Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Compartement Syndrome

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Bedah
Di RS Dr R. Soedjati Purwodadi

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama :

Judul :

Bagian :

Fakultas :

Pembimbing :

Telah diajukan dan disahkan

Purwodadi, Juli 2017

Pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota tubuh
dan jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang tertutup
mengalami penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka tubuh akan
mengalami nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen, dan jika semakin
berat dapat terjadi gagal ginjal dan kematian.
Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di tangan,
lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir
semua cedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat.
Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada ketika
berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari terlewatnya
pemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.

B. INSIDEN
Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak
dipelajari untuk sindroma kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering
untuk trauma sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindroma
kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria daripada wanita, tapi hal ini memiliki
bias, dimana pria lebih sering mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164
pasien yang didiagnosis sindroma kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur
dan sebagian adalah fraktur tibia. Menurut Qvarfordt, sekelompok pasien dengan
nyeri kaki, 14% pasien dengan sindroma kompartemen anterior. Sindroma
kompartemen ditemukan 1-9% fraktur pada kaki.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak.
Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing
dibungkus oleh epimisium. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa
jenis, antara lain:
1. Anggota gerak atas
a. Lengan atas:
1) Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus ulnar dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari
tangan, nervus interosseous posterior.
b. Lengan bawah:
1) Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus ulnar dan nervus median.
2) Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari
tangan, nervus interosseous posterior.
3) Mobile wad, berisi otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor
carpi radialis brevis, otot brachioradialis.
c. Wrist joint:
1) Kompartemen I, berisi otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor
pollicis brevis.
2) Kompartemen II, berisi otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor
carpi radialis longus.
3) Kompartemen III, berisi otot ekstensor pollicis longus.
4) Kompartemen IV, berisi otot ekstensor digitorum communis, otot
ekstensor indicis.
5) Kompartemen V, berisi otot ekstensor digiti minimi.
6) Kompartemen VI, berisi otot ekstensor carpi ulnaris.
2. Anggota gerak bawah
a. Tungkai atas : terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial dan
posterior.
b. Tungkai bawah (regio cruris):
1) Kompartemen anterior, berisi otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari
kaki, nervus peroneal profunda.
2) Kompartemen lateral, berisi otot peroneus longus dan brevis, nervus
peroneal superfisial.
3) Kompartemen posterior superfisial, berisi otot gastrocnemius dan soleus,
nervus sural.
4) Kompartemen posterior profunda, berisi otot tibialis posterior dan flexor
ibu jari kaki, nervus tibia.

c
Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu
kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus) serta lengan atas
(kompartemen volar dan dorsal).

B. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial
yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya kekurangan oksigen akibat
penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan
dan diikuti dengan kematian jaringan.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang
dibungkus oleh epimisium. Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis,
pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen
terletak di anggota gerak. Paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai
daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

Gambar 1. Gambar Kompartemen Tungkai Bawah

Berdasarkan etiologinya, Sindroma Kompartemen dapat di klasifikasikan menjadi


penurunan volume kompartemen dan peningkatan tekanan struktur kompartemen,
sedangkan berdasarkan lamanya gejala, dapat dibedakan menjadi akut dan kronik.
Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah fraktur, trauma jaringan
lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik
biasa terjadi akibat melakukan aktivitas yang berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh,
pemain basket, pemain sepak bola dan militer.

C. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskuler
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera,
dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak
bawah.

D. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara
terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam
kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan
vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus,
yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom
yaitu, antara lain:
Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
a. Theory Of Critical Closing Pressure.
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda
(tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi
aliran darah. Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol
menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini
dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya
adalah arteriol akan menutup
b. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan
vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara
kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi
tekanan jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali.

McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik


dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi
klinis dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan
oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen.
Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas
dimana dapat terjadi iskemia berulang.
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi
yang terus – menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana
terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin
menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan
lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena.
E. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis dibuat dengan melihat tanda dan gejala sindrom
kompartemen dan pengukuran tekanan secara langsung.

Gejala terpenting pada pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri yang
proporsinya tidak sesuai dengan beratnya trauma. Nyeri pada regangan pasif juga
merupakan gejala yang mengarah pada compartment syndrome. Paresthesi berkenaan
dengan saraf yang melintang pada kompartemen yang bermasalah merupakan tanda
lanjutan dari compartment syndrome. Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang
tegang dan keras. Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai
cedera vaskuler. Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat lanjut
yang mengarah pada compartment syndrome.

Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data
objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur. Cara ini paling
berguna jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien
politrauma, dan pasien dengan cedera kepala.

Pengukuran Tekanan Kompartemen

Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan dalam membantu


menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan kompartemen dilakukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak,
pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti
trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Pengukuran tekanan
kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi atau wick kateter.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain :

a. Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi

1) Teknik ini adalah kriteria diagnostik standar yang seharusnya menjadi


prioritas utama jika diagnosis masih dipertanyakan.

2) Alat yang dibutuhkan : spuitt 20 cc, three way tap, tabung intra vena, normal
saline sterile, manometer air raksa untuk mengukur tekanan darah. Pertama,
atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline sampai mengisi
setengah tabung , tutup three way tap tahan normal saline dalam tabung.
Kedua, anestesi local pada kulit, tapi tidak sampai menginfiltrasi otot.
Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan tabung dengan
manometer air raksa dan buka three way tap. Ketiga, Dorong plunger dan
tekanan akan meningkat secara lambat. Baca manometer air raksa. Saat
tekanan kompartemen tinggi, tekanan air raksa akan naik.
b. Wick kateter, caranya :

1) Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot. Selanjutnya, tarik jarum dan
masukkan kateter wick melalui sarung plastik. Setelah itu, balut wick kateter
ke kulit, dan dorong sarung plastik kembali, isi system dengan normal saline
yang mengandung heparine dan ukur tekanan kompartemen dengan
transducer recorder. Periksa ulang patensi kateter dengan tangan menekan
pada otot. Hilangkan semua tekanan external pada otot yang diperiksa dan
ukur tekanan kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg, maka indikasi
dilakukan fasciotomi.

2) Tekanan arteri rata-rata yang normal pada kompartemen otot adalah 8,5+6
mmHg. Selama tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg
(tekanan pengisian kapiler diastolik), tidak perlu khawatir tentang sindroma
kompartemen. sindroma kompartemen dapat timbul jika tekanan dalam
kompartemen lebih dari 10 mmHg.

Gambar 4. Wick Kateter

F. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:

1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada
anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik
dan sering.

2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.

3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )

4. Parestesia (rasa kesemutan)

5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang


berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara
lain:

1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari
atau beraktivitas selama 20 menit.

2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.

3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

F. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium :

1. Comprehensive metabolic panel (CMP)

Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan


keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada
semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energi.

2. Complete blood cell count (CBC)

Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,


Hematokrit, Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet),
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC), Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC),
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), Hitung Jenis
Leukosit (Diff Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell
Distribution Width (RDW).

3. Amylase and lipase assessment


4. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila
pasien diberi heparin
5. Cardiac marker test (tes penanda jantung)
6. Urinalisis and urine drug screen
7. Pengukuran level serum laktat
8. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan
basa.
9. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
10. Serum myoglobin
11. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
12. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke
diagnosis rhabdomyolisis.

b. Imaging :

1. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.


2. USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT)

G. Penanganan

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi


neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa
adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.

a. Terapi

1. Terapi Medikal/non bedah


Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam
bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan


ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena
dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat
iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka
dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebas.

2. Terapi Bedah

Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30


mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot.

Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan


cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan
tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya
terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.

Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan
insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan
karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal
membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan
vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat berarti membuka
keempat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen
fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka dapat dijahit ( tanpa
regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit.

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :

a) Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat.


b) Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi ( pasien koma,
pasien dengan masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ),
dengan tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan
memiliki tekanan jaringan yang normal.

Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena


penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah
inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus
permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen.
Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran dan
konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk


semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa
torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang
berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari
sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi
mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah
prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal mungkin selama
operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.

b. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut :

Teknik Tarlow
Incisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai ke
epikondilus lateral. Dieksisi subkutaneus digunakan untuk mengekspos daerah
iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan insisi kulit sepanjang fascia
iliotibial. Perlahan - lahan dibuka sampai vastus lateralis dan septum
intermuskular terlihat, perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1 - 5 cm dibuat
pada septum intermuskular lateral perpanjangan ke proksimal dan distal.
Setelah kompartemen anterior dan posterior terbuka, tekanan kompartemen
medial diukur. Jika meningkat dibuat insisi setengah medial untuk
membebaskan kompartemen adductor .

1) Facsiotomi kompartemen tungkai bawah :

a) Fibulektomi :

Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada, termasuk


indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi tunggal dapat
digunakan untuk jaringan lunak pada ekstremitas. Teknik insisi
ganda lebih aman dan efektif.

b) Fasciotomi insisi tunggal ( darvey, Rorabeck dan Fowler ) :

Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai


dari distal caput fibula sampai 3 - 4 cm proksimal malleolus
lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan jangan sampai
melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomi
longitudinal pada kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya
kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi
kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen
superficial dan lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan
memotong soleus dari fibula. Otot dan pembuluh darah peroneal
ditarik ke belakang, kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis
posterior ke fibula dan dilakukan insisi secara longitudinal. Insisi
sepanjang 20 - 25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah
antara fibula dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk
mengekspos fascia kompartemen. Insisi transversal dibuat pada
septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen
anterior kearah proksimal dan distal pada garis tibialis anterior.
Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral ke arah
proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat
secara longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi
fascia. Dibuat insisi transversal untuk mengidentifikasi septum
antara kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian
dibuka fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi
lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh
kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan
tekanan pada kompartemen ini segera dibuka.
2) Fasciotomi pada lengan bawah :
a. Pendekatan Volar ( Henry )
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial
dapat dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari
proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar pada daerah tunnel
carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk
mengkonfirmasi dekompresi, tidak ada penggunaan torniket. Insisi
kulit mulai dari medial ke tendon bicep bersebelahan dengan siku
kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjangan ke arah distal
sepanjang brachioradialis dilanjutkan ke palmar. Kemudian
kompartemen fleksor superficial di insisi mulai titik 1 atau 2 cm
diatas siku ke arah bawah sampai pergelangan tangan. Kemudian
nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya
kemudian ditarik ke arah radial. Kemudian fleksor carpi radialis
dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos
fleksor digitorum profundus, fleksor pollicis longus, pronatus
quadratus dan pronator teres. Karena sindrom kompartemen
biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda harus
dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut untuk
memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.
b. P
e
n
d
e
k
a
t
a
n Volar Ulnar
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan
pendekatan Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari
medial bagian atas tendon bicep melewati lipatan siku terus ke
bawah melewati garis ulnar lengan bawah dan sampai ke carpal
tunnel sepanjang lipatan thenar. Fascia superficial pada fleksor
carpi ulnaris di insisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke
carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor
carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor
digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris yang harus
dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda
kemudian di insisi.

c. Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan
bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan
fasciotomi dorsal ( ekstensor ). Hal ini lebih baik ditentukan
dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah
dilakukan fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi
peningkatan tekanan pada kompartemen dorsal yang terus
meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan
bawah pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis
tengah pergelangan tangan, batas antara ekstensor carpi radialis
brevis dan ekstensor digitorum komunis di identifikasi kemudian
dilakukan fasciotomi.
Perawatan pasca operasi :
1. Rawat luka secara basah (dengan PZ)
2. Ekstensi anggota gerak
3. Ganjal bantal/elevasi anggota gerak setinggi level jantung
4. Observasi ketat: nyeri, parestesia, paresis
5. Delayed closure atau skin graft setelah oedema berkurang (rata-
rata pada hari ke 5-7.

H. Komplikasi

Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera akan


menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :

1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen


2. Kontraktur volkam, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada
tanga, jari dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acture respiratory distress syndrome (ARDS)
DAFTAR PUSTAKA

Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed 10th. Vol


3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57

Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic science,


management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92

Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of orthopaedics. Ed 5th.


Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2001. p : 20-8

Preston R Miller, John M Kane. Compartment syndrome and rhabdomyolysis in The trauma
manual. Ed 2nd. Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2002. p : 335-7

Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at http://www.emedicine.com.


Accessed on May 28th 2007.

Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com. Accessed


on May 29th 2007.

http://www.uwhealth.org/sportsmedecine/compartmentsyndrome/11474\

Tanjung AS.; IP Sukarna: Sindroma Kompartemen, Paper Seksi Orthopaedi Lab/UPF. Ilmu
Bedah FK Unair/RSD Dari. Soetomo, Surabaya, 1992

Poggi, JJ.: Compartment Syndrome: Orthopaedic Secret, Brown DE; Neumann RD (Ed). Han
Ley & Belfus, Philadelphia, 27-29, 1995

Anda mungkin juga menyukai