Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 1808045026
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. ANATOMI
I. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal danoksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
2
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Durameter
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur
dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
3. Pia mater
3
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan
IV. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otakdepan) terdiri dari
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi
keseimbangan.
4
V. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
VII. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-
vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.
B. SUBDURAL HEMORRHAGE
1. Definisi
Perdarahan subdural akut (PSD akut ) merupakan salah satu penyakit bedah syaraf
yang mempunyai mortalitas relative tinggi apakah penderita dioperasi atau tidak . Oleh
5
karena itu perdarahan subdural perlu mendapatkan perhatian baik di dalam pengetahuan
2006).
Pendarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut dan bentuk kronis
(subakut). Pendarahan subdural akut untuk kasus-kasus pendarahan subdural yang dioperasi
dalam waktu 24 jam, sedangkan pendarahan subdural kronis merupakan pendarahan subdural
yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur
yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya
menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya
arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.
Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan
ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
6
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu
lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut
lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral, malfromasi
shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui
• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis,
terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada
pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih
tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien
robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di
7
dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana vena tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-
Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau
diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari
memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan
goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome). Perdarahan yang tidak
terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan terbentuk jaringan ikat yang menyerupai
kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan
mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial
vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak mengecil, sehingga walaupun
8
hanya mengalami trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena
perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih
lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa
hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik pada
bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh
darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini
peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan
intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu
titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan juga
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan
4. Manifestasi klinis
9
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada
saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma. Penderita dengan
trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang menybabkan pasien tidak
sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan hematoma subdural yang
lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya
benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan
dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya
trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat
membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah terjadinya trauma
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat cedera otak
primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit motorik adalah gejala
klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim
otak umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap
defisit motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan
indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak
sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau
karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.
Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma
menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih
ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada hematoma
subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat
efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
10
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,
diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.
5. Tatalaksana
a) Operasi
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih
scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien.
(surgical guideline)
Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai terhadap
local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki
polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase
kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana
hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering digunakan untuk
SDH kronis. Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat dengan
11
lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30 mm pada
tengkorak.Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi
sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan kenyal
apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut
bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini juga merupakan
metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang
keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter bedah
subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang
dan menutup ruang subdural, atau terdapat membran yang tebal. Pada craniostomy dibuat
sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom,
tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau
dapat juga dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang diangkat akan ditanam
pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam
b) Terapi Konservatif
pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi
12
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan
terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti
hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang
kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.
Selain itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum
hemostasis sangatlah penting pada semua pasien dengan subdural hematoma. Semua
pasien yang sedang dalam pengobatan anti koagulasi harus menghentikan penggunaan
antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan serial
PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan
fibrinogen.
Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor penting
dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator,
Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat
oleh kortikosteroid.
Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang
terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan
13
doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor
14
Parameter Penyakit / Nilai Normal 19/12/2019 20/12/2019 21/12/2019 22/12/2019 23/12/2019 24/23/2019 25/12
Tanda Vital
Tanggal
Tekanan Darah (mm Hg) 140/90 155/90 164/97 160/90 162/89 160/90 158/88
Nadi (kali per menit) 100x/menit 55 71 88 85 80 85
15
Suhu Badan (oC) 36 - 37 OC 37 37 37 37 36 36
Respirasi (kali per menit) 20x/menit 20 20 20 20 20 20
Nyeri kepala +++ +++ ++ + + +
KELUHAN
Tangan pegal ++ ++ + + + +
Hematokrit 40-52 34
Eritrosit 4,40-5,90 3,70
Limfosit 25-40 6,9
Terapi (Nama Obat, Aturan Pakai 19/12/2019 20/12/2019 21/12/2019 22/12/2019 23/12/2019 24/12/2019 25/12
Kekuataan)
PARENTERAL
16
20/12/2019 Subjekytif Rekomendasi :
Pasien mengeluhkan nyeri kepala (nyeri post operasi), 1. Pemberian jeda waktu pemberian
pegel di tangan sebelah kanan (kelemahan anggota gerak) antara phenythoin dan tramadol
Monitoring
1. Frekuensi kegelisahan dan
Objektif kejang pada pasien
Diagnosa DPJP : subdural hemorrhage post borehole 2. Nyeri post operasi
Terapi sesuai instruksi DPJP 3. Tanda tanda infeksi luka operasi
Cr : 0,85
Limfosit : 23
Asesment :
1. Potensi interaksi phenythoin dengan tramadol
dapat menurunkan efektivitas dari tramadol
21/12/19
Subjekytif Rekomendasi :
Nyeri post operasi berkurang 1. Pemberian analgesik NSAID
Nyeri menelan untuk pengatasan anti nyeri pada
pasien.
Objektif
Diagnosa DPJP : subdural hemorrhage post borehole Monitoring
Terapi sesuai instruksi DPJP 1. nyeri post operasi
2. nyeri menelan
Asesment : 3. tanda tanda infeksi luka operasi
1. Pasien mengalami nyeri belum di terapi
17
BAB II
PEMBAHASAN
benturan di kepala sejak 2 bulan lalu akibat terjatuh di sawah. Pusing dirasakkan
oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu, dan pasien mengalami kelemahan anggota
gerak sebelah kiri. Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Ajibarang
otak dan penutup terluar, hal ini dapat terjadi disebabkan adanya cedera kepala
yang cukup kuat sehingga menimbulkan pecahnya pembuluh darah. Darah yang
terkumpul dapat menekan otak. Sakit kepala, kebingungan, muntah, bicara cadel,
penurunan kesadaran mungkin dapat muncul segera atau mingguan setelah terjadi
cedera kepala.
SDH yang dialami oleh pasien dipicu oleh peristiwa cedera kepala yaitu
pasien jatuh disawah dan kepala membentur tanah. Karena adanya suatu cedera
sehingga darah berkumpul dan menekan otak. Pendarahan subdural ini terjadi di
ruang subdura. Ruang subdura berada di antara durameter dan selaput arachnoid.
Durameter merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
18
selaput arachnoid yang berada dibawahnya, maka terdapat ruang potensial yang
pasien ini, metode ini dilakukan diagnosa SDH kronis dengan cara membuat
lubang kecil berukuran 30 mm pada tengkorak. Lubang ini yang akan digunakan
untuk mengeluarkan hematoma yang biasanya berbentuk solid dan kenyal. Sekitar
lebih dari seperlima penderita SDH kronis mempunyai volume hematoma lebih
sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu profilaksis primer dan propilaksis sekunder
kekambuhan atau reaktivasi dari infeksi yang sudah pernah terjadi. (Kurniawan ,
2012). Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum
atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-
19
atau melemahkan seluruh pathogen (Kemenkes RI, 2011). Dalam kasus ini operasi
bersih. Dimana kita ketahui ada beberapa jenis kriteria operasi yang menggunakan
antibiotik diantaranya :
traktur atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata (tidak selalu
resikonya)
sal. Nafas yang terinfeksi atau oprasi yang melibatkan daerah yang
purulen. Oprasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau
antibiotik profilaksis)
20
Pada proses operatif pasien ini digunakan antibiotik terapi vicillin
operasi berjalan dari 06.15-06.45 (30 menit) dengan lama anastesi 1 jam.
Penggunaan antibiotik pada proses operasi yang ideal itu terdiri dari waktu
dari 2 jam, sedangkan lama operasi yang harus di cover adalah 3 jam, maka
dengan cara menyuntikan obat anestesi parenteral ke dalam pembuluh darah vena.
jaringan lipofilik dengan perfusi tinggi (otak dan korda spinalis), sehingga mula
Anastesi yang digunakan pada pasien ini termasuk anastesi umum, dimana
sehingga pasien tidak memberikan respon terhadap perintah lisan namun berespon
setelah rangsangan nyeri berulang. Pada tahap anastesi umum ini memiliki resiko
penurunan ventilasi secara spontan, maka dari itu dibutuhkan bantuan ventilasi
21
umum yang diberikan untuk induksi karena durasinya yang cepat, depresi reflex
yang memiliki mula kerja dan lama kerja yang relatif lebih singkat, serta memiliki
efek antiemetik sehingga dianggap menjadi anestesi yang ideal baik utuk induksi
konduksi chloride channel dan terjadi hiperpolarisasi di membran sel post sinaps.
Propofol juga diduga menginduksi potensiasi dari reseptor glisin pada tingkat
et al., 2008; Morgan, 2013). Propofol memiliki mula kerja yang cepat 15-20 detik
mg) dosis yang diberikan 50 mg masih masuk dalam rentang dosis yang
dianjurkan.
Anastesi terdiri dari dari 2 hal yaitu sedasi dan analgesia, analgesia disini
yang dimaksud adalah efek anti nyeri yang diharapkan setelah proses operasi
berlangsung. Pada pasien ini diberikan analgesia fentanyl 100 µg dan pethidin 50
22
mg. Fentanil merupakan salah satu obat golongan opioid yang memiliki efek
anelgesik poten dengan kekuatan 100X morfin dan dapat digunakan sebagai
anestesi imbang untuk melindungi terhadap nyeri, mengurangi respon somatik dan
(Bajwa et al., 2010). Fentanil bekerja di sistem saraf sentral dengan mengikat
reseptor μ opioid agonist dengan sedikit berpengaruh pada reseptor delta dan
kappa yang berikatan dengan protein G di otak dan korda spinalis sehingga
sistem ascending (Morgan, 2013). Fentanyl memiliki mula kerja yang cepat juga 3
menit dan memiliki T1/2 eleminasi 2-4 jam, yang berarti analgesia fentanyl
mampu meberikan efek anti nyeri pada pasien post operatif selama 3 jam ke
pasien 50 kg (25 – 100 mcg) pasien mendapatkan 100 mcg masih termasuk dalam
Pethidin disini juga sebagai analgesia yang memiliki onset rapid (cepat)
dalam memberikan efek anti nyeri pasca operasi selesai, petidine juga memiliki
T1/2 eleminasi 2,5-4 jam yang artinya mampu mengcover sifat analgesia nya
Semua derivat eter yang mudah menguap (volatile) atau berbentuk gas
(gaseous) yang keduanya diberikan secara inhalasi dan diserap melalui pertukaran
sevofluran, sedangkan anestetik gas meliputi nitrosa oksida, xenon, dll (Uhrig et
al., 2014). Pemakaian anestesi inhalasi melalui inhalasi dari paru yang diteruskan
23
keseluruh jaringan melalui darah. Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi
ditentukan oleh sifat fisik yang meliputi ambilan oleh gas, difusi gas dari paru ke
darah, dan distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya (Wirjoatmodjo, 2000;
Latief dkk, 2002). Obat-obat anestesi inhalasi digunakan untuk induksi dan
ketidaknyamanan adalah bau dan sifat iritasi saluran pernapasan (Zunilda, 2007).
Pengunaan obat selama di rawat inap pasca operasi yang terdiri dari
dan keterolac injeksi. Dalam kasus ini digunakan Antibiotik terapi pasca operasi
t1/2 eleminasi kurang dari 2 jam, dan pemberian nya 3x sehari 1,5 gram mampu
untuk mencegah terjadinya infeksi pasca operasi, hal tersebut dapat dilihat pada
proses ganti balut pasien tidak terdapat lesi di luka robekan pasca operasi.
mengurangi nyeri yang dialami pasien. Penggunaan analgesik ini sudah adequat
dalam mengatasi nyeri pada pasien dilihat dari asessmen nyeri yang sudah
semakin berkurang.
24
DAFTAR PUSTAKA
Bontrager, Kenneth L dan John P. Lampignano. 2014. Textbook of
Radiographic Positioning and Related Anatomy. St
Louis: Elsevier Mosby.
Gibson, John. 2003. Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
25
26