Anda di halaman 1dari 62

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

PENANGANAN KUSTA DALAM KEDOKTERAN KELUARGA

Oleh:
Darwangsah Adhe Arya, S.Ked (K1A1 13 008)
Waode Nurul Rezki (K1A1 13 065)
Evin Desmawan (K1A1 13 127)
Abdul Rachmad Masumi, S.Ked (K1A1 14 001)
Nurfitrah Wahyuni, S.Ked (K1A1 14 033)
Dita Citra Pratiwi, S.Ked (K1A1 14 054)

Pembimbing:
dr. Indria Hafizah, M.Biomed

KEPANITERAAN KLINIK IKM-IKK


PUSKESMAS PUUWATU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Darwangsah Adhe Arya, S.Ked (K1A1 13 008)

Waode Nurul Rezki (K1A1 13 065)

Evin Desmawan (K1A1 13 127)

Abdul Rachmad Masumi, S.Ked (K1A1 14 001)

Nurfitrah Wahyuni, S.Ked (K1A1 14 033)

Dita Citra Pratiwi, S.Ked (K1A1 14 054)

Judul : Penanganan Kusta dalam Pendekatan Kedokteran Keluarga

Telah menyelesaikan tugas laporan dalam rangka kepanitraan klinik pada

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo.

Kendari, Agustus 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indria Hafizah, M.Biomed

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan

sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Tanpa

pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan ini

dengan baik. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat

sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu

untuk menyelesaikan pembuatan laporan kasus ini sebagai tugas dalam rangka

menyelesaikan stase ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu kedokteran komunitas

dengan judul “Penanganan Kusta Dalam Kedokteran Keluarga”.

Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, supaya nantinya

dapat menjadi lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada

laporan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya

kepada dosen pembimbing kami yang telah membimbing dalam penulisan lapora ini.

Demikian, semoga laporan ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, Agustus 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................... 5
B. Tujuan ................................................................................ 6
C. Manfaat .............................................................................. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kusta……………………………………………………...8
B. Peran Dokter Keluarga Dalam Penanganan Kusta …......27
C. Peran Keluarga Dalam Penanganan Kusta……...……….33
BAB III. METODE PENGUMPULAN DATA
A. Data yang Dikumpulkan .................................................. 36
B. Cara Pengambilan Data ................................................... 36
BAB IV. HASIL KEGIATAN PUSKESMAS DAN HASIL PENGUMPULAN
DATA
D. Gambaran Singkat Puskesmas…………………………...37
E. Data Sekunder Hasil Pelaporan Puskesmas…………......38
F. Hasil Pengumpulan Data Primer…………...…………….40
BAB V. MASALAH KESEHATAN
A. Mandala Of Health ......................................................... 49
B. Diagnosis Holistik ........................................................... 51
BAB VI. PEMECAHAN MASALAH PRIORITAS DAN USULAN KEGIATAN
A. Rencana Penatalaksanaan................................................ 52
B. Pembahasan ..................................................................... 52
BAB VII. PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................... 57
B. Saran ................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 59
LAMPIRAN ............................................................................................ 60

4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler
obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat. Faktor resiko terjadinya penyakit kusta yaitu faktor
imunitas, genetik, status gizi dan ekonomi, umur, lama kontak, faktor kontak,
jenis kelamin, dan tipe kusta. Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta
paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal, yaitu bercak kulit yang
mati rasa berupa bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula)
atau meninggi (plak), penebalan saraf tepi, dan ditemukan BTA pada
pemeriksaan hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif.4,12
Berdasarkan data WHO tahun 2015 kasus baru kusta di dunia adalah
sekitar 210,758 kasus. Dari jumlah kasus tersebut paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (156,118) diikuti regional Amerika (28,806) dan
Afrika (20,004) dan sisanya berada di regional lain. Angka prevalensi kusta di
Indonesia tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10,000 penduduk dan angka
penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus/100,000 penduduk. Berdasarkan
Pusdatin (2017) kasus baru kusta di Sulawesi Tenggara pada tahun 2017
berjumlah 337 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya berjumlah 329 kasus .
Sementara itu kasus penderita kusta di wilayah kerja puskesmas Puuwatu dari
Januari hingga Desember 2018 sebanyak 3 kasus dan pada periode Januari
hingga Juli 2019 terdapat 3 kasus baru kusta dimana 2 diantaranya sudah
mengalami RFT (Release From Treatment).14
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari

5
segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis. Dokter
keluarga adalah dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
berorientasi komunitas dengan titik berat kepada keluarga, ia tidak hanya
memandang penderita sebagai individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari
unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi bila perlu aktif
mengunjungi penderita atau keluarganya. Pelayanan yang diberikan dapat
berupa promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam kasus kusta, ada
beberapa hal yang harus dilakukan sebagai seorang dokter keluarga, antara
lain melakukan pendekatan epidemiologi secara langsung, melakukan
pengobatan, dan melakukan promosi kesehatan mengenai kusta pada keluarga
pasien.17,18
Keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan
seluruh anggota keluarganya dan bukan individu itu sendiri yang
mengusahakan tercapainya tingkat kesehatan yang diinginkannya. Keluarga
sebagai sumber dukungan sosial bagi anggota keluarga lainnya. Dukungan
sosial akan semakin dibutuhkan pada saat seseorang sedang menghadapi
masalah atau sakit, disinilah peran anggota keluarga diperlukan untuk
menjalani masa-masa sulit dengan cepat. Penelitian yang dilakukan oleh
Khotimah pada tahun 2014 menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kepatuhan minum obat
kusta. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Zakiyyah et al., pada tahun 2015
menyatakan bahwa dukungan sosial keluarga signifikan berhubungan dengan
kepatuhan minum obat penderita kusta Berdasarkan latar belakang diatas,
maka penulis tertarik mengerjakan laporan kasus bpenanganan kusta dalam
kedokteran keluarga. 17
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan melakukan pendekatan kedokteran keluarga pada pasien
yang menderita kusta

6
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan
siklus keluarga) keluarga pasien Kusta.
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien Kusta
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien Kusta dan
keluarganya

C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menerapkan dan memperkaya ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari perkuliahan yang diterapkan dalam kedokteran keluarga secara
langsung kepada pasien.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh
instansi terkait sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan mengenai
kasus kusta dalam pencegahan dan diagnosis secara holistikyang
mempertimbangkan faktor keluarga dalam pengobatan dan
pencegahannya.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi dan pemahaman tidak hanya untuk pasien
tetapi juga keluarga pasien mengenai peranan keluarga dalam menangani
penyekit yang diderita.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KUSTA
1. DEFINISI
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler
obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan namaMorbus Hansen atau lepra. Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum4.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah
salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, dan psikologi4.
2. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis
dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok
umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Berdasarkan data WHO tahun 2015 kasus baru kusta di dunia adalah sekitar
210,758 kasus. Dari jumlah kasus tersebut paling banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (156,118) diikuti regional Amerika (28,806) dan Afrika (20,004) dan
sisanya berada di regional lain.5,6
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1
per 10,000 penduduk pada tahun 2000. Angka prevalensi kusta di Indonesia tahun

8
2017 sebesar 0,70 kasus/per 10,000 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sebesar 6,08 kasus per 100,000 penduduk. Sementara itu kasus penderita kusta di
wilayah kerja puskesmas Puuwatu dari Januari hingga Desember 2018 sebanyak
3 kasus dan pada periode Januari hingga Juli 2019 terdapat 3 kasus baru kusta
dimana 2 diantaranya sudah mengalami RFT (Release From Treatment)6
3. FAKTOR RESIKO
a. Faktor Imunitas
Faktor imunitas adalah faktor yang menunjukkan ketahanan
seseorang terhadap infeksi M. leprae, sebagian besar manusia mempunyai
kekebalan alamiah terhadap kusta. Respon imun pada penyakit kusta
sangat kompleks yaitu melibatkan imunitas seluler dan humoral. Sebagian
besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi
terhadap antigen yang ditimbulkan oleh Mycobacterium leprae. Jika respon
imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat
dihambat pada stadium awal sehingga dapat mencegah perkembangan tanda
dan gejala klinis selanjutnya12.
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler, maka
faktor respon imun seluler memegang peranan penting dalam ketahanan
tubuh terhadap infeksi. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi
makrofag dengan meningkatnya kemampuan dalam menekan multiplikasi
atau menghancurkan bakteri. Riwayat vaksinasi BCG merupakan vaksin
yang terbukti mempunyai efek proteksi terhadap M. leprae. Di samping itu
BCG dapat memberikan sensitisasi awal sehingga dapat meningkatkan
respon imunitas seluler seseorang terhadap M. leprae dikemudian hari12.
b. Faktor Genetik
Faktor genetik telah lama dipertimbangkan karena memiliki peranan
besar untuk terjadinya penyakit kusta pada suatu kelompok tertentu, faktor
genetik juga menentukan derajat imunitas seseorang terhadap infeksi kuman
patogen termasuk M. leprae. Diantara faktor-faktor genetik, faktor HLA

9
terutama HLA kelas II ternyata memainkan peranan yang lebih besar
terhadap kerentanan penyakit. Peranan HLA dalam menentukan
kerentanan seseorang terhadap M. leprae. Oleh karena ada banyak molekul
HLA setiap individu akan berbeda tipe HLA-nya yang juga akan
menyebabkan perbedaan respon imunitas seseorang terhadap antigen
M.leprae12.
c. Status Gizi dan Status Ekonomi
Penyakit kusta bisa menyerang siapa sana. Namun demikian secara
statistik penyakit kusta banyak menyerang masyarakat dengan sosial
ekonomi rendah, hal ini dikaitkan dengan rendahnya daya tahan tubuh, gizi
yang kurang baik dan lingkungan serta higiene yang tidak baik. Kondisi
sosial ekonomi yang rendah, rumah yang buruk dan terlalu padat
berpengaruh juga terhadap penularan penyakit kusta. Rendahnya angka
kasus baru di Eropa dihubungkan dengan perbaikan keadaan sosial
ekonomi. Hasil penelitian Muttaqin di Sumenep mendapatkan bahwa ada
hubungan secara bersama-sama antara tingkat pencahayaan rumah pada
daerah dengan status ekonomi rendah antara narakontak serumah dengan
terjadinya kusta subklinis12.
d. Umur
Peranan faktor umur terhadap kerentanan penyakit kusta telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Pada umumnya dilaporkan bahwa
prevalensi ini meningkat sampai usia 20 tahun, kemudian mendatar antara 20
sampai 50 tahun, dan setelah itu menurun. Perbedaan kerentanan karena
faktor umur ini diduga disebabkan karena lamanya paparan dengan kuman
M. Leprae12.
Distribusi kelompok umur untuk penyakit kusta, prevalensi kusta
mencapai puncaknya pada kelompok umur 10-20 tahun, kemudian kelompok
umur 30-60 tahun dan sisanya tersebar pada semua kelompok umur.
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia, tetapi terbanyak diderita oleh

10
usia dewasa muda. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan
antara kelompok umur dengan kejadian kusta stadium subklinis. Hal ini
mungkin disebabkan oleh faktor lain seperti sistim kekebalan tubuh
atau imunitas berbeda, lingkungan sekitar, gizi dan lain-lain. Lebih lanjut
Agusni mengatakan penyakit kusta menyerang segala umur, namun jarang
sekali pada anak-anak usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan dengan masa
inkubasi penyakit ini yang cukup lama. Meskipun sebagian besar penduduk
di daerah endemik kusta pernah terinfeksi Mycobacterium leprae, tidak
semua akan terkena penyakit ini karena adanya kekebalan alamiah
terhadap kuman ini12.
e. Lama Kontak
Lama kontak merupakan faktor yang penting dalam penularan
penyakit kusta. Semakin lama atau semakin sering kontak dengan penderita
akan semakin besar resiko untuk tertular kusta. Hal ini berhubungan dengan
dosis paparan serta terkait juga dengan masa inkubasi yang lama yaitu 2-5
tahun.Sebagian besar ahli mengatakan bahwa masa inkubasi kusta adalah 2-5
tahun, akan tetapi telah melaporkan bahwa penderita kusta dalam kurun
waktu singkat pun telah dapat menularkan penyakitnya kepada hampir seluruh
narakontaknya. Lebih lanjut Muttaqin mengatakan bahwa derajat dan lama
kontak merupakan hal penting sebagai faktor risiko penularan oleh karena
hal itu berhubungan paparan dosis. Paparan yang terlalu besar oleh karena
terlalu sering dan lama kontak dengan penderita akan menyebabkan
infeksi lebih berat. Hal ini terbukti dengan tingginya angka insidensi kusta
pada orang-orang kontak dengan penderita12.
Terdapat hubungan antara lama kontak dengan terjadinya kusta
subklinis dengan lama kontak dengan penderita. Kenyataan ini mendukung
pendapat bahwa penularan kusta yang paling berperan dengan cara kontak
yang lama, intim, terus menerus, serta semakin lama terpapar maka semakin
besar berisiko tertular atau terkena infeksi subklinis dan juga tergantung pada

11
faktor lainnya seperti imunitas, status gizi, serta faktor dari lingkungan
sekitarnya serta masa inkubasi penyakit kusta yang lama (2-5 tahun) 12.
f. Faktor Kontak
Faktor kontak erupakan salah satu faktor risiko tertular kusta.
Tingginya risiko kontak serumah dengan penderita kusta selama 5-6 tahun
pada 23.000 narakontak serumah sebesar hampir 10 kali dibandingkan
nonkontak. Risiko ini lebih besar pada kontak serumah dengan penderita
MB dibandingkan kontak dengan penderita PB. Kontak serumah lebih
dari satu penderita lebih tinggi dibandingkan dengan jika hanya satu
penderita12.
Distribusi narakontak serumah pada kusta subklinik terbanyak
memiliki lama kontak dengan penderita selama >2 tahun sebanyak 21
(36,2%) sedangkan yang terkecil 1-2 tahun sebanyak 17 (29,3%). Lama
kontak terpendek 6 bulan, sedangkan lama kontak terpanjang 4 tahun.
Rerata lama kontak 24 bulan atau 2 tahun. Hal ini terbukti bahwa bila
aparan yang terlalu besar oleh karena terlalu sering dan lama kontak dengan
penderita akan menyebabkan infeksilebih berat12.
g. Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin pada penderita kusta menunjukkan lebih
banyak pada pria dibandingkan pada wanita, kecuali di beberapa negara di
Afrika.Perbedaan ini lebih jelas terjadi pada anak-anak terutama pada
penderita kusta tipe kusta lepramatosa daripada tipe tuberkuloid. Suatu
penelitian longitudinal di India Selatan menunjukkan bahwa angka
insidensi pada wanita sebesar 6,3 per 1000 dibandingkan pada pria sebesar
7,1 per 1000. Perbedaan tersebut diduga adanya perbedaan hormonal atau
karena pria lebih mobil, sehingga kemungkinan tertular lebih besar atau
adanya tradisi setempat yang menyebabkan wanita lebih sukar diteliti

12
daripada pria, maka kemungkinan adanya penderita pada kelompok wanita
tidak diketahui dan dilaporkan12.
Hasil penelitian pada penderita kusta subklinis menunjukkan tidak
jauh berbeda perbandingan antara laki-laki dan perempuan. Tingginya
narakontak perempuan ini mungkin dikarenakan wanita lebih bebas
diikut sertakan dalam penelitian ini sedangkan pria banyak bekerja.
Kesimpulan yang didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan terjadinya kusta stadium subklinis12.
h. Tipe Kusta
Telah diketahui bahwa sumber penularan basil kusta adalah penderita
kusta tipe MB yang belum diobati Secara teoritis kusta tipe MB akan
menyebarkan kuman lebih banyak ke lingkungan sekitarnya dibandingkan
kusta tipe PB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa infeksi subklinis
akan lebih banyak didapatkan pada nara kontak kusta tipe12.
Dari hasil analisis diketahui bahwa terjadinya kusta subklinis pada
narakontak serumah lebih banyak terjadi pada orang yang kontak
dengan penderita kusta tipe MB dibandingkan dengan tipe PB. Hasil
analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara orang yang kontak
dengan tipe kusta dengan terjadinya kusta subklinis12.
Kenyataan ini mendukung pendapat bahwa penderita kusta tipe
MB akan menyebarkan kuman lebih banyak ke lingkungan sekitarnya
dibandingkan dengan kusta tipe PB sehingga dapat pada tipe PB. Dengan
metode serologi MLPA Amiruddin juga mendapatkan perbedaan yang
bermakna antara tipe MB dengan tipe PB12.
Berdasarkan kepustakaan sampai saat ini manusia masih diyakini
sebagai sumber penularan yang utama, terutama penderita kusta tipe
lepromatosa : tuberkuloid : non kontak dengan pembandingan 8 : 2 : 1,
walaupun masih diperdebatkan, kepustakaan juga menyebutkan pada
episode subklinis dapat menjadi sumber penular yang penting bila

13
dibandingkan penularan kasus aktif, hal ini diperkuat dengan hasil
pemeriksaan PCR positif dari mukosa hidung pada periode subklinis. Akhir-
akhir ini berkembang penelitian bahwa ada sumber penular di luar manusia
(dari lingkungan dan hewan), karena banyak kasus yang ditemukan
tanpa ada riwayat kontak dengan penderita kusta12.
4. ETIOLOGI & PATOGENESIS
Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh
G.Amauer Hansen di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang
dengan ukuran 1-8 μm, lebar 0,3 μm dan bersifat obligat intraselluler. Kuman
kusta tumbuh lambat, untuk membelah diri membutuhkan waktu 12-13 hari dan
mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40. Tumbuh pada
tempratur 27-30oC (81-86oF)7.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam
telapak kaki mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r),
sehingga kehilangan respon imun sellulernya akan menghasilkan
granulomagranuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang
dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.Sebenarnya M.Leprae
mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik, gejala-
gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada
intensitas infeksinya7.
Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan
respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit
ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M.
leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka

14
multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat mencegah
perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya7.
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang
berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun
seluler. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan
meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan
bakteri7.
Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit
B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari
komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel
plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi.
Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan
dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara
berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.
5. GEJALA KLINIK
Keakuratan mendiagnosis penyakit kusta merupakan suatu dasar yang
sangat penting yang berkaitan dengan epidemiologi kusta, pengobatan dan
pencegahan kecacatan pada pasien kusta. Diagnosis yang tidak adekuat (under-
diagnosis) akan menyebabkan penularan kuman kusta berlanjut serta penyakit
kusta pada pasien kusta bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang
dilakukan terlalu berlebihan (over-diagnosis) akan mengakibatkan pemberian
pengobatan menjadi tidak tepat contohnya pemberian antibiotika yang terlalu
banyak. Keadaan ini dapat menyebabkaan pengumpulan data statistik dari
epidemiologi pasien kusta menjadi tidak akurat8.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda cardinal, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa

15
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan
rambut yang terganggu
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau
syaraf. Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita
kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan
Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia
menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita
kusta 4
Tabel 1. Perbedaan Pausibasiler dan Multibasiler

16
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta,
tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum
timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan
adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis
yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra
diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin9.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup
banyak manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah
endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada
keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak
jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta
maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang
maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada
kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di
dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar
yang cukup tinggi9.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara
lain:
1. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah
dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang
tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang
dengan antigen dari mikrobakteri lain.
2. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
3. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

17
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1
dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis
untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus
seropositif.
4. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik
dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang
proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan
kontak.
5. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk
menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel,
dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang
berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji
kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen
dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga
dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi
atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer6.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen
antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada
ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat
terjadinya reaksi9.

18
7. REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik
penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis)
yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat
merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf
tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat
menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum
mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan,
namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun
sesudah dimulainya pengobatan8.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu4:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe
IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi
kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan
biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler
secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta.
Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan
yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar
reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas
selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi
sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan
sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi aktivasi
dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-

19
2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration
pada kulit dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi menimbulkan rasa sakit dan kerusakan
jaringan yang cepat.
Tabel 2. Gambaran Reaksi Kusta Tipe 1

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous
(BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta
tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun
setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga
merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada
pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel. Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan
hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan
antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang

20
terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam
berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen4.
Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan
destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen. Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5,
IL 13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α.
IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan
kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. Kronisitas dan rekurensi
ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian
steroid jangka panjang4.

Tabel 3. Gambaran Reaksi Kusta Tipe 2

8. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah
memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegahkan timbulnya
cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang
dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita,

21
yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang
efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson
baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan
pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang
efektif1,10,11.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981,
yaitu ketika kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan
rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini
terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan klofasimin. Selain
itu mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan
MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurunkan angka putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan10,11
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah
sebagai berikut8:
Tabel 4. MDT tipe multibasiler (MB)

Pengobatan diberikan sebanyak 12 dosis dalam 12-18 bulan. Selama


pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan
bakteriologis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan dihentikan (Release from
Treatment/RFT) penderita masuk dalam masa pengamatan (control) yaitu:
penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun
selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara

22
klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler.
Bila pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan
bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).
Tabel 5. MDT tipe pausibasilar (PB)

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 sampai 9 bulan , berarti


RFT (release From Treathment) setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan
pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun
selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Bila tidak ditemukan
keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka
dikatakan RFC.
Pemakaian regimen MDT-WHO pada pasien dengan keadaan khusus11
a. Pengobatan kusta selama kehamilandanmenyusui.
Kusta seringkali mengalami eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh
karenaitu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan
MDT standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik
untuk ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada
MDT. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil,belum ada
laporan mengenai efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit
akibatk lofazimin.
b. Pengobatan
Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif,
pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap
diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta.

23
1) Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100mg karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap
sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.
2) Pasien TB yang menderita kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap
disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan
TB sudah selesai, maka pengobatan kusta kembali sesuai blister
MDT.
3) Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada
saat yang sama.
Manajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV
sama dengan menajemen untuk penderita non HIV.

Pengobatan kusta dengan regimen alternatif11


Bila MDT-WHO tidak dapat diberikandengan berbagai alasan,antara lain:

a. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta


hepatitis kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan
rifampisin. Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin, biasanya
resisten juga terhadap DDS. Oleh sebab itu digunakan regimen berikut.
Tabel 6. Regimen pasien yang tidak dapat mengkonsumsi Rifampisin

24
b. Pasien yang menolak klofazimin
Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam
MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan atau rifampisin 600mg/bulan,
ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100mg/bulan selama 24 bulan.
c. Pasienyang tidakdapatmengonsumsiDDS
Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti
sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera
dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasienMB, sehingga MDT
tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk
pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan
MDT tipe MB selama 6 bulan.

9. KOMPLIKASI
a. Kerusakan Syaraf Tepi
Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu4,11:
1) N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong
2) N.trigeminus: anestesi kornea
3) N.aurikularis magnus
4) N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)
5) N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian
jari IV
6) N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III, dan
sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan
jari kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)
7) N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
8) N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)

25
b. Kecacatan Kusta
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya.
Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau
kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup
sebagai “penderita kusta” walaupun sembuh dari penyakit. Sementara
sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah4.
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu4:
1) Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang
disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat
respons jaringan terhadap M. leprae. Termasuk cacat primer adalah:
a) Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf
motorik, misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos
dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi
kering, elastisitas berkurang, serta gangguan refleks vasodilatasi.
b) Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina,
blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan
alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebasea dan
sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.
c) Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi
pada tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola
mata.
2) Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer,
terutama akibat adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom).
Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis
atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala

26
akibatnya. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga
dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga
memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat
menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis.
Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas
berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi
sekunder.
B. PERAN DOKTER KELUARGA DALAM PENANGANAN KUSTA
1. Definisi Kedokteran Keluarga
Menurut PB IDI tahun 1983 ilmu kedokteran keluarga adalah ilmu
yang mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran yang orientasinya adalah
untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
berkesinambungan dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga
dan masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi
dan sosial budaya. Dokter Keluarga adalah dokter yang memberi pelayanan
kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat pada keluarga
sehingga ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit
tapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak anya menanti secara pasif
tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya Dengan
definisi demikian IDI menggambarkan ciri pelayanan DK sebagai berikut19:

1. DK melayani penderita tidak hanya sebagai individu tetapi sebagai


anggota satu keluarga bakan anggota masyarakatnya.
2. DK memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderitanya secara lengkap dan sempurna,jauh
melebihi apa yang dikeluhkannya.
3. DK memberikan pelayanan kesehatan dengan tujuan utama
meningkatkan derajat kesehatan, mencegah timbulnya penyakit dan
mengenal serta mengobatinya penyakit sedini mungkin.

27
4. DK menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan tingkat pertama dan
ikut bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan
5. DK mengutamakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
dan berusaha memenuhi kebutuhan itu sebaik-baiknya.
2. Prinsip Kedokteran Keluarga
Prinsip-prinsip pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga adalah
memberikan/mewujudkan19:
a. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
b. Pelayanan yang kontinu
c. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan
d. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif
e. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integrasi dari
keluarganya.
f. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
g. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hokum.
h. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
i. Pelayanan yang sadar biaya dan mutu.
3. Ruang Lingkup Kedokteran Keluarga
a. Kegiatan yang Dilaksanakan
Ruang lingkup pertama dari pelayanan dokter keluarga adalah
yang menyangkut kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan yang
dimaksudkan di sini adalah pelayanan yang diselenggarakan. Berbeda
dengan pelayanan yang diselenggarakan oleh berbagai spesialisasi
kedokteran lainnya, pelayanan yang diselenggarakan oleh dokter
keluarga harus memenuhi satu syarat pokok. Syarat pokok di sini adalah
pelayanan kedokteran yang menyeluruh (comprehensive medical
services). Dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan
kedokteran yang tidak menyeluruh bukanlah dokter keluarga yang baik.

28
Dengan ruang lingkup yang seperti ini jelaslah untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga yang baik, perlulah
dipahami dahulu apa yang dimaksud dengan pelayanan kedokteran yang
menyeluruh tersebut19.
b. Sasaran Pelayanan
Ruang lingkup kedua dari pelayanan dokter keluarga adalah
yang menyangkut sasaran, yakni kepada siapa pelayanan dokter
keluarga tersebut ditujukan. Sesuai dengan batasan yang dimiliki,
sasaran yang dimaksudkan di sini adalah keluarga sebagai satu unit.
Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, pengertian
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
suami, isteri atau suami, isteri, dan anak, atau ayah dan anak atau ibu
dan anak. Saparinah Sadli (1982) menggambarkan hubungan
individu dengan lingkungan sosial yang saling mempengaruhi
sebagai berikut19:

Lingkungan Umum

Lingkungan Terbatas

Lingkungan Keluarga

Individu

Gambar 1. hubungan individu dengan lingkungan sosial

Setiap individu sejak lahir berada di dalam suatu kelompok,


terutama kelompok keluarga. Kelompok ini akan membuka
kemungkinan untuk dipengaruhi atau mempengaruhi anggota -
anggota kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok
senantiasa berlaku aturan - aturan dan norma - norma sosial

29
tertentu, maka perilaku setiap individu anggota kelompok
berlangsung di dalam suatu jaringan normatif. Demikian pula
perilaku individu tersebut terhadap masalah - masalah kesehatan.
Adapun kita ketahui ada sembilan fungsi keluarga, yaitu19:

1) Fungsi holistic
Fungsi holistik adalah fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologi, dan fungsi sosial – ekonomi. Fungsi
biologis menunjukkan apakah di dalam keluarga tersebut terdapat
gejala – gejala penyakit yang menurun (herediter), penyakit
menular, maupun penyakit kronis. Fungsi psikologis menunjukkan
bagaimana hubungan antara anggota keluarga, apakah keluarga
tersebut dapat memecahkan masalah bersama. Fungsi sosio-
ekonomi menunjukkan bagaimana kondisi ekonomi keluarga, dan
peran aktif keluarga dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
2) Fungsi fisiologis
Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score.
APGAR score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi
keluarga ditinjau dari sudut pandang setiap anggota keluarga
terhadap hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. APGAR
score meliputi :

a) Adaptation : kemampuan anggota keluarga tersebut


beradapatasi dengan anggota keluarga yang lain, serta
penerimaan, dukungan dan saran dari anggota keluarga yang
lain.
b) Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi,
saling mengisi antara anggota keluarga dalam segala masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c) Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal –

30
hal baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut.
d) Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan
interaksi antar anggota keluarga.
e) Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang
kebersamaan dan waktu yang dihabiskan bersama anggota
keluarga yang lain.
Skor untuk masing – masing kategori adalah :
0 = jarang / tidak sama sekali
1 = kadang – kadang

2 = sering / selalu

Terdapat tiga kategori penilaian, yaitu nilai rata – rata

≤ 5 kurang, 6 – 7 cukup, dan 8 – 10 adalah baik.

3) Fungsi patologis
Fungsi patologis keluarga dinilai dengan menggunakan SCREEM
score dengan rincian sebagai berikut :
a) Social (melihat bagaimana interaksi dengan tetangga sekitar)
b) Culture (melihat bagaimana kepuasan keluarga terhadap budaya,
tata krama, dan perhatian terhadap sopan santun)
c) Religious (melihat ketaatan anggota keluarga dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya)
d) Economic (melihat status ekonomi anggota keluarga)
e) Educational (melihat tingkat pendidikan anggota keluarga)
f) Medical (melihat apakah anggota keluarga ini mampu
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai).
4) Fungsi hubungan antarmanusia
Menunjukkan baik atau tidaknya hubungan atau interaksi
antar anggota keluarga (Interaksi dua arah baik digambarkan dengan

31
garis penuh, tidak baik digambarkan dengan garis putus – putus).
5) Fungsi keturunan (genogram)
Fungsi keturunan (genetik) dinilai dari genogram keluarga.
Menunjukkan adanya penyakit keturunan ataukah penyakit menular
dalam keluarga. Apabila keduanya tidak ditemukan, berarti dalam
keadaan baik.
6) Fungsi perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan
Fungsi perilaku meliputi pengetahuan tentang kesehatan,
sikap sadar akan pentingnya kesehatan, dan tindakan yang
mencerminkan pola hidup sehat. Fungsi nonperilaku (Lingkungan,
pelayanan kesehatan, keturunan)
7) Fungsi nonperilaku meliputi lingkungan dan pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan meliputi :
a) Kepedulian memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan
b) Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
c) Jarak dengan Puskesmas / Rumah Sakit
8) Fungsi indoor
Fungsi indoor ini menunjukkan gambaran lingkungan dalam
rumah apakah telah memenuhi syarat – syarat kesehatan. Penilaian
meliputi lantai, dinding , ventilasi, pencahayaan, sirkulasi udara,
sumber air bersih, jarak jamban dengan rumah, serta pengelolaan
sampah dan limbah.

9) Fungsi outdoor
Menunjukkan gambaran lingkungan luar rumah apakah telah
memenuhi syarat – syarat kesehatan, misalnya jarak rumah dengan
jalan raya, tingkat kebisingan, serta jarak rumah dengan sungai dan
tempat pembuangan sampah umum.

32
Kedua ruang lingkup ini saling terkait, yang secara sederhana dapat
dibedakan dalam bagan sebagai berikut :

RUANG LINGKUP
PELAYANAN DOKTER KELUARGA

KEGIATAN SASARAN

PELAYANAN KELUARGA
KEDOKTERAN SEBAGAI
MENYELURUH SATU UNIT

Gambar 2. Bagan Ruang Lingkup Pelayanan Dokter Keluarga

4. Pendekatan kedokteran keluarga terhadap penyakit kusta


Penyakit kusta sering disembunyikan karena penderita mendapat
sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat. Setiap penderita akan
diberikan pengobatan intensif melalui petugas di puskesmas-puskesmas yang
berkoordinasi langsung dengan Dinas Kesehatan. Laporan megenai kasus
kusta bertujuan untuk menerapkan pendekatan dokter keluarga yang holistik
dan komprehensif, dan melakukan penatalaksanaan berbasis Evidence Based
Medicine dengan pendekatan Family Approach dan Patient Centered19.
C. PERAN KELUARGA DALAM PENANGANAN KUSTA
Penyakit kusta membawa dampak yang buruk bagi penderita, berbentuk
kecacatan yang mempengaruhi bentuk tubuh. Akibat kecacatan sangat
mempengaruhi penderita kusta seperti merasa malu, merasa rendah diri dan
merasa tertekan batinnya serta kehilangan harapan. Sehingga diperlukan
dukungan dari pihak terdekat yakni keluarga dalam membantu menyelesaikan
masalahnya. Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi

33
sepanjang masa kehidupan, dukungan yang diberikan pada setiap siklus
perkembangan kehidupan juga berbeda. Dukungan yang diberikan oleh keluarga
membuat anggota keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan
akal, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. 13
Menurut House dan Kahn (1985 dikutip Yadi dkk. 2017) ada 4 jenis
dukungan keluarga, diantaranya adalah (1) dukungan emosional, yang
melibatkan ekspresi rasa empati, peduli terhadap seseorang sehingga
memberikan perasaan nyaman. (2) dukungan penghargaan, yaitu dukungan yang
terjadi lewat ungkapan penghargaan positif pada individu, dorongan untuk maju
atau memberikan penghargaan terhadap ide yang disampaikan individu. (3)
dukungan informasional, mengacu pada pemberian nasehat, usulan, saran,
petunjuk dan pemberian informasi. (4) dukungan instrumental, mengacu pada
penyedian barang, dana, jasa atau yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah penderita kusta. 13
1. Dukungan Emosional Keluarga Pada Penderita Kusta
Dukungan emosional keluarga merupakan bagian dari dukungan
yang dapat memberikan kenyamanan, bantuan, kepedulian, maupun
penghargaan bagi individu atau kelompok. bentuk dukungan emosional yang
dapat diberikan adalah ungkapan empati, kepedulian dan ungkapan perhatian
dari orang lain. Dukungan emosional yang diberikan keluarga pada penderita
kusta didapatkan 4 kategori yaitu semangat, empati, rasa aman dan
mengurangi putus asa. 13
2. Dukungan Penghargaan Keluarga Pada Penderita Kusta
Dukungan penghargaan merupakan dukungan dimana keluarga
bertindak sebagai pemberi pengakuan dan perhatian kepada anggota
keluarga untuk bimbingan umpan balik, pembimbing , dorongan maju, atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu kepada hal yang
positif. 13
3. Dukungan Informasional Keluarga Pada Penderita Kusta

34
Dukungan informasi yang dilakukan keluarga dalam meningkatkan
kesehatan anggota keluarga dapat berupa memberikan saran, nasehat,
sumber informasi, serta melibatkan orang yang dihormati dalam proses
penyampaian informasi yang didapatkan kepada anggota keluarga yang
membutuhkan. 13
4. Dukungan Instrumental Keluarga Pada Penderita Kusta
Dukungan instrumental keluarga merupakan hubungan atau bentuk
suatu bantuan nyata yang diberikan keluarga kepada anggota keluarga yang
membutuhkan seperti dukungan tenaga, dana, waktu dan transportasi. 13

35
BAB III
METODE PENGUMPULAN DATA
A. DATA YANG DIKUMPULKAN
Pada laporan ini menggunakan data primer dan data sekunder. Menurut
Sugoiyono (2012) data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dengan
cara membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang
bersumber dari literatur, buku-buku, sertadokumen.
B. CARA PENGAMBILAN DATA
Data diperoleh dari telaah jurnal berkaitan dengan judul laporan kasus
dan profil Puskesmas Puuwatu tahun 2018 serta wawancara pasien yang
berkunjung di Poli Puskesmas Puuwatu.

36
BAB IV
HASIL KEGIATAN PUSKESMAS DAN HASIL PENGUMPULAN DATA

A. GAMBARAN SINGKAT PUSKESMAS


Puskesmas Puuwatu berlokasi di Jln. Prof. Muh. Yamin No. 64 Kel.
Puuwatu, Kecamatan Puuwatu Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, sekitar
7 KM dari pusat Ibukota Propinsi. Puskesmas Puuwatu terletak di kelurahan
Puuwatu kecamatan Puuwatu yang terdiri dari 6 (enam) kelurahan yakni
kelurahan Puuwatu, Watulondo, Pungolaka, Lalodati, Tobuha dan Puuwatu
Dalam. Jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas Puuwatu pada Tahun 2018
sebanyak 34.537 yang tersebar di 6 kelurahan. Adapun untuk lebih jelasnya
distribusi penduduk perkelurahan, disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 7. Distribusi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Tahun 2018
Nama Jml Jml Jml Jml Pddk Jml Pddk Jml
No.
Kelurahan Rt Rw KK Laki-laki Perempuan pddk
1. Puuwatu 27 9 1422 3716 3515 7231
2. Watulondo 26 8 1560 4005 3739 7744
3. Punggolaka 26 8 1493 4245 3971 8216
4. Lalodati 12 4 776 1326 1350 2676
5. Tobuuha 24 8 1117 4076 3971 8047
6. Puuwatu 6 2 159 321 302 623
dalam
Jumlah 121 39 6527 17689 16848 34537
Sumber: Data Sekunder Kecamatan Tahun 2018
Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial dilaksanakan untuk mendukung
pencapaian Standar Pelayanan Minimal Kota Kendari di bidang Kesehatan
terdiri dari :
1. Program Promosi Kesehatan
2. Program P2M
3. Program Gizi
4. Program Kesehatan Lingkungan

37
5. Program KIA-KB
Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan yang dilaksanakan oleh
Puskesmas Puuwatu, merupakan kegiatan yang sifatnya inovatif dan/ atau
bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang
tersedia. UKM pengembangan di puskesmas Puuwatu terdiri dari :
1. Program UKS,UKGS, UKGM
2. Program Perkesmas
3. Program Posyandu Lansia
4. Program Kesehatan Olahraga
5. Program Posbindu PTM
6. Program Kesehatan Jiwa dan Mata
Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama di puskesmas
Puuwatu dilaksanakan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan
Standar Pelayanan.dilaksanakan dalam bentuk :
1. Pelayanan Pemeriksaan Umum
2. Pelayanan Anak
3. Pelayanan Lansia
4. Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
5. Pelayanan KIA-KB yang bersifat UKP
6. Pelayanan Gawat Darurat
7. Pelayanan Gizi Yang Bersifat UKP
8. Pelayanan Persalinan
9. Pelayanan Rawat Inap
10. Pelayanan Kefarmasian
11. Pelayanan Laboratorium

38
B. DATA SEKUNDER HASIL PELAPORAN PUSKESMAS
Di Puskesmas Puuwatu penderita Kusta merupakan kunjungan rawat
jalan yang cukup sedikit. Adapun distribusi penderita Kusta di Puskesmas
Puuwatu sebagia berikut:
Tabel 8. Program Kusta Januari – Desember 2018
PROGRAM KUSTA JANUARI – DESEMBER 2018
Kelura Jan Febr Ma Ap M Ju Jul Ag Septe Okt Nove Dese
han uari uari ret ril ei ni i ust mber ober mber mber
us
Puuwa 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
tu
Watul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ondo
Pungg 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
olaka
Tobuh 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
a
Laloda 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0
ti
Jumla 1 2
h

Tabel 9. Program Kusta Januari – Juli 2019


PROGRAM KUSTA JANUARI – JULI 2019
Kelurahan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Keterangan
Puuwatu 1 1 1 0 0 0 0 RFT Bulan
April
Watulondo 0 0 0 0 0 0 0
Punggolaka 0 0 0 0 0 0 0
Tobuha 0 0 0 0 0 0 0

39
Lalodati 2 2 1 1 1 1 1 1 Orang RFT
BulanFebruari
Jumlah 3 3 2 1 1 1 1

C. HASIL PENGUMPULAN DATA PRIMER


1. Kunjungan Rumah
a. Kunjungan Pertama: 10 Agustus 2019, Dokter Muda melakukan
kunjungan rumah pada pukul 10.00 WITA
b. Kunjungan Kedua: 13 Agustus 2019, Dokter Muda melakukan
kunjungan rumah pada pukul 10.30 WITA
2. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. S
b. Umur : 24 tahun
c. Status : Menikah
d. Agama : Islam
e. Suku : Tolaki
f. Alamat: : Jl Patimura Lr. Abd. Gani
g. Pekerjaan : Swasta
h. Tgl pemeriksaan/Jam : Sabtu, 10/08/2019 / Jam 10.00-11.00 WITA
i. Puskesmas : Puuwatu
3. Anamnesis
a. Keluhan Utama : benjolan yang terasa nyeri
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh adanya benjolan yang terasa nyeri pada wajah,
lengan dan kaki. Yang disertai dengan demam dan pegal-pegal pada
seluru tubuh yang dialami sejak 2 tahun yang lalu namun memberat
beberapa hari terakhir. Awalnya Sekitar 2 tahun yang lalu pasien
mengatakan timbul bercak berwarna merah, tidak gatal, pada bahu
kanan, yang kemudian menyebar ke kedua lengan dan kedua tungkai.

40
Bercak merah yang dirasakan semakin lama semakin menebal dan
dirasakan kesemutan serta timbul rasa baal disekitar bercak.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku memiliki keluhan yang sama pada saat berumur
8 tahun dan didiagnosis dengan kusta serta telah menyelesaikan
pengobatan secara teratur selama 12 bulan.
d. Riwayat pengobatan:
Selama 2 tahun terakhir pasien sering mengkonsumsi obat
Dexamethasone, ciprofloxacin, dan asam mefenamat namun dirasakan
tidak ada perbaikan.
e. Riwayat Penyakit/keluhan yang sama dikeluarga: terdapat anggota
keluarga yang memiliki keluhan yang sama yakni: kakek, tante, paman
dan telah mendapatkan pengobatan kusta secara tuntas.
f. Riwayat Alergi makanan dan obat: tidak ada riwayat.
g. Riwayat Merokok: ya.
h. Riwayat Alkohol : tidak ada riwayat
i. Riwayat Sosial: pasien telah becerai sejak 1 tahun yang lalu. Pasien
jarang bersosialisasi dengan lingkungan rumah.
j. Riwayat Ekonomi: Status ekonomi pasien termasuk golongan
ekonomi menengah ke atas dimana penghasilan keluarga didapatkan
dari pekerjaanya di swasta.
k. Riwayat Penggunaan pelayanan kesehatan: Pasien apabila sakit
hanya menggunakan obat yang dibeli di apotek.
4. Pemeriksaan Fisik Lengkap
Keadaan Umum
Sakit : Sedang
Kesadaran/GCS Score : E4V5M6 = 15, Compos mentis
Status gizi (IMT):

41
BB= 70 Kg, TB= 160 cm
 IMT= 27 Kg/m2 (Over Weight)
Tanda Vital
TD Nadi Pernafasan Suhu
130/90 mmHg 80 x/Menit 24 x/Menit 37,70C

Status Generalisata
Kepala Inspeksi : Normosefal, simetris, deformitas (-),
Mata Inspeksi :
o Eksoftalmus(-)
o Konjungtiva sinistra hiperemis: (-)
o Sklera :Ikterus (-)
o Pupil :isokor (+)
Palpasi :tidak ada udem dan nyeri tekan
Telinga Inspeksi :
o Bentuk: normal simetris antara kiri dan kanan.
o Lubang telinga :dalam batas normal, secret (-/-).
o Otore : (-/-)
o Peradangan pada telinga (-/-).
Palpasi :Nyeri tekan: (-/-).
Hidung Inspeksi :
o Perdarahan (-/-)
o Sekret (-/-)
Palpasi :
o Deviasi septum: (-)
Mulut Inspeksi :
o Bibir : dalam batas normal
o Tonsil: tidak ada pembesaran, dalambatas normal

42
o Pharyng : Hiperemis (-)
o Gusi : tidak ada luka atau perdarahan
o Lidah : Papil edem (-) lidahkotor (-)
o Mukosa : normal
Leher Inspeksi:Kaku kuduk (-),
Palpasi:Pembesaran kelenjar getah bening ataupun kelenjar
tiroid (-), Trakea terletak di tengah, JVP : tidak meningkat,
Thoraks Inspeksi
Normochest, bentuk simtetris kiri dan kanan, pergerakan
dinding dada simetris, retraksi dindidng dada (-), tipe
pernafasan torako-abdominal
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus meningkat (-)
Perkusi
Sonor pada kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi
Bunyi nafas Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
Iktus kordis tidak tampak, deformitas (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan : ICS II linea parasternalis dextra (kesan
normal)
Batas jantung kiri : ICS V linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi Bising jantung S1-S2 tunggal regular, BJ III /
Murmur (-)

43
Abdomen Inspeksi
Perut datar, ikut gerak napas, asites (-), striae (-)
Auskultasi
Bising usus (+), kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan epigastrium (-),pembesarhepar dan lien (-),
distensi abdomen (-), nyeri supra pubik (-), pemeriksaan
ballottement dalam batas normal. Pemeriksaan nyeri ketuk
(-/-)
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Ekstremitas o Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema tungkai
bawah (-) /(-), jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), sianosis (-),
peteki (-)/(-)
o Ekstremitas bawah : gerakan bebas, edema pitting
tungkai bawah (-)/(-),jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), peteki
o Kekuatan otot :

5 5 Ekstremitas atas

5 5 Ekstremitas bawah

Status - Tampak nodul eritem dan hiperpigmentasi berukuran


dermatologi lentikular hingga numular, pada daerah facialis,
brachialis dan cruris
- Tampak makula hipopigmentasi < 5 lesi, berukuran
numular pada daerah manus.

44
Tabel 10. Daftar Anggota Keluarga yang tinggal dalam 1 rumah
Kedudukan
Umur Pendidikan Status
No Nama dalam Ket.
(thn)/JK terakhir Imunisasi
Keluarga
Tidak
1. Tn. M Ayah 50/L SMA Sehat
diketahui
Tidak
2. Ny. Z Ibu 46/P SMA Sehat
diketahui
3 Tn.S Anak 24/L SMA Lengkap Sakit

4 Tn. M Anak 22/L SMA Lengkap Sehat


Sumber :Data primer, 2019
5. Genogram Keluarga

1934 - 2012 1946 - 2010 1942 - 2001 1946 - 2004


78 64 59 58

Tn.M Ny. H Tn. K Ny. H

1968 1970 1975 1978


51 49 44 41

Tn. A Tn. S Ny. N Ny. R

1973 1969
1974 1973
46 50
45 46
Ny. Z Tn.M
Tn. D Ny. J

1995 1997
1996 1999
24 22
23 20
Tn. S Tn.M
Ny. A Nn. D

2017 - 2017
0

An.A

Gambar 3. Genogram keluarga pasien


Keterangan:

:Laki-Laki

45
:Perempuan

:Riwayat Penyakit Kusta

:Pasien

:Meninggal

........ :Tinggal serumah

// :Bercerai

6. Apgar Keluarga

Sering/ Kadang- Jarang/


N
Pertanyaan Selalu kadang tidak Nilai
O
(2) (1) (0)
Saya puas bahwa saya dapat √
1
1kembali ke keluarga saya bila
saya menghadapi masalah.
Saya puas dengan cara keluarga
2saya membahas dan membagi √
1
masalah dengan saya.
Saya puas dengan cara keluarga
3saya menerima dan mendukung √
keinginan saya untuk melakukan
1
kegiatan baru atau arah hidup
yang baru.
Saya puas dengan cara keluarga √
4mengekspresikan kasih
sayangnya dan merespon emosi
1
saya seperti kemarahan,
perhatian, dll
Saya puas dengan cara keluarga √
5saya dan saya membagi waktu
0
bersama-sama.

TOTAL 4

46
Apgar Keluarga menilai 5 (lima) Fungsi pokok Keluarga yaitu :
1. Adaptasi
Dinilai dari tingkat kepuasananggota Keluarga dalam menerima bantuan yang
diperlukan dari anggota keluarga lainnya.
Pada kasus poin adaptasi bernilai 1(satu).
2. Kemitraan
Tingkat kepuasan dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah yang
sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
Pada kasus poin Kemitraan bernilai 1 (satu).
3. Pertumbuhan
Tingkat kepuasan anggota Keluarga terhadap kebebasan yang diberikan pada
tiap anggota keluarganya.
Pada kasus poin Pertumbuhan bernilai 1 (satu).
4. Kasih Sayang
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi
emosional dalam keluarga.
Pada kasus poin Kasih Sayang bernilai 1 (satu).
5. Kebersamaan
Tingkat kepuasan terhadap Kebersamaan dalam membagi waktu, dan ruang
antar keluarga.
Pada kasus poin Kebersamaan bernilai 0 (nol).
Keterangan:
Sering/selalu :2
Kadang-kadang :1
Jarang/tidak :0
Interpretasi :
0-3 : Tidak Sehat
4-6 : Kurang Sehat
7-10 : Sehat

47
Nilai APGAR yang diperoleh adalah 4 (Keluarga Kurang Sehat).
Fungsi keluarga adaptasi, kemitraan, kasih saying, pertumbuhan dan
kebersamaan kadang-kadang dirasakan oleh anggota keluarga.

7. Fungsi SCREEM
Fungsi patologis dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut:
Tabel 11. Fungsi S.C.R.E.E.M
Sumber Patologis Keterangan
Ikut berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan,
+
Social namun sempat gagal dalam rumah tangga
Kepuasan atau kebanggan terhadap budaya baik
dapat dilihat dari sikap pasien dan keluarga yang
-
Culture menghargai adat istiadat dalam kehidupan
sehari-hari
Pemahaman terhadap ajaran agama kurang,
+
Religious demikian juga dalam keataatan beribadah
Ekonomi keluarga termasuk cukup, pendapatan
dari gaji sudah mencukupi untuk hidup layak -
Economic
sehari-hari
Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga
+
Educational tentang kesehatan masih kurang
Keluarga menganggap pemeriksaan rutin
kesehatan masih kurang perlu, datang ke +
Medical
pelayanan kesehatan hanya saat ada keluhan

48
BAB V
MASALAH KESEHATAN
A. Mandala of Health

Gaya hidup : pola makan,


dominan pada malam hari
dengan tinggi karbohidrat,
merokok, begadang, olaraga
tidak teratur

Perilaku kesehatan: FAMILY Ling.psiko sosio-


berobat jika hanya ada
ekonomi:Pendapatan
keluahan.
keluarga cukup,
Hanya membeli obat di
hubungan sosial baik
apotek tanpa konsultasi
ke dokter

Pasien menderita kusta Lingkungan kerja :


sejak 2 tahun yang lalu. Fisik : panas matahari, suara
Pelayanan
bising mesin.
kesehatan : Pasien tidak pernah
Kimia : debu, nikel
Pasien memeriksakan
kesehatannya, pasien Biologis:-
menggunakan
mulai berobat ketika Ergonomis : posisi duduk
BPJS
mengalami nyeri pada dalam mobil, duduk lama
seluruh badan Psikososial : pekerjaan
monoton, beban kerja
tinggi

Lingkungan fisik:
Faktor biologi: Ventilasi dalam
- pasien berada pada
status gizi overweight rumah cukup, jarak
- pasien memiliki kamar mandi dan
riwayat penyakit kamar lain dekat,
Kusta pada umur 8
tahun Komunitas: Tidak ada

Gambar 4. Mandala of Health

Komunitas : dilingkungan sekitar juga ada yang mengalami gangguan 49


jiwa
Tabel 12. Analisis Masalah Kesehatan dengan Pendekatan Mandala of Health

No Masalah Skor Upaya Penyelesaian


1 Fungsi Biologis  Pemeriksaan anggota keluarga
 Keluarga pasien lain
ada yang  Menurunkan BB hingga menjadi
4
menderita kusta BB ideal
 Pasien memiliki  Menjaga pola makan
status gizi
overweight
2 Fungsi sosial
Pendapatan keluarga
5
cukup, hubungan
sosial baik
3. Faktor Perilaku  Edukasi mengenai penyakit kusta
Kesehatan Keluarga  Edukasi mengenai perilaku bersih
 Jarang dan sehat
3
memeriksakan  Edukasi untuk rajin
kesehatan memeriksakan kesehatan dan
teratur minum obat.
4. Lingkungan Rumah
Ventilasi dalam rumah
cukup, jarak kamar 5
mandi dan kamar lain
dekat
5. Pelayanan kesehatan :  Edukasi anggota keluarga agar
 Akses ke dapat meluangkan waktu untuk
4
Puskesmas mudah mengantar pasien berobat

6. Lingkungan kerja :  Selama pengobatan pasien


Beban kerja berat 2 diharuskan untuk istirahat total
 Mengubah sistem kerja shift
7. Komunitas:
Tidak ada

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah kesehatan:


Skor 1 : tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
Skor 2 : keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya
keiinginan); penyelesaian masalah sepenuhnya dilakukan oleh Provider

50
Skor 3 : keluarga mau melakukan namum perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan oleh sebagian besar
provider.
Skor 4 : keluraga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider
Skor 5 : dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga
B. Diagnosa Holistik
1 Aspek personal
a. Pasien datang berobat dengan harapan rasa sakit yang dirasakan
dapat berkurang dengan bantuan dokter di puskesmas
b. Pasien juga merasa khawatir terjadi komplikasi.
2 Aspek klinis: Pasien menderita kusta sejak 2 tahun lalu, dan baru
berobat ketika merasakan nyeri pada seluruh tubuh.
3 Aspek factor risiko internal: Pasien laki-laki, pola berobat kuratif,
pola makan dan olahraga tidak teratur, status gizi overweight, faktor
kemungkinan genetik dikarenakan adanya anggota keluarga yang
menderita kusta.
4 Aspek risiko eksternal: Pasien jarang melakukan pemeriksaan
kesehatan di Puskesmas, pasien memiliki resiko dan beban pekerjaan
yang berat, pasien belum mandiri karena masih tinggal bersama orang
tua
5 Derajat fungsional: Pasien masih kuat melakukan aktivitas seperti
biasa.
6 Penanganan:
Terapi farmakologis :
paket MDT MB
- hari pertama tiap awal bulan: Rifampisin 600 mg, clofazimin 300
mg, DDS 100 mg

51
- hari ke 2-28: clofazimin 50 mg, DDS 100 mg.
- Vitamin B kompleks 1-0-0
Terapi nonfarmakologi
- Anjuran mengkonsumsi makanan tinggi protein
- Istirahat
- Olahraga
- Stop merokok
Edukasi
- Mengenai penyakit kusta
- Perilaku hygine
- Reaksi selama mengkonsumsi obat
- Memberikan motivasi untuk mengikuti terapi hingga selesai

52
BAB VI
PEMECAHAN MASALAH
A. Rencana Penatalaksanaan
Tindakan yang perlu dilakukan adalah yaitu,
1. Farmakoterapi
Pasien diberikan obat antikusta berupa rifampisin 600 mg setiap bulan
diminum depan petugas, DDS 100 mg setiap hari, Klofazimin 300 mg setiap
bulan depan pengawas, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari
atau 3 kali 100 mg setiap minggu, dikonsumsi sebanyak 12 dosis dalam 12-18
bulan, vitamin B kompleks 1-0-0 serta memberiksan edukasi mengenai
pengobatan kusta.
2. Non farmakologi
a. Meningkatkan sistem imun dengan pola hidup sehat dengan
mengkonsumsi gizi seimbang tinggi protein dan rendah gula dan
karbohidrat
b. Menganjurkan pasien untuk menjaga hygine personal
c. Meningkatkan kegiatan keagamaan seperti shalat, dzikir, membaca Al-
Qur’an, puasa.
d. Memberikan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita oleh
pasien dan komplikasinya kepada pasien dan anggota keluarga
e. Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien dalam menjaga rutinitas minum obat, pola makan,
gaya hidup dan serta kontrol kesehatan di pelayanan kesehatan.
f. Puskesmas melakukan deteksi dini pasien yang beresiko tertular kusta.
g. Puskesmas memberikan penyuluhan mengenai kusta.
h. Puskesmas melakukan kegiatan home visit pada pasien kusta
B. Pembahasan
Penularan penyakit kusta masih berlanjut di masyarakat dan kesadaran
masyarakat dalam mengenali gejala dini penyakit kusta masih kurang sehingga

53
penderita kusta yang ditemukan seringkali sudah dalam keadaan cacat. Bila
penyakit kusta tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, maka akan
menimbulkan kecacatan menetap. Apabila sudah terjadi cacat, sebagian besar
masyarakat dan keluarga akan menjauhi, mengucilkan, mengabaikan penderita
sehingga penderita sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan karena
keluarga dan masyarakat bahkan penderita memiliki pengetahuan yang kurang,
pengertian yang salah, dan kepercayaan yang keliru tentang penyakit kusta dan
kecacatan yang ditimbulkannya13.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan sosial. Kusta juga dianggap sebagai penyakit susah untuk
disembuhkan serta dianggap sebagai penyakit najis dan sering dikucilkan.
Dukungan emosional keluarga merupakan bagian dari dukungan yang dapat
memberikan kenyamanan, bantuan, kepedulian, maupun penghargaan bagi
individu atau kelompok. bentuk dukungan emosional yang dapat diberikan
adalah ungkapan empati, kepedulian dan ungkapan perhatian dari orang lain13.
Salah satu masalah yang menghambat upaya penanggulangan kusta adalah
adanya stigma yang melekat pada penyakit kusta dan orang yang mengalami
kusta bahkan keluarganya. Stigma adalah pandangan negatif dan perlakuan
diskriminatif terhadap orang yang mengalami kusta, sehingga menghambat
upaya orang yang pernah terkena kusta dan keluarganya untuk menikmati
kehidupan sosial yang wajar dalam hal kesempatan mencari lapangan
pekerjaan14.
Keluarga sudah memberikan dukungan emosional berupa semangat,
empati, rasa aman, dan juga mengurangi putus asa dalam merawat anggota
keluarga yang menderita kusta. Hal tercermin dari pernyataan yang diberikan
oleh partisipan, dimana partisipan menyebutkan bahwa keluarga selalu
menyemangati, menguatkan, dan menyarankan keluarga untuk tidak memikirkan

54
hal yang dapat memicu stres. Pihak keluarga yang penuh pengertian dan
kooperatif dalam proses perawatan dengan memberikan dukungan moril penuh
kepada penderita, akan banyak membantu dalam proses penatalaksanaan
penderita13.
Semangat dari lingkungan luar, dalam hal ini adalah keluarga dapat
menjadi penolong dalam menanggulangi sakit yang kronis termasuk kusta.
Dukungan yang diterima dari keluarga membuat anggota keluarga yang memiliki
masalah dengan kusta menjadi lebih optimis serta memiliki harapan untuk
sembuh dan lebih berpikir positif terhadap penyakitnya. Dukungan emosional
keluarga lainnya yang diberikan juga berupa mengurangi putus asa, dimana
pandangan dimasyarakat kalau sudah mengalami penyakit ini sangat bermasalah
dengan keadaan seseorang, sering penderita mengalami putus asa akibat dampak
dari penyakit yang dialami3.
Sesuai konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan pasien
masih mengutamakan kuratif dari pada preventif dan memiliki pengetahuan yang
cukup tentang penyakit yang ia derita. Penyelesaian masalah yang dapat
dilakukan pasien secara umum yaitu, aktif melakukan pemeriksaan rutin di
puskesmas minimal tiap minggu untuk mengamati lesi baru yang timbul,
meminum obat sesuai anjuran dokter secara rutin, menjaga pola makan yang baik
dan benar , menerapkan PHBS, dan mengontrol stress. Upaya pencegahan yang
dapat disampaikan pada keluarganya meliputi pencegahan primer, pencegahan
sekunder dan pencegahan tertier yaitu15:
1. Pencegahan primer
a. Upaya promotif, penyuluhan tentang kusta
b. Upaya preventif dengan menghindari faktor penularan kusta
c. Melakukan pemeriksaan bila menemukan bercak merah atau putih yang
terasa kebas.

55
d. Menghindari kontak langsung dalama waktu yang lama dengan
penderita kusta.
2. Pencegahan sekunder
a. Mengkonsumsi obat kusta secara teratur hingga tuntas
b. Melakukan pemeriksaan rutin di puskesmas
c. Menghindari kontak langsung dalam waktu yang lama dengan orang
sekitar
d. Menerapkan PHBS
3. Pencegahan tersier
Mencegah komplikasi cacat pada kusta
a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
1) Pengobatan secara teratur dan adekuat
2) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
3) Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi
b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
a) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
b) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur
c) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
d) Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksi
e) Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami
kelumpuhan otot.
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita serta mencegahkan timbulnya cacat. Program Multi
Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981. Regimen ini terdiri atas
kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga

56
untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat
(dro-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. 10,11
Pengobatan diberikan sebanyak 12 dosis dalam 12-18 bulan. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan
bakteriologis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan dihentikan (Release from
Treatment/RFT) penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal
sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol
secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler,
maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control)10,11
Upaya terobosan untuk percepatan eliminasi kusta di Indonesia dapat
dilakukan melalui berbagai macam hal seperti14:
1. Peningkatan penemun kasus secara dini di masyarakat
2. Pelayanan kusta berkualitas, termasuk layanan rehabilitasi, diintegrasikan
dengan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
3. Penyebar luasan informasi tentang kusta di masyarakat
4. Eliminasi stigma terhadap orang yang pernah mengidap kusta dan
keluarganya
5. Pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai aspek
kehidupan dan penguatan partisipasi mereka dalam upaya pengendalian kusta
6. Kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan
7. Peningkatan dukungan kepada program kusta
8. Penerapan pendekatan yang berbeda berdasarkan endemisitas kusta

57
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan Holistik
1. Aspek personal
a. Pasien datang berobat dengan harapan rasa sakit yang dirasakan dapat
berkurang dengan bantuan dokter di puskesmas
b. Pasien juga merasa khawatir terjadi komplikasi.
2. Aspek klinis: Pasien menderita kusta sejak 2 tahun lalu
3. Aspek faktor risiko internal: Pasien laki-laki, pola berobat kuratif, pola
makan dan olahraga tidak teratur, faktor kemungkinan genetik dikarenakan
adanya anggota keluarga yang menderita kusta.
4. Aspek risiko eksternal
a. Pasien jarang melakukan pemeriksaan kesehatan di Puskesmas
b. Pasien sering banyak pikiran dan stres
5. Derajat fungsional: Pasien masih kuat berjalan kaki kerumah- rumah
lainnya dan melakukan aktivitas seperti biasanya.
B. Saran
1. Saran kepada pasien
a. Rajin mengontrol kesehatan pasien di puskesmas
b. Patuh meminum obat sesuai anjuran petugas kesehatan
c. Pasien dapat mengontrol emosi dan stress pasien
d. Pasien merespon baik kepedulian keluarganya terhadap kesehatan pasien
e. Pasien dapat menjalani pola hidup sehat
2. Saran kepada keluarga
a. Kelurga pasien tetap sabar untuk mengingatkan kesehatan pasien terkait
pengontrolan emosi pasien, pola makan yang baik, pola hidup bersih dan
sehat, patuh minum obat dan rajin memeriksakan tekanan darah
b. Keluarga pasien tetap waspada terhadap komplikasi yang dapat muncul
tiba-tiba

58
c. Keluarga tetap berhubungan baik dengan pasien
d. Keluarga pasien membantu pasien untuk menyelesaikan masalahnya
e. Keluarga pasien memberikan dukungan untuk pasien agar memiliki
semangat untuk sembuh
3. Saran kepada petugas kesehatan
Melakukan penyuluhan tentang pengetahuan faktor risiko , pencegahan dan
penanganan kusta

59
DAFTAR PUSTAKA
1. Handayani, Sarwo. Eliminasi penyakit kusta pada tahun 2000. Cermin Dunia
Kedokteran. 2004:117;10-12.
2. Adhi D, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit kelamin edisi kelima. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI;2007.
3. Tim Penyusun. 2014. Profil Kesehatan Puskesmas Donggala Tahun 2014. Dinas
Kesehatan Kabupaten Donggala.
4. Djuanda A. 2015 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Badan Penerbit
fakultas Kedokteran UI. Jakarta
5. McDougall AC, Ulrich MI. 1993.Leprosy. In: Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Kate SI, dkk,. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill.
6. Kementrian Kesehatan RI. 2018. Pusat Data dan Informasi Kementrian RI:
Hapuskan Stigma dan Diskriminasi terhadap Kusta.
7. Lockwood DNJ, Bryceson ADM.1998.Leprosy. In : Champion RH, Burton JL,
Burns DA, Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of
Dermatology. 7th ed. Blackwel science. London.
8. Moschella SL. 1985. Leprosy. In : Moschella SL, Hurley HJ, editor.
Dermatology. 2nd ed. W.B. Sounders Company. Philadelpia.
9. James WD, Berger TG, Odom RB.2000. Andrew’s Disease of The Skin Clinical
Dermatology. 8th ed. W.B. Sounders Company. Philadelphia.
10. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Kusta.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. 2017. Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia: Kusta.
PERDOSKI. Jakarta
12. Mudatsir. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
kusta.Jurnal Kedokteran Syiah Kuala 10(2):101-106.
13. Putra, Y., Mudatsir, Tahlil, T. 2017. Pengalaman Keluarga Dalam Memberikan
Dukungan Keluarga Pada Penderita Kusta. 5(2): 28-41
14. Kemenkes. 2015. Infodatin-Kusta.
15. Arismunandar, R., Wardani, DW. 2017. Penyakit Kusta pada Perempuan Usia
23 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Desa Gedong Tataan.
7(2): 123-127
16. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
17. Saputri, dkk. 2017. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan
Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta (Studi di Kecamatan Puger dan Balung
Kabupaten Jember).E-Jurnal Pustaka Kesehatan. 5:(3).
18. Tanujaya, Michaela Vania. 2014. Kedokteran Keluarga Terhadap Penyakit
Kusta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta
Barat.
19. Anggraini T.M., Novitasari A., Setiawan M., 2015. Buku Ajar Kedokteran
Keluarga. Fakultas Kedokteran. Universitas Muhammadiya semarang

60
LAMPIRAN

DOKUMENTASI KUNJUNGAN RUMAH PASIEN KUSTA

Gambar 4. Tampak depan rumah pasien

Gambar 5. Proses Anamnesis

61
Gambar 6. Proses Pemeriksaan Fisik

Gambar 7. Proses Edukasi

62

Anda mungkin juga menyukai