Anda di halaman 1dari 22

REFARAT 10 DESEMBER 2019

DIFTERI

Nama : Putu Yogi Anggasta


NIM :15 19 777 14 367
Pembimbing :dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA KOTA PALU
TAHUN 2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Putu Yogi Anggasta


No. Stambuk : 15.19.777.14.367
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Alkhairaat
JudulRefleksi : Difteri
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Bagian IlmuKesehatanAnak
RSUD Undata Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 10 Desember 2019

Pembimbing Mahasiswa

dr. Kartin Akune, Sp.A Putu Yogi Anggasta

2
BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diptheriae toksigenik dapat menyerang saluran nafas, kulit, mata, dan organ lain.

Penyakit ini ditandai dengan demam, malaise, batuk, nyeri menelan dan pada

pemeriksaan terdapat pseudomembran kas. Penyakit ini ditularkan melalui kontak

atau droplet, dan diagnosis pasti ditegakan berdasarkan gejala klinis dan kultur

atau PCR. Terdapat 939 kasus di 30 provinsi di Indonesia dengan angka kematian

44 kasus dan case fatality rate 4,7% selama KLB tahun 2017. Penyakit ini dapat

dicegah dengan imunisasi.1

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai

dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan

pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung.1 Difteri adalah

penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.

Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna

putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil

dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck.

Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.1

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. DEFINISI

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diptheriae toksigenik dapat menyerang saluran nafas, kulit, mata, dan organ lain.

Penyakit ini ditandai dengan demam, malaise, batuk, nyeri menelan dan pada

pemeriksaan terdapat pseudomembran kas. Penyakit ini ditularkan melalui kontak

atau droplet, dan diagnosis pasti ditegakan berdasarkan gejala klinis dan kultur

atau PCR. Terdapat 939 kasus di 30 provinsi di Indonesia dengan angka kematian

44 kasus dan case fatality rate 4,7% selama KLB tahun 2017. Penyakit ini dapat

dicegah dengan imunisasi.1

Difteri adalah penyakit saluran nafas atas akut sangat menular yang

disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheria). Kuman ini

menghasilkan toksin yang menyebar sistemik dan menyebabkan kerusakan pada

epitel saluran nafas, jantung, ginjal, saraf otak dan saraf tepi. Kuman C. diphtheria

sendiri berbiak dan berkolonisasi di saluran nafas atas, tidak menyebar, namun

dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas atas, hingga kematian.2

4
B. EPIDEMIOLOGI

Difteri masih menjadi masalah serius di beberapa negara di dunia.

Meskipun vaksinasi difteri telah rutin dilaksanakan diseluruh dunia sejak tahun

70-an, masih terjadi laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri terutama di negara

berkembang hingga tahun 1990an (Magdei, et al., 2000; Quick, et al., 2000;

Pantukosit, et al., 2008). Indonesia tidak lepas dari masalah difteri. Jawa Timur

dinyatakan KLB difteri pada 2011, dengan jumlah kasus hingga akhir 2011

tercatat 665 kasus dengan kematian 20 kasus (DinKes Jatim, 2011).2

Penularan disebarkan melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi

saluran napas penderita atau dari penderita karier. Pada daerah endemis, 3%-5%

orang sehat bisa sebagai pembawa kuman difteri toksigenik. Kuman C. diptheriae

dapat bertahan hidup dalam debu atau udara luar sampai dengan 6 bulan.2 Pada

tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus meninggal 16

orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang melaporkan adanya kasus

difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu 295 kasus yang

berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak mendapakan

vaksin campak. Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri dengan 5

kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan gambaran menurut umur terbanyak

pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun.1,2

5
C. ETIOLOGI

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak


bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung Ktellurit
atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium diphtheria
dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan
sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. 3
Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria. Ciri khas
Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik
in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan
suatu strain untuk membentuk / memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium diphtheria yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. 1,3

6
Gambar I. Corynebacterium diphtheria

D. PATOFISIOLOGI

Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,

melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian

atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya

menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek

toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam

sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino

yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam

ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain

untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

7
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan

enzim translokase yang aktif.3

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga

tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.

Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi

inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik, membentuk

bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,

daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah

suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari

jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi

perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.3

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder

dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau

sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang

trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan

kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri

hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi

tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah

toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya

manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi

saraf pada umumnya terjadi setelah 3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang

8
mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam

organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel

mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup,

terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik

dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala

hipoglikemik, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular

akut pada ginjal.3

E. KLASIFIKASI
1. Difteri saluran napas Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau
pharynx kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering
terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis
erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal
dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal,
sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh
pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara
serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan
pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas
ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum
molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.1
2. Difteri hidung Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold
dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.1
3. Difteri tonsil dan faring Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia,
malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul

9
membran yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau
ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,
penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis
atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan
biasanya terjadi penyembuhan sempurna.1
4. Difteri laring Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring.
Pada difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring
karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala
sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring
terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.1
5. Difteri kulit Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai
dengan ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di
atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/
Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak
kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi,
luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada
leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus

10
respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita
difteria kulit.1
6. Difteri pada tempat lain C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi
mukokutaneus pada tempat lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata
(purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan
ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan
membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria
dari penyebab bakteri lain dan virus. Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.1

7. GEJALA KLINIS
Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala
sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit
kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal
karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi
miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering
pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang
dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk
cenderung terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).3
Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan
maka disebut difteri pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal,
dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat
serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah
dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang
menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan
bawah.3
Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya
mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan

11
antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin
yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam
tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain.3

Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, yaitu:

Early :- Terdapat pseudomembran - Stridor (difteri laringeal) - Sakit


tenggorokan (difteri - Blood-stained nasal faringotonsilar) discharge (difteri nasal) -
Hoarseness (difteri lari- - Swollen tender cervical ngeal) lymph nodes
Severe : - Swelling dan eodema leher (“bull neck”)-Petekie hae- -
Kolaps toksik sirkulasi morhagik submukosa atau - Insufiensi renal akut kulit
Late : - Miokarditis - Paralisis bibir - Paralysis soft palatum - Paralisis
diafragma - Blurred vision.3

8. DIAGNOSIS
Anamnesis : Kontak dengan penderita difteri, Suara serak, Stridor dan tanda lain
obstruksi jalan nafas, Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik : Tonsilitis, faringitis, rhinitis, Limfadenitis servikal + edema
jaringan lunak leher (bullneck), Sangat penting untuk dignosis ditemukannya
membran pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah
bila diangkat
Laboratorium : Hitung leukosit darah tepi dapat ↑, Kadang-kadang timbul
anemia, Protein likuor pada neuritis difteria sedikit ↑, Urea N darah pada nekrosis
tubular akut dapat ↑, Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung /
biakan (+)
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung
kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis
pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler atau
dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas

12
secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai
untuk memudahkan dilapangan.1
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis, nasofaringitis
atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek
difteri ditambah salah satu dari: a) pernah kontak dengan kasus (<2minggu), b)
berasal dari daerah endemis difteri, c) Stridor, bullneck, perdarahan submukosa
atau ptekie pada kulit, d) gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan
kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e) kematian. Kasus
konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif
C.difteriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan,
konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau
lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid
difteri atau antitoksin).7 Sementara kasus karier adalah orang yang tidak
menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan
positif C. diphtariae.1,3

DIAGNOSA BANDING :
1. Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles
(lues kongenital).
2. Difteria faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang
disebabkan oleh Streptococcus (tonsilitas akut, septic sore throat),
mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
3. Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat
menyerupai croup sindroma yang lain, yaitu spasmodic croup,
angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
4. Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh Streptococcus atau Stapyllococcus.1

13
9. PENGOBATAN

Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas harus diperlakukan sebagai


difteri sampai terbukti bukan. Dokter memutuskan diagnosis difteri berdasarkan
tanda dan gejala. Terpenting: mulai tata laksana antitoksin dan antibiotik apabila
dokter mendiagnosis suspek difteri tanpa perlu konfirmasi laboratorium.5

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.

Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan


tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya
pasien tetap diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih
2-3 minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis untuk mengetahui
ada/tidaknya komplikasi.

Khusus

Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan


pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%.

14
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri kulit 20.000 Intravena
Difteri hidung 20.000 Intravena
Difteri tonsil 40.000 Intravena
Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 Intravena
Difteri nasofaringeal 60.000 Intravena
Kombinasi lokasi di atas, tanpa 80.000 Intravena
melibatkan hidung/nasal
Difteri + penyulit dan/atau 80.000-100.000 Intravena
ditemukan bullneck
Terlambat berobat (> 72 jam), 80.000-10.000 Intravena
lokasi dimana saja
CDC Protocol-03/26/2014-Revised dan Krugman, 1992 dengan modifikasi

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila uji
kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan
lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
100.000 KI seperti tertera pada tabel 5. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi
anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian

15
ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%) 7-
10 hari kemudian.5

ADS Secara Drip


ADS semua dosis dicampur dextrose 5%, ¼ saline, atau ½ saline, sebanyak 200cc,
Lalu diberikan secara drip selama 2-3 jam.
(Observasi vital sign; bila terjadi reaksi alergi, tetesan dipelankan s/d ADS habis,
jangan dihentikan )

ADS Secara Bedreska

 0,05cc ADS murni dioplos menjadi 1cc, lalu berikan secara subkutan.
 0,1cc ADS murni dioplos menjadi 1cc, lalu berikan secara subkutan.
 0,2cc ADS murni berikan secara subkutan (jangan dioplos !).
 0,5cc ADS murni berikan secara intramuscular.
 1cc ADS murni berikan secara intramuscular.
 2cc ADS murni berikan secara intramuscular.
 4cc ADS murni berikan secara intramuscular.
 Berikan terus sebanyak 4cc intramuscular, sampai habis sesuai dosis.
 Interval pemberian adalah 15-20 menit.
 Observasi vital sign selama pemberian.
 Bila terjadi reaksi alergi, segera hentikan pemberian ADS, dan beri
adrenaline 0,1cc subkutan.

Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta
U/hari) diberikan secara intramuskular (IM) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat
hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2
g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam selama 14 hari.5

16
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila
terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu
kemudian diturunkan bertahap.5

Trakeostomi
Ditemukannya obstruksi saluran napas karena membran dan edema
perifaringeal, bahkan apabila telah tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.5

Pengobatan kontak
Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak
erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret nasofaring,
orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan minum yang sama
dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang mengalami kontak tanpa
memandang status imunisasi seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal berikut
dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlewati (c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi
imunisasi.2,3,5
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala
difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam
nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Eritromisin lebih superior
daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri nasofaring. Pemantauan dilakukan
sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.2,3,5

17
10. PROGNOSIS
- Virulensi organism
- Tempat pada tubuh terjadinya infeksi.
- Pada difteri faring umumnya berat dan toksik
- Usia <5 tahun
- Status imunisasi: belum/tidak lengkap
- Kecepatan pemberian antitoksin
- Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck
Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri kemungkinan
meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal.

11. PENCEGAHAN

Pengobatan difteri baik secara umum ataupun sekunder bertujuan


menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. Imunisasi DPT dan pengobatan carrier dapat
membantu dalam pencegahan diferi.3

Kekebalan pasif : Diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).

Kekebalan aktif : Diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent
infection serta imunisasi toksoid difteri.

Imunisasi Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk


mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan,
kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan sangat diperlukan. Imunisasi
DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur 6 tahun.3

Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT


tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum
lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan,
18
tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu
dilakukan imunisasi DPT ulangan 1x.3

Waktu pasien dipulangkan :

- DPT 0,5 ml, i.m, untuk anak < 7 tahun


- DT 0,5 ml, i.m, untuk anak ≥ 7 tahun

Test kekebalan :

- Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri.


Tes dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara
intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi
nekrosis jaringan sehingga test positif.
- Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri.
Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid
secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul
eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.

19
BAB III

PENUTUP

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium

diptheriae toksigenik dapat menyerang saluran nafas, kulit, mata, dan organ lain.

Penyakit ini ditandai dengan demam, malaise, batuk, nyeri menelan dan pada

pemeriksaan terdapat pseudomembran kas. Penyakit ini ditularkan melalui kontak

atau droplet, dan diagnosis pasti ditegakan berdasarkan gejala klinis dan kultur

atau PCR. Terdapat 939 kasus di 30 provinsi di Indonesia dengan angka kematian

44 kasus dan case fatality rate 4,7% selama KLB tahun 2017. Penyakit ini dapat

dicegah dengan imunisasi.1

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai

dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan

pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung.1 Difteri adalah

penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.

Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna

putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil

dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck.

Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.1

Anak-anak dengan penyakit difteri pada umumnya datang dengan

keluhan panas dan nyeri telan. Separuh penderita datang dengan kondisi difteri

berat, dan sebagian besar penderita sudah pernah mendapat imunisasi DPT, tetapi

20
tidak adekuat. Kematian umumnya terjadi pada difteri berat dan yang tidak

pernah diimunisasi DPT.2

Saran : Daerah di mana kasus difteri banyak terjadi, penting untuk

melaksanakan pemeriksaan fi sik yang menyeluruh, termasuk melihat faring

penderita, karena gejala difteri yang tidak khas. Penemuan kasus yang dini akan

memperbaiki prognosis penderita, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan

dan diberikan terapi yang adekuat, semakin sedikit jumlah toksin yang sudah

masuk ke jaringan, sehingga kemungkinan komplikasi juga semakin rendah.

Peningkatan cakupan imunisasi dasar DPT dan pemberian booster atau ulangan

DPT pada umur 18 bulan diharapkan dapat menekan morbiditas dan mortalitas

infeksi Difteri.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartoyo E; Difteri pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Lambungmangkurat/RSUD Ulin, Banjarmasin;

2018, 19(5):300-6.

2. Dwiyanti P, Erna S; diphtheria, clinical profi le, children, mortality;

Dominicus Husada Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr.

Soetomo Surabaya; Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–14.

3. Magda Delicia C; DIFTERI PADA ANAK; RS. Mardi Waluyo, Metro

Barat, Lampung; 27 Agustus - 3 November 2012.

4. Fitriana, Harli N; Penata laksanaan difteri; Kemenkes RI, Jakarta,

Indonesia, Volum: 64, Nomor: 12, Desember 2014.

5. Soedjatmiko, Hartono, Hindra I; Diagnosis dan tata laksana difteri.

22

Anda mungkin juga menyukai