Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

MIKROBIOLOGI

STREPTOCOCCUS PNEUMONIA

Disusun oleh :

Pembimbing:

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 3
1.2. Issue ............................................................................................. 4
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5
2.1.DEFINISI .......................................................................................... 5
2.2. KALSIFIKASI PNEUMONIA ............................................................ 5
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................ 6
2.3 ETIOLOGI ......................................................................................... 7
2.3 PATOGENESIS ................................................................................ 8
2.4 PATOLOGI ..................................................................................... 11
2.5 KLASIFIKASI .................................................................................. 12
2.6. DIAGNOSIS ................................................................................... 14
2.6.1. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik .............................. 14
2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium ...................................................... 15
2.6.3 Gambaran Radiologis ............................................................... 15
2.6.4 Pemeriksaan Bakteriologis ...................................................... 16
2.6.5Penilaianderajatkeparahan penyakit ......................................... 16
2.7. MANAJEMEN ............................................................................. 20
2.8 Komplikasi Pneumonia ................................................................. 30
2.9 Prognosis Pneumonia.................................................................. 31
2.10. Pencegahan ............................................................................ 32
BAB 3 PEMBAHASAN ............................................................................ 33
BAB 5 KESIMPULAN............................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 36
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka


kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. Dari
hasil survei kesehatan rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi
saluran napas bagian bawah menempati urutan ke dua sebagai penyebab
kematian. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah
dalam bentuk pneumonia. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi
saluran napas akut termasuk pneumonia. Di Indonesia, dari buku SEAMIC
Health statistic 2001, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor
enam. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan
terjadi oleh proses infeksi akut, sedangkan istilah pneumonitis sering
dipakai untuk proses non infeksi.
Streptococcus pneumoniae (S. pneumoniae), awalnya dikenal
sebagai 'pneumokokus', pada awalnya diisolasi pada tahun 1880 oleh
Louis Pasteur , dan merupakan mikroba menarik yang terus menimbulkan
masalah signifikan bagi kesehatan masyarakat. Ini menjajah nasofaring,
membentuk bagian dari beragam flora saluran pernapasan bagian atas.
Namun setelah lingkungan inang menjadi terganggu, S. pneumoniae
memiliki kecenderungan untuk menyebabkan penyakit invasif, seperti
pneumonia, meningitis dan bakteremia. Penyakit ini dapat terjadi dalam
pengembangan sepsis ; suatu sindrom klinis didefinisikan sebagai adanya
infeksi pada pasien, ditambah dengan bukti respons inflamasi sistemik
(SIR) seperti takikardia dan pireksia, menyebabkan banyak organ
kegagalan dan akhirnya kematian.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas
terbanyak didapatkan dan sering merupakan penyebab kematian
diseluruh dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional ISPA
25,5%, angka morbiditas pneumonia pada bayi 2,2%, balita 3%, angka
mortalitas pada bayi 23,8% dan balita 15,5%.

Sejak tahun 1928 Penicillin merupakan drug of choice untuk


Streptococcus pneumonia. Namun resistensi antibiotik saat ini menjadi
masalah kesehatan masyarakat terutama terhadap bakteri patogen
manusia seperti Streptococcus pneumonia. Masalahnya telah dikaitkan
dengan penggunaan antibiotik dalam dosis tinggi sehingga muncul
resistensi terhadap bakteri Streptococcus pneumonia (Eric, 2014).

1.2. Issue
 Peningkatan Jumlah penderita Pneumonia
 Jumlah Resistensi obat
 Cara penularan

1.3. Tujuan Penulisan


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.DEFINISI

Secara Klinis, Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan


paru ynag di sebabkan oleh mikroorganisme ( Bakteri, virus, jamur, dan
parasit ). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh non
mikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA), definisi
Pneumonia adalah infeksi akut dari parenkim paru yang diikuti dengan :
 Infiltrat akut pada foto thorax atau temuan auskultasi yang
konsisten dengan pneumonia
 Biasanya diikuti dengan dua kondisi berikut : demam atau
hiponatremi, kekakuan, berkeringat, batuk dengan atau tanpa
sputum (atau dengan perubahan warna), rasa tidak nyaman di
dada, dypsnea.
 Pada orang tua, afebrile atau hipotermia dan perubahan status
mental kadang-kadang merupakan satu-satunya keluhan.

2.2. KALSIFIKASI PNEUMONIA


1. Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis :
a. Pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia-
CAP) adalah peradangan akut pada parenkim paru yang
didapat di masyarakat / didadpat di luar rumah sakit.
b. Pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia /
Nosocomial pneumonia-HAP) adalah pneumonia yang
terjadi lebih dari 48 jam setelah rawat inap di rumah sakit
dan tidak dijumpai infeksi paru saat penderita masuk rumah
sakit.
c. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia
yang terjadi setelah lebih dari 48 jam pemasangan intubasi
endotrakeal (PDPI Pneumonia Nosokomial, 2014).
d. Pneumonia Immunocompromised : Pneumonia yang terjadi
pada penderita yang memiliki penurutan imunitas, seperti
HIV.
2. Berdasarkan mikroorganisme penyebab:
a. Pneumonia bakterial / Tipikal : Dapat terjadi pada semua
usia, beberapa baktteri mempunyai tendensi menyerang
seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal : Disebabkan oleh Mycoplasma,
Legionella dan Chlamydia.
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dan
menyerang pasien immunokompromise.
3. Berdasarkan predileksi penyakit :
a. Pneumonia Lobaris : Terjadi pada satu lobus atau segmen,
sering pada Pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua.
b. Bronkopneumonia : Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapangan paru, dapat disebabkan oleh bakteri maupun
virul, sering pada bayi dan orang tua.
c. Pneumonia Interstisial.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia adalah penyakit yang cukup sering terjadi. Rata-rata
dari serangan pneumonia adalah sekitar 12 kasus per 1000 orang per
tahun. Pada orang dewasa berusia 17-55 tahun, angka kejadian
pneumonia relatif rendah. Akan tetapi pada orang tua, angka kejadian
pnaumonia lebih tinggi.

Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat


inap di rumah sakit. Proporsi kasus pneumonia terdiri dari 53.95% laki-laki
dan 46.05%perempuan, dengan crude fatality rate (CFR) 7.6%.

Sedangkan pada pneumonia nosokomial, angka kejadiannya


berkisar antara 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit
dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu
nafas mekanis.

2.3 ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan parasit. Pneumonia yang
didapatkan dimasyarakat (CAP) banyak disebabkan oleh bakteri gram
positif, HAP atau pneumonia nosokomial disebabkan oleh bakteri gram
negative. Pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri
anaerob(PDPI Pneumonia Komuniti, 2003).

Mikroorganisme
(Bakteri, Virus,
Jamur, Parasit)

Bahan Kimia

Radang paru Radiasi

Aspirasi

Obat-obatan

Bacteria :
- Streptococcus pneumoniae
- Haemophilus infuenza
- Legionella sp
- Mycoplasma pneumoniae; Chlamydia pneumoniae
- Gram negatif bacilli (proteus sp; E.colli)
- Staphylococcus aureus
- Moraxella catarrhalis
- Chlamydia psittici
- Coxiella burnetti
- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas

Virus :
- Influenza A dan B
- Parainfluenza
- Cytomegalovirus
- Adenovirus

Fungi :
- Aspergillus
- Candida sp
- Nocardia sp
- Cryptococcus sp
- Histoplasma sp
- Pneumocystis

2.3 PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme, dan lingkungan maka mikroorganisme dapat
masuk, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit.
Mekanisme pertahanan paru :
A. Non a. Filtrasi (penyaring Saluran Nafas Atas)
Spesifik b. Reflek bersin (timbul bila ada rangsangan di hidung
dan nasofaring)
c. Reflek batuk (bila ada rangsangan di laring,
trakeobronkial)
d. Gerakan mukosilia (menangkap partikel dan
mengeluarkan dari saluran nafas)
B. Spesifik a. Sel makrofag
b. Antibodi

Resiko terjadi infeksi pada paru sangat bergatung pada


kemampuan mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan
permukaan epitel saluran nafas. Ada beberapa cara mikroorganisme
untuk mencapai permukaan saluran nafas :
1. Inokulasi langsung
2. Hematogenous
3. Inhalasi
4. Kolonisasi pada permukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut yang terbanyak adalah kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, infeksi mikroorganisme atipikal,
infeksi mikobakteria atau jamur. Bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan
selanjutnya terjadi proses infeksi.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan
yang paling menonjol. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus
paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus
paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi
terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah
kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia(PDPI
Pneumonia Komuniti, 2003).

Terdapat empat stadium anatomic dari pneumonia terbagi atas:


1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat, dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit, dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga akan bertambah sesak. Stadium
ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk.
Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai
pulih mencapai keadaan normal(PDPI Pneumonia Komuniti, 2003).

2.4 PATOLOGI
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian
dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka
akan tampak 4 zona :
1. Zona luar : alveoli yang terisi dengan bakeri dengan cairan edema
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag(PDPI Pneumonia
Komuniti, 2003).

2.5 KLASIFIKASI
1. Berdasarkan sumber infeksi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia = CAP)
pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga
termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap
kurang dari 48 jam.
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia = HAP)
merupakan pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi
setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat
beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus
atau bakteri dengan gram negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus. Tingkat resistensi
obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP.
c. Pneumonia aspirasi
d. Immuno-compromised
PENAMPILAN KLINIS CAP HAP
Terjadinya Sebelum MRS 2 hari setelah MRS
Jenis kuman Gram (+) Gram (-)
Ex :Strep. pneumoniae Ex :Pseudomonas
aeruginosa
Klinis Gejala pneumonia Lebih berat
Perjalanan penyakit Antibiotika adekuat  Sering : sepsis gagal
membaik nafas

2. Berdasarkan penyebab infeksi


a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang
peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus
pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).

PENAMPILAN KLINIS BAKTERIAL ATIPIKAL


Onset Akut ( 1 – 2 hari) Subakut (3 – 4 hari)
Febris Panas, menggigil Kurang tinggi
Batuk Dahak purulen Batuk tidak produktif
Manifestasi paru Menonjol (nyeri dada, Kurang
sesak nafas)
Manifestasi ekstra Kurang Menonjol(mialgia,
paru anoreksia, cephalgia,
atralgia)

3. Berdasarkan predileksi tempat infeksi


a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru.
Bronkus besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan
gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan
hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn.
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus
pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder
disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda
asing, atau adanya proses keganasan.
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat
mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus
yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak
infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh
bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding
bronkus dan peribronkial. Peradangan dapat ditemumkan pada
infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan
juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi
perselubungan yang tidak merata(PDPI Pneumonia Komuniti,
2003).

2.6. DIAGNOSIS

2.6.1. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, foto toraks, dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komunitas
ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat/ air bronchogram
ditambah dengan beberapa gejala di bawah ini :
 Batuk
 Perubahan karakteristik sputum/purulen
 Suhu tubuh ≥ 38ºC (aksila)/ riwayat demam
 Nyeri dada
 Sesak
 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi,
suara napas bronkial, dan ronki
 Leukosit ≥10.000 atau < 4500
Pemeriksaan biakan diperlukan untuk menentukan kuman penyebab
menggunakan bahan sputum, darah, atau aspirat endotrakeal, aspirat
jaringan paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan invasif hanya dilakukan
pada pneumonia berat dan pneumonia yang tidak respons dengan
pemberian antibiotik. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya sedangkan
pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Di
Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan
50% (PDPI Pneumonia Komuniti, 2014).

2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik(PDPI Pneumonia Komuniti, 2003).

2.6.3 Gambaran Radiologis


Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:
1.Pneumonia Lobaris
Foto Thorax
Pneumonia lobaris dextra

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

2.6.4 Pemeriksaan Bakteriologis


Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi
nasotrakeal/transtrakeal, torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi(PDPI
Pneumonia Komuniti, 2003).

2.6.5Penilaianderajatkeparahan penyakit
Penilaian derajat keparahan pada kasus pneumonia dapat
menggunakan sistem skoring CURB-65 atau Pneumonia Severity Index
(PSI). Fungsi sistem skor ini juga untuk menentukan tipe perawatan
pasien seperti rawat jalan, rawat inap, ataupun rawat inap di ruangan
intensif.

Sistem CURB-65 umumnya digunakan pada fasilitas kesehatan yang


rendah dan PSI digunakan pada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi
seperti di rumah sakit.

1. CURB-65
Pada sistem ini, yang dinilai hanya 5 faktor saja.

 C: Confusion (tingkat kesadaran)


Jika nilai uji mental >8 (skor 0), <8 (skor 1)

 U: Urea
Nilai urea<19mg/dL (skor 0), >19 (skor 1)

 R: Respiration rate
Jumlah frekuensi napas<30x/mnt (skor 0), >30 (skor 1)

 B: Blood pressure
Jika tekanan darah >90/60 mmHg (skor 0), <90/60 mmHg
(skor 1)

 65: umur >65 tahun


Jika umur <65 (skor 0), >65 (skor 1)

Penilaian CURB-65:

– Skor 0-1: resiko kematian rendah, rawat jalan


– Skor 2: resiko kematian sedang, pertimbangan rawat inap
– skor >3: resiko kematian tinggi, tatalaksana pneumonia berat
– Skor 4/5: pertimbangan perawatan intensif
2. Pneumonia Severity Index (PSI)
Pada sistem ini yang dinilai ada 20 variabel.
Karakteristik pasien Nilai

Faktor demografis

 Umur Umur (tahun)


- Laki-laki
Umur (tahun) – 10
- Perempuan
 Penghuni panti werda +10

Penyakit komorbid

 Keganasan +30

 Penyakit hati +20


 Penyakit jantung kongestif +10
 Penyakit serebrovaskular
+10
 Penyakit ginjal
+10

Pemeriksaan fisik
+20
 Gangguan kesadaran
 Frekuensi napas >30 x/menit +20

 Tekanan darah sistolik <90 +20

 Suhu tubuh <35 C atau >40C +15


 Frekuensi nadi >125 x/menit +10

Hasil laboratorium
+30
 pH < 7.35
 BUN > 10.7 mmol/L +20

 Natrium < 130 mEq/L +20

 Glukosa > 13.9 mmol/L +10


 Hematokrit < 30% +10
 Tekanan O2 arteri < 60mmHg +10
 Efusi Pleura
+10

Kriteria rawat inap menurut PDPI:

– Skor PSI >70


– Skor <70, disertai 1 dari kriteria:
• Frekuensi nafas >30x/menit
• PaO2 <250mmHg
• Foto Toraks menunjukan infiltrat multilobus
• Tekanan sistolik <90mmHg, diastolik <60mmHg
– Pneumonia pengguna NAPZA
Derajat Skor resiko PSI

Total poin Resiko Kelas resiko Angka Perawatan


kematian

Tidak Rendah I 0.1% Rawat jalan


diprediksi

<70 II 0.6% Rawat jalan

71-90 III 2.8% Rawat


inap/jalan

91-130 Sedang IV 8.2% Rawat inap

>130 Berat V 29.2% Rawat inap

Menurut IDSA/ATS 2007 kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu
atau lebih kriteria di bawah ini:

Kriteria minor:

 Frekuensi napas ≥ 30 kali/menit


 Pa02 / Fi02 ≤250 mmHg
 Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus
 Kesadaran menurun/ disorientasi
 Uremia (BUN ≥20 mg/dl)
 Leukopenia (leukosit < 4000 sel/mm3)
 Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm3)
 Hipotermia (suhu <36ºC)
 Hipotensi menyebabkan resusitasi cairan agresif

Kriteria mayor adalah sebagai berikut :

 Membutuhkan ventilasi mekanis


 Syok septik yang mebutuhkan vasopressor

2.7. MANAJEMEN
Dalam mengobatipasien pneumonia sesuaidengan ATS/IDSA 2007
perludiperhatikan:
- Pasientanpariwayatpemakaian antibiotic 3 bulansebelumnya.
- Pasiendengankomorbidataumempunyairiwayatpemakaian antibiotic
3 bulansebelumnya.
Pemilihan antibiotic secaraempirisberdasarkanbeberapa factor,
termasuk:
 Jeniskuman yang
kemungkinanbesarsebagaipenyebabberdasarkanpolakumanset
empat
 Telahterbuktidalampenelitiansebelumnyabahwaobattersebutefe
ktif
 Factor resikoresisten antibiotic. Pemilihan antibiotic
harusmempertimbangkankemungkinanresistenterhadap
Streptococcus pneumonia yang merupakanpenyebabutama
CAP yang memerlukanperawatan.
 Factor
komorbiddapatmempengaruhikecenderunganterhadapjeniskum
antertentudanmenjadi factor penyebabkegagalanpengobatan.
A. Pneumokokusresistenterhadappenisilin
 Umur>65 tahun
 Memakaiobat-obatangolongan β lactam selama 3
bulanterakhir
 Pecandu alcohol
 Penyakit gangguankekebalan
 Penyakitpenyerta yang multiplel
B. Bakteri enteric gram negative
 Penghunirumahjompo
 Mempunyaipenyakitdasarkelainanjantungdanparu
 Mempunyaikelainanpenyakit yang multiple
 Riwayatpengobatan antibiotic
C. Pseudomonas aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatankortikosteroid>10 mg/hari
 Pengobatan antibiotic spectrum luas>7
haripadabulanterakhir
 Gizikurang

Penatalaksanaan pneumonia komunitas dibagi menjadi:

1. Pasien rawat jalan


- Pengobatan suportif/simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik atau ekspektoran
- Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
2. Pasien rawat inap di ruang rawat biasa
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit
- Pemberian obat simptomatik : antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
3. Pasien rawat inap di ruang rawat intensif
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan
elektrolit
- Pemberian obat simptomatik : antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
- Bila ada indikasi, pasien dipasang ventilasi mekanis

Jika diagnosis pneumonia telah ditegakkan harus secepatnya


diberikan antibiotika setelah sebelumnya diambil spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.

Pemberian antibiotik dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama.

- Jika didapatkan perbaikan klinis terapi dapat dilanjutkan


- Jika perburukan maka antibiotik harus diganti sesuai hasil
biakan atau pedoman empiris
Petunjuk terapi empiris untuk pneumonia komunitas menurut PDPI:

1. Rawat jalan
a. Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat
pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya
 golongan beta laktam atau beta laktam ditambah
anti betalaktamase ATAU
 Makrolid baru (klaritomisin, azitromisin)
b. Pasien dengan komorbid atau mempunya riwayat
pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya
 Florokuinolon respirasi (levofloksasis 750mg,
moksifloksasin) ATAU
 Golongan betalaktam ditambah anti betalaktamase
ATAU
 Betalaktam ditambah makrolid
2. Rawat inap non ICU
 Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750mg, moksifloksasin)
ATAU
 Betalaktam ditambah makrolid
3. Ruang rawat intensif
 Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas: Betalaktam
(cefotaxim, ceftriaxon atau ampisilin sulbaktam) ditambah
makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi intravena

4. Pertimbangan khusus
Bila ada faktor resiko infeksi pseudomonas:

 Antipneumokokal, antipseudomonas beta laktam (piperacilin-


tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) ditambah
levofloksasin 750mg ATAU Beta laktam seperti tersebut diatas
ditambah aminoglikosida dan azitromisin ATAU
 Beta laktam seperti tersebut diatas ditambah aminiglikosida dan
antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi
penisilin, beta laktam diganti dengan aztreonam)
Bila curiga disertai infeksi MRSA tambahkan vankomisin atau
linezolid
1. Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin
- TMP-SMZ
- Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
- Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
- Makrolid baru dosis tinggi
- Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
- Aminoglikosid
- Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
- Tikarsilin, Piperasilin
- Karbapenem : Meropenem, Imipenem
- Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vankomisin
- Teikoplanin
- Linezolid
Hemophilus influenzae
- TMP-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin gen. 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Chlamyia pneumoniae
- Doksisikin
- Makrolid
- Fluorokuinolon
Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001)
Kategori Keterangan Kuman Obat Pilihan I Obat Pilihan II
Penyebab
Kategori I Usia -S.pneumonia- Klaritromisin - Siprofloksasin2x500
penderita -M.pneumonia 2x250 mg mg atau Ofloksasin
< 65 tahun -C.pneumonia - -Azitromisin 2x400mg
-Penyakit -H.influenzae 1x500mg - Levofloksasin
Penyerta (-) -Legionale sp - Rositromisin 1x500mg atau
-Dapat -S.aureus 2x150 mg atau Moxifloxacin
berobat -M,tuberculosis 1x300 mg 1x400mg
jalan -Batang Gram (-) - Doksisiklin 2x100mg
Kategori II -Usia -S.pneumonia -Sepalospporin -Makrolid
penderita > H.influenzae generasi 2 -Levofloksasin
65 tahun Batang gram(-) -Trimetroprim -Gatifloksasin
- Peny. Aerob +Kotrimoksazo -Moxyfloksasin
Penyerta (+) S.aures l
-Dapat M.catarrhalis -Betalaktam
berobat Legionalle sp
jalan
Kategori -Pneumonia -S.pneumoniae - Sefalosporin -Piperasilin +
III berat. -H.influenzae Generasi 2 tazobaktam
- Perlu -Polimikroba atau 3 -Sulferason
dirawat di termasuk Aerob - Betalaktam +
RS,tapi tidak -Batang Gram (-) Penghambat
perlu di ICU -Legionalla sp Betalaktamase
-S.aureus +makrolid
M.pneumoniae
Kategori -Pneumonia -S.pneumonia - Sefalosporin -Carbapenem/
IV berat -Legionella sp generasi 3 meropenem
-Perlu -Batang Gram (-) (anti -Vankomicin
dirawat di aerob pseudomona -Linesolid
ICU -M.pneumonia s) + makrolid -Teikoplanin
-Virus - Sefalosporin
-H.influenzae generasi 4
-M.tuberculosis - Sefalosporin
-Jamur endemic generasi 3 +
kuinolon

2. Terapi Suportif Umum


1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental,
dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat
bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk
batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing
untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur
setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.7
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada
pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan
terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada
pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan
dahak tidak diperkenankan. 9
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi
ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal
prerenal.
7. Ventilasi mekanis, indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan
menggunakaan masker. Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan pulmonary compliance hingga tekanan inflasi
meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50%
atau lebih rendah
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress,
dengan atau didapat asidosis respiratorik.
c. Respiratory arrest.
d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup
yang didapatkan terutama dari lemak (>50%), hingga dapat dihindari
pembentukan CO2 yang berlebihan(PDPI Pneumonia Komuniti, 2003).

3. Terapi Sulih (switch therapy)


Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan
perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini
untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan
antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitasnya
mampu mengimbangi efektivitas antibiotik iv yang telah digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi
sama), switch over (obat berbeda, potensi sama), dan step down (obat
sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia
komunitas :
 Hemodinamik stabil
 Gejala klinis membaik
 Dapat minum obat oral
 Fungsi gastrointestinal normal

Kriteria klinis stabil :


1. Suhu ≤ 37,8º C
2. Frekuensi Nadi ≤ 100 kali / menit,
3. Frekuensi napas≤ 24 kali / menit
4. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg
5. Saturasi O2 arteri ≥ 90% atau pO2 ≥ 60 mmHg pada ruang udara

Evaluasipengobatan
Jikasetelahdiberikanpengobatansecaraempirisselama 24 - 72 jam
tidakadaperbaikan, kitaharusmeninjaukernbali diagnosis, faktor-
faktorpenderita, obat-obat yang telahdiberikandanbakteripenyebabnya,
sepertidapatdilihatpadagambar 1.
2.8 Komplikasi Pneumonia
1. Batuk darah
2. Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama
pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negative
sebesar 60%, Staphylococcus aureus 50%. S. pneumoniae 40-60%,
kuman anaerob 35%. Sedangkan pada Mycoplasmapneumoniae
sebesar 20%.
3. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau
bakteriemia berupa meningitis dan abses otak. Dapat juga terjadi
dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peningguan
ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase
alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik. Perikarditis,
endokarditis, osteomyelitis, sepsis.
4. Hipoksemia akibat gangguan difusi, ARDS
5. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru sehingga terjadi
infeksi oleh kuman anaerob dan bakteri gram negative(PDPI
Pneumonia Komuniti, 2003).
2.9 Prognosis Pneumonia
Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak
ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenitas kuman,
usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian
pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat
menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya
gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik, atau
kanker. Adanya leukopenia, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus dan
komplikasi ekstraparu merupakan petanda prognosis yang buruk. Kuman
gram negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek(PDPI Pneumonia
Komuniti, 2003).
Prognosa buruk pada keadaan :

1 Umur> 60 tahun

2 Komawaktumasuk

3 Perawatan di ICU

4 Syok

5 Pemakaianalat bantu nafas ( Ventilator )

6 Fototoraks : Infiltrat bilateral

7 Kreatinin> 1,5 mg / dl

8 Penyakit yang mendasariberat ( Keganasan , DM )

9 Pengobatanawaltidaktepat

10 Infeksi oleh karenabakteriresisten

11 Gagal multi organ

12 Pemakaianobatpenyekat H2 yang
dapatmeningkatkanphpadapencegahan
Perdarahanusus
2.10. Pencegahan
Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan pada
pneumonia komunitas adalah sebagai berikut :

a. Vaksinasi (vaksin pneumokok dan vaksin influenza) walaupun masih


perlu penelitian lebih lanjut tentang efektivitasnya.

b. Berhenti merokok

c. Menjaga kebersihan tangan, penggunaan masker, menerapkan etika


batuk

d. Menerapkan kewaspadaan standar dan isolasi pada kasus khusus.


BAB 3
PEMBAHASAN

Pneumolysin adalah hemolysin dari pneumokokus. Hadir di


sebagian besar strain dan sebagai bagian dari keluarga besar dari
cytolysin (CDC) kolesterol-pembentuk pori-pembentuk protein,
pneumolysin merupakan faktor virulensi integral untuk S. pneumonia.
Yang penting, ada kontroversi tentang pelepasan pneumolysin dari
pneumococcus. Toksin itu secara klasik telah diamati akan dirilis selama
fase diam pertumbuhan bakteri, menambah berat ide lama bahwa
pneumolysin dilepaskan lisis bakteri. Cincin karakteristik terlihat biakan
agar darah dari pneumococcus bukan disebabkan oleh pelepasan
pneumolysin, tetapi malah terlihat karena pelepasan hidrogen peroksida;
yang kemudian menyebabkan pengurangan hemoglobin, menghasilkan
hijau teroksidasi methaemoglobin turunan, karakteristik streptokokus
viridans yang tumbuh pada lempeng agar darah. Namun, bukti baru baru-
baru ini muncul menunjukkan bahwa pneumolysin dapat juga dilepaskan
dari bakteri dengan non-autolisis mekanisme sekresi, karena satu strain
telah ditemukan untuk melepaskan pneumolysin secara non-karakteristik
pada fase awal pertumbuhan. Apapun, untuk konteks ini diskusi, fakta
tetap bahwa lisis bakteri S. pneumoniae menyebabkan pelepasan
pneumolysin yang disimpan.
Ada dua pedoman klinis terkemuka untuk manajemen pneumonia
yang didapat masyarakat di Inggris, yang diproduksi oleh NICE dan BTS.
Keduanya mencapai konsensus itu amoksisilin oral harus digunakan
sebagai antimikroba lini pertama agen; kursus dapat bervariasi dari lima
hingga tujuh hari tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun
harus dicatat bahwa sangat sulit untuk menentukan yang sebenarnya
agen penyebab pada pneumonia; oleh karena itu menyesuaikan
pengobatan antimikroba spesifik dapat menjadi tantangan.

Penggunaan antibiotik litik kontroversial pada S. pneumonia infeksi.


Teori di balik ini berkisar pada fakta bahwa S. pneumoniae, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, tidak aktif mensekresi pneumolysin, sebagai
gantinya dilepaskan pada bakteri lisis sel; artinya ketika antibiotik litik
menyebabkan bakteri kematian, ada rilis besar yang sangat merusak dan
toksin inflamasi. Ini telah ditunjukkan dalam pekerjaan di mana ceftriaxone
ditemukan menyebabkan peningkatan pelepasan pneumolysin dalam CSF
selama meningitis bakteri [26]. Berdasarkan pada prinsip dan bukti ini,
haruskah kita pindah dari terapi antibiotik litik sampai non-litik pada
pneumokokus penyakit?
Sebaliknya, clindamycin antibiotik non-litik ditemukan menjadi
pelindung saraf selama infeksi S. pneumoniae sebagai dibandingkan
dengan ceftriaxone pada kelinci, mengurangi neurologis kerusakan.
Selanjutnya, penghambat sintesis-protein antimikroba, seperti makrolida,
telah diklaim mengurangi lisis sel bakteri dan mengurangi peningkatan
respon inflamasi oleh endotoksin bakteri bila dibandingkan dengan
penisilin. Itu juga sudah dibuktikan bahwa rifampisin, suatu penghambat
sintesis RNA, menghambat peningkatan pelepasan pneumolysin oleh
ceftriaxone
BAB 5
KESIMPULAN

Infeksi S. pneumoniae tetap menjadi penyebab penting kematian.


Strategi manajemen saat ini berputar di sekitar Penggunaan antibiotik litik,
yang telah terbukti meningkatkan pelepasan pneumolysin. Ini dalam teori
memperburuk kerusakan sel inang, aktivasi berlebihan respon inflamasi
sistemik dan hasil klinis, efek yang dapat ditingkatkan dengan
penggunaan antibiotik non-litik. Namun, meskipun penggunaan antibiotik
non-litik telah terbukti melindungi dari efek ini di in vitro dan in vivo, diakui
bahwa lebih banyak studi yang membandingkan efek penggunaan
antibiotik litik dan non-litik pada klinis hasil diperlukan. Meskipun masih
ada diagnostik masalah untuk agen mikrobiologis penyebab dalam kasus
pneumonia, tidak berlaku untuk meningitis, pendekatan yang berbeda
resep antibiotik dapat dipertimbangkan, berdasarkan pada prinsip yang
disajikan, selama hasil pasien ditunjukkan tidak dikompromikan
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Z. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat


Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
Sudoyo W.Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus S.K, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Edisi IV.Jakarta: Balai Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, 2006.

Noer S, Waspadji S, Rachman AM, et al, editor. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1996.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan


penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.2003.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.2003.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komunitas.2014
Soedarsono. 2004. Buku Ajar IlmuPenyakitParu.
BagianIlmuPenyakitParu FK UNAIR. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai