Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

DEMAM TIFOID

Oleh :
dr. Desy Ayu Wulandari

Pendamping :
dr ……….

Pembimbing
dr. ……….. Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD ………..
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga pada akhirnya Saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini
yang berjudul DEMAM TIFOID
Tidak lupa Saya mengucapkan terimakasih kepada pendamping Saya dr.
……….. dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini
sejak awal hingga selesainya tugas ini.
Tujuan penulisan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam
kegiatan Case Report dibagian IGD.
Saya menyadari bahwa penulisan tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu Saya sangat mengharapkan bantuan dan partisipasi teman sejawat
untuk memberikan masukan dan saran guna menyempurnakan referat ini di masa
mendatang.
Akhir kata Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya atas
perhatian dan dukungannya, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

……….., 1 Mei 2019

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. D
No. RM : 194793
Tgl Lahir : 07-04-1950/ 68 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kalijoyo 301 Kajen
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Agama : Islam
St. Perkawinan : menikah
Suku : Jawa
Tgl. Periksa : 28 April 2019

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 April 2019 :
Keluhan Utama : demam 10 hari SMRS memberat hari ini
Keluhan Tambahan : tidak nafsu makan, mual, muntah, nyeri kepala.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang rujukan PKM Kesesi ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Kajen
dengan keluhan demam 10 hari memberat hari ini
Pasien merasakan demam tinggi saat sore hari sejak 10 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan nafsu makan turun, nyeri kepala, nyeri ulu hati,
mual dan muntah. Pasien mengaku suka mengkonsumsi makanan pedas dan
memakan gorengan. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi makanan yang
berserat seperti sayuran dan buah-buahan. Pasien mengaku baru
memeriksakan keluhannya ke puskesmas dan keluhannya hanya hilang
sementara karena diberikan obat penurun panas
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal.
Riwayat asma disangkal
Riwayat Hipertensi dan DM disangkal.
Riwayat penyakit hati dan ginjal disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat hipertensi dan DM disangkal.
Riwayat TBC disangkal.
Riwayat keluhan serupa disangkal.

Riwayat kebiasaan :
Konsumsi makanan sembarangan diakui

1.3. Pemeriksaan Fisik


1. Tanda Vital
a. KeadaanUmum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : ComposMentis (GCS E4V5M6)
c. Tekanan Darah : 110 / 80 mmHg
d. Nadi : 70 x/mnt
e. Nafas : 20 x/mnt
f. Suhu : 38.1 0C
2. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normocephali
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut

Mata
Conjungtiva Anemis: -/-
Sklera Ikterik : -/-
Pupil bulat isokor : 3 mm/ 3 mm
Reflek Cahaya : +/+

Hidung
Deviasi septum : -/-
Discharge : -/-

Telinga
Bentuk : dextra sinistra simetris
Discharge : -/-

Leher
Inspeksi : Trakea di tengah
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid (-), paratiroid (-),dan
kelenjar limfe (-)

Mulut :
Sianosis : (-)
Lidah kotor : (-)

b. Thoraks :

Pulmo

Inspeksi : normochest, simetris kiri kanan, retraksi dinding dada (-)


intercostal dan subcostal dalam batas normal

Palpasi : gerak dinding dada simetris kiri dan kanan, fremitus kiri =
kanan

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : napas vesikuler, Rh -/- basal paru, Wh -/-

Jantung

Inspeksi : Iktus tidak tampak


Palpasi : Iktus teraba pada ICS V linea axilaris sinistra

Perkusi : batas jantung normal, kardiomegali (-)

Auskultasi : Bunyi jantung reg, irama ireguler, murmur (-) diastolik,


gallop (-)

c. Abdomen
Inspeksi : distensi ( - )
Palpasi : nyeri tekan (+) epigastric
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : BU ( + ) normal
d. Ekstremitas :
akral hangat, CRT <2” / <2”, edema ekstermitas bawah -/-
RESUME
1. Anamnesa
Pasien datang rujukan PKM Kesesi ke Instalasi Gawat Darurat RSUD
Kajen dengan keluhan demam 10 hari memberat hari ini
Pasien merasakan demam tinggi saat sore hari sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan nafsu makan turun, nyeri kepala, nyeri ulu hati,
mual dan muntah. Pasien mengaku suka mengkonsumsi makanan pedas
dan memakan gorengan. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi makanan
yang berserat seperti sayuran dan buah-buahan. Pasien mengaku baru
memeriksakan keluhannya ke puskesmas dan keluhannya hanya hilang
sementara karena diberikan obat penurun panas

2. Pemeriksaan Fisik
a. KeadaanUmum/ kesadaran :tambak sakit ringan /Compos mentis
b. Vital Sign
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 70 x/menit, isi cukup
Pernafasan : 20 x/menit, regular, Kusmaull (-)
Suhu : 38.1 C
SpO2 :100%
c. Status Generalis : dbn

1.4.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi Lengkap :
Haemoglobin 11,2 gr/dl 11.5 – 16.5g/dL
Leukosit 9.500 /mm3 3500 – 10.000 109/L
Hematokrit 39 % 35.0 – 55.0 %
Eritrosit 5,9 3.5 – 5.5 1012/L
Trombosit 307.000/mm3 145 – 450 109/L
MCV 92 75.0 – 100.0 fL
MCH 28 25.0 – 35.0 Pg
MCHC 34 31.0 – 38.0 g/dL
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 2 0-4 %
Netrofil Segment 80 46-73 %
Limfosit 18 17-48 %
Monosit 14 4-10 %
Widal
O 1/320 1/80
H 1/320 1/80
A-H 1/320 1/80
RontgenToraks : jantung dan paru tak tampak kelainan

ECG : dalam batas normal

1.5.Diagnosa Kerja :
Demam Tifoid
1.6.Penatalaksanaan :
Farmakologi
- Infus RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr
- Inj. Ranitidin 2x1
- Inj. Ondansetron 3x1
Nonfarmakologi
- Diet Lunak
- Memberikan informasi mengenai penyakit demam tifoid dan
penatalaksanaannya.
1.7.Diagnosa Banding
GangguanGastroinstestinal: Dyspepsia, Cholecysititis
Gangguan Urogenital: Pyelonephritis
1.8.Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
BAB II
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang


menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada tahun 2003 lebih
dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian
mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-
negara Asia.1
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435
sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina,
didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih
tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).2
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan
angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang memiliki prevalensi diatas angka nasional,
yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain : kultur darah, kultur
agar darah, identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi, dsb. Pada intinya, segala
jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab
demam tifoid, yaitu Salmonella enterica subsp. enterica serotipe Typhi
(Salmonella Typhi).1
Pemeriksaan serologi yang paling tua ialah uji Widal, yang mengandalkan
reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat dari kuman utuh
yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan dan dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi pada pasien, konsumsi
antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas wilayah sehingga ter-
dapat variasi nilai cut-off, reaksi silang dengan organisme lain, serta dipengaruhi
oleh vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah tidak me-
rekomendasikan pemeriksaan Widal.4 Begitu pula WHO, WHO juga sudah tidak
merekomendasikan Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji
Serologis, WHO lebih merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot
sebagai ujia serologis yang lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa
diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi kuman. 5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Epidemiologi demam tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan
90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid
di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari
survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.6
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid.
Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah
1,6%.3

Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe
Typhi, 1990-2002.5
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8

3.2. Etiologi demam tifoid


Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella
memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori.
Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica
subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp. salamae; IIIa. Salmonella enterica
subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae; IV. Salmonella
enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 9
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454 serotipe,
beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis, Salmonella Dublin, Salm
onella Enteritis, Salmonella Gallinarum, Salmonella Hadar, Salmonella Heidelber
g, Salmonella Infantis, Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhi
murium, dan Salmonella Genrus.9 Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ada
lah bakteri penyebab demam tifoid.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat
mati dengan pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.10
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 11


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

2.3.Patogenesis demam tifoid


Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11

Gambar 2.3. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .12

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3
minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini kemudian meninggalkan
makrofag dan kemudian berkembang biak di luar makrofag dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh
karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.11

2.4. Manifestasi klinis demam tifoid


Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting
untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.11
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.10 Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke
hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari.
Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C. Pasien
akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti salmon, pucat,
makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan menghilang
dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh bakteri di dermis.11
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang jelas,
berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1o C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian didapatkan pula lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis.11 Beberapa penderita dapat menjadi karier
asimptomatik dan memiliki potensi untuk menyebarkan kuman untuk jangka
waktu yang tidak terbatas.

2.5.Diagnosis Demam Tifoid


Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.12

2.5.1. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid.14

2.5.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang.
Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.12,16 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila
pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin
negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang
lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa
negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia
sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang
dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
10,12

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak


kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih
tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella
Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17

2.5.3. Uji serologis


2.5.3.1. Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat
kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2.5.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.13 Uji ini
sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang.1,24

2.5.3.3. Pemeriksaan Dipstik


Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
4,29

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini


sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.30

2.5.3.4. Uji Tubex®


Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi
oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya
membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini
mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat
spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.23,27
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27

Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif d


engan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan
Tubex® color scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari
nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut
menurut IDL Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam
tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid,
merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.27

2.5.3.5. Uji Typhidot®


Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji
Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas
yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada
kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan,
jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.28

Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28

2.5.4. Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella
Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA.
2.6. Terapi Demam Tifoid
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi
demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi
pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen
fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal
<2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia,
penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu
penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam
typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka
karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan
ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk
demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang
resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1
minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka
relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan
durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak
efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di
rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap,
diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan
diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian
antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung
dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama
5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur
tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya
diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.

Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid


Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010
( KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )

2.7. Komplikasi Demam Tifoid


Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi
antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik.
Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini
biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan
perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri
ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan
resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik
spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat
ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan
gejala neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular
coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,
orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis.
Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang tepat.

Gambar 2.7 : Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi


BAB IV
KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik
untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid
dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam
tifoid bisa dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat
manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam
tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai
pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang
direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan
sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas
agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS
(decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen
fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Ceftriaxone,
cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of


typhoid fever. World Health Organization; 2013: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK,
Agtini MD, et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries:
disease burden and implications for controls. http://www.who.int/
bulletin/volumes/86/4/06039818/ en/#content. [1 Mei 2019].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007. [1 Mei 2019].
4. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-
2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-
akurat-diagnosis-demam-tifoid. [1 Mei 2019].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et
al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
http://www.who. int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [1 Mei 2019].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2017;
45(1): 246–247. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 1 Mei 2019 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin
M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika
Udayana 2.6; 2013: 1080-1090. http://ojs.unud.ac.id
/index.php/eum/article/view/5626. [1 Mei 2019].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016: 1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol.
2012 Oct;2(1):39-45. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 1
Mei 2019 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2012; 347:1770-1782.
http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [1 Mei 2019].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang
Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2015:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 2011:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2012:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 2008;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2011:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2013;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al.
Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever :
relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol
2011;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in
urine. J Clin Microbiol 2012;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2012; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 1 Mei 2019 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2013:19-
34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006.
www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes
/KMK%20No. %20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Dema
m%20Tifoid.pdf.
[1 Mei 2019].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31
Oktober 2019]
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 1 Mei 2019 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid
dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med
Microbiol 2012; 51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A
Comparative Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever.
JIACM 2014; 5(3) : 244-6. http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact
04i3p244.pdf. [1 Mei 2019 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever.
IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 1 Mei 2019 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis
of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/
2034/12a-%204058.A.pdf. [ 1 Mei 2019 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition.
United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.

Anda mungkin juga menyukai