Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu
proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan
hiperkolesterolemia (Gilda G, 2014). Penyakit ini berlaku secara tiba-tiba justru
berlanjut secara progresif dan tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi
ditemukan pada anak berusia 3-4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1.
Biasanya dijumpai oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat
proteinuria berat (Ponnusamy, Kalai Selvie, 2015). Kadang -kadang terdapat juga
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sedimen urin bisa juga normal
namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20 eritrosit per lapangan pandang besar)
dicurigai adanya lesi glomerular misalnya sklerosis glomerulus fokal (Ponnusamy,
Kalai Selvie, 2015). Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya
dirawat di rumah sakit degan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut : Pengukuran berat badan dan tinggi badan, Pengukuran tekanan darah,
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik atau purpura Henoch-Schӧnlein, Mencari fokus infeksi di gigi-
geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu
sebelum terapi steroid dimulai, Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan
profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT). Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya
dilakukan bila terdapat edema anasarca yang berat atau disertai komplikasi muntah,
infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah. Kekambuhan terus menerus pada anak dengan sindrom nefrotik dapat
menimbulkan masalah besar pada kesehatan anak baik dalam hal kualitas hidup, proses
tumbuh – kembang, maupun dampak efek samping dari pengobatan steroid dalam
jangka waktu panjang (Raharja Indra NA,2014). Oleh karena itu, penegakkan diagnosis
yang tepat dan cepat penting untuk menentukan penatalaksanaan holistic pada anak
dengan sindrom nefrotik sehingga risiko kekambuhan dapat ditekan (Raharja Indra
NA,2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penyakit sindrom nefrotik serta
mengimplementasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan sindrom nefrotik.
2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien An.Y dengan


sindrom nefrotik.
b. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian secara komprehensif pada pasien
An.Y dengan sindrom nefrotik
c. Mahasiswa mampu membuat analisa data pada pasien An.Y dengan sindrom
nefrotik
d. Mahasiswa mampu menentukan rencana keperawatan pada pasien An.Y dengan
sindrom nefrotik
e. Mahasiswa mampu mengimplementasikan asuhan keperawatan pada pasien
An.Y dengan sindrom nefrotik
f. Mahasiswa mampu membuat evaluasi asuhan keperawatan pada pasien An.Y
dengan sindrom nefrotik
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh kelainan
glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam),
hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml), dan hiperkolesterolemia melebihi
250mg/dl Tanda – tanda tersebut dijumpai pada kondisi rusaknya membran kapiler
glomerulus yang signifikan dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran
glomerulus terhadap protein (Ponnusamy, Kalai Selvie, 2015). Pada An.Y seluruh
tubuhnya bengkak atau terjadi edema anasarca. Hasil pemeriksaan laboratorium
diperoleh hasil kadar ureum dalam darah 65,9 mg/dl dan kreatinin 3,74 mg/dl hal ini
menunjukan hasil bahwa kadar ureum dan kreatinin dalam darah tinggi , artinya proses
rearbsorbsi yang dilakukan ginjal tidak berjalan pada semestinya sehingga zat sisa
dalam tubuh yang harusnya terbuang Bersama urine masih berada di dalam tubuh. Hasil
pemeriksaan urin juga di peroleh kadar protein urine +4, ini menunjukan bahwa protein
yang seharusnya diserap kembali oleh tubuh ikut keluar Bersama urine, sehingga tubuh
kekurangan protein. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan permeabilitas kapiler
darah sehingga cairan keluar dari inravaskuler menuju intersisial maka terjadilah
edema. An Y memperoleh terapi transfuse albumin sebanyak 100cc karena mengalami
kelebihan volume cairan sehingga diperlukan monitoring ketat terkait balance cairan
dan diberi diet tinggi protein. Pada kasus tersebut pasien mengeluh nyeri kepala setelah
terapi tranfusi albumin namun tidak ada pemberian obat anti nyeri.
B. Saran
Kelompok menyadari asuhan keperawatan ini masih belum dilakukan secara maksimal.
Kelompok beraharap pembaca dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien post
operasi apendisitis pada An.Y yang dibuat oleh kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

Gilda G. 2014. Pengaruh Suplementasi Kapsul Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin
Dan Berat Badan Pada Anak Dengan Sindrom Nefrotik. Diakses pada tanggal 20 november
2018 pada : http://eprints.undip.ac.id/44647/

Ponnusamy, Kalai Selvie. 2015. Angka Kejadian Relaps Sindrom Nefrotik pada Anak yang
diterapi dengan Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2009
sampai 2010. Diakses pada tanggal 20 november 2018 pada :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/52808

Raharja Indra NA. 2014. Profil Sindrom Nefrotik Di Poliklinik Anak Rsup Fatmawati. Diakses
pada tanggal 20 November 2018 pada :
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29836/1/INDRA%20NUR%20AK
HIR%20RAHARJA-FKIK.pdf

Anda mungkin juga menyukai