Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PEMBELAJARAN KLINIK

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO


PERIvODE 16 DESEMBER 2019 – 8 FEBUARI 2020
STASE BEDAH (BANGSAL CEMPAKA)

POST OPERATIF BURR HOLE DRAINAGE SUBDURAL HEMORRHAGE


KRONIK

NAMA : TANTRI RACHMAYANI

NIM : 1808045026

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER FARMASI KLINIK


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. ANATOMI
I. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau

kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galeaaponeurotika,

loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar danpericranium

II. Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal danoksipital. Kalvaria

khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.

Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak

akibat proses akselerasi dan deselerasi.Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :

fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior

ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.


III. Meningen

2
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:

1. Durameter

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus

ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara

duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur

dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan

menyebabkan perdarahan epidural. Yang palin gsering mengalami cedera adalah

arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,

disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang

terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan

akibat cedera kepala.

3. Pia mater

3
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

IV. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14

kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otakdepan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan hombensefalon (otak

belakang) terdiri dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat

kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan

keseimbangan.

Apabila diuraikan lebih detail, :

4
V. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen

monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan

direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada

sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio

arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan

intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml

dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari


VI. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri

dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii

posterior).
VII. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuksirkulus Willisi. Vena-

vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus

cranialis.

B. SUBDURAL HEMORRHAGE
1. Definisi
Perdarahan subdural akut (PSD akut ) merupakan salah satu penyakit bedah syaraf

yang mempunyai mortalitas relative tinggi apakah penderita dioperasi atau tidak . Oleh

5
karena itu perdarahan subdural perlu mendapatkan perhatian baik di dalam pengetahuan

patofisiologinya maupun di dalam penguasaan tindakan menanggulanginya (Satrodiningrat,

2006).
Pendarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut dan bentuk kronis

(subakut). Pendarahan subdural akut untuk kasus-kasus pendarahan subdural yang dioperasi

dalam waktu 24 jam, sedangkan pendarahan subdural kronis merupakan pendarahan subdural

yang manifes dalam waktu 48-72 jam.


2. Etiologi
Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan

pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak.Fraktur

yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur

yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya

menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak

(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya

arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.

Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat,

seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan

vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak

ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak

6
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu

lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut

lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak

terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.

Hematoma subdural akut dapat terjadi pada :


• Trauma kapitis
• Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan

hepar, trombositopeni)
• Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma serebral, malfromasi

arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural.


• Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
• Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal

shunt)
• Child abuse atau shaken baby sybdrome
• Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :

• Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi
• Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
• Spontan atau idiopatik
• Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis,

epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk aspirin), penyakit

kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus.


Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan

terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada

pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih

tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien

dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin


3. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat

robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di

7
dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan

cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya

posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di

mana vena tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-

gejala akut menyerupai hematoma epidural.


Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal.

Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau

diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura

interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara

hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari

arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan

memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan

subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan karena

goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome). Perdarahan yang tidak

terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan terbentuk jaringan ikat yang menyerupai

kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan

mengembung sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial

yang meningkat secara perlahan-lahan.

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Bridging

vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak mengecil, sehingga walaupun

8
hanya mengalami trauma ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.

Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini

menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena

perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih

lama dibandingkan pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa

hari. Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada

hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula baik pada

bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh

darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada

membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari

perdarahan subdural kronik.


Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari

cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini

peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan

intrakranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu

titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai

berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.

Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi

herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh

meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik, didapatkan juga

bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih terganggu dibandingkan dengan

daerah otak yang lainnya

4. Manifestasi klinis

9
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada

saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume hematoma. Penderita dengan

trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang menybabkan pasien tidak

sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan hematoma subdural yang

lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya

benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan

ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita

dengan benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya

trauma. Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat

membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah terjadinya trauma
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat cedera otak

primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan defisit motorik adalah gejala

klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim

otak umumnya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap

defisit motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak merupakan

indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma. Gejala defisit motorik dapat tidak

sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau

karena terjadi kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.

Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma

menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil ini lebih

dipercaya sebagai indikator letak hematoma subdural.


Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada tingkat yang

ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran pada hematoma

subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali apabila terdapat

efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari

10
peningkatan tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema,

diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan defisit neurologis lainnya.

5. Tatalaksana
a) Operasi
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi

terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis dengan

kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala neurologis masih

merupakan hal yang controversial.


 Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm pada CT

scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat GCS pasien.

(surgical guideline)
 Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)

harus dilakukan monitor tekanan intracranial.


 Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan

midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot

Metode Operasi

Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai terhadap

SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:

 Twist drill Trephination/Craniostomy procedure


TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat dibawah anatesi

local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan untuk pasien yang terutama memiliki

polimorbid dengan kemungkinan hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase

tertutupdiletakkan saat operasi untuk menyediakan drainase yang kontinyu dan

memberikan brain expansion setelah operasi.TDC dilakukan dengan membuat lubang

kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada kasus dimana

hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane yang menyelubungi.
 Burr Hole Craniotomy
BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering digunakan untuk

SDH kronis. Burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat dengan

11
lokal anestesi. BHC dilakukan dengan membuat lubang kecil berukuran 30 mm pada

tengkorak.Pada saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi

sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan kenyal

apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut

mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.


 Craniotomy with or without craniectomy
Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga memberikan dokter

bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi yang luas. Metoda ini juga merupakan

metoda yang paling invasif, karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang

keluar, dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter bedah

sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika terdapat rekumulasi pada

subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi, kegagalan otak untuk mengembang

dan menutup ruang subdural, atau terdapat membran yang tebal. Pada craniostomy dibuat

sebagian tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi hematom,

tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu defek pada tulang tengkorak. Atau

dapat juga dilakukan craniectomy, dimana bagian tengkorak yang diangkat akan ditanam

pada peritoneum, sambil menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam

kembali ke lokasi asalnya.

b) Terapi Konservatif

Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang

asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang memiliki

resiko tinggi untuk dilakukan operasi.Meskipun metoda drainase operatif menjadi

pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi beberapa kasus dapat terjadi

reabsorbsi spontan dari SDH kronis.

12
Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan

terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang muncul seperti

hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada tidaknya tanda – tanda yang

menunjukkan herniasi transtentorial seperti abnormalitas pada pupil, memberikan tanda

kepada tenaga medis untuk mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.

Selain itu pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur

memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga secara umum

terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan

 Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)


 Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
 Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
 Umur pasien kurang dari 40 tahun.
Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:
 Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat muncul dengan koagulopati dan

memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya. Perbaikan terhadap faal

hemostasis sangatlah penting pada semua pasien dengan subdural hematoma. Semua

pasien yang sedang dalam pengobatan anti koagulasi harus menghentikan penggunaan

antiplatelet atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan serial

PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR, dan level platelet dan

fibrinogen.

 Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi faktor penting

dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti : Tissue plasminogen activator,

Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat

oleh kortikosteroid.
 Penatalaksanaan tekanan intrakranial

Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang yang

terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat dijelaskan menggunakan

13
doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan hubungan antara volume otak, cairan likuor

cerebrospinal, dan aliran darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM


INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Rasman Nomor RM : 02123325


Tgl lahir/Umur : 77 tahun BB :50 kg; TB : - cm; Kamar : cempaka
RPM : penurunan kesadaran RPD : -
DPJP : Diagnosis : Subdural Hemorrhage post Borehole
RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN

14
Parameter Penyakit / Nilai Normal 19/12/2019 20/12/2019 21/12/2019 22/12/2019 23/12/2019 24/23/2019 25/12
Tanda Vital

Tanggal
Tekanan Darah (mm Hg) 140/90 155/90 164/97 160/90 162/89 160/90 158/88
Nadi (kali per menit) 100x/menit 55 71 88 85 80 85

15
Suhu Badan (oC) 36 - 37 OC 37 37 37 37 36 36
Respirasi (kali per menit) 20x/menit 20 20 20 20 20 20
Nyeri kepala +++ +++ ++ + + +
KELUHAN

Tangan pegal ++ ++ + + + +

Laboratorium Rutin / Nilai Normal 19/12/2019 20/12/2019 21/12/2019 22/12/2019 23/12/2019


Tanggal
Leukosit 3800-10600 12070
Hb 13,2-17,3 11,1
Laboratorium

Hematokrit 40-52 34
Eritrosit 4,40-5,90 3,70
Limfosit 25-40 6,9

Terapi (Nama Obat, Aturan Pakai 19/12/2019 20/12/2019 21/12/2019 22/12/2019 23/12/2019 24/12/2019 25/12
Kekuataan)
PARENTERAL

Vicillin SX inj 3x 1,5 gram √ √ √ √


Tramadol inj 3x 100 mg √ √ √ √
Phenythoin inj 3x 100 mg √ √ √ √ √ √
Mecobalamin inj 1x500 mcg √ √ √ √
Cefixime inj 2x100 mg √ √
Ranitidin inj 2x50 mg √ √
Paracetamol Inj 3x500 mg √ √
Cefixime 3x100 mg √
ORAL Asam mefenamat 3x500 mg √
Phenythoin 3x 100 mg √
Infus RL √
NaCl 0,9 % 20 tpm √ √ √ √ √ √
I.V.F.D.

Diisi oleh Apoteker yang merawat :


BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu

RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM


INSTALASI FARMASI

Nama : Tn. Rasman Nomor RM : 02123325


Tgl lahir/Umur : 77 tahun BB :50 kg; TB : - cm; Kamar : cempaka
RPM : penurunan kesadaran RPD : -
DPJP : Diagnosis : subdural hemorrhage post borehole
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (2)
Diisi oleh Apoteker yang merawat :

Asuhan Kefarmasian Nama &


Tanggal &
Paraf
Jam Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Planning Apoteker

16
20/12/2019 Subjekytif Rekomendasi :
Pasien mengeluhkan nyeri kepala (nyeri post operasi), 1. Pemberian jeda waktu pemberian
pegel di tangan sebelah kanan (kelemahan anggota gerak) antara phenythoin dan tramadol
Monitoring
1. Frekuensi kegelisahan dan
Objektif kejang pada pasien
Diagnosa DPJP : subdural hemorrhage post borehole 2. Nyeri post operasi
Terapi sesuai instruksi DPJP 3. Tanda tanda infeksi luka operasi
Cr : 0,85
Limfosit : 23

Asesment :
1. Potensi interaksi phenythoin dengan tramadol
dapat menurunkan efektivitas dari tramadol

21/12/19

Subjekytif Rekomendasi :
Nyeri post operasi berkurang 1. Pemberian analgesik NSAID
Nyeri menelan untuk pengatasan anti nyeri pada
pasien.
Objektif
Diagnosa DPJP : subdural hemorrhage post borehole Monitoring
Terapi sesuai instruksi DPJP 1. nyeri post operasi
2. nyeri menelan
Asesment : 3. tanda tanda infeksi luka operasi
1. Pasien mengalami nyeri belum di terapi

17
BAB II
PEMBAHASAN

Tuan Rasman umur 77 tahun MRS pada tanggal 19 desember dengan

penurunan kesadaran dan langsung dirujuk ke ICU. Diketahui pasien mengalami

benturan di kepala sejak 2 bulan lalu akibat terjatuh di sawah. Pusing dirasakkan

oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu, dan pasien mengalami kelemahan anggota

gerak sebelah kiri. Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Ajibarang

dengan diagnosa Subdural Hemorrhage, terapi yang sudah diberikan sebagai

pertolongan pertama adalah infus manitol 4x125cc, inj.piracetam 2x3 gram,

inj.mecobalamin 3x500mg, inj.ranitidin 2x50 mg.

Subdural Hemorrhage (SDH) merupakan pendarahan yang terjadi diantara

otak dan penutup terluar, hal ini dapat terjadi disebabkan adanya cedera kepala

yang cukup kuat sehingga menimbulkan pecahnya pembuluh darah. Darah yang

terkumpul dapat menekan otak. Sakit kepala, kebingungan, muntah, bicara cadel,

penurunan kesadaran mungkin dapat muncul segera atau mingguan setelah terjadi

cedera kepala.

SDH yang dialami oleh pasien dipicu oleh peristiwa cedera kepala yaitu

pasien jatuh disawah dan kepala membentur tanah. Karena adanya suatu cedera

kepala dengan derajat kuat yang menimbulkan pecahnya pembuluh darah

sehingga darah berkumpul dan menekan otak. Pendarahan subdural ini terjadi di

ruang subdura. Ruang subdura berada di antara durameter dan selaput arachnoid.

Durameter merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang

melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada

18
selaput arachnoid yang berada dibawahnya, maka terdapat ruang potensial yang

dinamakan ruang subdura.

Terapi SDH non operatif/konservatif dan operatif. Beberapa metode dapat

digunakan untuk terapi operatif,diantaranya yaitu twist drill trephination/

Craniotomy procedure , Burr Hole Craniotomy , Craniotomy with or without

ceaniectomy. Terapi konservatif dilakukan diantaranya dengan : koreksi faal

hemostasi, kortikosteroid, penatalaksanaan tekanan intrakranial.

Burr Hole Craniotomy merupakan metode operatif yang dilakukan pada

pasien ini, metode ini dilakukan diagnosa SDH kronis dengan cara membuat

lubang kecil berukuran 30 mm pada tengkorak. Lubang ini yang akan digunakan

untuk mengeluarkan hematoma yang biasanya berbentuk solid dan kenyal. Sekitar

lebih dari seperlima penderita SDH kronis mempunyai volume hematoma lebih

dari 200 ml.

Antibiotik profilaksis merupakan terapi pencegahan infeksi. Profilaksis

sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu profilaksis primer dan propilaksis sekunder

(supresi) atau eradiksi. Profilaksis primer dimaksudkan utuk pencegahan infeksi

awal, sedangkan profilaksis sekunder dimaksudkan untuk pencegahan

kekambuhan atau reaktivasi dari infeksi yang sudah pernah terjadi. (Kurniawan ,

2012). Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum

terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya,

atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-

obatan profilaksis harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai

kemungkinan terbesar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh

19
atau melemahkan seluruh pathogen (Kemenkes RI, 2011). Dalam kasus ini operasi

yang akan dilakukan pada pasien tidak memerlukan antibiotik profilaksis,

dikarenakan proses operasi yang dilakukan pada Bp.Rasman merupakan operasi

bersih. Dimana kita ketahui ada beberapa jenis kriteria operasi yang menggunakan

antibiotik diantaranya :

a. Operasi bersih merupakan operasi dengan prabedah tanpa infeksi, tanpa

membuka traktur, operasi terencana atau penutupan kulit primer dengan

atau tanpa digunakan drain tertutup (tidak menggunakan antibiotik

profilaksis, kecuali operasi mata,jantung dan sendi)

b. Operasi bersih-kontaminasi merupakan operasi yang dilakukan pada

traktur atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata (tidak selalu

menggunakan antibiotik profilaksis, apabila menggunakan harus

mempertimbangkan resiko kemanfaatan lebih besar dibandngkan

resikonya)

c. Operasi kontaminasi merupakan operasi yang membuka sal.cerna,

sal.empedu, sal.kelamin, sal.nafas sampai osofaring, sal.reproduksi kecuali

ovarium (memerlukan antibiotik terapi)

d. Operasi kotor merupakan operasi yang perforasi sal.cerna, sal.urogenital,

sal. Nafas yang terinfeksi atau oprasi yang melibatkan daerah yang

purulen. Oprasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau

terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor (memerlukan

antibiotik profilaksis)

20
Pada proses operatif pasien ini digunakan antibiotik terapi vicillin

(ampicillin) yang memiliki T1/2 eleminasi 1-1,8 jam (medscape,2019). Proses

operasi berjalan dari 06.15-06.45 (30 menit) dengan lama anastesi 1 jam.

Penggunaan antibiotik pada proses operasi yang ideal itu terdiri dari waktu

operasi ditambah 3 jam termasuk proses menutup kulit yang dioperasi.

Dikarenakan antibiotik terapi (ampicillin) yang digunakan memiliki T1/2 kurang

dari 2 jam, sedangkan lama operasi yang harus di cover adalah 3 jam, maka

diperlukan pemberian antibiotik terapi secara continue.

Pada saat operasi berlangsung, tidak lepas dengan yang namanya

anastesi. Anastesi merupakan suatu tindakan yang menimbulkan efek sedasi

(hilangnya kesadaran) dan analgesia pada prosedure tindakan baik diagnostik

maupun terapetik(Permenkes,2015). Pemakaian anestesi intravena dilakukan

dengan cara menyuntikan obat anestesi parenteral ke dalam pembuluh darah vena.

Anestetik intravena bersifat lipofilik sehingga cenderung terdistribusi ke dalam

jaringan lipofilik dengan perfusi tinggi (otak dan korda spinalis), sehingga mula

kerja anestetik intravena cepat.

Anastesi yang digunakan pada pasien ini termasuk anastesi umum, dimana

anastesi umum ini menggunakan obat dimana tingkat kesadaran menurun

sehingga pasien tidak memberikan respon terhadap perintah lisan namun berespon

setelah rangsangan nyeri berulang. Pada tahap anastesi umum ini memiliki resiko

penurunan ventilasi secara spontan, maka dari itu dibutuhkan bantuan ventilasi

dan membuka jalan nafas(Permenkes,2015). Pada pasien ini digunakan Propofol

50 mg dan Isoflurane sebagai efek sedasi. Propofol merupakan golongan anastesi

21
umum yang diberikan untuk induksi karena durasinya yang cepat, depresi reflex

faring dan menurunkan insiden PONV sedangkan Isoflurane dapat digunakan

untuk induksi inhalasi (Permenkes,2015). Propofol adalah obat anestesi intravena

yang memiliki mula kerja dan lama kerja yang relatif lebih singkat, serta memiliki

efek antiemetik sehingga dianggap menjadi anestesi yang ideal baik utuk induksi

anestesi atau pemeliharaan. Mekanisme kerja propofol diperkirakan melalui

penguatan arus klorida yang diperantarai oleh kompleks GABAA. GABA

merupakan salah satu neurotransmitter penghambat di Sistem Saraf Pusat (SSP).

Interaksi propofol dengan reseptor asam γ-aminobutirat-A (GABAA) menurunkan

dan menghambat sinaps dari neurotransmiter. Sehingga, menutup saluran kalsium

dan meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui peningkatan

konduksi chloride channel dan terjadi hiperpolarisasi di membran sel post sinaps.

Propofol juga diduga menginduksi potensiasi dari reseptor glisin pada tingkat

spinal sehingga menghambat fungsi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) (Kotani

et al., 2008; Morgan, 2013). Propofol memiliki mula kerja yang cepat 15-20 detik

dengan T1/2 eleminasi 40 menit, hal tersebut menandakan propofol dapat

digunakan pada pasien tersebut yang melakukan operasi selama 30 menit

(medscape,2019). Dosis literatur propofol 1-2 mg/kgBB pasien BB 50 kg (50-100

mg) dosis yang diberikan 50 mg masih masuk dalam rentang dosis yang

dianjurkan.

Anastesi terdiri dari dari 2 hal yaitu sedasi dan analgesia, analgesia disini

yang dimaksud adalah efek anti nyeri yang diharapkan setelah proses operasi

berlangsung. Pada pasien ini diberikan analgesia fentanyl 100 µg dan pethidin 50

22
mg. Fentanil merupakan salah satu obat golongan opioid yang memiliki efek

anelgesik poten dengan kekuatan 100X morfin dan dapat digunakan sebagai

anestesi imbang untuk melindungi terhadap nyeri, mengurangi respon somatik dan

autonom, menjaga stabilitas hemodinamik dan mengurangi depresi pernapasan

(Bajwa et al., 2010). Fentanil bekerja di sistem saraf sentral dengan mengikat

reseptor μ opioid agonist dengan sedikit berpengaruh pada reseptor delta dan

kappa yang berikatan dengan protein G di otak dan korda spinalis sehingga

menyebabkan hiperpolarisasi membran dan untuk menghambat sinyal nyeri dari

sistem ascending (Morgan, 2013). Fentanyl memiliki mula kerja yang cepat juga 3

menit dan memiliki T1/2 eleminasi 2-4 jam, yang berarti analgesia fentanyl

mampu meberikan efek anti nyeri pada pasien post operatif selama 3 jam ke

depan(medscape,2019).Dosis literatur fentanyl 0,5-2 mcg/kgBB berat badan

pasien 50 kg (25 – 100 mcg) pasien mendapatkan 100 mcg masih termasuk dalam

dosis yang dianjurkan.

Pethidin disini juga sebagai analgesia yang memiliki onset rapid (cepat)

dalam memberikan efek anti nyeri pasca operasi selesai, petidine juga memiliki

T1/2 eleminasi 2,5-4 jam yang artinya mampu mengcover sifat analgesia nya

selama e jam setelah operasi selesai (medscape,2019).

Semua derivat eter yang mudah menguap (volatile) atau berbentuk gas

(gaseous) yang keduanya diberikan secara inhalasi dan diserap melalui pertukaran

gas di alveolus. Anestetik volatile meliputi halotan, enfluran, isofluran, desfluran,

sevofluran, sedangkan anestetik gas meliputi nitrosa oksida, xenon, dll (Uhrig et

al., 2014). Pemakaian anestesi inhalasi melalui inhalasi dari paru yang diteruskan

23
keseluruh jaringan melalui darah. Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi

ditentukan oleh sifat fisik yang meliputi ambilan oleh gas, difusi gas dari paru ke

darah, dan distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya (Wirjoatmodjo, 2000;

Latief dkk, 2002). Obat-obat anestesi inhalasi digunakan untuk induksi dan

pemeliharaan anestesi (Morgan, 2013). Sifat anestetik inhalasi menyebabkan

ketidaknyamanan adalah bau dan sifat iritasi saluran pernapasan (Zunilda, 2007).

Pengunaan obat selama di rawat inap pasca operasi yang terdiri dari

Vicillin injeksi, mecobalamin injeksi, tramadol injeksi, natrium fenitoin injeksi

dan keterolac injeksi. Dalam kasus ini digunakan Antibiotik terapi pasca operasi

adalah Vicillin yang kandungan nya Ampicillin. Dimana Ampicillin merupakan

antibiotik golongan penisillin yang memiliki spektrum luas. Ampicillin memiliki

t1/2 eleminasi kurang dari 2 jam, dan pemberian nya 3x sehari 1,5 gram mampu

untuk mencegah terjadinya infeksi pasca operasi, hal tersebut dapat dilihat pada

proses ganti balut pasien tidak terdapat lesi di luka robekan pasca operasi.

Penggunaan keterolac injeksi merupakan golongan NSAID yang diberikan untuk

mengurangi nyeri yang dialami pasien. Penggunaan analgesik ini sudah adequat

dalam mengatasi nyeri pada pasien dilihat dari asessmen nyeri yang sudah

semakin berkurang.

24
DAFTAR PUSTAKA
Bontrager, Kenneth L dan John P. Lampignano. 2014. Textbook of
Radiographic Positioning and Related Anatomy. St
Louis: Elsevier Mosby.

DepKes. 2013. Peraturan MenKes No. 80 tentang Penyelenggaraan


Pekerjaan dan Praktik Fisioterapi. Jakarta.

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy. Eleventh edition. Blackwell: Australia

Fairchild, Sheryl L. 2013. Principles & Techniques of Patient Care. China:


Elsevier Mosby.

Gibson, John. 2003. Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Helmi Zairin, N, 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:


Salemba Medika.

Jhonson, Joshua. 2012. Funcional Rehabilitation of Low Back Pain With


Core Stability Exercise: Suggestion for Exercise and
Progressions in Athletes. Tesis. Logan, Utah State
University.

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques.


USA: Philadelphia.

Lotke, Paul A dkk. 2008. Lippincott’s Primary Care Orthopaedics. China:


Philadelphia. .

Moore, Keith L dan A. M. R. Agur. 2013. Clinically Oriented Anatomy.


Philladhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

25
26

Anda mungkin juga menyukai