah, yang hampir tidak pernah
menyertai lesi jinak dan menunjukkan prognosis buruk. Sekitar 80% dari
pasien dengan kelumpuhan saraf wajah telah terjadi metastasis nodul pada
saat diagnosis. Pasien-pasien ini memiliki kelangsungan hidup rata-rata 2,7
tahun dan selama 10 tahun sebesar 14-26%.

Aspek penting yang lain dari anamnesis meliputi lama waktu


timbulnya massa, riwayat lesi kulit sebelumnya atau eksisi lesi parotis.
Pertumbuhan massa yang relatif lambat cenderung jinak. Riwayat adanya
karsinoma sel skuamosa, melanoma ganas, atau histiocytoma bersifat ganas

20
menunjukkan metastasis intraglandular atau metastasis ke kelenjar getah
bening parotis. Kemungkinan besar tumor parotis yang kambuh
menunjukkan reseksi awal yang tidak memadai.

Sebuah laporan adanya sakit pada telinga mungkin menunjukkan


perluasan tumor ke dalam saluran pendengaran. Adanya keluhan mati rasa
sering menunjukkan invasi saraf pada cabang kedua atau ketiga dari saraf
trigeminal.

Pada pasien dengan tumor kelenjar saliva, diindikasikan pemeriksaan


kepala dan leher secara cermat. Perhatian harus langsung pada ukuran,
lokasi dan mobilitas dari tumor. Ada atau tidak ada penekanan dari tumor
sebaiknya dicatat. Adanya paralisis nervus fasialis seharusnya meningkatkan
kecurigaan adanya suatu keganasan pada pasien, walaupun jarang, tumor
jinak dapat juga menyebabkan paralisis nervus facialis.

2) Kista Adenoid karsinoma


Tumor ini merupakan suatu basaloid tumor yang terdiri dari sel-sel
epitel dan myoepitel dengan gambaran morfologi yang bervariasi antara
cribriform, tubular, dan solid. Tumor ini merupakan neoplasma malignan
yang jarang terjadi.1,21

Tumor ini dapat mengenai semua umur dengan insiden paling tinggi
pada usia pertengahan dan usia tua. Tidak ada perbedaan insiden antara pria
dan wanita. Pertumbuhannya lambat dan kebanyakan memiliki gradasi yang
rendah. dapat berulang setelah dilakukan pembedahan, kadang-kadang
beberapa bulan setelah operasi.1,21

Gejala klinis yang terjadi pada tumor ini tergantung pada ukuran
tumor dan lokasi dari tumor. Pada lesi yang dini pada kelenjar liur, tampak
adanya massa dengan pertumbuhan yang lambat tanpa rasa nyeri pada
daerah mulut ataupun wajah. Pada lesi yang sudah lanjut, gejala yang timbul
disertai dengan rasa nyeri dan adanya nervus paralyse oleh karena sel-sel
tumor sudah menginvasi saraf perifer.1,21

21
Pemeriksaan radiologi berupa MRI dan USG dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosa terutama pada tumor yang sudah meluas
ke organ-organ sekitarnya.1,21

Pada sediaan makroskopis karsinoma ini berbentuk bulat, solid, dan


tidak berkapsul. Warna coklat terang dan konsistensi kenyal dengan ukuran
yang bervariasi. Pada pemeriksaan histopatologi, karsinoma ini mempunyai
tiga gambaran utama: tubular, cribriform, dan solid.1,21

Gambar 5. Histologi kista adenoma karsinoma

3) Adenokarsinoma
Terdapat beberapa tipe adenokarsinoma:
a) Karsinoma sel asinik
Paling banyak berasal dari kelenjar parotis dan pertumbuhannya lambat
b) Adenokarsinoma polimorfik grade rendah
Kebanyakan berasal dari kelenjar minor
c) Adenokarsinoma yang tidak dispesifikasikan:
Bila dilihat di mikroskop tumor ini memiliki penempakan yang cukup
untuk disebut adenokarsinoma, tetapi belim memiliki penampakan untuk
dispesifikasikan.sering berasal dari kelenjar parotis dan kelenjar minor.

22
d) Adenokarsinoma yang jarang:
Contohnya seperti basal sel adenokarsinoma, clear cell
adenokarsinoma, kistadenokarsinoma, sebaceus adenokarsinoma,
musinous adenokarsinoma.8
d. Mixed tumor maligna
Terdiri atas 3 tipe yaitu, ex adenoma pleomorfik, karsinosarkoma dan
mixed tumor metastasis.kasrinoma ex pleomorfik adenoma merupakan tipe
yang paling banyak. Karsinoma ex pleomorfik adenoma merupakan kanker
yang berkembang dari mixed tumor jinak (pleomorfik adenoma). Kebanyakan
terjdi pada kelenjar liur mayor. 8

e. Kanker kelenjar liur lainnya yang jarang


 squamous sel karsinoma: terutama pada laki-laki yang tua. Dapat
berkembang setelah terapi radiasi untuk kanker yang lain pada area yang
sama.
 epitelial-mioepitelial karsinoma
 anaplastik small sel karsinoma
 karsinoma yang tidak berdiferensiasi
 limfoma non hodgkin7

2.2.5 Prosedur Diagnostik


A. Pemeriksaan Klinis

1. Anamnesa
Anamnesa dengan cara menanyakan kepada penderita atau
keluarganya tentang :
a.) Keluhan
1. Pada umumnya hanya berupa benjolan soliter, tidak nyeri,
di pre/infra/retro aurikula (tumor parotis), atau di
submandibula (tumor sumandibula), atau intraoral (tumor
kelenjar liur minor)
2. Rasa nyeri sedang sampai hebat (pada keganasan parotis
atau submandibula)

23
3. Paralisis n. fasialis, 2-3% (pada keganasan parotis)
4. Disfagia, sakit tenggorok, gangguan pendengaran (lobus
profundus parotis terlibat)
5. Paralisis n.glosofaringeus, vagus, asesorius, hipoglosus,
pleksus simpatikus (pada karsinoma parotis lanjut)
6. Pembesaran kelenjar getah bening leher (metastase)
b.) Perjalanan penyakit ( progresivitas penyakit)
c.) Faktor etiologi dan resiko (radioterapi kepala leher, ekspos
radiasi)
d.) Pengobatan yang telah diberikan serta bagaimana hasil
pengobatannya
e.) Berapa lama kelambatan
Pada penelitian retrospective yang dilakukan pada 104 pasien dengan
tumor kelenjar parotis yang diterapi di ENT clinic timisoara pada
tahun 2001-2009 didapatkan gejala-gejala yang paling sering
dikeluhkan pasien, yaitu paling sering adalah konsistensi keras,
tumbuh cepat, fiksasi dalam, nyeri, nodus yang terpalpasi, keterlibatan
nervus fasialis, pembengkakan dinding faring lateral, dan keterlibatan
perubahan kulit.

2. Pemeriksaan fisik

a.) Status general


Pemeriksaan umum dari kepala sampai kaki, tentukan :
1. penampilan (Karnofski / WHO)
2. keadaan umum
adakah anemia, ikterus, periksa T,N,R,t, kepala, toraks,
abdomen, ekstremitas,vertebra, pelvis
3. apakah ada tanda dan gejala ke arah metastase jauh (paru,
tulang tengkorak, dll)
b.) Satus lokal
1. Inspeksi (termasuk inraoral, adakah pedesakan tonsil/uvula)

24
2. Palpasi (termasuk palpasi bimanual, untuk menilai
konsistensi, permukaan, mobilitas terhadap jaringan
sekitar)
3. Pemeriksaan fungsi n.VII,VIII,IX,X,XI,XII karena lintasan
nervus-nervus tersebut dekat dengan kelenjar parotis.

Gambar 6. Lintasan nervus kranialis yang dekat dengan kelenjar


parotis

c.) Status regional

Palpasi apakah ada pembesaran kelenjar getah bening leher


ipsilateral dan kontralaeral. Bila ada pembesaran tentukan
lokasinya, jumlahnya, ukuran terbesar, dan mobilitasnya.

Pemeriksaan nervus fasialis:


A. Dalam keadaan diam, perhatikan :

25
 Asimetri muka (lipatan nasolabial)
 gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang
tetanus/rhesus sardonicus, tremor, dsb)
B. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian
pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan
kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-
masing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot
platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang
tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada
stadium dini.

3. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk penegakan diagnosis tumor parotis meliputi pemeriksaan
histopatologik dan pemeriksaan radiologik ( foto polos, sialografi, CT-
Scan, dan MRI)
a. Pemeriksaan Histopatologik
 Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Fine – Needle Aspiration Biopsy)
Biopsi Aspirasi Jarum halus merupakan alat yang sederhan
untuk diagnostic. Biopsi aspirasi jarum halus memiliki kelebihan
yaitu tingkat keakuratan yang cukup tinggi dengan sensitifitas 88-
98% dan spesifitas 94% pada tumor jinak. Biopsi aspirasi jarum
halus juga sensitive dalam mendeteksi keganasan sebesar 58-98 %
dengan spesifitas 71-88%. Suatu penelitian didapatkan diagnosis
sitologi tumor jinak negatif palsu sebanyak 4 dari 27 pasien
(14.8%). Kesalahan diagnosis ini bisa disebabkan oleh bias sampel

26
(sampelnya terlalu sedikit / tidak adekuat), dan bisa juga karena
kesalahan interpretasi (salah baca). Tekhnik ini sederhana, dapat
ditoleransi dengan komplikasi yang minimal. Selain untuk
menegakan diagnosis defenitif, pemeriksaan ini juga bermanfaat
untuk menentukan tindakan tepat selanjutnya dan untuk evaluasi
preoperative..17,18
 Bedah Diagnostik
Biopsi pembedahan sebaiknya dihindari. Biopsi eksisional
dan enukleasi massa parotis berhubungan dengan peningkatan
rekurensi tumor, terutama pada adenoma pleiomorfik. Penanganan
bedah yang baik untuk tumor parotis adalah reseksi bedah komplit
melalui parotidektomi dengan identifikasi dan preservasi nervus
fasialis. Identifikasi nervus fasialis ditujukan agar dapat dilakukan
eksisi tumor yang adekuat dan mencegah cedera nervus fasialis.
Cara ini memastikan batas jaringan sehat yang adekuat disekeliling
tumor, sehingga pada kebanyakan kasus tidak hanya bersifat
diagnostic, tetapi juga kuratif. Pemeriksaan ini jarang dilakukan
dan biasanya dilakukan hanya pada pasien dengan keganasan yang
tidak dapat dioperasi. Pada kasus seperti ini, biopsy dengan insisi
terbuka berguna dalam diagnostic histopatologi dan terapi radiasi
paliatif atau kemoterapi.17
b. Pemeriksaan Radiologi
 Sialografi
Teknik ini memerlukan suntikan bahan kontras yang larut
dalam air atau minyak langsung keduktus submandibula atau
parotis. Setelah pemakaian anastesi topical pada daerah duktus,
tekanan yang lembut dilakukan pada kelenjar, dan muara duktus
yang kecil diidentifikasi oleh adanya aliran air liur. Muara duktus
dilebarkan dengan menggunakan sonde lakrimal. Kateter ukuran
18, mirip dengan jenis yang digunakan untuk pemberian cairan
intravena, atau pipa polietilen secara lembut dimasukkan sekitar 2
cm kedalam duktus.. Kateter dipastikan pada sudut mulut. Tekhnik

27
ini sama untuk kelenjar parotis dan submandibula. Bagaimanapun
kanulasi duktus kelenjar submandibula, memebutuhkan kesabaran
dari pada pelebaran duktus parotis. Film biasa sinar X diperoleh
untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat substansi radioopak,
seperti batu dalam kelenjar. Antara 1,5 dan 2 ml media kontras
disuntikan secara lembut melalui kateter kedalam kelenjar sampai
penderita merasakan adanya tekanan tetapi tidak melewati tititk
ketika penderita mengeluh nyeri. Dilakukan foto lateral, lateral
oblik, oblik, dan anteriposterior. Ketika kateter diangkat penderita
dapat diberikan sedikit sari buah lemon. Dalam 5 sampai 10 menit
pengambilan foto ulang. Normal jika seluruh media kontras
dikeluarkan dalam waktu itu. Persistensi media kontras dalam
kelenjar 24 jam setelah test ini pasti abnormal.11,12
Terdapat keuntungan dan kerugian dari bahan kontras yang
dapat larut dalam air dan lemak. Sekarang ini Pantopaque dan
Lipidol merupakan bahan kontras yang paling popular.
Sialografi lebih berguna pada gangguan – gangguan kronis
kelenjar parotis seperti sialadenitis rekuren, sindrom sjorgen, atau
obstruksi duktus seperti striktur. sialografi tidak berguna untuk
membedakan massa jinak dari massa keganasan. Sialografi
merupakan kontra indikasi terdapatnya peradangan akut kelenjar
yang baru terjadi.12
 CT-Scan
Pemeriksaan CT scan dengan kontras dapat mengetahui
letak tumor berada di lobus superfisial atau lobus profunda.
Gambaran kalsifikasi dalam massa biasanya ditemukan pada
adenoma pleomorfik. Nervus fasialis dan duktus stensen sulit
12,17, 18
dilihat dengan menggunakan CT scan.

28
Gambar 7. Tumor Parotis Ganas. Gambar menunjukkan massa
berbatas tegas dalam kelenjar parotis kiri, yang telah terbukti sebagai
adenoma pleomorfik18

 MRI lebih unggul daripada CT scan dalam memvisualisasikan tepi


tumor. Nervus fasialis dan duktus stensen dengan jelas dapat
terlihat. Bisa digunakan untuk mengetahui letak tumor parotis
berada dalam lobus superfisial atau profunda. Selain itu juga untuk
membedakan tumor jinak atau ganas. Lesi jinak biasanya tepinya
halus, dengan garis terang atau kapsul; tapi bagaimanapun juga,
banyak keganasan grade rendah yang memiliki pseudokapsul dan
gambaran seperti tumor jinak. Keganasan grade tinggi akan
menunjukkan gambaran tepi yang menginfiltrasi. 12,17,18

29
Gambar 8. Adenoma pleomorfik pada kelenjar parotis kanan potongan
axial leher11
CT-Scan dan MRI digunakan untuk menemukan tumor dan
menggambarkan luasnya. Sedangkan biopsi untuk menegaskan jenis sel.18
2.2.6 Staging Tumor Parotis
Tabel 2: Klasifikasi TNM The American Joint Committee on Cancer
(AJCC) 13

TNM Keterangan ST T N M

Tx Tumor primer tak dapat ditentukan I T1 N0 M0

T2 N0 M0

T0 Tidak ada tumor primer

T1 Tumor < 2cm, tidak ada ekstensi II T3 N0 M0


ekstraparenkim

T2 Tumor >2cm-4cm, tidak ada ekstensi III T1 N1 M0


ektraparenkim
T2 N1 M0

T3 Tumor >4cm-6cm, atau ada ekstensi IV T4 N0 M0

30
ekstraprenkim tanpa terlibat n.VII T3 N1 M0

T4 N1 M0

T4 Tumor >6cm, atau ada invasi ke n.VII/dasar Tiap N2 M0


tengkorak T
N3 M0
Tiap
Tiap M1
T
N
Tiap
T

Nx Metastase k.g.b tak dapat ditentukan

N0 Tidak ada metastase k.g.b

N1 Metastase k.g.b tunggal <3cm, ipsilateral

N2 Metastase k.g.b tunggal/multipel >3cm-6cm,


ipsilateral/bilateral/kontralateral

N2a Metastase k.g.b tunggal >3cm-6cm,


ipsilateral

N2b Metastase k.g.b multipel > 6cm, ipsilateral

N2c Metastase k.g.b > 6cm,


bilateral/kontralateral

N3 Metastase k.g.b >6cm

Mx Metastse jauh tak dapat ditentukan

M0 Tidak ada metastase jauh

M1 Metastase jauh

31
2.2.7 Penataksanaan Tumor Parotis15

Terapi pilihan utama untuk tumor kelenjar liur ialah pembedahan.


Radioterapi sebagai terapi adjuvan pasca bedah diberikan hanya atas indikasi, atau
diberikan pada karsinoma kelenjar liur yang inoperabel. Kemoterapi hanya
diberikan sebagai adjuvan, meskipun masih dalam penelitian, dan hasilnya masih
belum memuaskan.

1. Tumor operabel
a. Terapi utama ( pembedahan). Pilihan pengobatan untuk neoplasma
kelenjar parotis adalah melalui pembedahan. Sebagian besar tumor
parotis jinak dan ganas dapat diatasi dengan parotidektomi superfisial
atau total sesuai dengan lokasi tumor dengan preservasi nervus fasilis.
 Parotidektomi superfisial. Parotidektomi superfisial adalah
tindakan pengangkatan massa tumor dengan kelenjar parotis
lobus superfisial. Dilakukan pada tumor jinak parotis lobus
superfisialis.
 Parotidektomi total. Parotidektomi total adalah pengangkatan
massa tumor dengan seluruh bagian kelenjar parotis dilakukan
pada:

1. Tumor ganas parotis yang belum ada ekstensi


ekstraparenkim dan n.VII
2. Tumor jinak parotis yang mengenai lobus profundus
 Parotidektomi total diperluas, dilakukan pada: Tumor ganas
parotis yang sudah ada ekstensi ekstraparenkim atau n.VII
 Deseksi leher radikal (RND), dikerjakan pada: Ada metastase
kelenjar getah bening leher yang masih operabel
b. Terapi tambahan

Meskipun terapi primer tumor ganas kelenjar liur adalah dengan


pembedahan, terapi radiasi juga dianjurkan karena memiliki efek
menguntungkan jika digabungkan dengan pembedahan yaitu
meningkatkan hasil terapi. Selain itu berperan sebagai terapi primer untuk

32
tumor yang sudah tidak dapat direseksi. Ada keadaan di mana terapi
radiasi merupakan indikasi, yaitu:

1. high grade malignancy


2. masih ada residu makroskopis atau mikroskopis
3. tumor menempel pada syaraf ( n.fasialis, n.lingualis,
n.hipoglosus, n. asesorius )
4. setiap T3,T4
5. karsinoma residif
6. karsinoma parotis lobus profundus
Radioterapi sebaiknya dimulai 4-6 minggu setelah pembedahan
untuk memberikan penyembuhan luka operasi yang adekwat, terutama bila
telah dikerjakan alih tandur syaraf.

 Radioterapi lokal diberikan pada lapangan operasi


meliputi bekas insisi sebanyak 50 Gy dalam 5 minggu.
 Radioterapi regional/leher ipsilateral diberikan pada
T3,T4, atau high grade malignancy

Baik konvensional dan neutron-beam terapi radiasi telah


dianjurkan sebagai single-modalitas pengobatan untuk T1 dan T2
neoplasma ganas kelenjar ludah. Pendekatan ini kontroversial, tetapi dapat
dipertimbangkan jika ada kontraindikasi nyata untuk operasi.14

2. Tumor inoperabel
a. Terapi utama
Radioterapi : 65 – 70 Gy dalam 7-8 minggu
b. Terapi tambahan
Kemoterapi : Indikasi untuk kemoterapi adalah pasien dengan
tumor yang inoperable. Respon parsial atau lengkap telah
dicapai pada hingga 50% pasien, yang biasanya berlangsung 5-
8 bulan dan mungkin termasuk kontrol nyeri yang signifikan.
Sebagian besar pasien memiliki karsinoma adenoid kistik,
karsinoma mucoepidermoid, atau adenokarsinoma. Saat ini,

33
paclitaxel adalah agen yang paling sering digunakan.
Meskipun kemoterapi saja tidak meningkatkan tingkat
ketahanan hidup, integrasi radiasi dan kemoterapi telah
terbukti meningkatkan kontrol lokal dan menunjukkan
perbaikan dalam pengelolaan keganasan kelenjar ludah.14

a. Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma,


adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell
carcinoma)
-adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1
-5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1 diulang
tiap 3minggu
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2

b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell


carcinoma, mucoepidermoid carcinoma)
-methotrexate 50mg/m2 iv pada hari ke 1 dan 7
diulang tiap 3 minggu
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2

3. Metastase Kelenjar Getah Bening (N)


a. Terapi utama
 Operabel : deseksi leher radikal (RND)
 Inoperabel : radioterapi 40 Gy/+kemoterapi preoperatif,
kemudian dievaluasi
- menjadi operabel  RND
- tetap inoperabel  radioterapi dilanjutkan sampai
70Gy
b. Terapi tambahan

Radioterapi leher ipsilateral 40 Gy

4. Metastase Jauh (M)


Terapi paliatif : kemoterapi

34
a. Untuk jenis adenokarsinoma (adenoid cystic carcinoma,
adenocarcinoma, malignant mixed tumor, acinic cell
carcinoma)
-adriamisin 50mg/m2 iv pada hari 1
-5 fluorourasil 500mg/m2 iv pada hari 1 diulang
tiap 3 minggu
-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2
b. Untuk jenis karsinoma sel skuamous (squamous cell carcinoma,
mucoepidermoid carcinoma)

-methotrexate 50mg/m2 iv pd hari ke 1 dan 7


diulang tiap 3 minggu

-sisplatin 100mg/m2 iv pada hari ke 2

2.2.8 Komplikasi

Telah dilakukan penelitian selama 10 tahun antara 1996 Januari


sampai 2006 Januari pada pasien dengan tumor parotis yang telah
menjalani terapi bedah di University of Rome “La Sapienza”, Department
of Maxillo-Facial surgery. Didapatkan 135 pasien laki-laki dan 147 pasien
perempuan dengan usia antara 10 tahun sampai 85 tahun dan pasien usia
terbanyak adalah 49 tahun. Dari total 282 pasien, setelah dilakukan follow
up ±60 bulan didapatkan 26 pasien mengalami komplikasi post operasi
sebagai berikut:

35
Tabel 3. Komplikasi yang sering terjadi setelah parotidektomi

 Nervus Fasialis
Nervus fasialis adalah nervus yang melintasi kelenjar
parotis dan membaginya menjadi lobus superfisialis dan profunda.
Sekitar 15-20% kasus (15-20 dalam 100 pasien) nervus fasialisnya
mengalami trauma sehingga terjadi kelemahan pada otot-otot
fasialis. Ini biasanya sembuh dalam 14 hari sampai 3 bulan setelah
operasi dan penyembuhan bisa lebih cepat dengan latihan terapi
bicara dan bahasa. Sebanyak 1% kasus terjadi kelemahan
permanen dari nervus fasialis. Beberapa pasien mengalami
kelemahan nervus fasialis cabang-cabang tertentu saja.

 Frey’s Syndrome
Nama lain Frey’s syndrome adalah Baillarger’s syndrome,
Dupuy’s syndrome, auriculotemporal syndrome, atau Frey-
Baillarger syndrome Merupakan komplikasi tersering pada pasien
pasca operasi parotidektomi yaitu sebanyak 6 orang dari 26 pasien.
Frey’s syndrome adalah manifestasi klinik berupa kemerahan dan

36
berkeringat pada hemifasial setelah stimulus kelenjar saliva dan
mengunyah. Frey’s Syndrome ini biasanya terjadi setelah cedera
traumatik regio parotis seperti parotidektomi, fraktur kondilar,
trauma tumpul, insisi dan drainase abses. Sindrom ini bisa muncul
setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah trauma.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara tes pati-iodine. Iodine cair
dioleskan di atas kulit area preaurikular, tunggu sampai kering,
kemudian setelah itu ditaburkan pati jangung di atasnya. Minta
pasien untuk mengunyah makanan selama 5 menit untuk
merangsang gustatori. Akan tampak gambaran bercak biru
kehitaman yang berarti hasilnya positif, karena adanya kompleks
iodine-pati yang terdilusi oleh keringat.

Gambar 9. Tes pati – iodine

Patofisiologi Frey’s syndrome adalah karena regenerasi


saraf otonom yang salah arah setelah cedera area parotis. Setelah
cedera, serat saraf parasimpatis sekretomotor post ganglionik yang
seharusnyaberinervasi dengan kelenjar parotis, menjadi bergabung
dengan reseptor simpatis, dan berinervasi dengan kelenjar keringat
sehingga menyebabkan berkeringatnya gustatori. Dengan
demikian, seharusnya makanan merangsang kelenjar saliva,
menjadi merangsang kelenjar keringat. Meskipun Frey’s syndrome

37
tidak menyebabkan gangguan fisiologis yang berbahaya, namun
gejala kemerahan dan keringat berlebihan menyebabkan stres
psikologis dan sosial. 20
 Hematoma
Hematoma mengenai 3 dari 26 pasien. Terjadi karena
blokade drainase sehingga pada pasien post parotidektomi
dipasang drain untuk mencegah terjadinya hematoma.
2.2.9 Prognosis

Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histologi,


perluasan lokal dan besarnya tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher.
Jika sebelum penanganan tumor maligna telah ada kehilangan fungsi saraf,
maka prognosisnya lebih buruk. Untuk tumor maligna, pengobatan dengan
eksisi dan radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan sekitar 50%, bahkan
pada keganasan dengan derajat tertinggi. Ketahanan hidup 5 tahun kira-
kira 5%, namun hal ini masih tetap tergantung kepada histologinya.12,13,15

Faktor prognostik rendah termasuk keganasan kelas tinggi,


keterlibatan saraf, penyakit stadium lanjut, usia lanjut, rasa sakit yang
terkait, metastasis getah bening regional node, metastasis jauh, dan
akumulasi p53 atau-erbB2 c oncoproteins. Meskipun pernyataan
menyangkut kelangsungan hidup sulit dibuat karena berbagai macam jenis
histologis, 20% dari semua pasien akan berkembang menjadi metastasis
jauh. Metastasis jauh menandakan prognosis buruk, dengan kelangsungan
hidup rata-rata 4,3-7,3 bulan. Secara keseluruhan 5-tahun kelangsungan
hidup untuk semua tahap dan jenis histologis adalah sekitar 62%-72%.
Kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan untuk penyakit berulang
adalah sekitar 37%. Karena risiko kekambuhan, semua pasien yang
menderita tumor kelenjar ludah histologi yang terbukti ganas harus di
kontrol seumur hidup.12,13,15

38
2.2.10 Kontrol
Pengawasan harus terus tanpa batas waktu, sebagai kekambuhan lokal
atau metastasis jauh dapat menjadi jelas bertahun-tahun setelah pengobatan
awal. Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik secara menyeluruh setiap 3
bulan selama 2 tahun, setiap 6 bulan selama 3 tahun, kemudian setiap tahun
setelahnya. Tes fungsi hati dan rontgen dada harus diperoleh setiap tahun.9,13,16

39
1
2
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien berjenis kelamin perempuan berumur 41 tahun. Sesuai dengan


tinjauan pustaka insidensi perempuan 1.00 kasus per 100.000 perempuan
dibandingkan dengan laki-laki 1.41 per 100.000 laki-laki. Tumor parotis bisa
mengenai semua umur, namun kebanyakan pasien didiagnosis pada usia >64
tahun. Baik adenoma pleomorfik maupun adenoid kistik karsinoma, insiden
keduanya dapat terjadi pada semua umur.
Pasien datang dengan keluhan benjolan dibawah telinga kiri sejak ± 1
tahun SMRS yang semakin hari semakin membesar. Pada kasus ini, dicurigai
tumor berasal dari kelenjar parotis karena terletak di bawah telinga, dibawah
meatus akustik eksternus diantara mandibula dan otot sternokleidomastoideus.
Adenoma pleomorfik merupakan tumor tersering pada kelenjar liur dan paling
sering terjadi pada kelenjar parotis, sedangkan adenoid kistik karsinoma yang
jarang biasanya terjadi pada kelenjar liur mayor ataupun minor. Pasien tidak
mengeluh nyeri, nyeri biasanya dirasakan pada pasien yang mengalami keganasan
tumor parotis. Pada adenoid kistik karsinoma biasanya tidak ada keluhan nyeri
pada lesi yang dini karena pertumbuhannya yang lambat. Benjolan awalnya kecil,
kira-kira sebesar kelereng, makin lama makin membesar, menjadi sebesar telur
puyuh, menunjukkan bahwa adanya progresivitas dari sel tumor namun. Benjolan
tidak terasa hangat, tidak memerah, tidak demam, menunjukkan bahwa ini bukan
reaksi peradangan/inflamasi. Keluhan lain seperti bibir mencong, muka asimetris,
dan sulit menutup mata tidak ada, hal ini berarti tidak ada keterlibatan nervus
fasialis yang biasanya terjadi pada keganasan tumor parotis. Benjolan di leher dan
di tempat lain juga disangkal, hal ini menunjukkan tidak adanya metastasis ke
kelenjar limfe dan di organ jauh.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada regio parotis sinistra terdapat
benjolan, soliter, berwarna sama seperti kulit sekitar, ukuran 5x4cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, kesan mobile. Tumor parotis pada umumnya hanya berupa
benjolan soliter. Konsistensinya kenyal padat/kistik, permukaan licin, berbatas

1
tegas, tampak berkapsul, tidak nyeri, dapat digerakkan, dan ukuran terbesarnya
jarang melebihi 6 cm merupakan ciri-ciri adenomapleomorfik. Dari pemeriksaan
neurologis tidak didapatkan parese nervus VII, VII, IX, X, XII, dan XII, hal ini
menunjukkan bahwa lobus profunda tidak terlibat.
Dari pemeriksaan FNAB didapatkan hasil adenoma pleomorfik. Sesuai
dengan kepustakaan, kelainan ini paling sering pada daerah parotis, dimana
tampak sebagai pembengkakan tanpa nyeri yang bertahan untuk waktu lama di
daerah depan telinga atau daerah kaudal kelenjar parotis.11
Kemudian pasien direncanakan terapi operatif berupa parotidektomi, saat
intraoperatif didapatkan tumor berasal dari lobus superfisial sehingga akhirnya
dilakukan parotidektomi superfisial. Lalu dipasang drain untuk mengalirkan darah
dan cairan post op. Prognosis adenoma pleomorfik adalah sempurna, dengan
angka kesembuhan mencapai 96 %
Pada follow up tidak didapatkan gangguan motorik pada pasien. Hal ini
menunjukkan pasien tidak mengalami komplikasi. Hasil pemeriksaan patologi
anatomi juga menunjukkan adenoma pleomorfik. Hal ini sesuai dengan
pemeriksaan sebelumnya dengan menggunakan FNAB.

2
BAB V

KESIMPULAN

Kelenjar parotis adalah kelenjar liur yang berpasangan, berjumlah


2.Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur yang terbesar.Tumor pada ini relatif
jarang terjadi, persentasenya kurang dari 3% dari seluruh keganasan pada kepala
dan leher.Keganasan pada tumor kelenajar liur berkaitan dengan paparan radiasi,
faktor genetik, dan karsinoma pada dada. Sebagian besar tumor pada kelenjar liur
terjadi pada kelenjar parotis, dimana 75% - 85% dari seluruh tumor berasal dari
parotis dan 80% dari tumor ini adalah adenoma pleomorphic jinak (benign
pleomorphic adenomas).
Tumor kelenjar parotis baik itu jinak atau ganas akan muncul sebagai
suatu massa berbentuk soliter, berkembang diantara sel-sel pada kelenjar yang
terkena. Pertumbuhan yang cepat dari massa dan rasa sakit pada lesi itu berkaitan
dengan perubahan ke arah keganasan, tetapi bukan sebagai alat diagnostik.
Keterlibatan saraf fasialis (N.VII) umumnya sebagai indikator dari
keganasan,walaupun gejala ini hanya nampak pada 3% dari seluruh tumor parotis
dan prognosisnya buruk.
Keganasan pada kelenjar liur sebagian besar asimtomatik, tumbuhnya
lambat, dan berbentuk massa soliter. Rasa sakit didapatkan hanya 10-29% pasien
dengan keganasan pada kelenjar parotisnya.Rasa nyeri yang bersifat episodik
mengindikasikan adanya peradangan atau obstruksi daripada akibat dari
keganasan itu sendiri.Massa pada kelenjar liur yang tidak nyeri dievaluasi dengan
aspirasi menggunakan jarum halus (Fine Needle Aspiration) atau
biopsi.Pencitraan menggunakan CT-Scan dan MRI dapat membantu.Untuk tumor
ganas, pengobatan dengan eksisi dan radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan
sekitar 50%, bahkan pada keganasan dengan derajat tertinggi.
Untuk terapi dilakukan reseksi tergantung dari stadiumnya.Terapi
tambahan berupa radiasi pasca operasi atau kemoterapi dapat diberikan dengan
mempertimbangkan resiko-resiko yang harus dihadapi nantinya.Untuk tumor
maligna, pengobatan dengan eksisi dan radiasi menghasilkan tingkat kesembuhan

3
sekitar 50%, bahkan pada keganasan dengan derajat tertinggi.Untuk prognosis
sesudah terapi adekuat pada tumor benigna terjadi residif lokal kurang dari 1%
kasus.Namun, jika tumor benigna tidak diangkat secara luas, sering timbul residif
lokal.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong W. Tumor Kelenjar Liur. Dalam : R Samsuhidajat, Warko


Karnadihardja, Theddeus OH Prasetyono, Reno Rudiman, editor. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2007. h. 469-70.
2. F Christopher Holsinger, Dana T Bui. Anatomy, Function, and
Evaluation of Salivary Glands. In: Myers EN, Ferris RL editors.
Salivary Gland Disorders. Springer: Berlin; 2007. h 1-14.
3. Susan, Standring. Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical
Practise. USA: Elsevier; 2005. h. 515-18.
4. Arthur C Guyton, John E Hall. Fungsi Sekresi dari Saluran Pencernaan.
Dalam : Luqman Yanur Rachman, Huriawati hartanto, Andita Novrianti,
Nanda Wulandari, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2007. h. 1013-14.
5. William F Ganong. Fungsi Endokrin Pankreas & Pengaturan
Metabolisme Karbohidrat. Dalam: M Djauhari Widjajakusumah, editor.
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta; 2002. h. 320-39.
6. Satish Keshav. In: The Gastrointestinal System At A Glance. Australia:
Blackwell Science Ltd; 2004. h. 14-15.
7. Vinay Kumar, Ramzi S Cotran, Stanley L Robbins. Pankreas. Dalam:
Huriawati Hartanto, Nurwani Darwaniah, Nanda Wulandari, editor.
Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta; 2007. h. 711-16.
8. Kimberley Ho, Helen Lin, David K Ann, Peiguo G Chu, Yun Yen. An
Overview of The Rare Parotid Gland Cancer. Head & Neck Onconlogy
2011. h. 1-7.
9. Mulholland dkk. Greenfield's Surgery: Scientific Principles and
Practice. Edisi 4. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

5
10. Shu, Xiaochen; Ahlbom, Anders; Feychting, Maria. Incidence Trends of
Malignant Parotid Gland Tumors in Swedish and Nordic Adults 1970 to
2009.Epidemiology: September 2012. Volume 2. h. 766-67.
11. C Ungari, F Paparo, W Colangeli, G Iannetti. Parotid Glands Tumours:
Overview Of A 10-Years Experience With 282 Patients, Focusing On
231 Benign Epithelial Neoplasms. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences 2008; 12: h. 321-325.
12. Claudia-Patricia Mejía-Velázquez, Marco-Antonio Durán-Padilla, Erick
Gómez-Apo, Daniel Quezada- Rivera, Luis-Alberto Gaitán-Cepeda.
Tumors of the salivary gland in Mexicans. A re-trospective study of 360
cases. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2012 Mar 1;17 (2): h. 183-9.
13. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al., eds.: AJCC Cancer Staging
Manual. 7th ed. New York: Springer; 2010. h. 79-86.
14. A Mag, S Cotulbea, S Lupescu, H tefãnescu, C Doros, et al. Parotid
Gland Tumors. Journal of Experimental Medical and Surgical Research
2010; 4: 259-63.
15. Albar, Zafiral Azdi. Protokol PERABOI 2003 edisi 1 Cetakan 1.
Bandung : 2004
16. Ali SN, et al. diagnostic accuracy of fine needle aspiration cytology in
parotid lesion. International Scholarly Research Network. Volume 2011.
17. Moonis G. Et al. Imaging Characteristic of Recurrent Pleomorphic
Adenoma of the Parotid Gland. Am J Neuroradiol 2007; 105: h. 1532-
36. `
18. Scott, Vanderheiden. ed. Malignant Parotid Tumor Imaging. Emedicine
2011 may 27.
19. Jeannon JP, Calman F, Gleeson M, et al; Management of advanced
parotid cancer. A systematic review. Eur J Surg Oncol 2008 Nov 20.
20. Samson NG, Cathy Torjek, Allan Hovan. Management of Frey
Syndrome Using Botulinum Neurotoxin: A Case Report. CJDA
November 2009; 75: h. 651-54.
21. Lumongga F. Temuan Kasus-kasus Yang Didiagnosa Secara
Histopatologi Sebagai Cylindroma Sejak 1 Januari 1997-31 Oktober

6
2007. 2008. (diakses 22 Mei 2013). Tersedia
dari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2046/1/09E01468.p
df

Anda mungkin juga menyukai