Anda di halaman 1dari 5

FAKTOR RESIKO TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT

Abi Andayu
Puskesmas Muara Aman, Kabupaten Lebong.
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya. (kemenkes)
TB merupakan satu dari 10 besar penyebab kematian di dunia pada tahun 2018 serta
merupakan penyebab kematian utama pada pasien dengan HIV dan berhubungan dengan
resistensi antibiotik. Pada tahun 2018 ada sekitar 10 juta kasus TB baru di seluruh dunia.
Delapan negara yang menyumbang 66% kasus baru yaitu Cina, Indonesia, Filipina, Pakistan,
Nigeria, Bangladesh dan Afrika Selatan. Di seluruh dunia pada tahun 2018, 484.000 pasien
menderita TB dengan resistensi obat rifampicin , yang merupakan obat lini pertama yang
paling efektif, dari angka ini 78% mengalami TB-MDR. (who)
Di indonesia sendiri angka notifikasi kasus yaitu angka yang menggambarkan cakupan
penemuan kasus TB, pada tahun 2015 untuk semua kasus yaitu 117 per 100.000 penduduk.
Pasien TB-MDR yang diobati pada tahun 2015 yaitu 1.566 orang, angka ini mengalami
kenaikan sejak tahun 2009 yaitu hanya 34 orang pasien TB-MDR yang diobati.
(infodatin2016)
Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kuman sudah tidak
dapat lagi dibunuh dengan OAT. Penatalaksanaan TB resistan OAT lebih rumit dan
memerlukan perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resistan.
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB, yaitu:
a. Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
b. Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan
rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol (RE),
isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin, ethambutol dan streptomisin (RES).
c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa
OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
d. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat
golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin,
dan amikasin).
e. Total Drug Resistan (Total DR). Resistansi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini
kedua) yang sudah dipakai saat ini.
Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia
sebagai akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik.
(permenkes 13)

SEMBUH
Pasien dikatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) dan
minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif.
Beberapa studi menunjukkan hasil bahwa pada pasien yang menyelesaikan pengobatan
hingga sembuh lebih sedikit terdiagnosis dengan TB- MDR
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tuberkulosis Resistan Obat


Penatalaksanaan pasien TB yang
tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi :
1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :
Diagnosis tidak tepat,
Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak
adekuat,
Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat
2. Pasien, yaitu karena :
Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
Tidak teratur menelan paduan OAT,
Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
Gangguan penyerapan obat
3. Program Pengendalian TB , yaitu karena :
Persediaan OAT yang kurang
Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).
1. Obat untuk TB dengan resistensi isoniazid
Pada pasien dengan sensitif rifampicin dan resistensi isoniazid, diterapi dengan
rifampicin, etambutol, pirazinamide dan levofloxacin selama 6 bulan. Tidak disarankan
penggunaan streptomicin atau obat injeksi lainnya.

2. The composition of longer MDR-TB regimens


pada pasien dengan lober regimen, semua obat grup A dan minimal satu obat golongan B dapat
diberikan supaya memberikan pengobatan yang efektif.
3Group A = levofloxacin/moxifloxacin, bedaquiline, linezolid; Group B = clofazimine, cycloserine/terizidone; Group C = ethambutol,
delamanid, pyrazinamide, imipenem–cilastatin, meropenem, amikacin (streptomycin), ethionamide/prothionamide, p-aminosalicylic
acid (see also Table 2.1).
bila hanya satu/ dua obat olongan A yang digunakan, maka kedua obat golongan B harus
diberikan. Bila komposisi tidak mungkin diberikan dari golongan A dan B maka, obat golongan C
dapat digunakan unttuk melengkapinya.
Kanamycin dan capreomycin tidak digunakan pada terapi MDR/RR-TB patients on longer
regimens.
Bedaquiline harus diberikan pada pasien > 18 tahun, dan boleh diberikan pada pasien usia 6–17
tahun.
Linezolid harus diberikan of MDR/RR-TB patients on longer regimens.
Clofazimine and cycloserine or terizidone boleh diberikan pada terapi of MDR/RR-TB patients on
longer regimens.
Ethambutol boleh diberikan pada terapi MDR/RR-TB patients on longer regimens.
Delamanid may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients aged 3 years or more on
longer regimens.
Pyrazinamide may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients on longer regimens.
Imipenem–cilastatin or meropenem may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients on
longer regimens.4
4Imipenem–cilastatin and meropenem are administered with clavulanic acid, which is available only in formulations combined with
amoxicillin (amoxicillin–clavulanic acid). When included, clavulanic acid is not counted as an additional effective TB agent and should
not be used without imipenem–cilastatin or meropenem.
Amikacin may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients aged 18 years or more on
longer regimens when susceptibility has been demonstrated and adequate measures to monitor
for adverse reactions can be ensured. If amikacin is not available, streptomycin may replace
amikacin under the same conditions.

Ethionamide or prothionamide may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients on


longer regimens only if bedaquiline, linezolid, clofazimine or delamanid are not used or if better
options to compose a regimen are not possible.
• p-aminosalicylic acid may be included in the treatment of MDR/RR-TB patients on longer
regimens only if bedaquiline, linezolid, clofazimine or delamanid are not used or if better options
to compose a regimen are not possible.
• Clavulanic acid should not be included in the treatment of MDR/RR-TB patients on longer
regimens.4
3. The duration of longer MDR-TB regimens
In MDR/RR-TB patients on longer regimens, a total treatment duration of 18–20 months is
suggested for most patients; the duration may be modified according to the patient’s response to
therapy.
In MDR/RR-TB patients on longer regimens, a treatment duration of 15–17 months after culture
conversion is suggested for most patients; the duration may be modified according to the
patient’s response to therapy.
In MDR/RR-TB patients on longer regimens that contain amikacin or streptomycin, an intensive
phase of 6–7 months is suggested for most patients; the duration may be modified according to
the patient’s response to therapy.

4. Use of the standardized, shorter MDR-TB regimen


In MDR/RR-TB patients who have not been previously treated for more than 1 month with
second-line medicines used in the shorter MDR-TB regimen or in whom resistance to
fluoroquinolones and second-line injectable agents has been excluded, a shorter MDR-TB
regimen of 9–12 months may be used instead of the longer regimens.

5. Monitoring patient response to MDR-TB treatment using culture


In MDR/RR-TB patients on longer regimens, the performance of sputum culture in addition to
sputum smear microscopy is recommended to monitor treatment response. It is desirable for
sputum culture to be repeated at monthly intervals.

6. Start of antiretroviral therapy in patients on second-line antituberculosis regimens


terapi Antiretroviral therapy direkomendasikan pada seluruh pasien dengan HIV positif dan DR-TB
requiring second-line antituberculosis drugs, irrespective of CD4 cell count, as early as possible
(within the first 8 weeks) following initiation of antituberculosis treatment.

7. Surgery for patients on MDR-TB treatment


pada pasien dengan RR-TB atau MDR-TB, reseksi parsial paru elektif bisa dilakuakan selama
pemberian obat.

8. Care and support for patients with MDR/RR-TB


edukasi kesehatan dan kenseling penyakit dan terapi harus diberikan kepada pasien yang sedang
diterapi.
A package of treatment adherence interventions5 may be offered to patients on TB treatment in
conjunction with the selection of a suitable treatment administration option.6
One or more of the following treatment adherence interventions (complementary and not
mutually exclusive) may be offered to patients on TB treatment or to health-care providers:

Suspek TB Resistan Obat (permenkes 13


Suspek TB Resistan Obat adalah semua orang yang mempunyai
gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah ini:
a. Pasien TB kronik
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah
pemberian sisipan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g. Pasien TB yang kembali setelah lalai berobat/default
h. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB MDR
i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian
OAT

Strategi Diagnosis TB MDR.


Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan
dengan metode standar yang tersedia di Indonesia:
a. Metode konvensional
Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media cair
(MGIT).
b. Tes Cepat (Rapid Test).
Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.
Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah
pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.

Anda mungkin juga menyukai