Anda di halaman 1dari 23

REFARAT JULI 2018

BAGIAN ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HERPES ZOSTER OTIKUS

Oleh:
Arini Pratiwi Hadipaty
111 2015 2299

Supervisor:
dr. Rachmawati, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang
tersusun dari sel-sel saraf yang saling terhubung satu sama lain dan berfungsi untuk
persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik, baik volunter ataupun involunter, pada
jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologis yang terjadi di tubuh. Sistem saraf manusia merupakan sistem yang paling
kompleks dan paling penting dalam tubuh seseorang untuk berfungsi sebagai
manusia yang seutuhnya. Oleh karena itu, gangguan pada sistem saraf dapat
1,2
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup seorang manusia.

Sistem saraf secara umum dibagi menjadi dua yaitu, sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri atas
otak dan tulang belakang. Sistem saraf pusat berfungsi untuk mengintegrasikan
informasi yang didapat, mengkoordinasi dan mempengaruhi seluruh aktivitas yang
terjadi dalam tubuh. Sementara sistem saraf perifer adalah bagian dari sistem saraf
yang terdiri atas sel saraf dan ganglia selain otak dan tulang belakang. Fungsi utama
dari sistem saraf perifer adalah untuk menghubungkan sistem saraf pusat dengan
ekstremitas dan organ, bertugas sebagai jalur komunikasi bolak-balik antara otak
1,2
dengan ekstremitas dan organ.

Saraf kranial adalah serabut saraf yang berasal langsung dari otak dan
batang otak. Pertukaran informasi yang terjadi antara otak dan beberapa bagain,
terutama bagian kepala dan leher, terjadi melalui saraf kranial. Hal tersebutlah yang
menjadikan gangguan pada saraf kranial salah satu dari deretan masalah dalam Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, Bedah Kepala dan Leher. Salah satu
dari gangguan saraf kranial adalah herpes zoster otikus yang menyerang ganglion
1,3
geniculi nervi fasialis.

Herpes zoster otikus, atau yang disebut juga sebagai Ramsay Hunt

2
syndrome tipe II, adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode
prodormal. Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa herpes zoster
otikus disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes virus, yang
mengalami reaktivasi dari infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi laten virus
4,5
varicella pada ganglion geniculi nervi fasialis.

Herpes zoster otikus menempati urutan kedua kejadian paralisis fasialis akut
setelah Bell’s palsy, atau lebih tepatnya 10-15% dari kasus paralise nervus fasialis
6,7
akut. Di Amerika Serikat terjadi kasus 5 /100.000 populasi penduduk per tahun.
Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan sangat jarang terjadi pada anak
7,8
– anak.

Gejala prodromal yang ditimbulkan adalah munculnya vesikel-vesikel yang


terjadi karena reaktivasi virus pada daerah dermatom tempat virus tersebut
9
bersembunyi selama masa latennya. Selain timbulnya sekelompok vesikel, dapat
pula timbul rasa nyeri yang cukup hebat pada daerah telinga (otalgia) dengan
parasthesia di kulit telinga tersebut. Apabila infeksinya sudah mencapai N VII dan
VIII (Ramsay Hunt syndrome) maka dapat terjadi paralisis fasial dan gangguan
6,9
pendengaran serta keseimbangan.

Penegakan diagnosis herpes zoster otikus harus dilakukan dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Selain pemberian obat
untuk mengurangi keluhannya (symptomatic therapy), pemberian antivirus
sistemik juga sangat dianjurkan pemberiannya sesegera mungkin setelah tegaknya
diagnosis sehingga dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang dapat
6,9,10
terjadi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1 : Anatomi Telinga

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai
membrane timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.
Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga
bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm.1

Gambar 2. Telinga Luar2

4
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjer
serumen (kelenjer keringat) dan rambut. Kelenjer keringat terdapat pada
seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjer serumen.1
Membrane timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian
atas disebut pars flaksida (membrane shrapnel), sedangkan bagian bawah
pars tensa (membrane propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.1
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of
light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan
pukul 5 untuk membrane timpani kanan.1

Gambar 3. Membran Tympani2


Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak diantara
membrane timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang
terdapat didalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan system sel-
sel udara mastoid.2

5
Telinga tengah berbentuk kubus dengan1 :
- Batas luar : membrane timpani
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis
sermisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval
window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.1
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lingkap dan
memebentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani disebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan
garam yang terdapat di dalam perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini
penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli (Reissner’s membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membrane ini
terletak organ corti.1
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membrane tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang
membentuk organ corti.1

6
Gambar 4. Labirin2

2.2 Persarafan Telinga


A. Persarafan Telinga Luar
Daun telinga dipersarafi oleh 5 persarafan, yaitu :
 Saraf aurikular mayor (C2,3), mempersarafi hampir seluruh
permukaan medial dan bagian belakang dari permukaan

lateral. 


 Saraf oksipital minor (C2), mempersarafi bagian atas dari


permukaan medial.
 Saraf aurikulo temporal (N V), mempersarafi tragus, heliks
dan daerah sekitar heliks.
 Percabangan aurikular saraf vagus (N X), juga disebut saraf
Arnold’s, mempersarafi konka dan sekitarnya.
 Saraf fasialis (N VII), yang distribusi percabangannya
bersamaan dengan percabangan aurikular saraf vagus,
mempersarafi konka dan sulkus retroaurikular.
B. Persarafan Liang Telinga
 Dinding atas dan depan dipersarafi saraf aurikulo temporal
(N V).
 Dinding bawah dan belakang dipersarafi percabangan

7
aurikular dari 
 saraf vagus (N X). 


 Dinding belakang liang telinga juga dipersarafi oleh cabang

sensoris 
 saraf VII melalui percabangan aurikular saraf

vagus.
C. Persarafan Telinga Tengah
 Promontorium berisi pleksus timpani (pleksus Jacobson).
Cabang saraf glosofaringeus dari ganglion petrosa di bawah
telinga.
 Pleksus timpani menerima serabut simpatis dari pleksus
karotis melalui cabang-cabang karotikotimpani superior dan
inferior.
 Korda timpani memasuki telinga tengah tepat di bawah
pinggir posterosuperior sulkus timpani dan berjalan ke arah
depan lateral ke prosesus longus inkus dan kemudian di

bagian bawah leher maleus 
 tepat di atas perlekatan tendon

tensor timpani menuju ligamentum maleus anterior, saraf ini


keluar melalui fisura petrotimpani.
4,12
D. Segmen Saraf Fasialis

8
Gambar 2 : Segmen Saraf Fasialis
Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut
motorik, tetapi dalam perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus
intermedius yang tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk
glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus yang
menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan lidah ke
nukleus traktus solitarius.
Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral
tegmentum pontis bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua
kelompok yaitu kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti
nervus fasialis mensarafi otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan
atas orbikularis okuli dan bagian atas otot wajah. Inti ini mempunyai
inervasi kortikal secara bilateral.
Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot
belahan bawah orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan
platisma. Inti ini mempunyai hubungan hanya dengan korteks
motorik sisi kontralateral.
Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu,
kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu baru
membelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan
lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus oktavus dan
nervus intermedius. Bertiga mereka masuk ke dalam liang os
petrosum melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar
dari os petrosum kembali dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia
turun, sedikit membelok ke belakang dan keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun ke
bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung
dengan ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari
serabut penghantar impuls pengecap yang dinamakan korda timpani.
Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus
intermedius. Disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-

9
cabang kepada ganglion otikum dan sfenopalatinum yang
menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang
os petrosum yang mengandung nervus fasialis dinamakan
akuaduktus Falopii atau kanalis fasialis. Disitu nervus fasialis
memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit
ia menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini menuju
ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.
Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba
di bawah muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani
menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang
dari nervus mandibularis. Korda timpani menghantarkan impuls
pengecap dari 2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf motorik
mutlak nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideum dan
memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan venter
posterior muskulus digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya
menuju ke glandula parotis. Di situ ia bercabang-cabang lagi untuk
mensarafi otot wajah dan platisma. Nervus fasialis yang melintasi
jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi
seluruh otot wajah.

2.3 Fisiologi pendengaraN


Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu pengumpul suara,
sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya dapat memperbersar
suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz, perbesaran pada frekuensi ini adalah
sampai 10 hingga 15 Db. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah
yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.
Suara semula dari gelombang tekanan udara, yang akan
menggetarkan gendang telinga. Getaran ini akan disampaikan ke dalam
telinga dalam oleh tiga tulang pendengaran, stapes bergerak ke dalam dan
keluar dari telinga dalam seperti piston. Pergerakan pompa ini akan
menimbulkan gelombang tekanan di dalam cairan telinga dalam atau

10
koklea. Pada koklea secara bergantian akan mengubah gelombang tekanan
menjadi aktifitas elektrik di dalam nervus auditorius yang akan
menyampaikan informasi ke otak. Proses transduksi di dalam koklea
membutuhkan fungsi kerjasama dari berbagai jenis tipe sel yang berada di
dalam duktus koklearis. Duktus ini berisi endolimfe, cairan ekstraseluler
yang kaya akan potassium dan rendah akan sodium. Ruangan endolimfatik
memiliki potensial elektrik yang besar yaitu 100mV. Komposis ion dan
potensial elektrik dari ruangan endolimfatik dijaga oleh sekelompok sel
yang dikenal sebagai stria vaskularis.
Pada manusia, duktus koklearis berputar sepanjang 35 mm dari
dasar koklea (dekat stapes) hingga ke apeks. Ukuran, massa dan kekakuan
dari banyak elemen selulae, terutama pada organ corti, berubah secara
sistematis dari satu ujung spiral ke ujung yang lain. Keadaan ini
menyebabkan pengaturan mekanik sehingga gelombang tekanan yang
diproduksi oleh suara berfrekuensi tinggi menyebabkan organ tersebut
bergetar pada basisnya, sedangkan frekuensi rendah menyebabkan getaran
pada ujung puncak.
Proses transduksi, dibentuk oleh dua jenis sel sensori pada organ
corti, yaitu sel rambut dalam dan sel rambut luar. Gelombang tekanan yang
ditimbulkan suara pada cairan koklea membengkokkan rambut sensori yang
disebut stereosilia, yang berada di atas sel rambut. Pembengkokan ini akan
merenggangkan dan memendekkan ujung penghubung yang
menghubungkan adjasen stereosilia. Ketika ujung penghubung meregang,
ini akan menyebabkan terbukanya kanal ion pada membran stereosilia dan
ion K dapat masuk ke dalam sel rambut dari endolimfe. Masuknya ion K ini
menyebabkan perubahan potensial elektrik dari sel rambut, sehingga
menyebabkan pelepasan neurotransmiter dari vesikel sinaps pada dasar sel
rambut. Serabut saraf auditorius, yang kontak dengan sel rambut, respon
terhadap neurotransmitter dengan memproduksi potensial aksi, yang akan
berjalan sepanjang serabut saraf untuk mencapai otak dalam sekian
seperdetik. Pola aktifitas elektrik yang melalui 40.000 serabut saraf

11
auditorius diterjemahkan oleh otak dan berakhir dengan sensasi yang kita
kenal dengan pendengaran.
Sel rambut dalam dan sel rambut luar memerankan peranan dasar
yang berbeda pada fungsi telinga dalam. Sebagian besarserabut saraf
auditorius kontak hanya dengan sel rambut dalam. Sel rambut dalam adalah
transduser, yang merubah energy mekanik menjadi energi listrik. Sel rambut
dalam adalah penguat yang dapat meningkatkan getaran mekanik dari organ
corti. Kontribusi sel rambut luar ini penting untuk sensifitas normal dan
selektifitas frekuensi dari telinga dalam.

2.4 Definisi
Menurut Koerner (1904), herpes zoster otikus, yaitu berupa
sindroma yang terdiri dari bulla pada daun telinga, paralise fasial dan
gangguan telinga dalam. Menurut James Ramsay Hunt (1907), yang telah
mempelajari penyakit tersebut secara terperinci, herpes zoster otikus terjadi
karena adanya reaktivasi herpes zoster pada ganglion geniculi nervi fasialis,
sejak saat itu herpes zoster otikus juga dikenal dengan Ramsay Hunt
syndrome. Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa herpes zoster
otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada telinga
luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, yang disebabkan
reaktivasi herpes zoster yang sedang dalam masa dormansi di ganglion
4,5,6
genikuli nervi fasialis. 


2.5 Epidemiologi
Herpes zoster otikus dapat muncul di sepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh perubahan musim dan angka kejadiannya tersebar merata
7,8
di seluruh dunia. Menurut penelitian yang dilakukan di Jerman dan
Australia, wanita memiliki tendensi untuk mengalami herpes zoster otikus
dibandingkan pria, dengan persentasi wanita 68,1% dan pria 31,9%, akan

12
tetapi wanita memiliki manifestasi dan prognosis yang lebih baik ketimbang
13,14
pria. Angka kesakitan akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia dan pada individu defisit sistem imun, dimana faktor reaktivasi dapat
10,14
berupa stress fisik maupun emosional. 2/3 pasien herpes zoster otikus
berusia lebih dari 50 tahun, dan kurang dari 10% berusia kurang dari 20
tahun. Herpes zoster otikus merupakan penyebab paralise N VII terbanyak


 setelah Bell’s palsy (2-10% di seluruh dunia), dan gejala yang

ditimbulkan cenderung lebih parah dari Bell’s palsy sehingga prognosisnya


pun lebih buruk. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan
sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih
8,10
kurang 1% setahun.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang
sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang
ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan dorman dan dapat aktif
kembali jika daya tahan tubuh pejamu menurun. Akan tetapi, defisit
neurologis residual jarang ditemukan pada pasien yang telah sembuh dari
herpes zoster otikus. Tergantung dari derajat keparahannya, tuli
sensorineural yang didapat ketika menderita herpes zoster otikus dapat
6,8
menetap (6,5%).

2.6 Etiologi
Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan virus penyebab varicella
(chicken pox) dan herpes zoster. VZV tergolong virus berinti DNA yang
linier, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili
alphaherpesviridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan
kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV tergolong ke dalam
subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel

13
epitel yang menimbulkan lesi vesikuler. Selanjutnya setelah infeksi primer,
infeksi oleh virus herpes alfa biasanya dapat menetap dalam bentuk laten
didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan
8,15
menimbulkan kekambuhan secara periodik.

2.7 Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, VZV melewati lesi masuk ke permukaan kulit dan

mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan 
 oleh

serat–serat saraf ke ganglion sensoris. Di ganglion, virus menetap dan


menjadi infeksi laten sepanjang hidup. Selama virus laten di gangglion tidak
6,1
tampak gejala infeksi.

Gambar 3 : Patogenesis Herpes Zoster Otikus


Pada ganglion genikuli, terdapat serabut motorik, sensoris, dan
parasimpatetik N VII yang tersebar menginervasi kelenjar air mata, kelenjar
submandibula, kelenjar sublingual, lidah, palatum, faring, meatus akustikus
eksternus, stapedius, m. digastrikus posterior, m. stylohyoideus, dan otot-
otot ekspresi wajah. Serabut-serabut yang mempersarafi bagian-bagian
tersebut menjadi alat transportasi VZV yang telah terreaktivasi. N VIII
dapat terkena karena mayoritas perjalanan serabut saraf yang sejajar atau

14
melalui segmen labirin dari ganglion tersebut, namun teori-teori tersebut
belum dapat dibuktikan. Bagaimana reaktivasi VZV di ganglion genikuli
dan patofisiologi dari manifestasi yang ditimbulkan masih belum dapat
dijelaskan. Hanya diketahui bahwa enurunnya daya tahan tubuh, stress fisik
atau emosional, keganasan, radioterapi, kemoterapi, dan infeksi HIV adalah
3,6,11
faktor resiko terjadinya reaktivasi VZV.

2.8 Manifestasi Klinis


Setelah terjadinya reaktivasi, herpes zoster otikus dapat menyerang
telinga luar (khususnya konka aurikula), kulit periaurikular, meatus
akustikus eksternus, telinga tengah, telinga dalam (jika sudah menyerang N
VIII), dinding lateral hidung, palatum molle, anterolateral lidah, dan
percabangan N VII. Sesudah masa inkubasi yang berlangsung 4-20 hari,
muncul gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan
8
terkadang mual dan muntah. Selanjutnya dapat muncul erupsi/vesikel di
periaurikular, telinga luar, dan meatus akustikus eksternus. Waktu
munculnya erupsi/vesikel memiliki nilai prognostik yang signifikan. Pada
sebagian besar kasus, erupsi muncul bersamaan dengan paralisis. Pada 25%
kasus, dimana erupsi muncul terlebih dahulu dari paralisis, pasien tersebut
memiliki persentase kesembuhan yang lebih besar. Setelah erupsi/vesikel
dan paralisis terjadi, gejala yang lain mengikuti yaitu hiperakusis, tuli
sensorineural, dan nyeri hebat.6,10
Adapun dari manifestasi klinis yang sering muncul dari herpes
zoster otikus, dapat dikelompokkan menjadi:
 Vesikel/Erupsi
Vesikel dapat muncul sebelum, bersamaan, tau setelah adanya
paralisis nervus fasialis. Vesikel yang timbul dapat menyebabkan
sensasi terbakar atau otalgia. Vesikel yang pecah akan membentuk
krusta.
 Gejala yang berhubungan dengan N VII

15
o Paresis ipsilateral
o Paralisis ipsilateral
 Gejala yang berhubungan dengan N VIII
o Tinnitus
o Vertigo
o Tuli sensorineural
o Gangguan keseimbangan

 Gejala lain


o Nyeri hebat pada mata


o Lakrimasi
o Mata tidak bisa menutup
o Gangguan indera pengecap

2.9 Tipe Herpes Zoster Otikus


Ramsay Hunt menyebutkan empat tipe herpes zooster otikus yaitu:
1) Penyakit yang hanya mengenai saraf sensoris nervus fasialis
2) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
3) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik neruvus fasialis
desertai gejala auditorik
4) Penyakit yang mengenai saraf sensorik dan motorik nervus fasialis
disertai gejala auditorik dan vestibuler

2.10 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
6,8
A. Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga, nyeri pada mata

o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga terjadi di
lidah.

o mual dan muntah dapat terjadi,

16
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
6,10
B. Pemeriksaan fisik 


Pada pemeriksaan didapatkan :


o Tampak lesi kulit yang vesikuler pada kulit di daerah muka, pada
liang telinga, konka dan daun telinga.

Gambar 4 : A) Pasien Herpes zoster otikus sebelum


pengobatan; B) kembalinya fungsi motorik secara keseluruhan
setelah pengobatan; C) Lesi vesikel pada meatus akustikus
eksternus

Gambar 5 : Tanda klinis penderita herpes zoster otikus

17
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di belakang
telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian
anterolateral.
o Vertigo,

o Tuli sensorineural

o Parese saraf fasialis menyerupai bells palsy juga dapat
ditemukan.

o Ketidakmampuan dalam menutup mata pada bagian ipsilateral,
sehingga pasien akan mengeluhkan kekeringan pada kornea dan
iritasi.

C. Pemeriksaan penunjang


o Pemeriksaan laboratorium yang meliputi: kadar nitrogen dalam


8
urin ( BUN), kreatinin, hitung sel darah, serta elektrolit 


15
o Tes Serologi. Anti-VZV IgG dan IgM 


o Fluorescent-antibody membrane antigen assay (FAMA) (gold


15
standard)
8
o CT scan
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan
8
gadolinium diethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).

2.11 Tatalaksana
Berikut adalah pilihan terapi yang dapat digunakan untuk tatalaksana herpes
zoster otikus :
 Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan
vertigo yang terjadi karena adanya inflamasi pada serabut saraf N
VIII. Kortikosteroid tidak dianjurkan pada pasien herpes zoster
otikus yang menderita penyakit keganasan atau menjalani
kemoterapi, karena dapat memicu Disseminated Herpes Zoster. 19

18
 Kortikosteroid + Antivirus
Pasien yang ditatalaksana dengan menggunakan antivirus dan
prednison memberikan hasil yang lebih baik (dalah hal kecepatan
hilangnya vesikel dan erupsi, berkurangnya nyeri, dan dapat
kembalinya pasien menjalani aktivitas sehari-hari) dibanding
dengan yang ditatalaksana hanya dengan menggunakan prednison
dan antivirus sendiri.
Dosis yang diberikan :
o Prednison : 1mg/kgBB/hari yang dibagi menjadi 3 dosis
10,18
selama 10-14 hari. Dapat dilakukan tapering-off mulai
dari minggu kedua. 6
o Antivirus
 Acyclovir 5x800 mg/hari selama 5-7 hari atau Acyclovir
IV 10 mg/kgBB/8 jam selama 7 hari.8
 Valacyclovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari, atau
 Famcyclovir 3x750 mg/hari selama 7 hari. 10
diketahui
memiliki efek yang paling baik untuk mengurangi
postherpetic neuralgia (tetapi harus dipantau karena
meningkatkan enzim hati)
 Farmakoterapi tambahan 10,18
o Analgesik golongan narkotik untuk mengurangi nyeri
o Antipruritik untuk gatal
 Tatalaksana infeksi sekunder oleh bakteri10,18
o Biasanya terjadi karena vesikel yang tereskoriasi akibat
garukan
o Gunakan H2O2 untuk membersihkan vesikel/krusta
o Gunakan salep bacitracin pada bagian bervesikel/krusta
o Gunakan antibiotik oral antistreptokokal seperti cefadroxil

2.12 Komplikasi
 Apabila penegakkan diagnosis dan tatalaksana tidak cepat dilakukan,

19
dapat terjadi paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau
tidak sempurnanya kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis
8,10
fasial yang permanen dan synkinesis. 

 Jika tataksana tidak adekuat, sangat memungkinkan terjadinya
4
postherpetic neuralgia yang berkepanjangan. 


 Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke


otak dan jaringan saraf dalam tulang belakang, menyebabkan sakit
kepala, sakit punggung, kebingungan, kelesuan, kelemahan, dan
6,17,18
timbulnya lesi herpes yang mengikuti dermatom. 


 Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster di


8
wajah.

2.13 Prognosis
 Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum
8,20
72 jam setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.
 Pasien yang datang dengan keluhan erupsi terlebih dahulu sebelum
17
paralisis memiliki prognosis yang lebih baik.
 Pada infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yang
permanen. Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhan
17,20
sepenuhnya setelah sebelumnya mengalami paralisis.
 Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural
prognosisnya lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih
17,20
tua

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Clinical Method of Neurology,” dalam:


Ropper, AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill, New York (hal 2-3)
2. Yogarajah, M. 2013. “Patients present with,” dalam: Horton-Szar, D,
Cikurai, K, Khan, N (Ed.) Crash Course of Neurology 4th Edition. Mosby

Elsevier, London 


3. Moller, AR. 2006. “Disorder of the Auditory System and Their


Pathophysiology,” dalam: Menzel, J, Furrow, H, Donahue, J (Ed.) Hearing:

Anatomy, Physiology, and Disorder of the Auditory System 2nd Edition. 


4. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Disease of Cranial Nerves,” dalam: Ropper,


AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition. McGraw-Hill,
New York (hal 1180-1182)
5. Hunt, JR. 1907. “On Herpetic Inflammation of Geniculate Ganglion: A New
Syndrome and Its Complication,” Journal of Nervous and Mental Disease.
Volume 34 Bagian 2 (hal 78)
6. Lustig, LR, Niparko, JK. 2012. “Disorder of Facial Nerve,” dalam: Lalwani,
A (Ed.) Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology, Head and

Neck Surgery 3rd Edition. McGraw-Hill, San Francisco (hal 889-899) 


7. Mansjoer, A, Wuprohita, Wardhani, WI et al. 2000. “Penyakit Virus,”


dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Media Aeaculpius,

Jakarta (hal 128-129) 


8. Sunita, B, Sepahdari, A, Sidell, D. 2013. “Paralysis of Cranial Nerve,”


dalam Gopen, Q (Ed.) Fundamental Otology: Pediatric & Adult Practice 1st

Edition. Jaypee Brothers, New Delhi (hal 238-239) 


21
9. Adam, GL, Boeis, LR, Higler, PA. 2013. Buku Ajar Penyakit THT Boeis
Edisi ke-6. EGC, Jakarta (hal 46-49)
10. Scott, K. 2014. “Facial Nerve Condition,” dalam: Debo, RF, Keyes, AS,
Leonard, DW (Ed.) Quick Refernce for Otolaryngology. Springer, New

York (hal 94-98)


11. Ellis, H. 2006. Clinical Anatomy: A Revision and Applied Anatomy for
Clinical Student. Blackwell Publishing, Victoria (hal 261-263, 270, 383-

384) 


12. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC,

Jakarta (hal 700-722) 


13. Walther, LE, Prosowsky, K, Walther, A et al. 2005. “Herpes Zoster Oticus:
Symptom constellation and serological diagnosis,”
14. Coulson, S, Croxson, GR, Adams, R et al. 2011. “Prognostic Factors in
Herpes Zoster Oticus,” Journal of Sydney University. Otolaryngology &
Neurotology Inc., Sydney. Volume 3 Bagian 6 (hal 1025-1027)
15. Arvin, AM, Gilden, D. 2013. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM,
Howley, PM (Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott Williamz &
Wilkins, Philadelphia (hal 2038-2052)
16. Sjarifuddin, Bashrudin, J, Bramantyo, B. 2010. “Kelumpuhan Nervus
Fasialis Perifer,” dalam: Soepardi, EA, Iskandar, N, Bashirudin, J et al (Ed.)
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan

Leher Edisi Ke-6. FKUI, Jakarta (hal 114-117) 


17. Baskin, JZ, Cruz, OL. 2005. “Special Case of Face Paralysis,” dalam:
Cummings, CW, Harker, L (Ed.) Cummings Otolaryngology Head & Neck

Surgery. Mosby Elsevier, New York 


18. Ahsan, SF, Bojrab, DI, Sidell, DL et al.2014. “Herpes Zoster Oticus,”
dalam: Pasha, R, Golub, JS (Ed.) Otolaryngology Head & Neck Surgery


 Clinical Reference Guide 4th Edition. Plural Publishing, San Diego (hal

22
428-429)
19. Yoon, K, Kim, S, Lee, E, et al. 2013. “Disseminated herpes zoster in an


 immunocompetent elderly,” Korean Journal of Pain. Volum 26 Bagian 2

(hal 195-198)
20. Pau, HW. 2006. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Gross, G, Doerr, HW (Ed.)
Herpes Zoster: Recentaspect of diagnosis and control patient. Karger, Basel
(hal 47-55)

23

Anda mungkin juga menyukai