Anda di halaman 1dari 5

VII

KITAB NIKAH (PERNIKAHAN)


Ta’arif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergailan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi
jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dari baiknya pergaulan antara sang istri dan suaminya, kasih mengasihi , akan
berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehinggah mereka
menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan
mencegah segala kejahatan. Dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Faedah terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang
bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab apabila perempuan sudah menikah, maka nafkahnya
wajib ditanggung suaminya. Pernikahan juga berguna menjaga kerukunan anak cucu. Pernikahan
juga berguna untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, dan untuk kemaslahatan
masyarakat. Anggapan sebab para pemuda ingin menikah, yaitu :
1. Karena harta benda.
Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat, terlebih lagi jikalau terjadi dari pihak
laki-laki karena akan menjatuhkannya dibawah pengaruh perempuan dari hartanya. Hal
seperti inilah yang berlawanan dengan sunah alam dan titah Allah yang menjadikan
manusia.
2. Karena mengharapkan kebangsawanannya.
Berartri mengharapkan gelar atau pangkat. Akan bertamba hina dan dihinakan, karena
kebangswanan seorang diantara suami dan istri tidak akan berpindah kepada orang lain.
3. Karena ingin melihat kecantikannya.
Kecantikan seseorang hanya bertahan sampai tua saja.
4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik.
Inilah yang paling bagus, karena bias menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan
rumah tangga serta semua keluarga.

Sifat-sifat perempuan yang baik :


Sebelum kita mengutarakan maksud yang terkandung di hati, sebaiknya kita selidiki dahulu
akan terdapat persesuaian paham atau tidakkah kelak setelah bergaul. Nabi Saw telah memberi
petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu :
1. Yang beragama dan menjalankannya.
2. Keturunan orang yang subur (memiliki keturunan yang sehat).
3. Yang masih perawan.
Meminang
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang
dengan cara tersebut diperbolehkan oleh agama islam terhadap gadis atau janda yang habis masa
iddahnya, untuk yang masih dalam masa iddah ba’in sebaiknya jalan sindiran saja. Sedangkan
terhadap perepuan yang msih dalam iddah raj’iyah, maka haram meminangnya. Karena masih
berstatus sebagai istri dari laki-laki yang menceraikannya, dan dia boleh kembali kepadanya.
Diizinkan juga meminang perempuan yang sedang dipinang orang lain, sebelum nyata bahwa
permintaannya itu diterima.

Hukum melihat orang yang akan dipinang


Sebagian ulama menyatakan boleh melihat orang yang akan dipinang. Adapula yang
berpendapat melihat perempuan yang akan dipinang adalah sunat. Jadi apabila tidak dapat melihat
bias mengirim utuan (orang yang dipercayai), supaya dia dapat menerangkan sifat-sifat dan
keadaan perempuan yang akan dipinangnya.
Hukum nikah, yaitu :
1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.
3. Wajijb, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan
(zina).
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.

Rukun Nikah
1. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.
2. Wali (wali si perempuan). Perempuan yang menikah harus izin walinya terlebih dahulu.
3. Dua orang saksi. Karena tidak akan sah jika tidak ada wali dan dua saksi.

Susunan Wali
Yang dianggap sah menjadi wali si perempuan ialah :
1. Bapaknya.
2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapak.
9. Hakim.

Syarat wali dan dua saksi


Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya pernikahan.tidak semua orang dapat diterima
menjadi wali dan saksi, tetapi hendaklah memiliki sifat-sifat berikut :
1. Islam, orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi.
2. Baligh, sudah berumur sedikitnya 15 tahun.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Adil.

Keistimewaan bapak dari wali-wali yang lain


Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang bikir/perawandengan tidak
meminta izin si anak terlebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak
yang sayib (bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya dahhulu. Wali-
wali yang lain tidak berhak menikahkan mempelai kecuali sesudah mendapat izin dari mempelai
itu sendiri. Ulama-ulama yang memperbolehkan wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin
ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat, sebagai berikut :
1. Tidak ada permusuhan antara bapak dengan anak.
2. Hendaklah dinikahkan dengan anak yang setara (se-kufru).
3. maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding).
4. Tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak
dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, misalnya buta atau laki-laki yang sudah sangat
tua.

Nusyuz (durhaka)
Apabila istri menentang kepada suami dengan alas an yang tidak dapat diterima menurut
hukum syara’, tindakan itu dipandang durhaka, seperti hal-hal dibawah ini :
1. Suami telah menyediakan rumah sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau
pindah ke rumah itu, atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
2. Apabila suami istri tinggal di rumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian pada suatu
waktu istri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan bukan minta pindah kerumah
yang disediakan suami.
3. Umpamanya istri menetap ditempat yang disediakan oleh perusahaannya, sedangkan suami
meminta istri menetap dirumah yang telah disediakannya, tetapi istri keberatan tidak
dengan alas an yang pantas.
4. Apabila istri bepergian dengan tidak beserta suaminya atau mahramnya, walaupun
perjalanan itu wajib, seperti pergi haji, karena perjalanan perempuan yang tidak dengan
suami atau mahramnya terhitung maksiat.
Apabila suami melihat gelagat istri yang akan melakukan durhaka maka suami wajib
menasehatinya. Apabila sudah dinasehati masih terus tampak durhakanya, hendaklah suami
berpisah tidur dengan istri. Apabila dia masih meneruskan kedurhakaannya, maka diperbolehkan
memkulnya, tetapi jangan sampai merusak badan.
Pergaulan baik antara suami dan istri
Tercapainya tujuan pernikahan sangat bergantung pada eratnya hubungan antara keduanya
dan pergaulan baik antara keduanya (suami dan istri). Akan erat hubungan suami istri, jika saling
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri dengan baik.

Iddah
Iddah ialah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya
(cerai hidup atau cerai mati), guna supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak. Perempuan
yang ditinggal suaminya ada yang hamil da nada yang tidak. Maka ketentuan Iddahnya ialah :
1. Bagi perempuan hamil iddahnya sampai anaknya lahir, baik cerai hidup maupun cerai mati.
2. Perempuan tidak hamil ada yang cerai mati ada juga yang cerai hidup.
Cerai mati
Iddahnya cerai mati ialah 4 bulan 10 hari. Apabila perempuan yang cerai mati sedangkan
ia hamil, dan anaknya lahir sebelum cukup 4 bulan 10 hari terhitung dari meninggalnya suaminya,
maka iddahnya selesai. Syafii berpendapat bahwa iddah lahir anaknya itu ialah apabila anak itu
adalah anak suami yang menceraikannya, kalu bukan perempuan itu tidak ber-iddah dengan
lahirnya anak. Pendapat Abu, perempuan itu harus ber-iddah dengan lahir anaknya, baik anak dari
suami yang menceraikan maupun bukan ,dan sekalipun anak zina.
Cerai hidup ialah perempuan yang diceraikan suaminya cerai hidup, kalau dia dalam
keadaan haid iddahnya adalah tiga kali suci, apabila perepmpuan itu tidak haid iddahnya tiga bulan.
Perempuan yang tidak haid ada 3, yaitu :
1. Yang masih kecil (belum sampai umur).
2. Yang sudah berumur tetapi belum pernah haid.
3. Yang sudah pernah haid tetapi sudah tua, jadi sudah tidak haid lagi.
Menghitung tiga kali suci ialah perceraian yang terjadi sewaktu suci, kalau dalam masa suci itu
tidak dicampuri oleh suaminya, maka terhitung satu kali suci. Tetapi kalau dalam suci waktu
perceraian itu telah dicampuri, maka tiga kali suci itu terhitung mulai dari suci setelah haid pertama
setelah perceraian. Perceraian terjadi waktu haid sama dengan sebelumnya. Kedua hal terakhir ini
menyebabkan iddah lebih panjang. Istri yang diceraikan suaminya sebelum dicampurinya, tidak
ada iddahnya.

Hak perempuan dalam iddah


1. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal, pakaian dan
segala keperluan hidupnya dari bekas suaminya, kecuali istri yang durhaka tidak berhak
menerima apa-apa.
2. Perepmpuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung iah berhak akan kediaman,
nafkah, dan pakaian.
3. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus maupun
dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal.
4. Perempuan yang dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun
dia mengandung.

Anda mungkin juga menyukai