Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

GANGGUAN PSIKOTIK PADA PENGGUNAAN AMFETAMIN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun Oleh:

Tiara Merdeka Putri

Pembimbing:

dr. Subhan Rio Pamungkas, Sp. KJ (K)

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang dan
Karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Gangguan Psikotik Pada Penggunaan Amfetamin”. Laporan kasus ini disusun
sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Jiwa RSJ Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bantuan,


bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr.Subhan Rio Pamungkas, Sp.KJ (K) yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan
penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu
memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, Desember 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stimulan adalah obat yang meningkatkan fungsi tubuh dengan meningkatkan
kecepatan aktivitas di sistem saraf pusat (SSP). Obat-obatan ini meningkatkan jumlah
dopamin di otak, menghasilkan peningkatan detak jantung, kewaspadaan, dan energi.
Stimulan dapat bermanfaat dalam mengobati kondisi medis seperti ADHD, narkolepsi,
obesitas, dan depresi. Contoh stimulan adalah kafein, kokain, amfetamin,
metamfetamin, dan nikotin. Semua zat ini memiliki efek samping yang sama karena
pengaruhnya yang serupa pada SSP, antara lain gangguan tidur, agitasi dan psikosis [1]
Menurut Pedoman Penggolongan dan Gangguan Jiwa (PPDGJ-II), gangguan
mental dan perilaku akibat sabu-sabu (amfetamin) dikelompokkan dalam gangguan
perilaku akibat stimulansia lainnya. Penggunaan sabu-sabu dapat menginduksi
psikosis. Berdasarkan United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) secara
global diperkiran 34 juta jiwa menggunakan amfetamin. Penggunaan amfetamin dapat
menginduksi psikosis meskipun tidak ada riwayat keluarga dengan kelainan psikotik.
Prevalensi psikosis pada pengguna metamfetamin tanpa riwayat psikosis sebelumnya
adalah 27%.3 Gangguan psikotik yang diinduksi amfetamin berupa halusinasi dan
waham persekutorik. Gejala negatif juga bisa terjadi menyerupai acute
scizophreniform psychosis.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5)
mendefinisikan kriteria gangguan psikotik yang diinduksi zat / obat yaitu adanya delusi
dan / atau halusinasi. Gejala muncul segera setelah intoksikasi, withdrawal atau segera
setelahnya paparan obat. Zat tersebut harus memiliki potensi untuk menghasilkan
delusi atau halusinasi yang mengakibatkan gangguan klinis yang signifikan [2].
Kerusakan akibat delusi atau halusinasi adalah efek samping yang umum dari stimulan,
dan merupakan penyebab pengguna dirujuk ke bangsal psikiatri. Karena itu penulis
tertarik menjadikan kasus ini sebagai laporan kasus untuk mengetahui gangguan
psikotik yang diinduksi amfetamin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin
menstimulasi sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di
dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan tekanan
darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek yang lain. Penggunaan
amfetamin dengan suatu kelainan psikiatri berhubungan dengan ketergantungan
dan penyalahgunaannya.1,5
Amfetamin adalah kelompok narkoba yang dibuat secara sintetis dan akhir-
akhir ini menjadi populer di Asia Tenggara. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk
putih, kuning atau coklat dan kristal kecil berwarna putih. Cara memakai
amfetamin yang paling umum adalah dengan menghirup asapnya.1,5
Termasuk dalam kelainan yang disebabkan oleh amfetamin atau zat yang
mirip amfetamin antara lain intoksikasi amfetamin, gangguan akibat penghentian
penggunaan amfetamin, kelainan psikosis dengan delusi dan halusinasinyang
disebabkan oleh amfetamin, delirium karena intoksikasi amfetamin, kelainan
mood yang disebabkan oleh amfetamin, gangguan cemas karena penggunaan
amfetamin, gangguan tidur, dan disfungsi seksual.1,2,5
2.2 Epidemiologi
Pada banyak Negara, penggunaan obat terlarang lebih sering terjadai pada
orang yang berusia muda, laki-laki lebih sering dari npada perempuan, dan pada
orang dengan social ekonomi yang rendah, pada daerah dengan rata-rata masalah
social yang lebih tinggi4. Dilaporkan pada masa anak usia SMA (senior high
school) penggunaan stimulan lebih tinggi dari pada penggunaan kokain.4,5
National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada
tahun 1997 terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih
menggunakan stimulan bukan atas indikasi medis, hal ini menunjukkan
peningkatan yang drastic dari pada tahun sebelumnya. Persentasi yang paling
tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun,
kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk
mendeteksi peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan
data dari ruang emergensi untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin atau
program tes panghentian obat. 4,5
Survei dua populasi digunakan sebagai kriteria dianostik yang dapat
diterima untuk mengukur besernya penyalahgunaan dan ketergantungan yaitu
studi Epidemiologic Catchment Area (ECA). ECA melaporkankombinasi kategori
antara ketergantungan dan penyalahgunaan amfetamin dan obat yang mirip
amfetamin, yaitu: prevalensi 1 bulan, 6 bulan, dan seumur hidup berturut-turut 0,1;
0,2; dan 1,7 persen. Rata-rata ketergantungan seumur hidup untuk umur 15-54
tahun yaitu 1,7%; 15% responden memiliki kebiasaan penggunaan stimulant tanpa
indikasi medis. Diantara yang dilaporkan tanpa indikasi medis 11% ditemukan
criteria ketergantungan.4,5
2.3 Etiologi
Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin
dipandang sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak faktor
(social, psikologi, kultural, dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan
penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus, kehilangan fleksibilitas yang
berkaitan dengan penggunaan obat merupakan tanda ketergantungan obat. Tetapi,
tidak semua orang sama tergantung bagaimana biasanya efek dari obat yang
diberikan apakah sama atau dari kesamaan faktor yang dipengaruhi. Faktor
farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan dan menuju ke
arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk
meningkatkan mood dan efek euforigenik pada manusia dan efek menguatkan
pada hewan percobaan.
Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang sangat
berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan, dan
relaps. Pemakaian yang berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan
amfetamin atau obat yang mirip amfetamin.2,3,5
Metabolisme amfetamin dan metamfetamin terutama oleh hati, tapi banyak
yang dihirup diekskresikan tanpa diubah dahulu melalui urin. Waktu paruh
amfetamin dan metamfetamin akan sangat dipersingkat jika urin dalam keadaan
asam. Waktu paruh amfetamin pada dosis terapi berkisar antara 7-19 jam dan
untuk metamfetamin sedikit lebih panjang. Setelah dosis toksik, perbaikan dari
gejala mungkin akan lebih lama (sampai beberapa hari) dengan amfetamin
dibandingkan kokain, tergantung pada pH urine.
Toleransi dan sensitisasi dari kebanyakan pengguna amfetamin untuk terapi
memerlukan dosis yang semakin tinggi untuk memperoleh efek euforik yamg
sama, pada mereka terjadi peningkatan toleransi. Sebagian toleransi meningkatkan
efek kardiovaskular amfetamin.3,5

Penggunaan amfetamin yang kronik yang memiliki status paranoid dan


psikosis toksik biasanya meningkat yang diyakini sebagai fenomena akibat
peningkatan sentisisasi. Bagi yang memiliki riwayat psikosis mugkin akan sangat
cepat untuk mendapatkan serangan berikutnya. Mekanisme perubahan kronik SSP
terhadap pengaruh amfetamin terlihat dalam beberapa perubahan adaptif dari otak.
Sebagai contoh, stimulasi reseptor dopamine mengaktifkan cAMP pada neuron di
dalam nucleus dan striatum. Aktivasi ini menginisiasi suatu rantai intraseluler
menghasilkan perubahan ekspresi dari gen, sebagian dimediasi oleh fosforilasi dari
faktor transkripsi cAMP Response Element Binding Protein (CREB). Salah satu
kerja dari CREB adalah meningkatkan tarnskripsi dari dynorphin dalam RNA.
Fungsi ini sangat penting karena dynorphin adalah suatu agonis selektif k-opioid,
agonis k-resetor menghambat pelepasan dopamine. Akson kolateral dari neuron
pada nucleus melepaskan dynorphin pada k-reseptor yang berada pada
dopaminergik terminal, dengan begitu menghambat aktivitas dopaminergik.
Tetapi apabila penggunaan amfetamin dihentikan dan pelepasan dopamine
belebihan terhenti, kompensasinya level yang tinggi dari dynorphin menetap dan
kemudian akan menghilangkan efek dopaminergik, ini menyebabkan terjadinya
anhedonia dan disforia akibat withdrawal amfetamin.
Apalagi neuron dari nukleus memperlihatkan penurunan konsentrasi dari protein
Gi (dengan menghambat adenil siklase) dan peningkatan dari cAMP-dependent
protein kinase. Kedua perubahan ini dapat bertahan beberapa minggu dan akan
terjadi peningkatan regulasi jalur cAMP. Perubahan yang menetap dari jalur
cAMP tampak untuk menyajikan suatu mekanisme untuk efek pertahanan dari
stimulant. Pemberian berulang amfetamin menyebabkan induksi dan akumulasi
protein mirip Fos, antigen kronik yang terkat pada Fos (FRAs)(dimediasi oleh
fosforilasi dari CREB). Kronik FRAs ini dapa bertahan lama dan berbeda dari
protein yang mirip dengan Fos yang tampak setelah pemakaian obat sekali. Selain
itu perubahan persisten dari transkripsi gen merubah morfologi neuron. Transmisi
glutamate, yang berfungsi penting untuksiklus modulasi dan efek sensitisasi sikap
terhadap kokain, tidak tampak untuk menolak amfetamin pada keadaan ini.
Perbedaan ini mungkin penting, pembeda perubahan adaptif diinduksi oleh dua
kelas stimulant. Obat yang mirip amfetamin melepaskan norepinefrin dan
serotonin. Beberapa diantara efeknyanya yang sama dengan toksisitas amfetamin,
khususnya toksisitas kardiovaskular.3,5

2.4 Mekanisme Kerja


Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan
katekolamin (epineprin, norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan
menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk
dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi
lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua sistem saraf
akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan.8,11
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah
penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan
melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri
dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton.8,11
Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif
cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan
tersendiri untuk pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari
24 jam jumlah metabolit sekunder yang di terdapat pada urin menjadi sangat
sedikit dan tidak dapat lagi dideteksi dengan KIT.8,11

2.4 Gambaran Klinis


Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin,
jumlah yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis
amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi,
melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar,
meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.3,7,11
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan,
menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia,
agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan
mengurangi tidur.3,7,11
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat
menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus
tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham
curiga, dan anoneksia yang berat.3,7,11
2.5 Efek Samping
Fisik. Penyalahgunaan amfetamin dapat menyebabkan efek simpang, yang
paling serius mencakup efek serebrovaskular, kardiak, dan gastrointestinal. Di
antara kondisi spesifik yang mengancam nyawa adalah infark miokardium,
hipertensi berat, penyakit serebrovaskular, dan kolitis iskemia. Gejala neurologis
yang berkepanjangan, dari kedutan, tetani, kejang, sampai koma dan kematian,
dikaitkan dengan amfetamin dosis tinggi yang terus meningkat. Penggunaan
amfetamin intravena dapat menularkan human immunodeficiency virus dan
hepatitis serta menyebabkan perkembangan abses paru, endokarditis, dan angiitis
nekrotikans lebih lanjut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa penyalahguna
amfetamin hanya mengetahui sedikit-atau tidak peduli-tentang praktik seks yang
aman serta penggunaan kondom. Efek simpang yang tidak mengancam nyawa
mencakup semburat merah, pucat, sianosis, demam, sakit kepala, takikardia,
palpitasi, mual, muntah, bruksisme (gigi gemeretuk), sesak nafas, tremor, dan
ataksia. Wanita hamil yang menggunakan amfetamin sering melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah, lingkar kepala kecil, usia kehamilan dini, dan retardasi
pertumbuhan.9,11
Psikologis. Efek simpang psikologis yang disebabkan oleh penggunaan
amfetamin mencakup kegelisahan, disforia, insomnia, iritabilitas, sikap
bermusuhan, dan kebingungan Konsumsi amfetamin juga dapat menginduksi
gejala gangguan ansietas seperti gangguan ansietas menyeluruh dan gangguan
panik serta ide rujukan, waham paranoid, dan halusinasi.9,11
2.6 Diagnosis
DSM-IV-TR mencantumkan banyak gangguan terkait amfetamin (atau lir-
amfetamin) (Tabel 9.3-l) namun hanya merinci kriteria diagnosis intoksikasi
amfetamin (Tabel 9.3-2), keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3), dan gangguan
terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Tabel 9.3-4) pada bagian gangguan
terkait amfetamin (atau lir-arnfetamin). Kriteria diagnosis gangguan terkait
amfetamin (atau lir-amfetamin) lain tercantum dalam bagian DSM-IV-TR yang
berhubungan dengan gejala fenomenologis primer (contohnya psikosis).9,13
Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin
Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat
diterapkan pada amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat
mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk
menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan.
Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis tinggi
amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang
biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat
badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya
penyalahgunaan.9,12,13
lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin
(menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam
dibanding pada amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi
temuan klinis pada penyalahgunaan kokain. Pada DSM-IV-TR, kriteria diagnosis
intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-
IV-TR merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak
ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis gangguan psikotik terinduksi
amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian
besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48
jam.9,12,13
Keadaan Putus Amfetamin
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar,
mood disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye
moventent yang berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut,
dan rasa lapar yang tak terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2
sampai 4 hari dan hilang dalam I minggu. Gejala putus zat yang paling serius
adalah depresii yang terutama dapat menjadi berat setelah penggunaan amfetamin
dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh diri.
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3)
merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis
tersebut.9,12,13
Delirium pada lntoksikasi Amfetamin
Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul
akibat amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi
tidur memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta
penggunaan amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada
sebelumnya juga dapat menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang
mahasiswa universitas yang menggunakan amfetamin untuk belajar kilat
menghadapi uiian menunjukkan delirium jenis ini.9,12,13
Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin
Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid
telah memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi
amfetamin untuk menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda
gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan
psikotik terinduksi amfetamin dapat dibedakan dengan skizofrenia paranoid
dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan pada gangguan psikotik
terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi halusinasi visual, afek yang
secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas, kebingungan dan
inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi longgar).
Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan
psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi
amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada
skizofrenia. Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang
akut mungkin tidak dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi
gejala.9,12,13
dalam beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang
akhirnya akan menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan
psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan .jangka pendek obat antipsikotik
seperti haloperidol (Haldol).9,12,13
Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin
Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi
atau putus zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood
campuran, sementara keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood
depresif.9,12,13
Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin
Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan
yang terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama,
gangguan tbbia. Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi
saat inloksikasi atau putus zat.9,12,13
Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin
Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual;
namun, dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan
ereksi dan disfungsi seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-IV-
TR sebagai disfungsi seksual terinduksi amletamin.9, 12,13
Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin
Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur,
sementara orang yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat
mengalami hipersomnolen dan mimpi buruk.9, 12,13
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1.8 Laboratorium :6
 Elektrolit : akut bisa memberikan gambaran hipokalemi sedangkan pada
intoksikasi amfetamin yang berat memberikan gambaran hiperkalemi.
 Glukosa darah : pada pemeriksaan gula darah memberikan gambaran
hipoglikemi
 Fungsi ginjal : gagal ginjal berhubungan dengan rhabdomyolisis dan trombosis
arteri ginjal pernah dilaporkan pada penyalahgunaan amfetamin.
 Urinalisis untuk skrining amfetamin atau zat adiktif lain yang digunakan
bersama-sama,
 Tes kehamilan : semua wanita yang berada dalam usia subur sbaiknya dilkukan
tes kehamilan
 Fungsi hati : kerusakan hati mungkin terjadi pada intoksikasi akut. Sebagai
tambahan, pasien yang menggunakan amfetamin beresiko untuk terinfeksi
hepatitis, yang pada akirnya bias menyebabkan perubahan mental.
 Jumlah sel darah : anemia, lekositosis, dan leucopenia
 Toksikologi : Urine drug screens : Benzoylecogonine (bentuk metabolic
kokain) bisa ditemukan pada urin 60 jam setelah menggunakan amfetamin.
Pada pengguna amfetamin yang berat bisa ditemukan sampai 22 hari.
 Enzim jantung : pada pengguna amfetamin terdapat angka prevalensi yang
tinggi untuk terjadinya myocardial infection, pasien yang dating dengan nyeri
dada dan riwayat penggunaan amfetamin bisa dipikirkan untuk melakukan
pemeriksaan enzim jantung.
2. Gambaran Radiologi :
 Chest x-Ray
 CT-Scan.
3. Tes lain : Analisa gas darah, ECG

2.8 Penatalaksaan

Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia


paranoid. Pada psikosis akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan
klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang
dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5.

2.9 Komplikasi
Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan
dosis yang tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah diantaranya psikosis,
kelainan psikologis dan perilaku, perubahan mood, dan kekurangan nutrisi. Dalam
keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan euforia,
keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 – 12% pengguna mengalami
halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna
amfetamin mengalami kejang-kejang.10
BAB III
LAPORAN KASUS

I IDENTITAS PASIEN
Nama : ZH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 27/07/1999
Umur : 20 tahun
Alamat : Aceh Besar
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 27 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 27 November 2019
II Identitas Sumber Alloanamnesis
Nama : RM
Alamat : Aceh Besar
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dg pasien : Kakak sepupu

III RIWAYAT PSIKIATRI


Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 1604813687
2. Autoanamnesis : 04 Desember 2019
A. Sebab Utama
Pasien mengamuk, berbicara kacau dan mengancam keluarga dengan senjata
tajam.
B. Keluhan Utama
Mengamuk dan mengancam keluarga.
a. Autoanamnesis
Pasien mengatakan bahwa dirinya di bawa ke Rumah Sakit Jiwa Aceh dipaksa
oleh keluarganya untuk berobat malam hari saat sedang santai duduk di rumah. Pasien
menegaskan bahwa dirinya tidak sakit dan tidak tahu mengapa dia dibawa ke rumah
sakit. Pasien juga menyangkal menggunakan zat terlarang.
b. Alloanamnesis
Berdasarkan anamnesa yang dilakukan pada abang kandung pasien mengatakan
bahwa perilaku adiknya berubah sejak 1 bulan terakhir namun memberat sekitar 3 hari
terakhir. Pasien mulai sulit tidur dan berbicara sendiri. Pasien sulit mengontrol emosi.
Awalnya pasien mengamuk, berbicara sendiri dan mengancam keluarga pasien dengan
pisau. Keluarganya mengatakan bahwa sebelumnya pasien sering seperti sedang
berbicara dengan orang lain dan tampak takut serta meminta keluarga untuk menutup
pintu rumah karena ada orang yang lewat yang ingin masuk ke dalam rumah dan
menyakitinya. Pasien juga sempat tidak mengenali anggota keluarganya. Menurut
keterangan keluarga pasien merupakan menggunakan narkoba jenis sabu-sabu hisap
sejak 2 tahun yang lalu.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Aceh diantar oleh
keluarganya dan POLSEK pada tanggal 27 November 2019. Pasien mengamuk, bicara
sendiri dan mengancam keluarga dengan pisau. Pasien sebelumnya telah tampak sering
melamun, senyum-senyum sendiri dan berbicara sendiri sekitar 1 bulan terakhir.
Namun sejak 3 hari terakhir keluhan yang dialami pasien memberat. Pasien mulai
mengamuk dan mengancam keluarga dengan pisau. Pasien melihat ada orang lewat dan
ingin masuk ke rumah untuk menyakitinya. Pasien menggunakan sabu-sabu dalam 2
tahun terakhir.
C. Riwayat Penyakit Sebelumnya
1. Riwayat psikiatrik : Pasien belum pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) Aceh sebelumnya.
2. Riwayat penyakit medis umum: Tidak ada
3. Penggunaan NAPZA : sabu-sabu
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengeluhkan gejala seperti pasien.
E. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mengkonsumsi obat gangguan jiwa sebelumnya.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal bersama
keluarganya namun tidak sering berkomunikasi dengan keluarga, cenderung
pendiam dan tertutup. Jika ada acara keluarga, pasien lebih sering memilih
keluar bersama teman-teman. Pasien saat seorang mahasiswa yang masih aktif.
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah Sekolah Menengah Atas, saat ini pasien
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasa di Banda Aceh.

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal
Pasien merupakan anak ketiga dari tigaa bersaudara, pasien adalah anak
yang diharapkan, selama mengandung ibu ada melakukan pemeriksaan kehamilan dan
tidak ada keluhan selama kehamilan, lahir spontan di bidan dengan berat dan panjang
badan normal.
2. Riwayat masa (0-3 tahun)
Pasien diasuh oleh orang tua, mendapatkan ASI eksklusif, pertumbuhan
dan perkembangan sesuai dengan anak seusianya. Sejak kecil paling dekat dengan
ibunya.
3. Riwayat masa (4-11 tahun)
Pasien anak yang biasa saja, tidak pernah tinggal kelas, dapat beradaptasi
dengan teman sebayanya.
4. Riwayat masa remaja
Pasien merupakan anak yang dapat bergaul dengan baik. Pasien lebih
senang berkomunikasi dengan teman-temannya. Jarang mengikuti acara keluarga.
Cenderung tidak banyak bercerita jika bersama keluarga.
5. Riwayat psikoseksual
Tidak mempunyai riwayat penyimpangan seksual.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 72 x/ menit
4. Frekuensi Napas : 18 x/ menit
5. Temperatur : 36.8 ˚C
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICS V Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

IV. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Laki-laki, sesuai umur, tidak rapi
2. Kebersihan : Tidak bersih
3. Pembicaraan : banyak bicara
4. Kesadaran : Compos mentis
5. Perilaku & Psikomotor : Hiperaktif
6. Sikap terhadap Pemeriksa : Tidak kooperatif
B. Mood dan Afek
1. Mood : Hipertimik
2. Afek : Terbatas
3. Keserasian Afek : Sesuai
C. Pembicaraan
Banyak bicara
D. Pikiran
1. Arus pikir
● Koheren : (-)
● Inkoheren : (-)
● Neologisme : (-)
● Sirkumstansial : (-)
● Tangensial : (-)
● Asosiasi longgar : (+)
● Flight of idea : (-)
● Blocking : (-)
2. Isi pikir
● Waham
1. Waham Bizzare :(-)
2. Waham Somatik :(-)
3. Waham Erotomania :(-)
4. Waham Paranoid
● Waham Curiga : (-)
● Waham Kebesaran : (-)
● Waham Referensi : (-)
● Waham Dikendalikan : (-)
● Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)

E. Persepsi
1. Halusinasi
● Auditorik : (-)
● Visual : (+)
● Olfaktorius : (-)
● Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Terganggu
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
● Waktu : Pasien tidak dapat menyebutkan jam, hari tanggal dan tahun
● Tempat : Pasien tahu sedang berada dimana
● Diri : Pasien mampu mengenali anggota keluarganya
4 Daya ingat
● Seketika : Tidak Terganggu
● Jangka Pendek : Tidak Terganggu
● Jangka Panjang : Tidak Terganggu
5. Pikiran Abstrak : Terganggu
H. Daya nilai
● Normo sosial : Terganggu
● Uji Daya Nilai : Terganggu
I. Pengendalian Impuls : Terganggu
J. Tilikan : T1
K. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya

V. RESUME
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Aceh pada
tanggal 27 November 2019. Pasien tampak mengamuk. Pasien juga mengancam
keluarganya dengan pisau. Pasien sebelumnya telah tampak sering melamun, senyum-
senyum sendiri dan berbicara sendiri sekitar 1 bulan terakhir. Pasein sering menyendiri
dan mengatakan ada orang lewat dan ingin masuk ke dalam rumah untuk menyakitinya.
Karena itu pasien meminta agar pintu rumah ditutup. Pasien juga sempat tidak
mengenali anggota keluarganya. Pasien mengkonsumsi sabu-sabu sejak 2 tahun
terakhir. Pasien merupakan anak yang cenderung pendiam dan tertutup. Pada
pemeriksaan status mental didapatkan halusinasi visual.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat stimulansia lainnya
termasuk kafein
2. gangguan psikotik predominan halusinasi
3. Skizofrenia paranoid
4. Gangguan afektif
5. Gangguan kepribadian paranoid

VII. DIAGNOSIS KERJA


F 19.52 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk
kafein, gangguan psikotik predominan halusinasi

VIII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : F 15.52 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain
termasuk kafein , gangguan psikotik predominan halusinasi
Axis II : Tidak ada
Axis III: Tidak ada
Axis IV: Masalah psikosial
Axis V : GAF 50-41 gejala berat atau serius disabilitas berat.

IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Haloperidon amp 5 mg /24 jam IM
Risperidon tab 2 mg/ 12 jam PO
Trihexyfenidil 2 mg/ 12 jam PO
Loraepam 2 mg/ 24 jam PO
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan pentingnya
kepatuhan minum obat bagi kesembuhan penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik.
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai kondisi pasien
dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan kepada pasien agar
proses penyembuhannya lebih baik.

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

XI. FOLLOW-UP HARIAN


Tgl Pemeriksaan Evaluasi Terapi
S/ Pasien mengamuk, bicara kacau, Risperidon 2 mg/ 12 jam PO
27 November 2019 sulit diwawancara, menyangkal Trihexyfenidil 2 mg/ 12 jam PO
pernyataan.
O/Penampilan : laki-laki, sesuai Loraepam 2 mg/ 24 jam PO
usia,tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : tidak kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan: spontan, banyak
bicara
Proses pikir : asosiasi longgar
Isi pikir :Halusinasi auditorik (+),
ilusi (-), delusi (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : sesuai
Tilikan : T1
Ttv : TD : 110/70 mmhg
HR : 70x/i
RR : 18x/i
T: 36,6

A/ Gangguan mental dan


perilaku akibat penggunaan
stimulansia lain termasuk
kafein, gangguan psikotik
predominan halusinasi
S/ pasien sulit diajak berbicara, Risperidon 2 mg/ 12 jam PO
30 November 2019 menyangkal pernyataan. Tidur Trihexyfenidil 2 mg/ 12 jam PO
malam kurang
O/Penampilan : laki-laki, sesuai Loraepam 2 mg/ 24 jam PO
usia,tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kurang kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan: spontan, banyak
bicara
Proses pikir : asosiasi longgar
Isi pikir :Halusinasi auditorik (+),
ilusi (-), delusi (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : sesuai
Tilikan : T1
Ttv : TD : 100/70 mmhg
HR : 74x/i
RR : 18x/i
T: 36,6

S/ pasien sulit diajak berbicara, Risperidon 2 mg/ 12 jam PO


02 Desember 2019 menyangkal pernyataan. Tidur Trihexyfenidil 2 mg/ 12 jam PO
malam kurang
O/Penampilan : laki-laki, sesuai Loraepam 2 mg/ 24 jam PO
usia,tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kurang kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan: spontan, banyak
bicara
Proses pikir : asosiasi longgar
Isi pikir :Halusinasi auditorik (+),
ilusi (-), delusi (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : sesuai
Tilikan : T1
Ttv : TD : 100/70 mmhg
HR : 74x/i
RR : 18x/i
T: 36,6
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki usia 20 tahun datang dibawa oleh keluarga dan anggota polisi
dengan keluhan mengamuk dan mengancam keluarga dengan pisau. Pasien sejak 1
bulan yang lalu sudah mulai terlihat aneh, suka menyendiri, bicara sendiri. 3 hari yang
lalu pasien mulai sulit mengontrol emosi. Pasein sering menyendiri dan mengatakan
ada orang lewat dan ingin masuk ke dalam rumah untuk menyakitinya. Karena itu
pasien meminta agar pintu rumah ditutup. Pasien juga sempat tidak mengenali anggota
keluarganya. Pasien mengkonsumsi sabu-sabu sejak 2 tahun terakhir. Pasien
merupakan anak yang cenderung pendiam dan tertutup. Pada pemeriksaan status
mental didapatkan halusinasi visual.
Psikosis adalah gejala penyakit kesehatan mental yang lazim di masyarakat saat
ini. Sebanyak tiga dari 100 orang akan mengalami episode psikosis dalam hidup
mereka [5]. Sebuah studi pasien yang dirawat di rumah sakit dengan psikosis
ditemukan bahwa 74% dari mereka telah didiagnosis dengan gangguan penggunaan
narkoba. [6]. Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan narkoba adalah penyebab
utama psikosis, suatu topik yang perlu diselidiki lebih lanjut.
Studi oleh Vallersnes et al. pada tahun 2016, psikosis terjadi pada 6,3% pasien
yang dirawat di gawat darurat karena intoksikasi akut. Pasien yang mengalami psikosis
berada di usia produktif yaitu pada rentang 25-44 tahun. Berdasarkan jenis kelamin
79,3% adalah laki-laki dan 32,8% adalah perempuan. Obat-obatan yang paling sering
dilaporkan digunakan adalah ganja dalam 25,9% kasus diikuti oleh amfetamin dalam
25%. Amphetamine adalah obat yang paling sering digunakan terkait dengan psikosis
terjadi pada 32,4% dari kasus [7].
Selain risiko menginduksi psikosis akut, penggunaan stimulan secara teratur,
terutama amfetamin dan metamfetamin, telah ditemukan sebagai faktor risiko utama
yang menyebabkan timbulnya psikosis kronis atau skizofrenia. Yui et al. telah
menemukan bahwa pengguna metamfetamin mungkin memiliki gejala psikotik yang
bertahan selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun setelah penghentian
metamfetamin. Selain itu, pasien dengan psikosis yang diinduksi stimulan sebelumnya
memiliki risiko lebih besar untuk episode berikutnya [3].
Stimulan memanipulasi transmisi monoamin. Monoamin terdiri dari dopamin,
norepinefrin, dan serotonin. Monoamin berfungsi dalam proses reward, motivasi,
pengaturan suhu dan jalur nyeri. Stimulan biasanya memblokir reuptake atau
menstimulasi penghabisan dopamin dan norepinefrin, meningkatkan aktivitas dalam
sirkuit mereka [9]. Jalur dopaminergik yang diubah oleh stimulan adalah jalur
mesokortikal, mesolimbik, dan nigrostriatal. Jalur mesokortikal dikaitkan dengan
fungsi kognitif, seperti memori yang bekerja. Jalur mesolimbik terhubung dengan
pemrosesan reward, mengarahkan emosi ke dalam tindakan dan terlibat dengan
pengembangan pola perilaku. Jalur nigrostriatal bekerja untuk menghasilkan gerakan
untuk mendapatkan hadiah, dan mengarah pada pengembangan perilaku kebiasaan.
Ketika jalur ini diubah oleh stimulan, mereka dikaitkan dengan gejala "negatif" (jalur
mesokortikal), gejala "positif" (jalur mesolimbik) dan gangguan gerakan (jalur
nigrostriatal), masing-masing [9].
Halusinasi dan delusi telah diklasifikasikan sebagai gejala "positif". Dengan
demikian, psikosis dapat menjadi hasil dari peningkatan aktivitas sistem mesolimbik.
Jalur mesolimbik terdiri dari proyeksi dari daerah tegmental ventral (VTA) ke nucleus
accumbens, juga dikenal sebagai ventral striatum otak depan. Nukleus accumbens
memediasi efek reward. Antipsikotik adalah antagonis reseptor dopaminergik D2.
Reseptor D2 memodulasi pelepasan pemancar dan menghambat jalur tidak langsung
striatum, sehingga menyebabkan lebih banyak kesenangan. Antipsikotik mencegah
reseptor D2 dari menghambat jalur tidak langsung, memungkinkan efek penghambatan
dari jalur tidak langsung untuk melanjutkan [9]. Pengetahuan ini telah berguna dalam
memahami fisiologi psikosis, karena antipsikotik mengobati gejala psikotik positif [1,
4, 9].
Menurut studi oleh Hsieh et al. psikosis yang diinduksi oleh stimulan mungkin
merupakan hasil dari neurotoksisitas yang menyebabkan kerusakan pada interneuron
asam gamma-aminobutyric kortikal (GABA) kortikal. Pelepasan dopamine yang
berlebihan menyebabkan peningkatan jalur dopaminergik yang berlebihan. Hal ini
menyebabkan terlepasnya sejumlah besar neurotransmitter glutamat ke dalam korteks.
Glutamat berikatan dengan reseptor NMDA, yang sangat terkonsentrasi pada
interneuron GABA. GABA dikenal sebagai neurotransmitter penghambatan, sehingga
konsentrasi glutamat yang diatur dan GABA memungkinkan fungsi tubuh yang baik.
Kelebihan glutamat dapat menyebabkan kerusakan pada interneuron, menyebabkan
disregulasi sinyal talamokortikal, menghasilkan psikosis [10].
Penyebab paling umum dari psikosis yang diinduksi stimulan adalah penggunaan
amfetamin dan metamfetamin [7]. Mereka menghambat pengambilan kembali
dopamin ke dalam neuron dengan mengikat transporter dopamin (DAT), menghasilkan
peningkatan konsentrasi dopamin dalam celah sinaps. Mereka juga memanfaatkan
transporter monoamine vesikular 2 (VMAT2) untuk memasuki vesikel neurosekretoris
dalam neuron. Amfetamin memindahkan dopamin ke dalam vesikel, menghasilkan
pelepasan dopamin ke celah [3, 10]. Pencegahan reuptake dopamin ini dengan
tambahan pelepasan dopamin menghasilkan peningkatan konsentrasi dopamin di jalur
mesolimbik dan mesokortikal. Proyek jalur mesokortikal dari VTA ke berbagai area
korteks prefrontal. Proyeksi korteks prefrontal dorsolateral mengatur fungsi kognitif
dan fungsi eksekutif [9].
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis psikiatri. Ilmu pengetahuan perilaku psikitri klinis
edisi 10. Alih bahasa: Widjaja kusuma. Jawa barat: Binarupa aksara
2. Departemen Kesehatan R I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta.
3. Kusminarno, Ketut. 2002. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Cermin dunia kedokteran no. 135
hal 17-20. Jakarta.
4. Bramness JG, Gundersen OH, Gusterstam J, et al.: Amphetamine-induced
psychosis - a separate diagnostic entity or primary psychosis triggered in the
vulnerable?. BMC Psychiatry. 2012, 12:221. 10.1186/1471-244X-12-221
5. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition. American Psychiatric Association, Arlington, VA;
2013. 10.1176/appi.books.9780890425596
6. Yui K, Ikemoto S, Ishiguro T, Goto K: Studies of amphetamine or
methamphetamine psychosis in Japan: relation of methamphetamine psychosis to
schizophrenia. Ann N Y Acad Sci. 2000, 914:1-12. 10.1111/j.1749-
6632.2000.tb05178.x
7. Zarrabi H, Khalkhali M, Hamidi A, Ahmadi R, Zavarmousavi M: Clinical features,
course and treatment of methamphetamine-induced psychosis in psychiatric
inpatients. BMC Psychiatry. 2016, 16:44. 10.1186/s12888-016-0745-5
8. Early psychosis and psychosis. (2018). Accessed: February 22,
2019: https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Psychosis.
9. Lambert M, Conus P, Lubman DI, et al.: The impact of substance use disorder on
clinical outcome in 643 patients with first-episode psychosis. Acta Psychiatr Scand.
2005, 112:141-148. 10.1111/j.1600-0447.2005.00554.x
10. Vallersnes OM, Dines AM, Wood DM, et al.: Psychosis associate with acute
recreational drug toxicity: a European case series. BMC Psychiatry. 2016,
16:293. 10.1186/s12888-016-1002-7
11. Harris CR, Jenkins M, Glaser D: Gender differences in risk assessment: why do
women take fewer risks than men?. Judgm Decis Mak. 2006, 1:48-63.
12. Blumenfeld H: Neuroanatomy through Clinical Cases. Sinauer Associates,
Sunderland, MA; 2010.
13. Hsieh JH, Stein DJ, Howells FM: The neurobiology of methamphetamine induced
psychosis. Front Hum Neurosci. 2014, 8:537. 10.3389/fnhum.2014.00537
14. Myles N, Newall HD, Curtis J, Nielssen O, Shiers D, Large M: Tobacco use before,
at, and after first-episode psychosis: a systematic meta-analysis. J Clin Psychiatry.
2012, 73:468-475. 10.4088/JCP.11r07222
15. Brisch R, Saniotis A, Wolf R, et al.: The role of dopamine in schizophrenia from a
neurobiological and evolutionary perspective: old fashioned, but still in vogue.
Front Psychiatry. 2014, 5:47. 10.3389/fpsyt.2014.00047
16. Bousman CA, Glatt SJ, Everall IP, Tsuang MT: Methamphetamine-associated
psychosis: a model for biomarker discovery in schizophrenia. Handbook of
Schizophrenia Spectrum Disorders. Ritsner MS (ed): Springer Science+Business
Media B.V., Israel; 2011. 1:327-343. 10.1007/978-94-007-0837-2_15
17. Kishimoto M, Ujike H, Motohashi Y, et al.: The dysbindin gene (DTNBP1) is
associated with methamphetamine psychosis. Biol Psychiatry. 2008, 63:191-
196. 10.1016/j.biopsych.2007.03.019

Anda mungkin juga menyukai