Anda di halaman 1dari 13

DIAN LARSWATI ZURIAH

135010100111046
PENGANTAR ANTROKUM KELAS E / 27

ANALISIS PEMANFAATAN CAGAR ALAM PULAU SEMPU YANG TIDAK SESUAI


DENGAN KETENTUAN PASAL 33 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN
2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN
PELESTARIAN ALAM

1. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan hayati terbesar kedua di dunia
setelah Brazil atau dalam istilah lainnya disebut mega biodivesrsity.1 Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki ciri alam yang unik, asli dan indah dengan keanekaragaman flora, fauna,
beserta ekosistemnya yang harus dijaga, dilindungi, serta dilestarikan. Dalam rangka melindungi
kekayaann hayati tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah yaitu menetapkan
beberapa kawasan di Indonesia sebagai kawasan konservasi Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa) serta kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Wisata, Taman Hutan
Raya).
Di Indonesia sendiri memiliki 245 kawasan cagar alam dengan luas total kurang lebih
4.485.230 ha2.2 Satu diantaranya adalah kawasan Cagar Alam Pulau Sempu yang secara
administratif terletak di Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing
Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu ini sudah ditetapkan
sebagai Cagar Alam sejak tahun 1928 berdasarkan Besluit van den Gouverneur Generaal van
Nederlandsch Indie Nomor 69 dan Nomor 46 tertanggal 15 Maret 1928 tentang Aanwijzing van
het Natourmonument Poelau Sempoe dengan luas sekitar 877 ha2. Selain dalam ketetapan
tersebut, penetapan Pulau Sempu sebagai kawasan Cagar Alam juga terdapat pada Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia Nomor: 47/Kpts-11/1999 yang disahkan
pada 15 Juni 1999.
1
Moch. Indrawan, Biologi Konservasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 3.
2
Hari Purnomo, Bambang Sulistyantara dan Andi Gunawan, Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Pulau
Sempu, Jawa Timur, Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Volume 10, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembanga Perubahan Ikim dan Kebijakan ISSN: 1979-6013 Terakreditasi No
493/AU2/P2M-LIPI/08/2012, Bogor: LIPI, hlm. 248.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehuanan Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kawasan Cagar Alam, Pulau
Sempu berada di bawah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur.
Badan ini bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindugan Hutan dan Konservasi Alam,
yang secara struktural berada di bawah naungan Kementerian Kehutanan.
Secara geografis, kawasan Caagar Alam Pulau Sempu ini memiiki topografi yang
berbentuk bukit dengan ketinggian 50-100 meter dari permukaan laut dengan bentang alam dari
arah timur ke barat memiliki panjang kurang lebih 3,9 km dan dari arah utara ke selatan kurang
lebih 3,6 km. Pulau yang terletak antara 112 o40’45” Bujur Timur dan 8o24’54” Lintang Selatan
ini berbatasan dengan Selat Sempu (Sendang Biru) di sisi utarannya, langsung berhadapan
dengan Samudera Hindia di sisi selatannya, sedangkan di sisi timur dan barat kawasan ini
didominasi oleh ekosistem hutan pantai dan mangrove. Di dalam kawasan Pulau Sempu terdapat
beberapa titik potensi alam yang indah, antara lain Telaga Lele, Telaga Sat, Pantai Waru-Waru,
Pantai Pasir Panjang, Goa Macan, Pantai Air Tawar, Segara Anakan, dan lain sebagainya.

Gambar. Peta Cagar Alam Pulau Sempu dengan Beberapa Titik Objek Potensi Alamnya

Dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan segala kekhasan jenis
keanekaragaman hayati beserta gejala alam dan ekosistemnya pada suatu kawasan yang telah
ditetapkan sebagai Cagar Alam memerlukan upaya perlidungan dan pelestarian agar keberadaan
dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Dengan demikian, sudah seharusnya
pengelolaan yang dilakukan berjalan selaras dengan tujuan dari pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup yang berdasarkan asas tanggung jawab negara, berkelanjutan dan asas manfaat.
Berdasarkan hal tersebut, telah jelas bahwa manusia sebagai pihak yang memanfaatkan
alam akan berhubungan langsung dengan lingkungan hidup dan keduanya memiliki keterkaitan
dan ketergantungan yang erat dalam keberadaannya. Apabila manusia itu menjaga keseimbangan
dan kelestarian lingkungan hidup, maka lingkungan hidup itu juga akan menghasilkan jasa
lingkungan yang bermanfaat dan berkepanjangan bagi kehidupan manusia baik di masa sekarang
maupun di masa yang akan datang.

2. PERATURAN YANG DILANGGAR


Peruntukan pemanfaatan kawasan Cagar Alam telah diatur dalam Pasal 33 Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawsan
Pelestarian Alam, yang menjelaskan bahwa:
Cagar Alam dapat dimanfaaakan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pegembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d. pemanfataan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Dalam ketentuan di atas yang dimaksud dengan kegiatan penelitian dan pegembangan
ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan atau instansi
terkait dengan tujuan meneliti suatu kehidupan vegetasi maupun spesies yang masih alami di
dalam kawasan Cagar Alam sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kemudian yang dimaksud dengan kegiatan pendidikan dan peningkatan kesadartahuan
konservasi alam merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak pengelola Cagar Alam (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam terkait) kepada para stakeholder yang terdiri dari Pemerintah
Daerah, lembaga konservasi, lembaga swadaya masyarakat, perguuruan tinggi, sekolah, lembaga
penelitian, perusahaan, serta masyarakat luas dengan cara menghimbau dan mengajak untuk
bersama-sama menjaga kelestarian dan keutuhan kawasan Cagar Alam melalui kegiatan
pendidikan di dalam kawsan tersebut agar para stakeholder paham dan mengerti akan pentingnya
kesadartahuan konservasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemanfaatan Cagar Alam untuk penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon merupakan bagian dari jasa kawasan ini untuk menyerap unsur karbon yang
dilepas ke udara dan menyimpannya sehingga unsur karbon tersebut terikat di dalam dan/atau di
atas permukaan tanah yang dapat mengurangi dampak pemanasan global.
Yang terakhir adalah pemanfaatan sumber plasma nutfah di kawasan Cagar Alam
bertujuan untuk memanfaatkan sumber plasma nutfah atau sejenis spesies baru yang baru lahir
agar dilestarikan kemudian dikembangbiakkan sehingga menghasilkan keturunan yang lebih
anyak lagi sebagai peunjang budidaya di dalam kawasan tersebut.
Walau begitu, untuk dapat melakukan pemanfaatan tersebut pun, para pihak yang
berkepentingan harus memiliki izin yang telah disetujui terlebih dahulu oleh pihak yang
berwenang mengingat izin memiliki fungsi penertib dan sebagai fungsi pengatur. 3 Penolakan izin
juga dimungkinkan jika kriteria yang telah ditetapkan dalam permohonan izin tidak terpenuhi.
Surat izin untuk melakukan kegiatan di kawasan konservasi Cagar Alam ini dinamakan Surat Izin
Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang dimohonkan melalui prosedur tertentu.
Namun, pada fakta yang ada di lapangan, pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Sempu
tidak berjalan semestinya karena tidak sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan
Pemerintah. Hal itu dapat ditunjukkan dari banyaknya pihak yang dapat keluar masuk kawasan
dengan mudah untuk kegiatan diluar pemanfaatan yang telah diatur dalam peraturan tersebut
(pariwisata) tanpa menggunakan SIMAKSI sebagaimana yang telah ditentukan tetapi hal inilah
yang justru diinginkan masyarakat sekitar Pulau Sempu.
Dengan demikian status Cagar Alam Pulau Sempu tengah menghadapi sebuah dilema
yang besar, karena dihadapkan pada dua sisi yang saling berlawanan, yaitu pemanfaatan Pulau
Sempu murni sebagai Cagar Alam, dan di sisi lain adanya potensi alam Pulau Sempu
dimanfaatkan sebagai wana wisata alam yang turut mendongkrak perekonomian masyarakat
sekitar kawasan tersebut.

3
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 168.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan mengkaji dan menelaah
pemanfaatan Cagar Alam Pulau Sempu ditinjau dari Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam
penelitian ini, Peneliti menggunakan pendekatan yuridis sosiologis dimana Peneliti berusaha
untuk mengidentifikasi penerapan kaidah hukum yang ada di masyarakat serta menelaah norma
yang hidup di masyarakat. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji efektifitas pemanfaatan
Pulau Sempu sebagai Cagar Alam yang dikaitkan dengn kenyataan di lapangan.
Perihal teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan dari penelitian pemanfaatan cagar Alam
Pulau Sempu ini, yaitu sebagai berikut:
a. Waktu Pelaksanaan Penelitian : Minggu, 6 desember 2015
b. Lokasi Penelitian : Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu, Dusun Sendang
Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan,
Kabupaten Malang
c. Responden Penelitian : 1) Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu (Setiyadi)
2) Sample rombongan calon wisatawan Pulau Sempu
3) Masyarakat sekitar (Koordinator Penyeberangan
Sendangbiru - Pulau Sempu dan sample nelayan sekaligus
Pemandu Wisata )
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer yang
diperoleh langsung dari lapangan melalui teknik wawancara dan observasi, kemudian data
sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis yang kuat
serta berbagai data lainnya yang diperlukan dalam penyusunan laporan penelitian. Dalam analisis
data, Peneliti menggunakan teknik deskriptif analisis dengan menelaah seluruh data yang
didapatkan dari lapangan maupun studi kepustakaan untuk disusun, diolah dan dianalisis agar
mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah ditetapkan dalam penelitian.
Dalam proses pelaksanaan penelitian hingga pembentukan laporan, Peneliti menemui
beberapa hambatan, diantaranya yaitu:
a. Lokasi penelitian yang cukup jauh dari Kota Malang diperlukan menempuh perjalanan kurang
lebih 2 jam dan terbatasnya waktu, menyebabkan Peneliti tidak berkesempatan
mendokumentasikan berbagai kegiatan di kawasan Pulau Sempu yang pada umumnya
dipenuhi oleh kegiatan pariwisata;
b. Pihak Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu susah ditemui, dan kantornya dalam kondisi
kosong tidak ada seorang pun hanya ada. Hingga 2 (dua) jam kemudian Kepala Resort
(Setiyadi) datang. Permasalahan berlanjut ketika proses wawancara, Kepala Resort bersikap
kurang kooperatif dalam memberikan penjelasan dan terkesan menutupi fakta negatif yang ada
di lapangan terkait pemanfaatan Pulau Sempu sebagai destinasi wisata;
c. Penjelasan antara Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu (Setiyadi) terkait
sosialisasi status Pulau Sempu sebagai Cagar Alam kepada masyarakat sekitar bertentangan
dengan penjelasan Koordinator Penyeberangan Kapal Sendang Biru – Pulau Sempu, sehingga
Peneliti memutuskan untuk mengambil sample lebih banyak lagi dari masyarakat (nelayan)
yang juga memiliki profesi tambahan sebagai pemandu wisata Pulau Sempu agar mendapatkan
jawaban yang sesuai dengan kenyataan di lapangan;
d. Sebagian besar sample rombongan calon wisatawan yang akan mengunjungi Pulau Sempu
tanpa SIMAKSI lebih memilih diam tidak berkomentar apapun setelah mengetahui bahwa
Pulau Sempu bukanlah wana wisata alam sebagaimana stigma yang beredar di masyarakat
melainkan sebagai kawasan konservasi Cagar Alam, namun mereka tetap mengunjungi bahkan
banyak yang akan bermalam di Cagar Alam tersebut; dan
e. Dari sekian banyak orang baik yang akan mengunjungi dan yang tengah berada di Pulau
Sempu, Peneliti tidak menemukan satupun pengunjung yang dilengkapi dengan SIMAKSI dari
pihak yang berwenang, sehingga salah satu tujuan penelitian untuk memaparkan contoh nyata
pada pembahasan di laporan ini terkait pemanfaatan Pulau Sempu yang sesuai dengan
peruntukkannya berdasarkan peraturan berlaku tidak dapat terpenuhi.
Walaupun beberapa hambatan ditemui, namun Peneliti tetap semangat dalam menjalankan proses
penelitian serta penyelesaian laporannya. Dari berbagai permasalahan yang ada, diharapkan dapat
dijadikan sebagai pembelajaran dan bekal untuk melakukan penelitian selanjutnya.

4. HASIL PENELITIAN
Pada kenyataannya, Pulau Sempu memiliki potensi objek wisata yang sangat menarik.
Selama ini, Pulau Sempu sering dianggap menjadi satu bagian dari objek wisata Sendang Biru,
sementara yang sebenarnya Pulau Sempu sama sekali berbeda dengan wisata Sendang Biru yang
pengelolaannya dipegang oleh pihak Perhutani Kabupaten Malang. Yang disayangkan, karena
objek wisata Sendang Biru ini tidak begitu diperhatikan oleh pihak Perhutani tersebut maka
banyak wisatawan yang kemudian mengalihkan destinasi wisatanya ke Pulau Sempu. Dan
dimulai sekitar tahun 2008, banyak artikel yang tersedia di internet menuangkan review
pengalaman orang-orang yang pernah ke Pulau Sempu sehingga mulai maraknya agen-agen tour
and travel yang menawarkan paket wisata dengan harga relatif terjangkau kepada masyarakat
luas untuk turut sera menikmati keindahan Pulau Sempu. Semakin tersebar luaslah keindahan
Pulau Sempu sebagai wana wisata eksotis dari mulut ke mulut.
Bahkan prosentase pengunjung Pulau Sempu semakin meningkat dari tahun ke tahun
dengan tujuan utama berwisata bukan untuk melakukan pemanfaatan sebagaimana yang telah
dianjurkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawsan Pelestarian Alam. Kegiatan
wisata ini dapat dikategorikan wisata yang illegal. Berikut merupakan data peningkatan
pengunjung ke kawasan cagar Alam Pulau Sempu yang tercatat di Resort Konservasi Wilayah
Pulau Sempu.
Tahun Jumlah Pengunjung
2009 1.687 orang
2010 5.419 orang
2011 11.145 orang
2012 21.958 orang
2013 26.872 orang
2014 29.742 orang
Tabel. Jumlah Pengunjung Cagar Alam Pulau Sempu Tahun 2009-2014

Disinilah titik mula pergeseran pemanfaatan dan fungsi Pulau Sempu sebagai kawasan
Cagar Alam yang menimbulkan terancamnya kelestarian kawasan dan juga rusaknya ekosistem di
Pulau Sempu. Ditambah lagi banyaknya hambatan yang dialami oleh Unit pelaksana Teknis
(Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu) dalam menjalankan tugasnya berimbas menambah
tantangan dalam penjagaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu supaya tetap lestari semakin berat.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

a. Kesadaran Pengunjung Lemah


Hambatan yang terus terjadi dan susah untuk diberantas adalah aktifitas para pengunjung tanpa
SIMAKSI yang tetap bersih keras masuk ke dalam kawasan Pulau Sempu walaupun sudah
diperingatkan ternyata memiliki kesadaran rendah akan status kawasan konservasi. Jumlah
pengunjung yang semakin meningkat berbanding lurus dengan aktifitas massal yang semakin
tidak terkendali di kawasan ini mengakibatkan rusaknya ekosistem dan sampah juga turut
mewarnai di banyak titik kawasan Pulau Sempu.
b. Adanya Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepsi yang dimaksud terjadi antara pengelola kawasan Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten Malang selaku pemangku
wilayah administratif. Pihak pengelola kawasan menyatakan, bahwa status Pulau Sempu
merupakan Cagar Alam yang pemanfaatannya hanya dapat dilakukan guna kegiatan penelitian,
pendidikan, penyerapan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah saja. Namun di sisi
lain, Pemerintah Kabupaten Malang beserta jajaran di bawahnya berpendapat bahwa memang
benar Pulau Sempu sebagai cagar Alam, tetapi juga sebagai tempat wisata yang menjanjikan
dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber pemasukan daerah dari sektor pariwisata dan
semakin menjual nama Kabupaten Malang agar semakin dikenal khalayak luas.
c. Keterbatasan Dana
Dana yang telah dianggarkan untuk pengelolaan dan pelestarian Cagar Alam Pulau Sempu ini
tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan berkala, antara lain
inventarisasi keanekaragaman hayati dan non hayati, pembangunan serta perbaikan sarana dan
prasarana, kegiatan monitoring kawasan, dan lain sebagainya yang memang memerlukan dana
yang cukup besar. Karena hal ini lah menjadikan salah satu pertimbangan mengapa pihak
Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu pada akhirnya tetap mengizinkan wisatawan masuk
ke dalam kawasan ini, dengan salah satu sayarat membayar “uang kas” guna menutupi
keterbatasan dana agar program kerja tetap bisa terlaksana.
d. Kurangnya Sumber Daya Manusia
Pulau Sempu memiliki cakupan luas yang meliputi wilayah darat dan perairan di
sekelilingnya. Tentu saja dalam hal monitoring berkala, Pulau Sempu membutuhkan Sumber
Daya Manusia yang mencukupi ditambah dengan pengetahuan yang memadahi. Namun,
anggota pihak Unit Pelaksana Teknis yang diterjunkan di lapangan sangatlah minim ditambah
rendahnya kehadiran petugas lapangan ini di kantornya maupun di kawasan Cagar Alam Pulau
Sempu. Sehingga menyebabkan pengawasan dan penjagaan kawasan sejauh ini belum efektif.
e. Penegakan hukum yang lemah
Salah satu faktor dalam perlindungan dan pengelolaan Cagar Alam Pulau Sempu adalah
adanya kepastian hukum dari setiap kebijakan yang dibuat dan juga dalam implementasinya.
Hal ini dikarenakan oleh beberapa aspek yang mempengaruhi seperti minimnya jumlah polisi
hutan, rendahnya kehadiran petugas di lapangan, kurangnya berbagai macam fasilitas
pendukung, hingga kurangnya koordinasi antar sektor terkait. Begitu juga dengan sanksi yang
diberikan kepada para pengunjung tanpa SIMAKSI dengan tujuan berwisata hanya berupa
teguran semata yang sifatnya pun tidak tegas dan tidak mengikat. Sehingga sanksi yang
demikian sama sekali tidak memberikan efek jera untuk keluar masuk kawasan Cagar Alam
Pulau Sempu.
Oleh karena status Pulau Sempu sampai saat ini merupakan Cagar Alam, maka pihak
Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu yang diperintahkan oleh Balai Besar Konservasi
Sumber daya Alam Jawa Timur dan didesak oleh para aktivis lingkungan berupaya untuk
menghentikan semua kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemanfaatan cagar Alam
di Pulau Sempu agar mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah lagi akibat aktifitas
manusia di dalamnnya. Namun uapaya tersebut kerapkali mendapatkan hambatan karena
benturan permasalahan perekonomian masyarakat sekitar yang banyak tergantung dari Pulau
Sempu tersebut sebagai destinasi wisata. Apabila dihentikan, maka ada dampak yang
ditimbulkan, antara lain:
a. Mematikan perekonomian masyarakat sekitar karena mereka otomatis kehilangan penghasilan
tambahan;
b. Terjadinya konflik-konflik antar berbagai kepentingan; dan
c. Adanya ancaman kerusakan yang lebih parah pada kawasan Cagar Alam Pulau Sempu yang
kemungkinan akan dilakukan oleh para warga sekitar.
Sebagai upaya menciptakan suatu kebijakan yang adil dan tidak merugikan pihak
manapun maka berbagai dinas terkait, masyarakat, dan juga stakeholder lainnya mengadakan
suatu mediasi bersama untuk berunding perihal kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, yang dari
agenda ini menghasilkan berbagai upaya, diantaranya:
a. Pengajuan usulan agar sebagian kawasan Cagar Alam Pulau Sempu dicabut statusnya dan
digantikan dengan status Taman Wisata Alam;
b. Memperkuat sumber daya manusia untuk mengoptimalkan fungsi kawasan dengan turut
melibatkan masyarakat setempat;
c. Pembangunan dan penambahan sarana dan prasarana, yaitu: menara pengawas, jalan patrol,
sarana komunikasi, perlengkapan medis dan survival, peralatan dokumentasi dan pengolahan
data serta kapal boat guna monitoring area pantai dan telaga di sekitar kawasan;
d. Peningkatan kontrol lapang yang meliputi pemantauan dan pengawasan kawasan Cagar Alam
Pulau Sempu sehingga dapat dilaksanakan seminggu sekali;
e. Pengembangan pengelolaan kawasan yang terintegrasi dan terkoordinasi secara sistematis
antar pihak terkait;
f. Peningkatan frekuensi penyuluhan kesadaran dan kepedulian untuk meningkatkan apresiasi
seluruh lapisan masyarakat terhadap keberadaan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu, sehingga
menciptakan kolaborasi pengelolaan dengan masyarakat; dan
g. Penguatan penegakkan hukum melalui sanksi yang tegas.
Berdasarkan pemapaaran di atas, untuk mendukung status Cagar Alam Pulau Sempu dan
kelestarian kawasannya maka diperlukan upaya strategis melalui kerjasama terintegrasi dari
berbagai pihak yang dapat dilakukan mulai dari tingkat perencanaan sampai dengan penerapan di
lapangan akan menjawab permasalahan yang ada. Dengan pelibatan aktif masyarakat yang
ditempatkan juga sebagai subjek pengelola kawasan Cagar Alam akan membawa dampak positif
bagi pulihnya kawasan Pulau Sempu.

5. DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika.
Hari Purnomo, dkk, 2012, Peluang Usaha Ekowisata di Kawasan Pulau Sempu, Jawa Timur,
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Volume 10, Bogor: LIPI.
Moch. Indrawan, 2007, Biologi Konservasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu

Melakukan wawancara dengan Bapak Setyadi (Kepala Resort Konservasi Wilayah Pulau Sempu)

Bapak Setyadi yang menjelaskan terkait pengelolaan Pulau Sempu


Salah satu polisi hutan yang menerangkan pelegalan beberapa titik di Pulau Sempu untuk wisata

Dokumentasi fauna di Pulau Sempu

Rombongan asal Jogja “laporan” kepada Bapak Setyadi dan “DIIZINKAN”


Pemuda Pecinta Alam setelah camping dengan misi membersihkan kawasan dari sampah

Turis yang juga tertarik untuk mengunjungi Cagar Alam Pulau Sempu

#SaveSempu

Anda mungkin juga menyukai